Covid 19, lebih dari sekedar virus. Tak terasa, dalam jangka waktu 3 bulan, patogen ini hadir sebagai cakrawala berpikir, dengan keluasan, kesempitan dan kesumpekan, di dalamnya. Banyak sekali potongan cerita atau berita, membentuk pikiran dan perasaan kita, tentang dunia, hidup dan mati. Bahkan kelewat batas, kita tak peduli virus sungguh beredar atau entah di mana, yang penting kita bisa berpikir, merasa dan bertindak atas nama covid 19.
Melewati batas berarti kita berhenti membahas dan membasmi virus, diganti sikap terpendam dan perilaku yang sudah lama ditunda. Sikap dan tindakan bak pahlawan, bahwa hidup dan mati orang lain ada di tangan kita, di dalam protab, di dalam kucuran anggaran untuk bergerak dan berbusana layaknya astronot atau penjinak bom. Berbekal potongan cerita-berita, juga instruksi secarik surat atau sebundel kertas berstempel, kita menarik garis batas baru antara hidup dan mati, siapa yang boleh lewat dan siapa yang harus dikandangkan, atas nama covid 19, untuk kebaikan umum yang juga belum dibahas dan disepakati seluruh warga negara.
Oleh karena virus ini, kita tiba-tiba ada di dalam negara, sampai ke puncak kenikmatan, kita adalah negara itu sendiri. Ruang dialog dikunci, bercakap harus sama pangkat dan satu program, lalu pikiran benar dan cerdas ditindas, dianggap resah tidak kebagian jatah. Di dalam kondisi yang didaruratkan ini, bukan lagi virus materi pokok dalam percakapan kebijakan dan program, tetapi sikap dan perilaku tak patuh diperlakukan lebih berbahaya dari virus itu sendiri. Kriminalisasi dan moralisasi dijadikan teknologi kontrol dan monopoli informasi, tanpa disertakan pengetahuan biomedis dan resiko sosial-ekonomi.
Jauh lebih merisaukan dari darurat kesehatan, kondisi ini, state of exception, mulai bertingkah semaunya, berpikir sesuai arahan, kendatipun keliru dan merusak martabat manusia yang paling asasi. Harus terus bergerak, tak ada waktu merenung, apalagi tersentak, bahwa tindakan kekuasaan itu sendiri telah mengancam kehidupan, mata pencaharian, dan kebebasan. Tubuh diturunkan derajatnya semata biologi, bukan tubuh ekologi, tubuh ekonomi dan tubuh sosial. Dalam jebakan ‘false dilema’ ini, mendeteksi virus jauh lebih penting daripada mendeteksi sakit karena kurang gizi atau beban pikiran.
Kuasa jenis ini, yang berbiak di dalam kepanikan masal dan kepasrahan diri, tidak sekedar parodi bagi akal sehat tetapi lebih memilukan, sebuah tragedi, yang kelak dikisahkan kembali oleh mereka yang sadar dan belajar dari sejarah. Kemarahan dan kedukaan yang tak seutuhnya, dari keluarga dan orang-orang tercinta, terkubur di dalam kintal kekuasaan. Suara mereka tidak diberi pengeras, pikiran mereka ditutup-tutupi dengan stastistik dan bahasa teknis medis yang tak meyakinkan, sembari berharap kian banyak terpapar agar pokok soal segera dilupakan masyarakat.
Kedukaan itu tidak hanya dikucilkan dari perhatian sesama, bahkan mengabaikan hak dan kebersamaan terakhir kalinya, sebagai kekasih, suami, istri, anak dan kerabat. Sesuatu yang tersisa, tak boleh direbut, tak boleh dirampas, oleh siapa pun. Bahkan tak sempat bertanya bagaimana rasanya diri dan keluarga sendiri diperlakukan tanpa keadaban. Karena di dalam state of exception, kuasa bisa semena-mena kepada yang lain kecuali diri dan kelompok sendiri.
Orang-orang yang meninggal karena covid atau di-covid-kan, tidak lagi dipahami sebagai korban penularan atau asumsi penularan. Juga tidak dimaknai sebagai korban biopolitik– politik atas tubuh — oleh rezim kesehatan global yang sedang mencari peluang bisnis masa depan. Dalam keterbatasan isi kepala dan hati yang mati rasa, mereka tak lebih dari homo sacer, spesies baru antara hidup dan mati, kebertubuhan ancaman eksistensial, tubuh manusia adalah virus itu sendiri.
Homo sacer, berarti hidupnya tak berguna bagi sesama dan matinya pun tak ada artinya bagi tuhan. Status homo sacer hanya dapat terpenuhi ketika negara dan agama bersekutu dalam state of exception, kuasa absolut dan korup. Keduanya berbagi peran, saling melengkapi, partners in crime. Dia diperlukan untuk menjaga batas hidup dan mati. Boleh dibunuh, terbunuh dan tak perlu dipertanyakan. Sesuatu yang niscaya, harus ada, agar kedaruratan terus berlangsung, sesuai kehendak yang berkuasa. Demikian kurban harus lebih dari satu, dusahakan secepatnya berlipat ganda, untuk membuktikan hasil kerja, tampak gagah berwibawa dan menjadi pusat kebenaran.
Negara menentukan status biologis dan agama menentukan status spiritual. Dengan itu, mereka, orang-orang mati tersangkut pandemi, ditetapkan sebagai tubuh yang abnormal dan jiwa kembara yang tak sempat sampai di gerbang keabadian. Tak ada penghormatan di dunia dan di akhirat. Karena dalam kondisi yang di-darurat-kan ini, mereka hanyalah angka, label, dan riwayat sakit, dalam eksperimen protokoler. Tanpa hikayat, tanpa kenangan dan kedukaan publik. Seperti zombie, manusia yang tak lagi manusia, paling menakutkan, tanpa imanensi dan transendensi.
Serempak dalam gelagat serupa, orang-orang sehat yang sedang panik, takut akan kematian, merasa tidak akan mati. Kematian hanya disebabkan oleh covid 19, atau setidaknya kematian karena sebab lain dianggap hal biasa, tak perlu dibahas. Karena itu kita harus menghadang di perbatasan, bersembunyi di dalam kehangatan rumah dan keluarga, dan sujud beribadah. Muncul kekebalan atau mengebalkan diri dari kematian, serasa mati bukan lagi bagian dari hidup. Dengan akrobatik ini, negara adalah rumah orang-orang sehat dan agama menjadi surga bagi umat yang tak tercemar.
Kehidupan diri sendiri dan keluarga harus dijaga dengan segala cara, sementara hidup dan mati orang lain adalah urusan aparatus state of exception. Tercapai tujuan biopolitik itu, matinya relasi etis, matinya kepekaan terhadap kedukaan orang lain. Semacam sanitasi jiwa, dibersihkan dari kepekaan, dijauhkan dari penularan kesedihan dan air mata untuk sesama. Demikian kita adalah para penonton atau penikmat berita, dari jarak aman tanpa resiko, sambil memastikan diri tidak dijadikan homo sacer berikutnya.
Dalam kedaruratan yang tak jelas ini, semakin nyata kita adalah crabbs in the barrel, kepiting-kepiting di dalam tong, saling berseteru dan menyelamatkan diri, dalam rumus baru biopolitik global. Biopolitik baru, diterjemahkan aparatus nasional dan daerah, tanpa disadari, tanpa pertanyaan ke atas, ke kiri dan ke kanan. Jangankan memahami seteru kuasa global membajak virus ini, kita pun tak mau menengok ketentuan protab, yang boleh jadi tepat dan terukur, tetapi menjadi palu godam di tangan aparatus yang tak cerdas dan tinggi hati.
Dalam sejarah, Homo Sacer, adalah kurban yang dibuat tak bermakna, sekaligus penentu utama, cepat atau lambat, umur state of exception.
Frans Djalong. 20 Mei 2020