Manusia sebagai Pusat: Ilusi Kesadaran Semiologis (2004)

Tulisan ini disarikan dari bab 3 skripsi strata 1, Juni 2004. Dibahas secara khusus problematika semiologi dalam kaitannya dengan konstruksi manusia dalam representasi teoretis atau representasi keilmuan. Dalam pembahasan ini, manusia sebagai subyek dan obyek representasi dinamakan antropologi teoritis, manusia hasil konstruksi teoritis dan menjalankan peran sebagai penanda sekaligus petanda, baik ideal maupun non-ideal, dalam representasi berbasis semiologi.

Dalam perlakuan semiologi, antropologi teoritis adalah pusat, dalam artian, penanda utama sekaligus melekat padanya makna manusia ideal dan non-ideal. Konstruksi semiologis ini tidak hanya berlaku dalam kegiatan berteori ilmu sosial-humaniora tapi juga menjadi cara pandang umum dalam berbagai bidang kehidupan. 

Untuk memahami manusia sebagai pusat dalam Metafisika Kehadiran, studi ini menghampiri perdebatan dalam kajian epistemologi dan hermeneutika. Hal ini dilakukan dalam rangka memperjelas dua hal berikut. Pertama, memperjelas kritik gramatologi terhadap konseptualitas manusia dalam representasi teoritis berbasis semiologi, dalam status dan perannya sebagai penanda-simbol. Kedua, ini yang terpenting, kritik gramatologi terhadap rasisme atropologi teoritis-ideal, yang adalah antropologi Barat, konsep manusia unggul sebagai referensi utama-makna utama representasi semiologis.

Keunggulan manusia Barat berlangsung dalam konteks keunggulan kebudayaan dan peradaban Barat yang disandingkan atau dicarikan pembeda, the other, the negative, pada kebudayan dan peradaban lainnya. Dalam hal ini, sejarah kolonialisme dan imperialisme menjadi konteks diskursif konseptulisasi dan teorisasi terhadap manusia sebagai subyek dan obyek dalam epistemologi berbasis subyek yang rasis.

Pentingnya pemeriksaan tentang antropologi teoritis ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan kontribusi gramatologi Jacques Derrida yang mempengaruhi munculnya sejumlah kritik terhadap konsep manusia dan konsep kekuasaan. Konsep Derrida tentang pusat sebagai fungsi atau non-locus sejalan dengan konsep Foucault tentang subyek, kuasa dan wacana. Demikian halnya dengan konsep kerentanan identitas-subyek, precarity, yang dikembangkan Judith Butler, termasuk konsep subalternity yang dikemukakan Gayatri Spivak.

Demikian pula dengan konsep subyek sebagai rhizomeschizphrenia dalam ketegangan permanen antara teritorialisasi dan de-teritorialisasi yang diargumenkan Gilles Deleuze dan Felix Gauttari. Sementara sebagaimana tersurat dalam pembahasan sesi ini, konsep Paul Ricoeur tentang peran penanda sebagai metafor-substitusi semakin mempertegas arti penting kritik gramatologi terhadap rasialisme epistemologi berbasis subyek-modernitas.

Begitu juga kontribusi Kritik Ekonomi-Politik Tanda yang diperkenalkan Jean Baudrillard memiliki relevansi strategis untuk memperjelas kritik radikal gramatologi terhadap semiologi. Termasuk dibahas problematik Teori-Kritis sebagai Kritik Ideologi yang sebetulnya merupakan manifestasi terbaik dan paling tersamar dari proyek modernitas berbasis semiologi yang rasis.

Deleuze dan Gauttari, maha karya kolegial Anti-Oedipus dan A Thousand Plateaus

Manusia sebagai Pusat: Ilusi Kesadaran Semiologis

Are you constructing an ideal or destroying one? (Nietzsche)

Di dalam wacana ilmu sosial telah berkembang sejumlah pemikiran kritis yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai epistemologi ilmu sosial-humaniora dan interpretasinya terhadap kenyataan sosial di luar domainnya sendiri. Ilmu sosial-humaniora diseret ke dalam problematik epistemologi, bahwa akan selalu ada paradoks apabila interpretasi atas kenyataan melulu dikendalikan oleh aturan mainnya sendiri. Ilmu sosial dibangun di atas sebuah hierarki pengetahuan, yang tentu di situ berlaku norma interpretasi untuk kegiatan analisis dan norma penelitian menjadi pedoman yang mengatur dan mengavaluasi cakupan dan jenis obyek kajiannya. Aturan main yang demikian kuat diterapkan dan lemahnya kritik-internal pengetahuan pada gilirannya membawa persoalan besar bagi ilmu sosial-humaniora itu sendiri.

Dengan masuknya ilmu sosial-humaniora ke dalam pergulatan filosofis ini, ternyata tidak dengan sendirinya memberi dirinya suatu otonomi khusus yang bisa membedakannya dari apa yang dimiliki ilmu alam. Dalam kenyataannya, epistemologi itu sendiri adalah suatu persoalan, abyss, sebuah jurang yang menganga, katakanlah suatu dasar berpikir yang tak berdasar. Semakin dasar itu digali dengan segala perkakas retoris maka semakin tidak kelihatan landasan, origin, yang sejak awal diyakini tersedia. Dengan kata lain, kembalinya ilmu sosial-humaniora ke dalam epistemologi berarti kembali kepada ketidakberdasaran sebuah tradisi berpikir. Dalam hal ini, ilmu sosial-humaniora berhadapan dengan dekonstruksi diri tanpa jaminan adanya landasan epistemologi yang mutlak dan sempurna.

Dua Alternatif Bermasalah

Untuk menghadapi masalah epistemologis ini, ada banyak saran yang sudah ditawarkan. Di sini diberikan dua alternatif sikap yang sangat mencolok perbedaannya. Pertama, adalah dengan mengoreksi subyektivitas dan obyektivitas ilmu sosial dengan logika komunikasi bebas distorsi. Dengan dipakainya logika ini, hubungan antara kesadaran dan modernitas hendak diperkuat, bila perlu diradikalisasi dengan konsensus, baik di dalam percakapan maupun dalam penulisan. Anggapannya adalah bahwa epistemologi tidak sepenuhnya diterima sebagai sesuatu yang tidak berdasar tetapi terlampau diorientasikan nalar instrumental yang sifatnya dominasi. Makanya diperlukan suatu resolusi praktis, yang disebut Konsensus. Demikianlah bisa dipahami, Teori Kritis dengan cintanya yang meluap-luap pada modernitas dan kesadaran renaisans menganjurkan ilmu sosial agar menggunakan satu model model resolusi skematis-Kantian, Universal Pragmatics.[1] Dari sana akan tampak bahwa kesadaran harus dibersihkan dari sifat esensial yang palsu, yaitu subject-centered epistemology,dan digantikan oleh pendasaran epistemologis yang sifatnya korelatif di dalam proses komunikasi, intersubjective-epistemology. Melalui komunikasi yang rasional, demikian gagasan Habermas yang sarat dengan kategori atau pertanyataan-kondisional, dialektika antara peristiwa dan makna, deliberasi antara pemahaman dan penjelasan, akan menghasilkan sekaligus memenuhi klaim ketepatan, klaim otentisitas, dan klaim keterpahaman atau komprehensibilitas.

Berbeda dari Teori Kritis Habermas, alternatif kedua datang dari jurusan kritik fenomenologi kesadaran Kantian di dalam praktek teoretis ilmu sosial-humaniora. Kritik ini ditandai oleh suatu penolakan tegas terhadap baik teori-teori sosial modern sebagai perkakas keras dari kesadaran berbasis spiritualitas pencerahan, maupun ragam modifikasi teori sebagai perangkat lunak dari cara kerja Teori Kritis yang dicurigai sekadar membiaskan kebenaran tunggal ke dalam jenis-jenis rezim kebenaran dalam medan pemahaman sosial-politik yang lebih luas. Apapun jenis aliran teori yang berusaha memberi arahan pemahaman antara manusia dan hendak mengatur hubungan manusia dengan kenyataan senantiasa mengandalkan suatu pemutlakan teori tentang pengetahuan—atau, revitalisasi epistemologi dengan retorika teoritis. Begitu pula sebuah teori sosial yang berusaha menjelaskan kenyataan sosial tidak bisa melepaskan eksplanasi teoritisnya dari sifat konstruksi, pengaturan terhadap apa yang dianggap tetap dan sama. Dengan tetap dipakainya konsep sistem dan struktur, suatu teori sosial selalu membicarakan dua asas konseptual yang baku, yakni asas perubahan dan asas diam dari fakta sosial. Di situ berlangsung detour, suatu jalan putar, menuju obyektivitas. Pertama, obyek dianggap data mentah yang siap dibawa ke dalam analisis atau deliberasi teoritis. Dari sana data berubah menjadi gejala lalu kemudian melalui suatu strategi retoris penelitian—metodologi—diperoleh suatu kepastian tertentu atas gejala tersebut, yakni statusnya sebagai fakta sosial.

Untuk mengatasi tabiat obyektivikasi teoritis di atas, ditawarkan suatu model diskursus ilmu sosial-humaniora yang tidak berorientasi lagi kepada pemecahan persoalan. Sebaliknya ilmu sosial-humaniora disarankan memulai suatu keterlibatan intens dalam percakapan dengan ragam diskursus sosial lainnya untuk menghasilkan suatu pemahaman bersama tanpa bermaksud menghasilkan konsensus. Apa yang hendak dicapai adalah pengakuan terhadap perbedaan—atau, diperolehnya suatu pengertian tentang keadaan tak sama dari kondisi dan pengetahuan manusia. konsensus mengandaikan adanya suatu landasan bersama, common ground, di mana kepentingan dan interpretasi dapat diperbandingkan (commensurable) dan landasan bersama itu adalah rasionalitas komunikatif Teori Kritis itu sendiri. Itulah sebabnya, sembari menolak paradigma komunikasi berbasis epistemologi rasionalitas-komunikasi, Richard Rorty menganjurkan filsafat dan ilmu sosial-humaniora segera keluar dari pemahaman dengan model skematisme-universal dan memulai suatu percakapan rutin dengan diskursus lain.[2] Dalam percakapan semacam ini, komunikasi yang intensif dan sensitif berubah dari fungsinya sebagai suatu penyelidikan empiris menjadi percakapan itu sendiri. Muatan normatifnya adalah penegasan tentang perbedaan pemahaman di antara mereka yang terlibat.

Dengan dipakainya hermeneutika, epistemologi ilmu tentu tidak ditinggalkan karena agar tidak melebur begitu saja dalam percakapan,  ilmu sosial membutuhkan suatu sudut pandang, suatu teori pengetahuan yang di dalamnya berisi postulat kedaulatan manusia, postulat tindakan dan postulat  konsekuensinya bagi perkembangan masyarakat. Teori sosial dalam keterlibatan dan partisipasinya tidak lagi menggarap fundasi-kebersamaan, melainkan menjadikan dirinya suatu medan semantik yang terbuka dengan resiko bahwa proposisi-proposisi di dalamnya tidak lagi memuat pengertian obyektivitas yang kaku. Dalam percakapan itu, ilmu sosial-humaniora secara terus-menerus berjumpa dengan manusia dengan seluruh sifat tekstualnya—sebagai ganti sifat obyektif dari konsep empirisisme dan sifat subyektifnya dari transendentalisme kesadaran. Dengan kata lain, mengutip Rorty, masyarakat manusia dengan seluruh perbuatan, perasaan dan pemikiran mereka bukanlah sebuah universitas, yakni sekelompok orang yang dipersatukan oleh kepentingan tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Sebaliknya, diperlakukan sebagai suatu societas, yakni ragam individu dengan keunikan yang tak terdamaikan, nasib yang berserakan sepanjang perjalanan waktu dan pergeseran ruang—kumpulan individu ini lebih kuat diikat oleh suatu pengalaman hidup bersama dibandingkan karena sintesis tujuan individu alias teleologi suatu masyarakat teoritis.[3]

Akan tampak bahwa kedua alternatif sikap keilmuan di atas, memuat titik tolak yang berbeda. Teori Kritis memikirkan kembali suatu model ilmu soial-humaniora yang relevan bagi praxis sosial kemasyarakatan yang lebih luas dengan anggapan bahwa semangat renaisans terdapat dalam seluruh diskursus kebudayaan, suatu potensi yang menanti penebusan modernitas melalui kritik-ideologi.[4] Sementara Hermeneutika Rorty membebaskan pemahaman teoritis  dari arahan cita-cita universal dengan pertimbangan bahwa validitas pemahaman bersama tidak lagi bisa diukur oleh seberapa jauh sebuah cita-cita epistemologi-teori mendapat aktualitas empirisnya, melainkan lebih direfleksikan oleh suatu pengalaman bersama yang di dalamnya ditemukan perbedaan-perbedaan. Bisa dikatakan di sini, bahwa Teori Kritis mengilustrasikan masyarakat sebagai kumpulan individu dengan kesamaan cita-ctia, sementara Hermeneutika,sebaliknya, mendeskripsikan masyarakat  sebagai individu-individu dengan perbedaan yang tak memerlukan sebuah katarsis kritik-ideologi. Dalam artian yang lain, Kritik Ideologi-Teori Kritis adalah teori tentang diskursus normal (Normal Discourse), sementara Hermeneutika adalah teori tentang diskursus abnormal (Abnormal Discourse).

Kembali ke pokok soal yang dimaksudkan dalam sesi ini, akan jelas kelihatan bahwa hermeneutika lebih banyak dipengaruhi oleh pembacaan gramatologis terhadap perilaku filsafat manusia dan filsafat sosial berbasis epistemologi pencerahan. Di dalamnya terkandung sejumlah pertanyaan mendasar yang mengarahkan ilmu sosial-humaniora kepada problematik semiologi menyangkut manusia—bentuk dan isi konseptualnya dalam tatanan simbolik pemaknaan keilmuan itu sendiri. Dengan maksud memberikan suatu penjelasan yang memadai tentang manusia sosial, sebuah teori, sebagaimana biasanya, akan cenderung memutlakkan postulat-postula strukturalis. Teori tersebut akan kehilangan kemampuan demonstrasinya atau sifat eksplanatifnya dan mustahil memunculkan persoalan teoritis dalam naratologi proposisionalnya apabila tidak berlangsung dalam suatu sistem semiologi yang ketat. Ketergantungan mutlak teori sosial kepada asas pencapaian suatu matriks hipotesis tertentu membawa akibat serius pada semakin mengentalknya kapasitas representasi antropologis—representasi manusia—dalam domain ilmu sebagai simbol teoritis dan sekaligus semakin terabaikannya presentasi-diri manusia sebagai suatu totalitas keunikan-keunikan simbolis.

Dalam khasanah ilmu sosial-humaniora sendiri sebenarnya sudah terlontar suatu peringatan menyangkut problematik representasi-teori. Alfred Schutz, misalnya, berulang kali membicarakan status konstruk-konstruk teoritis sebagai konstruk tahap-dua, data teoritis yang tentu sudah dikenai logik postulasi, seperti postulat-postulat logis, postulat subyektvitas data-perilaku obyek penelitian, dan postulat korespondensi antara data mentah dan konstruk teoritisnya.[5] Sifat ilmiah dari data teoritis ini tidak diuji melalui kritik epistemologi melainkan ditentukan oleh logika korespondensi dalam metodologinya. Apabila pemahaman dasar ini belum berlaku sebagai pegangan penelitian sosial maka besar kemungkinan suatu obyektivitas ditentukan melalui justifikasi paradigma atau konsensus rasional para ilmuwan yang seharusnya dihindari. Obyektivitas yang semata-mata dibakukan di dalam ruang paradigma tertentu berasal berasal dari suatu sistem referensi yang mengikat, menjadi normal dan kemudian menjadi preskripsi metodologis. Ini tidak jauh bedanya dengan usaha menjelmakan kealamiahan obyek penelitian, atau dalam bahasa yang lebih tepat dikatakan sebagai naturalisasi data tafsiran. Sementara sebagaimana sudah diketahui bahwa data ilmu sosial adalah sesuatu yang melekat persis pada konteksnya, yang tidak bisa begitu saja dicerabut untuk kemudian dicangkokkan pada struktur penalaran ilmiah. Demikianlah sifat simbolik dari data atau peristiwa membawa kesulitan epistemologis tersendiri bagi praktek obyektivikasi teoritis. Absennya pemeriksaan terhadap metodologi penelitian dan semakin dianutnya kepercayaan tentang purity of method menghasilkan ilmu sosial-humaniora yang sarat dengan kekeliruan epistemologis. Dalam kata-kata yang sederhana, Alfred Schutz menulis:

‘..Most of the fallacies in social sciences can be reduced to an emergence of subjective and objective points of view which, unnoticed by the scientist, arose in the process of transgressing from one level to the other in the continuation of the scientific work’.[6]

Dalam cara pandang gramatologi, sentrum kekeliruan epistemologis adalah epistemologi itu sendiri. Terhadap epistemologi dapat diajukan keberatan-keberatan baik yang datangnya dari jurusan sejarah kemunculannya maupun dari konstitusi dirinya sebagai matriks Logosentrisme Barat yang membagi kenyataan dengan sistem predikat. Sebagai suatu cara khas memahami kenyataan, epistemologi ilmu sosial terikat secara ekspresif pada memuncaknya semangat renaisans sekaligus pembiasannya yang tak terelakkan ke dalam proses panjang pembentukan nalar skolastik, suatu jenis nalar yang memisahkan obyek dari subyek, yang empiris dari yang teoritis, budaya tinggi dari budaya rendah,dan seterusnya. Di dalamnya manusia ditempatkan dalam suatu hierarki-posisi, dimasukkan ke dalam tabel nilai-adjective, dan tentu saja berlaku semacam penghakiman sintesis terhadap ragam kebudayaan lain agar modernitas menjelmakan suatu dunia baru, dunia kaum yang bertobat dari perilaku kebinatangannya yang tergerak oleh kesadaran palsunya. Positivisme ilmu sosial akan semakin berurat-berakar apabila ditunjukkan oleh keberhasilannya menemukan sifat-sifat barbar, primitif, dan terkebelakang dari manusia dan lingkungan simbolik yang dikaji. Meski demikan, perlu untuk selalu diingatkan bahwa sifat-sifat yang disebutkan terakhir berasal dari tabel nilai Logosentrisme Barat itu sendiri.

Dengan semangat renaisans ilmu sosial-humaniora pun dituntut keterlibatannya dalam rekayasa manusia berserta lingkungan sosial-ekonomi dan budaya. Matriks-matriks teoritis dipesan khusus untuk member jalan keluar bagi problem manusia dan masyarakat. Karena logika yang dipakai adalah logika perkembangan linear dan penebusan waktu, maka perubahan sosial harus disertai sejumlah kontradiksi untuk segera diberi resolusi, suatu pelampauan rasional, suatu aufhebung, dalam terminologi dialektika Hegelian. Dalam perkembangan teori-teori sosial mudah ditemukan modifikasi metodologis dari epistemologi ilmu semacam ini, mulai dari sosiologi modern yang kentara sifat positivistiknya sampai keturunannya sosiologi kritis-partisipatoris jiplakan semangat baru pembaharuan nalar skolastik yang tampak tidak sabar menanti puncak pencapaian modernitas.[7]

Selain orientasi dan fungsi praktisnya yang menggejala, terdapat pula penjelasan gramatologis yang lebih tajam dalam upayanya menerjemahkan problematik epistemologi ilmu sosial-humaniora dalam kaitannya dengan obyek kajian—manusia dan lingkungan tindakan simboliknya. Tentu saja aspek ekspresif seperti dijelaskan di atas, sudah banyak dibahas dengan cara-cara berbeda. Ekspresivitas epistemologi tersebut berhubungan secara langsung dengan, atau lebih tepatnya, merefleksikan suatu suasana interior yang rumit dari struktur interpretasi ilmiah. Di dalam struktur interpretasi teoritis sudah tersedia serangkaian simbol manusia, yang meski tampak sangat terbuka terhadap transformasi-transformasi konseptual, selalu saja tertutup dalam relasinya dengan sebuah pusat genealogis dengan apa ilustrasi-ilustrasi antropologi teoritis—manusia konstruksi teori—memperoleh kekuatan untuk menjelaskan realitas manusia. Alasannya sudah sangat jelas, bahwa simbol-simbol manusia teoritis tentu saja diambil dari sintaks dan leksikon ilmu sosial-humaniora.

Hal itu tidak dengan sendirinya berarti sintaks dan leksikon murni inovasi dan aplikasi ilmu sosial-humaniora. Ilmu sosial-humaniora adalah ilmu regional (regional science) yang memuat definisi-definisi dari sekian cabang pengetahuannya seperti antropologi, sosiologi, ekonomi, psikologi dan arkeologi. Terlepas dari kuatnya demarkasi metodologis di antara cabang pengetahuan sosial yang selama ini dilebih-lebihkan, melalui suatu meditasi gramatologis atas simbol-simbol manusia konstruksi teori akan segera ditemukan suatu konsolidasi pengertian-pengertian yang terpisah untuk menghasilkan satu atau lebih pengertian baru tentang manusia. Pengertian baru itu, setelah mendapat resepsi publik akademik dan dibawa ke dalam aplikasi teoritis-lanjut, berubah menjadi simbol tertentu, yang bersama simbol-simbol antropologi teoritis lainnya menempati suatu orbit alias medan semantik dengan pusat genealogis yang tidak beranjak dari kedudukannya sebagai makna referensial.

Paul Ricoeur dan maha karyanya, Interpretation Theory dan Hermeneutics and the Human Sciences

Manusia-Pusat sebagai Metafor-Substitusi

Untuk memperkuat deteksi gramatologis, kerangka konseptual yang disumbangkan Teori Interpretasi Ricoeur akan sangat bermanfaat.[8] Teori ini menurunkan suatu pengertian khusus tentang simbol dalam relasinya dengan metafor dalam sistem penandaan linguistik. Sistem penandaan linguistik merupakan medan semantik di mana interpretasi berlangsung secara terus-menerus. Di dalam proses ini, simbol memainkan peranan yang tak sepele,  karena selain statusnya sebagai penanda, ia juga memiliki kapasitas atau momen metaforik yang memungkingkan tidak tuntasnya interpretasi. Jika simbol dimengerti sebagai penanda alias elemen linguistik yang mengacu pada sesuatu di luar dirinya, yakni petanda/makna referensial, maka besar kemungkinan pemahaman terhadap simbol ini  hanya untuk mendapatkan pengertian tentang logika formal dari sistem penandaan. Oleh karenanya untuk merapatkan pengertian formal dan pengertian reproduksi makna oleh permainan ragam simbol, dari yang disebutkan terakhir ditemukan kapasitas diferensiasi, yakni kapasitasnya untuk membedakan dan menggantikan penanda lain dalam relasi substitusi antara gramata sintagmatik.

Hal itu berarti karena dalam kenyataannya interpretasi tidak pernah tuntas dan wacana ilmu sosial-humaniora terus berkembang, maka sudah pasti simbol-simbol teoritis yang dipergunakan di dalamnya memiliki sifat metaforis, kemampuan untuk menyingkapkan tekstualitas manusia yang pelik, dan mendapatkan lebih dari satu pengertian baru dalam lingkaran hermeneutik antara pemahaman realitas dan penjelasan realitas. Sifat metaforis dari simbol literal, kata-kata dari leksikon ilmu sosial, akan menjelaskan keadaan dinamis dari permainan-bahasa ilmiah, membuka jaringan interpretasi atas interpretasi, memungkinkan adanya kritik terhadap kritik teoritis. Jika ditelusuri lebih saksama, maka akan didapat simbol-simbol reifikatif yang memuat pengertian baku tentang antropologi teoritis—konsep tentang manusia—yang langgam semantiknya dapat ditarik dari metafor dasar (root metaphor) sebagaimana terdapat dalam wiracarita atau narasi besar—grand narrative.

Menurut Ricoeur, dalam praktek penandaan atau interpretasi, simbol literal manusia menyembunyikan sifat referensial dari metafor dasar tersebut, sperti Raja, Bapak, Suami, Tuan, Penggembala, Hakim, Penebus dan juga Hamba yang menderita, tak berdaya dan tertindas.[9] Metafor dasar yang diambil dari domain simbolik manusia kultural/non-alam ini kemudian melalui suatu sejarah panjang penulisan metafisika, merembes masuk ke dalam konstruk-konstruk simbolik manusia teoritis. Meski dibakukan penalaran ilmiah, metafora dasar ini tidak lagi tersandera dalam wiracarita lama, teologi dan mitos, melainkan berlaku sebagai darah segar bagi interpretasi teoritis atas manusia-antropos. Bukan hanya sifatnya yang membuka horizon pengertian baru tentang manusia tetapi juga kapasitasnya melanggar batas antara fakta dan fiksi tentang manusia. Dengan melampaui tapal-batas retoris antara manusia-real dan manusia-ideal, simbol-simbol antropologi teoritis meninggalkan status semiologis formalnya dan mengubah teks-teks ilmu sosial-humaniora menjadi semacam antologi puisi yang mengandung dan melahirkan rangkaian tafsir dan kritik.

Bertolak dari penjelasan di atas, anggapan lama bahwa teks sastra ditandai kelimpahan makna, surplus of meaning, dan teks teoritis ditandai makna yang terbatas, restricted meaning, dapatlah digugat kembali.‘..Root metaphors scatter and assemble’, demikan tulis Ricoeur. Manusia arkaik, metafor dasar, menjadi sesuatu yang simbolik dan berkonteks dengan perubahan diri ke dalam metafor-metafor partikular alias simbol-simbol teoritis atau manusia konstruksi sosiologis tertentu. Akan tetapi pada saat bersamaan siap dibongkar kembali oleh penafsiran berikutnya, yang menunjukkan adanya momen non-semantik alias momen metaforik-subsitutif dari simbol. Dalam kegiatan penulisan, atau tekstualisasi manusia sebagai obyek penelitian, ilmuwan sosial-humaniora menggunakan logika simbol, yakni logika penandaan untuk menghasilkan pengertian tentang obyek tersebut, dan ini disebut logika korespondensi. Sebaliknya, ketika ilmuwan tersebut membuat intepretasi atau kritik atas teori sosial tentang antropologi teoritis tertentu maka sudah pasti yang dipergunakannnya adalah logika metafor dengan maksud mendapatkan perbedaan pengertian, dan ini disebut logika substitusi dalam suatu permainan interpretasi yang tak bertapal batas. Demikianlah kemudian bisa dipahami, Teori Interpretasi tidak segan-segan membongkar sifat puitik dari sistem penandaan ilmiah, di mana metafor ternyata menjadi salah satu tulang punggung reproduksi toori-teori sosial-humaniora tentang manusia dan domain simboliknya. Dalam rangkaian kalimatnya yang ringkas dan ketat, Ricoeur menulis: 

‘…the power of metaphor stems from its connection, internal to the poetic work,with three features: first, with other procedure of the lexis; second, with the fable, which is the essence of the work, its immanent sense; and third, with the intentionality of the work as a whole, that is, with its intention to represent human actions as higher than they are in reality—therein lies the mimesis. In this sense, the power of the metaphor arises from the power of the poem as a totality’. [10]

Haruslah ditekankan pula bahwa kapasitas Teori Interpretasi memperlihatkan sifat metaforik dari simbol-konstruksi teori atas manusia masih berada pada level teoritis, yakni interogasi atas metafora sebagai penjelasan tentang dialektika antara pemahaman dan penjelasan antropologi teoritis. Artinya, pemahaman (understanding) menjelaskan penerimaan terhadap simbol baku sementara penjelasan (explanation) memperlihatkan kemampuan ilmuwan menguraikan kebakuan atau keadaan reifikatif simbol melalui kreativitas metaforik dari interpretasi dengan tujuan mendapatkan pengertian baru sesuai dengan konteks sosiologisnya. Dengan dialektika dimaksudkan bahwa pikiran sang ilmuwan harus terlebih dahulu direcoki sejumlah konsep antropologi teoritis, lalu kemudian kreativitas interpretasinya atas fakta antropos teruji dengan dirumuskannya suatu model antropologis teoritis baru atau konsep manusia yang berbeda. Dengan itu terdapat dua kenyataan yang tidak dibahas secara tersurat oleh Teori Interpretasi. Pertama, keterikatan sang ilmuwan atau penafsir dengan diskursus keilmuannya dan kedua, sebagai konsekuensi, terkendalinya imajinasi sosiologis dalam eksplanasinya.

Selain yang telah disebutkan, di dalam Teori Interpretasi kritik simbol belum bergerak jauh menyelidiki determinasi Metafisika Kehadiran terhadap postulasi manusia-antropologi teoritis. Secara keseluruhan rehabilitasi terhadap metafora digiatkan sejauh tetap melayani keperluan sintesis antara pemahaman dan penjelasan. Di situ ada perandaian yang mirip dengan asumsi Teori Kritis, bahwa refleksi atas momen metaforik dari simbol berlangsung dalam suatu ketegangan permanen antara reifikasi dan emansipasi simbol ideologis, seakan-akan simbol literal dari sintaks dan leksikon ilmu sosial-humaniora berasal dari luar kintal sejarah Metafisika Kehadiran.[11] Ketegangan antara status dan peran simbol tampaknya diperlukan untuk menghasilkan interpretasi baru sebagai kritik terhadap simbol yang dianggap tradisional, atau dinilai sarat dengan isi rasionalitas instrumental. Akan tetapi, terlihat pula kritik yang demikian itu masih mengambil inspirasinya dari sumber semantik yang juga memberi kualitas konservatif kepada simbol-simbol tradisional yang diperkarakan. Kritik mengandaikan di dalam refleksinya suatu nilai yang hendak diperjuangkan, suatu inspirasi metafisis, yang oleh Derrida dibagi ke dalam sejumlah sebutan antara lain, eidos, arche, telos, energeia, ousia—esensi, eksistensi, substansi, subyek. 

Untuk mempertajam pemeriksaan terhadap teorisasi-konseptualisasi manusia, ada baiknya antropologi teoritis itu ditempatkan ke dalam suatu horizon penjelajahan gramatologis yang lebih luas. Di dalam horizon itu, sejarah konseptualisasi manusia secara teoritis, atau sejarah antropologi teoritis, sama tuanya dengan sejarah Metafisika Barat itu sendiri. Mengatakan secara langsung, antropologi teoritis merupakan tampilan-tampilan konseptual yang paling menonjol dari hegemoni sejarah metafisika Kehadiran dalam diskursus ilmu sosial-humaniora. Meski tampak sebagai sebuah diskursus yang mandiri dengan metodologi yang dibatasi sifat abstraksinya, ilmu tentang manusia ini diajak untuk menyimak kembali salah satu aspek fundamental dari keberlangsungannya, yakni konseptualitas manusia.

Konseptualitas manusia bersangkutan langsung dengan sejarah penulisan tentang manusia-antropos, sebuah sejarah unik yang barangkali lebih banyak diisi oleh laporan-loparan studi Antropologi-Etnologi sebagai tamasya renaisans ke dunia lain, dunia non-Barat. Demikianlah alasannya mengapa Derrida secara khusus menelusuri teks-teks antropologi kanonik seperti Triste Tropiques karya Levi-Strauss.[12] Bagi Derrida, ada suatu peristiwa menarik sekaligus fatal apabila uraian antropologis itu dicermati. Yakni berlakunya semacam aksioma teoritis bahwa kebudayaan tanpa tulisan adalah kebudayaan tanpa sejarah. Penulisan menjadi tolok ukur ada tidaknya suatu sejarah kebudayaan karena berlaku anggapan bahwa hasil-hasil penulisan dalam bentuk dokumen, artefak di dinding candi atau gua, wiracarita-epos tertulis, akan menjelaskan ada tidaknya pengetahuan kolektif suatu masyarakat, organisasi sosial, sistem politik, dan tata kelola sumber daya ekonomi. Singkatnya, ada perandaian yang kuat dipegang bahwa penulisan menghubungkan kebudayaan tersebut dengan evolusi kecerdasan manusia dan tingkat perkembangan masyarakat tersebut dalam komparasi skematis dengan rentang panjang sejarah pencapaian peradaban Barat.

Studi seperti ini didorong oleh suatu motif ideologis dengan orientasi etnosentrisme-rasisme yang kental Sejarah tulisan Barat yang kaya narasi sosial, ekonomi, politik dan teknologi dijadikan kerangka bawah-sadar penelitian ilmiah, meski dalam banyak kasus tak disadari ilmuwan-pelancong itu sendiri.[13] Alam kebudayaan lain dimasuki dengan semangat pencerahan, manusianya diceritakan sangat terkebelakang, belum mengenal ekonomi uang, dan struktuk sosialnya masih dibentuk oleh mitos dan karisma kepala suku. Orang-orang ini dianggap belum menaklukkan waktu dan ruang eksistensial mereka yang sangat tertutup dengan pesona mistis akan tanah kelahiran dan ritual kematian. Merek terjebak dalam waktu yang tidak sinambung, penanggalan yang diatur ritme mitos yang menari-nari, dan sulit dibayangkan ada sebuah masa depan dari masyarakat primitif seperti ini. Jika keadaan ini dibiarkan, maka naratologi evolusi sosial peradaban Barat akan kekurangan satu kategori pentingnya, yakni keuniversalannya. Makanya, demikian kritik Derrida terhadap Levi-Strauss, suatu pendidikan umum harus dimulai, semacam pelajaran mengenal bahasa modern yang tentu di dalamnya berisi aturan berpikir logis dan kode-etik.

Maksud kenabian ini berkerabat erat dengan rasisme cogito, fantasi akal murni, dari kebudayaan tulisan. Politik representasi atas manusia lain, sekaligus kolonisasi  kesadaran masyarakat non-Barat, berlangsung melalui barisan alfabet Latin, membentuk teks-teks kanonik yang ikut memberi isi konseptualitas manusia dalam cabang ilmu manusia lainnya.[14] Globalisasi kesadaran rasional menggerogoti dasar-dasar simbolis dunia mistis, hampir serupa daya gilasnya dengan penaklukan akal sehat terhadap kegilaan dalam terapi teologis Abad Pertengahan dan terapi psikologis selama masa renaisans atau perkembangan kapitalisme awal di Eropa sendiri.[15] Pelajaran tentang penulisan yang diberikan melalui pendidikan model Barat tidak dimaksudkan lagi untuk keperluan penjelasan-diri melainkan diputar haluan pedagogis untuk keperluan perubahan-diri sekaligus perubahan kebudayaan non-Barat.  Muatan pendidikan kemudian adalah norma, telos, dialektika, untuk transformasi  yang bersifat politis menuju suatu pusat ideologis tertentu. Pencapaian-pencapaian yang digalakkan dan diradikalisasi sedemikian rupa agar jarak tempuh antara kebudayaan tersebut dan peradaban Barat menjadi lebih ringkas. Sama seperti yang dilakukan Foucault, nalar rasis ini diproblematisasi Derrida, sebagaimana gugatannya terhadap sang legenda disiplin Antropologi, Levi-Strauss, yang sangat dipengaruhi semiologi Saussure, seperti tersurat dalam rangkaian kata-katanya berikut ini:

..if Levi-Strauss constantly recognizes the pertinence of the division between people with and people without writing, this division is effaced by him from the moment that one might etnocentrically wish to make it play a role in the reflection on history and on the respective values of cultures. The difference between people with and people without writing is accepted, but writing as the criterion of historicity or cultural value is not taken into account’.[16]  

Dengan berlakunya penulisan sebagai kriterium historisitas suatu kebudayaan dan model evaluasi nilai terhadapnya, konseptualitas manusia berbasis logosentrisme Barat juga terumuskan di dalamnya. Dari situ dikenal sekian nama manusia yang tidak ada lagi kaitannya dengan nama yang diberikan oleh kebudayaan asalnya, melainkan nama-nama antropos di dalam representasi tekstual, yakni antropologi teoritis. Sebutan-sebutan baru tersebut merupakan metonimia simbol-simbol semiologis yang dimungkinkan oleh suatu sintesis antara semesta antropos yang kosmis dan determinasi konseptual antropologi yang logis dan rasional terhadapnya. Akan tetapi karena habitatnya adalah teks literer, sukarlah untuk selalu ditetapkan bahwa sintesis itu murni hasil suatu percakapan dialogis dengan antropos. Dari sudut pandang gramatologi, lebih masuk akal kalau diterima sebagai rekaan suatu percakapan satu-arah dalam proses interpretasi yang bertitik tolak penulisan sebagai ukuran kualitas manusia dan perkembangan masyarakat. Karena itu, penting sekali menyimak model determinasi konsep sejarah-linear dari Metafisika Kehadiran terhadap konsep linearitas simbolik antropologi teoritis dalam sistem penandaan semiologis.

Pengertian konseptualitas manusia hendak menjelaskan suatu keadaan tentang selalu dapat dikonsepkannya antropos—manusia di luar representasi ilmiah. Keadaan ini tidak ada sangkut pautnya dengan korespondensi antara manusia yang diteliti dan manusia hasil tafsiran teoritis. Konseptualitas tersebut malah lebih bersangkutan secara langsung dengan suatu proyek raksasa metafisika yang menggiring antropos ke dalam kerangkeng simboliknya sendiri melalui suatu teknologi yang dingin, yakni semiologi tanda. Dengannya penulisan tentang manusia mengambil inspirasi nilai logosentris untuk membentuk ideal-types, konstruksi individualitas-kolektivitas dalam skema dan tipologi yang khas. Maksudnya adalah membagi semesta manusia ke dalam jenis tindakan,tujuan hidup, dan kesadaran. Pembagian kategorial tersebut, disadari atau tidak disadari, dikaitkan dengan sejumlah standar evaluasi yang memusat pada konsep besar seperti perkembangan dan krisis yang banyak ditentukan oleh mekanisme konseptualnya seperti konsep sistem dan konsep struktur.

Selalu saja berlaku perandaian aksiomatik bahwa kompleksitas suatu masyarakat berkaitan dengan sistem dan struktur sosialnya, yang di dalamnya mengemuka sekian kategori sistem dan struktur derivatifnya melalui hubungannya dengan abstraksi-abstraksi teoritis tersebut. Rupanya karena kanya dengan itu konseptualitas manusia bisa selalu berlangsung secara rutin. Karena itu, studi antropologi dan sosiologi, sekalipun juga melibatkan pertemuan langsung dengan manusia dan kebudayaan yang diteliti, tidak bisa menghindarkan diri dari penggunaan mekanisme konseptual yang disebutkan di atas, malah hanya dengan demikian, akan selalu diperoleh pengertian-pengertian baru tentang manusia dan kebudayaan lain, yang dikeliru dianggap penemuan historis.[17]

Apabila pemikiran gramatologis terus disimak, maka akan tampak suatu fakta, bahwa konsep sistem dan konsep struktur yang mengondisikan keberlangsungan konseptualitas manusia merupakan abstraksi-abstraksi yang inheren di dalam semiologi itu sendiri. Selain sebagai cara pikir yang khas dalam sejarah metafisika, semiologi sendiri menjadi semacam teknologi-makna, melaluinya hegemoni pengetahuan sosial-humaniora Barat selalu direproduksi. Di situlah arti penting gugatan Derrida yang tak henti-hentinya mempersoalkan penulisan sebagai kriterium kebersejarahan kebudayaan manusia. Semiologi bukan saja teknik menjaring realitas manusia dan menuliskannya kembali sebagaimana galibnya dianut, melainkan, terpenting lagi, sebuah medan semantik yang menganugerahkan ilmu sosial-humaniora suatu epistemologi pengetahuan. Termasuk di dalamnya sikap terhadap konsep subyektivitas dan obyektivitas yang diterima begitu saja melalui konsep refleksivitas—yang selalu dipercanggih dalam metodologi. Konsekuensinya, sifat akumulatif dari pengetahuan antropologis Barat sejak awal mustahil diperiksa semiologi. Malah sebaliknya, semiologi dalam prakteknya telah dan selalu memberi argumen yang masuk akal tentang bagaimana dan dari mana epistemologi pengetahuan sosial-humaniora itu terbentuk. Jawabannya, menurut Derrida, sudah tersedia di dalam cara kerja semiologi kesadaran yang rasis itu sendiri.

Seperti tersirat dalam penjelasan di atas, konseptualitas manusia selalu terbentuk dalam kultur percakapan dan penulisan semiologis. Dalam tulisannya berjudul ‘Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Science,[18] Derrida ingin menegaskan bahwa diskursus ilmu sosial-humaniora tidak habis-habisnya membahas manusia dan domain simboliknya  lebih dikarenakan suatu fakta yang mengundang kritik gramatologis: apa yang selalu beredar dari satu teks ke teks teoritis berikutnya adalah antropologi teoritis itu sendiri. Untuk itu diperlukan suatu dekonstruksi terhadap konstruk-konstruk manusia simbolik, semacam meditasi atas tanda semiologis ini. Antropologi teoritis dikatakan sebagai tanda bukan lagi karena kapasitasnya menunjukkan sesuatu di luar dirinya, melainkan bahwa sebagai tanda sudah termuat dalam dirinya suatu gambaran ideal, suatu petanda metafisis, suatu makna yang khas dari Logosentrisme Barat. Tanda itu, demikian bisa diikhtisarkan, seperti simbol Ricoeurian, tidak lagi cukup argumen kalau dijelaskan dari sudut pandang sebuah pusat, makna asasinya. Sifat metaforik atau kapasitas substitutifnya telah mengubah asumsi dasar tentang representasi kenyataan dalam epistemologi pengetahuan sosial-humaniora. Dalam arti, fakta antropologi teoritis yang terus dipergunjingkan dalam diskursus ilmu adalah fakta yang mengeras sebagai simbol gramatik sekaligus sebagai fakta yang meleleh sebagai metafor sintagmatik. Konseptualisasi dan representasi manusia kemudian ternyata hanya serangkaian permainan aktif di antara antropologi teoritis—antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi sosial, dan semua yang sangat mungkin disematkan sejumlah kriterium dari dalam perbendaharaan kanonik modernitas.

Di dalam teks-teks interpretasi yang kian menumpuk—laporan studi untuk kebijakan, buku dan jurnal publikasi akademik, jurnal populer, tesis, disertasi dan skripsi, artikel koran—antropologi teoritis mengekalkan dirinya sebagai sesuatu yang terus bergerak, dibongkar-pasang untuk melayani maksud menghasilkan suatu pengertian tertentu. Demikianlah dalam relasi penandaan gramatologis yang tidak berhingga tersebut, antropologi teoritis selalu mendapatkan performativitas linguistiknya, lintas-bahasa nasional, tidak menetap di teritori manapun, karen ia sendiri, penanda-petanda semiologis ini, sudah menempati teritori simboliknya, tempat di mana ia akan selalu memberi makna dan dimaknai kembali. Jika demikian kenyataannya, maka antropologi teoritis tidak lagi melesatkan pengertiannya sebagai pengetahuan yang akan membangun relasi identitas-refleksi-korespondensi dengan manusia-antropos, akan tetapi menjadikan dirinya pengetahuan sebagai penilaian yang benar tentang manusia-antropos semata.[19]  

Penggalan kalimat terakhir di atas hendak menegaskan dominannya kapasitas persuasi dari antropologi teoritis ketimbang kapasitasnya mendemostrasikan fakta. Dalam sikap linguistik tradisional, tanda adalah simbol literal yang mati karena di situ berlaku suatu dugaan bahwa ada pusat makna yang mengorientasikan dan menjaga keseimbangan reflektif antara tanda dan apa yang diacunya. Sikap ini pun berlaku juga dalam usaha sebuah teori sosial-humaniora menjaga batas-batas interpretasi ilmiah. Dengan sistem penandaan ilmiah, sebuah interpretasi dimungkinkan sebagai permainan-tanda yang kreatif—creative play of signs. Akan tetapi berlaku pula perandaian tentang struktur penandaan yang menyiratkan adanya sebuah pusat pengendalian, keseimbangan dan orientasi dengan maksud permainan-tanda menjadi lebih disiplin alias terbatas—restricted play of signs. Besar kemungkinan penyiratan asumsi dasar tentang sistem dan struktur semacam ini kemudian bertanggung jawab terhadap langgengnya konseptualitas manusia pada tingkatan diskursus ilmu sosial-humaniora. Adapun resiko cara pandang lama sebagai berikut, dengan sistem kita memahami interpretasi sebagai proses penemuan pengertian baru antropologi, sementara dengan struktur pengertian baru itu selalu terikat kepada pusat makna, yang ideal. Jadi bisa dikatakan, pada tingkatan diskursus ilmu, variasi jenis antropologi teoritis merupakan barisan nama lain dari antropologi Barat—ideal type—yang sudah terlebih dahulu menempati teks-teks referensial-kanonik sebelum akhirnya dibangkitkan kembali melalui permainan-tanda alias interpretasi inferensial dalam berbagai tindakan interpretasi.

Manusia-Pusat sebagai Fungsi atau Non-Locus  

Tentu diperlukan suatu imajinasi gramatologis untuk sepenuhnya memahami variasi jenis antropologi teoritis sebagai metonimia. Menyimak kembali garis besar pemikiran Derrida, keadaan substitusi dari tanda sebenarnya paling bertanggung jawab atas munculnya nama-nama antropologi teoritis tersebut. Sambil menentang sikap kebahasaan tradisional, Derrida mengajak kita memikirkan pusat sebagai fungsi, bukan sebagai lokus. Fungsi mengartikan sebuah strategi atau taktik interpretasi. Karena itu pusat adalah sebuah jaringan, suatu kondisi bagi tafsiran terus-menerus, suatu konseptualitas yang horizontal.[20] Dengan pengertian pusat sebagai non-lokus, interpretasi berlaku sebagai penjabaran arti manusia dalam sekian ragam metonimia. Itulah alasannya mengapa substitusi-tanda terus berlangsung untuk mengisi kekosongan pusat makna tunggal—empty signifier-signified.  Jika tidak demikian, maka sebuah pertanyaan bisa menjadi sangat tidak menarik seperti ini: mengapa interpretasi atas manusia tidak pernah tuntas memberi keterangan yang paling sempurna?!

Pertanyaan itu mengandaikan adanya asal-usul nilai dan hakikat otentik manusia dan domain simboliknya. Tentu saja dengan itu melupakan kenyataan bahwa justru karena adanya kekosongan di pusat makna makanya intepretasi ilmiah itu menghasilkan sekian banyak antropologi teoritis. Demikianlah Derrida mengajukan sebuah revaluasi konseptual terhadap pusat makna, Logosentrisme Barat, dalam rangkaian kalimatnya berikut ini:

‘…Henceforth, it was necessary to begin thinking that there was no center, that the center could not be thought in the form of a present-being, that the center had no natural site, that it was not a fixed locus but a function, a sort of non-locus in which an infinite number of sign-substitution came into play. This was the momen when language invaded the universal problematics, the moment when, in the absence of a center or origin, everything become discourse (…) the absence of the trancendental signified extends the domain and the play of signification infinitely’.[21]  

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, ajakan Derrida untuk merevaluasi hakikat makna transendental yang berdiam dalam representasi linguistik, membutuhkan suatu imajinasi yang membawanya ke dalam kritik etnosentrisme Barat yang sekian lama mendasari penulisan tentang manusia dalam ilmu sosial-humaniora. Makna transendental dari antropologi etnosentris Barat pun dalam pengertian ini adalah sesuatu yang absen—jika pun diperiksa kembali secara sosiologis dan historis. Matriksnya tetaplah sebuah nilai yang secara terus-menerus membutuhkan penyingkapan tanda-tanda. Mengatakan sebagai sesuatu yang absen berarti, sebagaimana kenyataannya, memahaminya sebagai cita-cita. Tentu sebagai cita-cita yang menuntun proyek modernitas Kritik-Ideologi, nalar skolastik dan kesadaran semiologis pada umumnya.

Sifat rasis dari antropologi teoritis tentu juga tidak mengacu pada sekelompok ras tertentu, dalam hal ini masyarakat Eropa. Sifat itu lebih banyak memuat keterangan mengenai suatu era transendentalisme dan metafisika baik di dalam filsafat maupun ilmu, suatu rentang waktu dari hegemoni representasi—suatu sejarah makna. Selain itu, rasisme antropologi teoretis dapat pula dimengerti melalui usahanya menemukan performativitas-performativitas  dalam kerja ilmu, katakanlah, aktualitas di tempat mana pun juru bicara profesionalnya bersaksi dan kaki-tangan teknokratiknya bernubuat. Kebertubuhan dalam sejarah makna adalah kekerasannya sebagai norma di dalam politik representasi realitas. Ia mengabaikan resistensi realitas, karena padanya sudah terpatri suatu realitas bandingan, yang terbentuk melalui proses panjang difference-differance. Kekuatan dari rasisme simbolik adalah kapasitas denominasi, kemampuan menamai yang lain, power of naming the other, dengan kata lain, sifat rasis antropologi teoritis balik memberi kekuatan mistis kepada teori pengetahuan-epistemologi, yang mengubah misteri alam menjadi pesona rasionalitas.

Akan sangat kentara suatu pemikiran yang miskin imajinasi apabila etnosentrisme antropologi masih dikira terbenam dalam kata-kata tekstual sementara ruang percakapan yang dibuka ilmu sosial kritis untuk dirinya dan manusia dianggap sudah berhasil menyingkirkan distorsi ideologis—ideologi pencerahan. Ketika ruang komunikasi itu dibuka dengan kesadaran semiologis, maka segera pula ia ditata kembali menurut norma semiologi itu sendiri. Jika pun ada sebuah tujuan yang hendak dicapai, maka musyawarah itu tidak lagi memikirkan perbedaan pendapat dan pengalaman makna. Yang dipentingkan adalah adanya alasan bermusyawarah, komunikasi dengan rasionalitas-bertujuan mufakat.[22] Justru terdapat tendensi yang kuat bahwa antusiasme yang diperoleh dari kebiasaan rutin menghafal isi proposisi antropologis dari sebuah kalimat tekstual sebagai locutionary act, akan menghasilkan suatu ekspresi yang lebih bersemangat dalam pengalaman percakapan. Karena di dalam perbincangan langsung, pemahaman terhadap suatu pernyataan antropologis-berbasis subyek lebih banyak ditentukan oleh retorika, gestur dan modalitas kuasa sang penutur-modalitas kuasa versi semiologi. Hal ini tentu berpengaruh secara langsung kepada illocutionary act and perlucotionary act—atau diterjemahan sebagai impresi dan instruksi.[23] Kenyataan seperti ini dapat berlangsung di dalam berbagai ruang simbolis-semiologis,  seperti dalam ruang kuliah, ceramah, seminar, diskusi buku, penataran, atau ruang pelatihan peningkatan kapasitas ‘SDM’. Model percakapan semiologis memiliki struktur perbincangan dengan pusat proposisi maupun non-proposisi, yakni pusat ide, atau maksud perbincangan, pembicara utama, ekspektasi, dan suasana percakapan yang terkendali.

Uraian di atas mau menegaskan kembali bahwa etnosentrisme antropologi teoritis justru membuka kembali kemungkinan-kemungkinan wacana tentangnya. Ia dapat menerbitkan suatu selera massa, tidak hanya karena pesona rasionalitasnya di dalam teks-tulisan, melainkan karena daya seduksinya melalui penampakan-penampakan yang memikat di dalam percakapan. Karena percakapan adalalah peristiwa makna maka tentu percakapan itu sendiri adalah sebuah teks terbuka, tempat di mana antropologi teoritis berusaha menjalin uraian-diri sejelas mungkin. Artinya, antropologi teoritis mendapatkan tekstualitas dirinya, tidak hanya melalui konseptualitasnya sebagai simbol literal untuk pemaknaan diri dalam bahasa tulisan, tetapi juga meniscayakan tekstualitasnya sebagai simbol persuasi untuk perubahan diri di dalam bahasa percakapan. Dalam totalitas permainan seperti demikian, hegemoni antropologi teoritis berlangsung dalam dua jenis pengalaman manusia semiologis yang khas; pertama, sebagai simbol pemahaman manusia untuk kenikmatan nalar teoritis dan kedua, sebagai model tindakan untuk kebahagiaan nalar praktis. 

Kenyataan seperti ini secara langsung mendorong munculnya pertanyaan mendasar tentang bagaimana makna antropologis terbentuk dalam suatu pengalaman sosial yang lebih luas. Sama halnya dengan revaluasi atas metafisika antropologis di dalam penjelasan gramatologis, antropologi itu dapat dimengerti sebagai sesuatu yang arbiter dalam pengertian kritik Baudrillard  terhadap kritik komoditas yang dilakukan Marx.[24] Baudrillard sepakat bersama Derrida bahwa yang seharusnya diproblematisasi bukan lagi kesadaran palsu dan fetisisme, melainkan inspirasi metafisis di balik proyek filosofis-teoritis yang mengatasnamakan suatu pembelaan terhadap kesadaran murni-refleksif dan fungsi primordial benda-benda atau nilai-guna. Metafor fetis itu sendiri patut dicurigai mengingat asal-usulnya yang rasis, terikat secara historis pada suatu motif penyebaran norma kekristenan dan ideologi humanis.[25] Melalui antek-antek kolonial, etnolog terpelajar, dan tentu para misionaris kristen, konsep fetis terumuskan sebagai sebuah kritik renaisans terhadap ritual pemujaan benda-benda alam dalam masyarakat non-Barat. Makanya, besar kemungkinan perumusan suatu antropologi teoritis ideal banyak berkaitan dengan sudah ditemukannya secara etnologis suatu penanda tak ideal, dan dari situ pula secara genealogis diketahui adanya ketakutan rasionalitas Barat akan bahaya kesadaran palsu yang menurut Marx disebabkan sifat mistis komoditas sebagai hasil hasil relasi produksi dalam kapitalisme. 

Kritik-Ideologi pun ikut mengambil inspirasi dari semangat renaisans kristen dan etnologi Barat pada abad ke-18. Dengan terus berlakunya metafora fetis dalam suatu interpretasi teoritis maka suatu teori tentang kritik ideologi akan terus direproduksi, karena dinamika semangat humanisme yang rasis ini terhubung secara tersirat dengan ketidakbersudahan mistifikasi dunia kehidupan dan reifikasi kesadaran yang juga adalah ilustrasi kenyataan interpretatifnya sendiri. Alienasi harus diandaikan ada, makna asli terasing dari habitatnya, roh terpisah dari tubuhnya sendiri, agar dengan itu suatu proyek apropriasi bisa berjalan dengan logik penandaan semiologis. Juga agar sebuah teori kritik-ideologi menemukan distorsi-distorsi faktual yang bisa dibawa ke dalam deliberasi skematis-Kantian.

Dengan metafora fetis, sebagai sebuah tilikan gramatologis, sudah dipastikan suatu konsep manusia rasionalis-komunikatif akan merebut kembali kedaulatan kesadarannya, meski tidak semenarik cara antropos ‘tak rasional’ non-Barat mengekalkan kesewenangannya dalam labirin simulasi tanda-tanda primordial. Tiap–tiap teori tentang ideologi menyerahkan dirinya kepada penyiratan-penyiratan ideologis lain. Artinya, teori-teori tersebut selalu berangkat dari mistifikasi terhadap yang ideal dengan siasat membongkar fetisisme dengan cara rasional dalam representasi semiologis. Sekali lagi, sama seperti Derrida, Baudrillard menyimak dalam teori sosial-humaniora kritis adanya tendensi naturalisasi terhadap kesadaran rasional, terhadap nilai-guna, dan terhadap instrumentalitas penanda.

Romantisme ini mengambil inspirasi teoritisnya dari Metafisika Kehadiran, di mana diandaikan ada sebuah pusat yang mengontrol dan meregulasi makna tiap-tiap penanda. Teori-teori yang dibentuk dan berkembang biak dengan arahan metafisika akan sangat bertenaga melontarkan kritik terhadap apa yang didefinisikannya sebagai sistem sosial represif, sistem politik otoritarian, dan seterusnya, dan sekaligus melupakan kenyataan represi dan otoritarianisme makna-ideal terhadap penanda-penanda semiologisnya sendiri. Bahwa lontaran kritik itu hanya mungkin terjadi karena kesewenang-wenangan tanda-simbol teoritis yang digunakannya melalui gramatika dan sintagmatika tekstual atas realitas sosial dan manusia dalam domain simbolik yang berbeda. Mengatakan dengan kalimat lain, totalitas peleburan komunitas primitif kepada kuasa dan pesona alam sama persisnya dengan totalnya penyerahan diri komunitas ilmu sosial-humaniora modern kepada hegemoni tanda-tanda kebudayaan semiologis itu sendiri—tentu berlaku pula untuk kepasrahan diri yang akut para teoritisi kritik-ideologi kepada simbol-simbol antropologi teoritis-ideal.

Hal itu berarti obyektivikasi dan naturalisasi makna ke dalam tanda merupakan keniscayaan kerja kritik-ideologi itu sendiri. Teori seperti ini dibangun melalui suatu pelupaan yang akut terhadap berlangsungnya reifikasi makna ke dalam tanda-tanda semiologis, simbol-simbol literal yang dipergunakannya sendiri. Seakan-akan sang ilmuwan-penulis-penafsir masih diberkahi dengan kedaulatan transendennya, dan seakan-akan kata-kata masih setia sebagai perkakas di dalam sistem penandaan linguistiknya. Leksikon ilmu sosial-humaniora, misalnya, berisi kata-kata yang bahkan arti leksikalnya sudah sangat konotatif; apalagi bila kata-kata tersebut disusun dalam suatu naratologi teoritis, niscaya akan menghasilkan suatu medan semantik yang tumpah-ruah. Dengan semangat metafisika, suasana keberlimpahan makna ini tampak bisa dikendalikan untuk suatu maksud pemahaman tertentu, tetapi tidak akan bertahan lama karena di hadapan pembaca teks, penanda-penanda semiologis tersebut memecah-belah maksud pengarang dengan akibat lahirnya tafsir, kesalahpahaman dan tentu saja kritik-teori. Kesadaran semiologis menyebabkan keadaan seperti itu dan mati-matian berikhtiar menaklukkannya atau mengendalikannya meski tidak akan pernah berakhir.

Demikianlah kesadaran semiologis memuat paradoksnya sendiri. Simbol-simbol literal berubah menjadi segerombolan teroris yang tak memihak siapa pun—subyek semiologis—dan juga tidak melayani satu-satunya pusat terorisme makna, Metafisika Kehadiran. Mereka malah balik menekan, mengancam dan membatalkan motif-motif metafisika, motif pengaturan waktu melalui konsep sejarah linear dan motif pengaturan ruang melalui konsep hierarki-nilai. Keadaan ini mengubah metafisika dari norma bagi sejarah makna menjadi fabel bagi kesewenangan tanda-tanda gramatologis. Karena tidak adannya sikap gramatologis, kesadaran selalu saja menjelma sebagai ruang terbuka bagi reifikasi makna antropologi transenden, kebudayaan pun menjadi semesta komoditas, dan diskursus teori sosial-humaniora menjadi forum percakapan metonomia antropologi teoritis. Menuntaskan sesi tentang revaluasi tanda, Baudrillard mengisyaratkan suatu pemberontakan atau revolusi penanda yang mengguncang semiologi dan mustahil dipahami kesadaran semiologis itu sendiri:

‘…As the functional and terrorist organization of the control of meaning under the sign of the positivity of value, signification is in some ways kin to the notion of reification. It is in the locus of an elemental objectivication that reverberates through the amplified systems of signs up to the level of the social and political terrorism of the bracketing of meaning. All the repressive and reductive strategies of power systems are already present in the internal logic of the sign, as well as those of exchange value and political economy. Only total revolution, theoretical and practical can restore the symbolic in the demise of the sign and of value. Even signs must burn’.[26] 

Uraian di atas hendak menegaskan suatu hubungan pengertian yang tidak putus antara koseptualitas antropologi teoritis dan komodifikasi komoditas. Keduanya, model substitusi dan model simulasi, kemudian mempengaruhi kemelut kesadaran semiologis dalam ragam diskursus pengetahuan tentang kebenaran dan kebahagiaan. Di dalam diskursus tentang pengetahuan yang benar, percakapan dan penulisan antropologi teoritis berubah menjadi serangkaian suplementaritas yang tak habis-habisnya, bukan lagi dalam artian menjelaskan fakta atau eksistensi antropos-manusia, melainkan lebih sebagai ritual interpretasi wiracaritas-epos manusia, interpretasi atas interpretasi antropologi sosial-humaniora.[27] Demikian halnya di dalam diskursus tentang komodifikasi komoditas, nilai-guna—use value—sebagai wiracarita kerja murni memberi inspirasi bagi ketakbersudahan proyek menggagalkan kesewenang-wenangan rantai komodifikasi tersebut. Kesadaran semiologi tidak pernah kehabisan akal, meski pusat makna sudah kehilangan kendali magisnya. Seperti komoditas bagi konsumsi, demikian pula antropologi teoritis bagi interpretasi berbasis semiologi.

Keberlimpahan makna semantik dalam narasi ilmiah mengundang suatu perhatian baru mengenai subyektivitas kesadaran. Barangkali lebih masuk akal memikirkan subyektivitas sebagai hasil permainan simbol-simbol antropologi teoritis ketimbagan sebagai denominator bagi yang disebut terakhir. Refleksi radikal atas semiologi kesadaran, melalui pemeriksaan manusia konstruksi teoritis, akan terbebas dari kritik kesadaran semiologis jika dimulai dengan suatu deliberasi gramatologis terhadap kemungkinan untuk selalu terjebak ke dalam etnosentrisme antropologis. Dengan dipergunakannya dekonstruksi gramatologis, metonomia subyek—seperti pengarang, pencipta, produsen—mengungkapkan relasinya dengan sebuah tradisi makna tertentu, warisan semangat sebuah kultur yang cenderung mengaitkan makna pada kesadaran transenden, kebahagiaan pada cinta sejati, dan kebenaran yang terbit di ufuk akal murni.

Keseluruhan penjelasan dalam sesi ini menegaskan bahwa bukanlah pusat makna transendental dari rezim logosentrime Barat yang mengendalikan dan memungkinkan keberlangsungan kerja representasi dalam interpretasi berbasis semiologi. Sebaliknya, keberlangsungan tanpa henti itu dimungkinkan oleh peran penanda-antropologi teroritis, bukan sebagai pusat, tetapi karena perannya sebagai metafor-substitusi dalam interpretasi dan perannya sebagai fungsi atau non-locus dalam representasi. Kedua sifat atau peran tersebut, baik pada logik komodifikasi komoditas maupun pada selalu terkonseptualisasinya manusia-antropos, merentangkan sebuah sejarah makna yang terus melampaui batas-batasnya sendiri. Sepanjang sejarah percakapan dan penulisan semiologis terdapat sebuah barisan tautologi antropologi—signifiers signifying signifiers, demikianlah maksim populer dari gramatologi. Menyimpulkannya sebagai ilusi, tentu bukan karena simbol-penanda semiologis ini menyembunyikan kontradiksi logis dari strukturasi atau strukturalitas pengetahuan semiologis terhadap manusia-antropos, melainkan sepenuhnya karena tautologinya—perilakunya sebagai simulakrum—menyingkirkan klaim subyektivitas murni dari percakapan dan penulisan tentang manusia dan domain simboliknya. Oleh karena kemurnian subyektivitas itu tidak lain adalah gejala alienasi yang inheren di dalam kesadaran semiologis, maka neologisme tentang manusia metaforis-fungsional dalam teori sosial-humaniora tidak henti-hentinya bersilang pendapat untuk mengembalikannya kepada kemungkinan sejarah penyingkapan tanpa representasi, yang populer dinamakan praxis modernitas paripurna yang dikutuk untuk selalu berlaku sebagai ilusi, fantasi, norma dan cita-cita.

Bibliografi

Jacques Derrida, Of Grammatology (Baltimore: the John Hopkins University Press, 1976)

Jacques Derrida, Positions (Chicago: the University of Chicago Press, 1978)  

Jacques Derrida, Speech and Phenomena (Evanston: Northwestern University Press, 1973)

Jacques Derrida, Writing and Difference (Chicago: The University of Chicago Press, 1976)

Jacques Derrida, Dissemination (London: the Athlone Press, 1981)

Jacques Derrida, Margins of Philosophy (Chicago: the University of Chicago Press, 1982)

Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (Illinois: Open Court Publishing Company, 1989)

Claude Levi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963)

Paul Ricoeur, Interpretation Theory (Texas: the Texas Christian University Press, 1976)

Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981)

Jurgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: The MIT Press, 1990)

Jurgen Habermas, ‘Modernity: an Unfinished Project’, dalam M Passerin

Jurgen Habermas, Communication and the Evolution of Society (Boston: Beacon Press, 1979)

Jurgen Habermas On the Logic of the Social Sciences (Cambridge: MIT Press, 1988)

Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action. Volume I: Reason and Rationalization of Society (Boston: Beacon Press, 1984)

D’Entreves dan Seyla Benhabib (ed), Habermas and the Unfinished Project of Modernity (Cambridge: Polity Press, 1996)

Michel Foucault, Discipline and Punish: the Birth of Prison (New York: Vintage Books, 1979)

Michel Foucault,  Psychiatric Power (New York: Palgrave MacMillan, 2006)        

Michel Foucault, ‘The Subject and Power’, dalam Critical Inquiry, 8 (Summer, 1982), hal. 777-795

Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lecture at the College de France 1975-76 (New York: Picador, 2003)

Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (New Jersey: Princenton University Press, 1980)

Raymond Geuss,  The Idea of a Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1981)

Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relations (Chicago: the University of Chicago Press, 1970)

Talal Asad (Ed), Anthropology and the Colonial Encounter (London: Ithaca Press, 1973). 

Edward Said, Orientalism (London: Penguin Books, 1978)

Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princenton: Princenton University Press, 1996)

 Samuel Hanneman, ‘The Making of Indology: Orientalism in Colonial Relation’, dalam Jurnal Masyarakat, Lab Sosio UI, Edisi No. 10, (2002)

Gilles Deleuze dan Felix Gauttari, A Thousand of Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (London: University of Minnesota Press, 1987)       

J.L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge: Harvard University Press, 1975)

Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of Sign (St. Louis: Telos Press, 1981)


[1] Dalam pembukaan karangannya berjudul ‘What is Universal Pragmatics’, Jurgen Habermas menulis dengan sangat jelas dan ringkas: ‘…The task of Universal Pragmatics is to identify and reconstruct universal conditions of possible understanding (verstandigung). Lihat karyanya Communication and the Evolution of Society (Boston: Beacon Press, 1979), hal. 1-66. Bandingkan pula ulasannya ‘Sociology as Theory of the Present’ dalam karyanya On the Logic of the Social Sciences (Cambridge: MIT Press, 1988), hal. 171-188. Bandingkan pula dengan kritiknya terhadap epistemologi berbasis-subyek, Bab XI ‘An Alternative Way Out of the Philosophy of the Subject: Communicative versus Subject-Centered Reason’, dalam The Philosophical Discourse of Modernity Cambridge: The MIT Press, 1990), hal. 294-326             

[2] Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan epistemologi dan hermeneutika, berikut dikutip penjelasan ringkas yang dikemukan Richard Rorty: ‘..For hermeneutics, to be rational is to be willing to refrain from epistemology—from thinking that there is a spesial set of terms in which all contributions to the conversation should be put—and to be willing to pick up jargons of the interlocutor rather than translating it into one’s own. For epistemologi, to be rational is to find the proper set of terms into which all the contributions should be translated if agreement is to become possible’. Lihat, Philosophy and the Mirror of Nature (New Jersey: Princenton University Press, 1980), hal. 318    

[3] Rorty, Ibid.

[4] Untuk keperluan pembacaan lanjut mengenai epistemologi Teori Kritis Habermas, lihat Raymond Geuss, The Idea of Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), hal. 88-95

[5] Lihat, Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relations (Chicago: the University of Chicago Press, 1970), hal. 278-9

[6] Lihat Alfred Schutz, ibid., hal. 270

[7] Sekali lagi ditekankan bahwa dari jurusan pembacaaan gramatologis, teori-teori tersebut memiliki tipikal fundasionalnya pada Metafisika Kehadiran, yakni representasi. Bukan suatu kebetulan jika teori-teori tersebut membawa semangat partisipasi dan emansipasi; juga bukan pula suatu kebetulan jika politik represenasi memuat klaim-klaim nilai universal. Itulah norma yang memberi representasi semacam orientasi nilai humanisme Barat, suatu aliran nilai transendentalisme yang bercokol dalam konsep tentang Pengetahuan dan Teknologi Sosial, dalam Idealisme dan Realisme. Untuk kebutuhan pemahaman akan kerangka Teori Interpretasinya, lihat karya Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and Surplus of Meaning (Texas: the Texas Christian University Press, 1976). Uraian terperinci tentang metafor dan simbol dapat dibaca pada Bab 3 ‘Metaphor and Symbol’, hal. 45-69   

[8] Lihat Paul Ricoeur, ibid., hal. 63-4

[9] Lihat Paul Ricoeur, ibid., hal. 64

[10] Kutipan tersebut diambil dari karyanya yang lain, Hermeneutics and the Human Sciences, dalam sub-judul ‘Metaphor and the Central Problem of Hermeneutics’ (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), hal. 180   

[11] Lihat Paul Ricoeur, ibid., sub judul ‘Hermeneutics and Critique of Ideology’, hal 63-100

[12] Lihat Jacques Derrida, Of Grammatology (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1976), hal. 101-18

[13] Rasisme semiologi atau Metafisika Kehadiran juga dikupas tuntas oleh Michel Foucault. Khusus mengenai kemunculan ras, Race, sebagai kategori-ideal Eropa pada abad ke-19 di Eropa sendiri. Bagi Foucault, munculnya Ras Eropa sebagai ras unggul adalah bagian integral dari menggantikan agama, religion, sebagai kategori-ideal. Perkembangan ilmu alam, dalam hal ini Biologi, memberi fundasi rasis bagi kolonisasi dua arah yang saling terhubungkan. Pertama, kolonisasi rasial terhadap Eropa, atau rasialisasi terhadap Eropa, yang memuncak pada disintegrasi Eropa melalui Holocaust dan ekspansi imperium Jerman yang berakhir dengan kehancuran Eropa oleh Perang Dunia ke-2. Kedua, kolonisasi dunia non-Barat, khususnya Asia, Afrika dan Amerika Latin. Lagi-lagi dalam imperialisme Eropa ini rasisme menjadi ideologi, atau intisari Metafisika Kehadiran melalui kolonialisme, membagi Timur dan Barat, sekaligus menciptakan dan menjaga tatanan struktur dan sistem ekonomi-politik kolonial berdasarkan garis rasial dan suku (indigenous, native, coloured). Rasialisasi dunia-kehidupan ini, di Eropa dan di koloni-koloni luar Eropa, sesungguhnya memperlihatkan pergeseran fundamental konsep kekuasaan di Eropa sendiri, dari kekuasaan terpusat berbasis paradigma kedaulatan menjadi kekuasaan yang berbasis paradigma kontrol atas kehidupan, atau biopolitics. Rasisme adalah manifestasinya yang paling telanjang, eksemplar biopolitik par excellence. Lihat uraian lengkapnya dalam Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lecture at the College de France 1975-76 (New York: Picador, 2003). Lihat khusus uraiannya pada materi kuliah ke-8, 17 March 1976, hal. 239-264                                 

[14] Terdapat sejumlah karya-karya utama yang memperlihatkan cara kerja Metafisika Kehadiran yang rasis di dalam periode panjang kolonialisme-imperialisme Abad ke-19 dan awal Abad ke-20. Bisa dirujuk  Talal Asad (Ed), Anthropology and the Colonial Encounter (London: Ithaca Press, 1973).  Lihat uraian khusus Talal Asad ‘Two European Images of Non-European Rule’, hal 101-118. Dalam uraian ini Asad memperlihatkan dua jenis pendekatan disiplin antropologi yang mengkonstruksi manusia dan masyarakat non-Barat, pertama, Functional Anthropology yang menciptakan hegemoni representasinya melalui African Studies selama satu abad, dan kedua, Orientalism sebagai studi Islam (Islamic Studies) yang mengkonstruksi Islam dalam representasi teoritisnya. Kedua pendekatan ini merupakan bagian integral dari ideologi rasisme Metafisika Kehadiran, berlaku sebagai teknologi reproduksi makna antropologi teoritis, melanggengkan kekuasaan ekonomi-politik kolonialisme. Untuk memperkaya studi sejenis, baca Edward Said, Orientalism (London: Penguin Books, 1978); baca juga Mahmood Mamdani, Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism (Princenton: Princenton University Press, 1996); Ilustrasi tentang kerja representasi pengetahuan kolonial di Indonesia, baca Samuel Hanneman, ‘The Making of Indology: Orientalism in Colonial Relation’, dalam Jurnal Masyarakat, Lab Sosio UI, Edisi No. 10, (2002), hal.3-32                

[15] Bandingkan konstruksi kegilaan, madness, yang dilakukan Metafisika Kehadiran dalam teknologi politik kontrol populasi dan lahir-berkembangnya penjara, rumah sakit jiwa dan khususnya disiplin Psikologi, Psikoanalisis dan Psikoterapi di Eropa pada abad ke-19 sampai abad ke-20; baca Michel Foucault, Discipline and Punish: the Birth of Prison (New York: Vintage Books, 1979), Psychiatric Power (New York: Palgrave MacMillan, 2006)        

[16] Jacques Derrida, ibid., hal 121; untuk perbandingan, baca Claude Levi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963)

[17] Di situlah letak kesalahpahaman umum yang melihat bukti tafsir arkeologis, antropologis dan sosiologis sebagai suatu penemuan, dan melupakan bagaimana pemahaman itu adalah hasil interpretasi alias konstruksi teori berbasis semiologi.

[18] Tulisan ini adalah salah satu topik khusus dalam karya monumentalnya Writing and Difference (Chicago: the University of Chicago Press, 1978), hal., 278-93 

[19] Bandingkan, Richard Rorty, op.cit., hal. 144

[20] Konsep antropologi teoritis, bukan sebagai pusat, melainkan fungsi atau non-locus, memiliki kesamaan pendasaran epistemologis dengan konsep manusia-subyek yang dikembangkan Michel Foucault. Manusia dalam discourse, atau cara kerja representasi raksasa, dapat berlaku sebagai subyek (subject), obyek (object) dan diri (self), yang menyingkapkan rangkaian fungsi yang diperankan antropos dalam kerja gramatika dan sintagmatika, dalam representasi, dalam wacana. Baca Michel Foucault, ‘The Subject and Power’, dalam Critical Inquiry, 8 (Summer, 1982), hal. 777-795. Bandingkan juga konsep subyek-rhizomeschizophrenia, yang dikemukakan Gilles Deleuze dan Felix Gauttari dalam A Thousand of Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (London: University of Minnesota Press, 1987)              

[21] Jacques Derrida, op.cit., hal. 280

[22] Lihat kritik Richard Rorty terhadap fundasionalisme di dalam teori Komunikasi-Aktif Habermas, op.cit., hal 279-89 

[23] Untuk pemahaman lebih lanjut mengenai tiga aspek kunci dalam tindakan percakapan (speech-act), lihat J.L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge: Harvard University Press, 1975). Lihat uraian khusus ‘Lecture IX’, hal. 109-120; lihat juga ‘Lecture X’, hal., 121-132    

[24] Bagi Baudrillard, konsep komoditas Marx sejak awal terjebak dalam filsafat penandaan-naturalisasi dengan akibat konsep tersebut masih berurusan dengan idealisme-petanda (idealism of the referent). Ini terjadi karena, mengikuti tilikan gramatologis, kritik Marx terhadap komoditas adalah kritik terhadap keabstrakan dan kesewenangan tanda-komoditas atas nama realitas konkrit—benda bernilai-guna. Lihat karya pentingnya Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of Sign (St. Louis: Telos Press, 1981), hal. 160   

[25] Lihat penjelasan terperinci Baudrillard dalam Bab 3, ‘Fetishism and Ideology: the Semiological Reduction’, ibid., hal. 88-101  

[26] Jean Baudrillard, ibid., hal 163

[27] Untuk uraian lengkap mengenai suplementaritas bisa ditemukan dalam karyanya Writing and Difference, hal. 289-93. Lihat pula uraian detil dalam ‘From/Of the Supplement to the Source: The Theory of Writing’, dalam karyanya Of Grammatology, hal. 269-316