Politik gerakan sosial semakin penting dalam dinamika hubungan negara dan masyarakat saat ini. Dalam konteks transisi geopolitik terkini menuju tata-dunia multipolar peran negara semakin diperkuat terutama dalam kelola sumber daya alam, pangan dan teknologi. Fenomena ini menghadirkan tantangan tersendiri, yaitu di satu sisi konsolidasi gerakan sosial berusaha mengoreksi tata kelola negara dari kendali oligarki yang sedang berkuasa, namun di sisi lain konsolidasi oligarki nasional makin terlembaga dalam kelola negara dan terbukti lebih sigap mengambil kesempatan transisi geopolitik ini untuk memantapkan konsolidasinya atas nama ‘kedaulatan negara’ seperti narasi kedaulatan ekonomi dan kedaulatan teritorial.
Demikian halnya dalam studi demokrasi yang dikendalikan paradigma liberalisme politik mengarusutamakan negara sebagai obyek kajian politik namun dilakukan sebatas meneruskan wacana demokrasi sebagai instrumen kontrol, pendisiplinan dan demonisasi terhadap negara-negara yang dianggap menentang unipolarisme Amerika Serikat dan Collective West. Alhasil, studi arus utama ini tidak berminat pada gerakan sosial sebagai obyek kajian demokrasi tetapi sebatas memanfaatkan dan membiayai gerakan masyarakat sipil berorientasi liberalisme politik untuk terus mempersoalkan perilaku ‘otoritarian’ dari pemerintahan yang tak tunduk pada diktat geopolitik unipolar. Dampaknya di Indonesia sudah terbaca sejak tahun terakhir Kabinet Jokowi jilid I. Sebagian terbesar kajian politik dan demokrasi Indonesia dikerangkeng dalam binari yang menyesatkan, yaitu demokratis atau otoritarian (lihat misalnya, Fossati, 2021; Warburton, 2016; Duile & Bens, 2017; Pedersen, 2020; Power, 2018; Schlogl & Kim 2021; Gellert, 2019).
Kendati demikian, secara umum ada kabar gembira bagi studi demokrasi substansial di Indonesia. Yaitu terjadi pergeseran membaca demokrasi Indonesia dari demokrasi yang fokus pada isu kelola identitas selama periode Global War on Terror (2001-2018) menuju isu tata kelola negara dalam hubungannya dengan proyeksi nasional ke dalam kontestasi geopolitik global. Dalam pergeseran konstruksi demokrasi dan peran negara tersebut, konstruksi gerakan sosial juga berubah dari problematika multikulturalisme termasuk konstruksi gerakan politik alternatif sebagai populisme Islam atau populisme kanan menjadi bagian integral dari wacana negara demokratis atau ototorian semata.
Dengan kata lain, dalam pergeseran konstruksi neoliberal tersebut, gerakan sosial tidak menjadi perhatian khusus karena belakangan ini parameter demokrasi diukur dari perilaku negara dalam tata dunia internasional—liberal international order (lihat misalnya, Diamond, 2021; Rüland, 2020). Satu komplotan globalis bersama Fukuyama dan National Endowment for Democracy, Larry Diamond dan koleganya kembali mempropagandakan narasi ‘demokrasi versus otoritarianisme’ yang sesungguhnya untuk melabelkan negara atau pemerintah yang bermitra dengan China dan tak lagi patuh dengan arahan neoliberalisme Washington.Dampaknya sangat terasa di Indonesia, di mana diseminasi matriks demokrasi versi unipolarisme AS yang semakin tak berdaya ini malah diminati para akademisi dan dijadikan perpektif kajian dan narasi politik dari gerakan sosial yang semata fokus pada gejala otoritarianisme Jokowi dan komplotan oligarki Istana yang beroperasi di kementerian-kementarian strategis, KPK, KPU bahkan sampai Mahkamah Konstitusi.
Dalam terang sosiologi politik dan tren geopolitik di atas, studi dan advokasi politik harus kembali memeriksa dinamika dan konsolidasi gerakan sosial sebagai parameter terpenting. Sekaligus diharapkan menjadi percakapan berkelanjutan mengenai substansi demokrasi. Hal ini mendesak dilakukan mengingat dalam wacana akademik terkini mengenai demokrasi Indonesia isu gerakan sosial tidak diintegrasikan dalam wacana akademik dalam tema besar ‘stagnasi demokrasi’. Dengan membawa kembali topik gerakan sosial dalam perdebatan tersebut, studi dan advokasi politik pengetahuan ini melakukan dua hal sekaligus.
Pertama, membahas masalah dan tantangan gerakan sosial terkini yang tersituasikan oleh peran negara yang semakin menguat dalam berbagai sektor produktif—green economy, neo-extractivism, digital economy. Kedua, memperkaya studi stagnasi demokrasi dengan kritik ideologi terhadap konstruksi binari negara demokratis versus negara otoriter yang semata melayani paradigma tata dunia internasional liberal.
Karena itu disarankan pertanyaan terpenting adalah mengapa dan bagaimana dinamika dan konsolidasi gerakan sosial terkini di Indonesia mengalami stagnasi? Dengan pertanyaan ini suatu studi dan advokasi politik dapat memeriksa tiga faktor kunci yang mengkarakterisasi dinamika gerakan sosial Indonesia pasca-reformasi sampai saat ini.
Faktor pertama, kecenderungan monopoli elit atas instrumen demokrasi (elite-capture) khususnya partai politik dan sistem politik. Faktor kedua, kecenderungan korporatisasi terhadap praktik kewarganegaraan dalam pembangunan (new corporaticism). Lalu faktor ketiga, kecenderungan dislokasi atau keterputusan agenda gerakan sosial (local-national disjucture) di tingkat pusat dan daerah.
Untuk keperluan analisis, disarankan digunakan pendekatan Analisis Wacana atau Analisis Counter-Hegemony yang dikembangkan dalam tradisi sosiologi politik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (lihat, Laclau & Mouffe, 1985, 2005; Mouffe, 2005). Pendekatan ini kerap dinamakan pendekatan demokrasi radikal, artinya melacak dan memulihkan kembali akar-akar demokrasi, atau mengakarkan kembali demokrasi.
Adapun pendekatan ini sesungguhnya melampui tradisi pendekatan gerakan sosial yang sudah lasim dipakai seperti Contentious Politics dan Network Society (lihat, Tilly & Tarrow, 2007; Tarrow, 1994 Castell, 2015; Rossi & Della Porta, 2015). Dengan perkakas analisis para peneliti dan aktivis politik dimampukan untuk melacak cara kerja hegemoni demokrasi (neo)liberal, dalam hal ini rejim tata dunia internasional liberal, dan melacak dislokasinya dalam hubungan antara negara dan gerakan sosial di dalam negeri.
Konteks Global
Menguatnya peran negara dalam dinamika greopolitik terkini dapat melemahkan ragam gerakan sosial sebagai artikulasi kolektif kewarganegaran. Dalam studi demokrasi di berbagai negara dan kawasan, kecenderungan teknokratisasi politik pembangunan semakin terlembaga dengan paradigma pembangunan berbasis bencana (disaster-based development) seperti pandemi berkelanjutan atau ancaman permanen perubahan iklim. Tren ini sudah diingatkan, berupa doktrin kejutan, shock doctrine, dalam cara kerja kapitalisme global (lihat, Klein, 2008).
Sekali lagi, teknokrasi atas demokrasi dan kontrol elit atas instrumen demokrasi adalah fenomena global. Ditandai konsolidasi oligarki di Asia, seteru militer-sipil di Afrika, dan kontestasi kekuatan fasis versus aliansi lintas kelas di Amerika Latin. Sementara di Amerika Serikat Sendiri seteru antara Demokrat dan Republik tetap bekerja dengan pola klasik yaitu membenturkan gerakan masyarakat sipil ke dalam antagonisme politik identitas berbasis ras dan orientasi seksual.
Demikian halnya di Eropa, tarik menarik antara pan-eropanisme dan nasionalisme membuat gerakan sosial tersandera antara idealisme satu Eropa yang neoliberal atau realisme negara-bangsa yang tiada henti mempertarungkan kekuatan modal dan kelas pekerja di parlemen. Para penstudi dengan dalil demokrasi liberal akan dengan mudah melabelkan ragam gerakan sosial itu dengan istilah populis kanan, rasis, fasis dan anti-migran (lihat, Norris & Inglehart, 2019; Agustín & Briziarelli, 2018; Braga, 2018; Torre, 2016; untuk kasus Indonesia, lihat Hadiz, 2018). Sementara sejauh ini, Amerika Latin adalah cerita sukses dari gerakan sosial melawan konstruksi pembangunan berbasis ancaman dengan reaktivasi ragam gerakan sosial ke dalam representasi politik, membentuk aliansi politik lintas-kelas, lintas-identitas dan lintas-wilayah (lihat, Petras, & Veltmeyerm, 2011, 2005).
Konteks Indonesia
Gerakan sosial di Indonesia pasca Reformasi tidak berbeda dari situasi global terutama karena terkondisikan dalam dinamika kapitalisme global dan geopolitik internasional.
Kendati demikian, terdapat karakteristik tertentu yang menandai pengalaman gerakan sosial Indonesia yaitu, dislokasi ekstrim pasca Reformasi antara gerakan sosial memusat di Jakarta, yang berorientasi pada isu liberalisasi politik melalui penataan negara berurusan dengan kelola kekuasaan seperti korupsi, kebebasan sipil dan tata kelola parpol dan sistem politik di satu sisi dan di sisi lain, gerakan sosial yang berserakan di berbagai daerah dengan ragam isu sektoral dan wilayah yang tidak tersambungkan.
Fenomena dislokasi ini berlangsung secara struktural mengingat politik lokal terkunci dalam tata kelola kesejahteraan dalam rejim otonomi daerah sementara advokasi gerakan sosial nasional berurusan dengan manajemen kekuasaan.
Terkondisikan oleh dua kecenderungan diametral tersebut, gerakan sosial tampak dinamis di pusat dan di daerah akan tetapi sesungguhnya secara politik tidak terkonsolidasi sebagai gerakan national dan gagal membentuk aliasi dalam politik perwakilan sebagai blok politik strategis.
Sekali lagi, fenomena fragmentasi ini berbeda dengan politik gerakan sosial di sebagian besar negara Amerika Latin di mana gerakan sosial arus bawah terkonsolidasi dengan gerakan sosial di pusat kekuasaan membentuk aliansi partai politik berbasis ragam gerakan sosial.
Studi gerakan sosial berada dalam perdebatan demokrasi Indonesia yang selama ini diarusutamakan oleh sejumlah kajian. Selain kecenderungan kajian demokrasi lama yang memusat pada wacana politik identitas (lihat, Mietzner, 2019; Bourchier, 2019), terdapat kajian berbasis pendekatan aktor dan kelembagaan yang mengukur kualitas demokrasi dari perilaku negara developmentalis dan kelola kekuasaan seperti isu manajemen dan sistem parpol, sistem pemilu dan sistem politik presidensil (lihat, Aspinall, & Klinken, 2011; Aspinall & Mietzner, 2019; Ufen, 2017; Tomsa, 2017; Rosser & Diermen, 2016; Butt, 2015; Mietzner, 2020).
Dalam studi semacam di atas, gerakan sosial tampak absen atau tidak dijadikan variabel penting dalam diskusi demokrasi perwakilan, yang pada gilirannya semakin memperkuat tesis elite-capture dan elite-power dalam tradisi sosiologi politik Weberian.
Di samping itu terdapat kajian politik lokal dalam konteks desentralisasi dan resentralisasi yang dengan cara serupa menegaskan supremasi elit lokal dalam tata kelola sumber daya daerah dan sumber daya nasional di sejumlah kawasan strategis, yang di dalamnya dimunculkan narasi patronase, klientelisme, ‘shadow state’, dan sejenisnya (lihat, Hadiz, 2017; Mudhoffir, 2022; Aspinall & Sukmajati, 2016; Aspinall, 2005; Buehler, 2010).
Dalam dua fokus kajian demokrasi tersebut, gerakan sosial tidak dijadikan rujukan penjelas dinamika politik demokrasi selain kajian terbatas yang dilakukan sejumlah penstudi gerakan sosial dengan fokus pada politik perwakilan ragam gerakan sosial tanpa merumuskan agenda blok politik nasional (Lihat, Sujito, 2009, 2016; Törnquist, 2006; Caraway & Ford, 2015; Caraway dkk, 2022; Hiariej & Stokke, 2017; Dibley & Ford, 2019; Stokke, & Tornquist, 2013).
Arti Penting Studi Counter-Hegemoni
Pendekatan counter-hegemoni bertugas membaca dan menganalisis gerakan sosial sebagai pintu masuk memahami relasi antar gerakan sosial, perilaku negara dan penetrasi paradigma tata kelola dunia liberal dalam mana demokrasi sebagai isu proksi. Dalam arti terhadap demokrasi, ketiga entitas ini berusaha mendefenisikan demokrasi atau demokrasi sebagai obyek kontestasi antara warga negara kolektif, oligarki nasional-lokal dan rejim pengendali demokrasi global.
Dari sana dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan berbeda tentang gerakan sosial Indonesia dan keluar dari parameter kajian demokrasi yang berorientasi (neo)liberal. Alih-alih menormalisasi tesis elite-capture dan elite-power, fokus pada gerakan sosial menjadi pintu masuk untuk memulai menggarap agenda blok politik tingkat nasional yang menyatukan ragam gerakan sosial.
Sekaligus dengan cara ini kecenderungan teknokrasi bisa diproblematisasi tidak semata dengan koreksi atas perilaku elit dan kinerja kelembagaan tetapi terpenting melembagakan politik perwakilan bagi ragam gerakan sosial dalam pemilihan umum maupun siklus pembuatan kebijakan. Konsolidasi ragam gerakan sosial diharapkan menjadi kekuatan counter-hegemoni terhadap praktek demokrasi (neo)liberal yang dikendalikan oligarki nasional.
Kecenderungan negara menguat dalam kontestasi geopolitik terkini, yang berarti kecenderungan teknoratis dan otoritarian, mendesak dikoreksi melalui advokasi akademik dan advokasi gerakan masyarakat sipil.
Dengan cara itu pula blok politik perubahan memainkan peran sebagai kekuatan kolektif warga negara menghadang dua tren berbahaya saat ini. Yaitu, menentang ‘nasionaliasi’ agenda pembangunan ekonomi global dan kedua, menentang agenda oligarki keberlanjutan yang sedang menyerahkan kedaulatan nasional ke dalam ke dalam parameter tata dunia internasional liberal yang sedang kehilangan pengaruh dalam tata dunia multipolar saat ini dan di masa datang.