Akar Konflik dan Potensi Perdamaian: Mahasiswa dan Warga di Yogyakarta (2023)

Konflik kekerasan dan ketegangan sosial yang melibatkan kelompok mahasiswa dan warga berungkali terjadi di Yogyakarta khususnya di wilayah padat hunian mahasiswa di kawasan Babarsari, Timoho dan Mrican. Fenomena konflik ini tentu tidak mengemuka begitu saja. Sejumlah studi menunjukkan adanya sejumlah faktor di balik konflik kekerasan tersebut.

Secara umum studi-studi tersebut mengalamatkan sebab konflik pada faktor sikap dan perilaku hidup berkelompok di kalangan mahasiswa dan adanya perbedaan budaya di kalangan mahasiswa maupun di kalangan kelompok mahasiswa ‘pendatang’ dengan komunitas warga setempat (Fitria, 2018; Putri, 2020; Faruk, 1999). Dalam kasus khusus terkait relasi warga dan kelompok mahasiswa asal Indonesia bagian Timur seperti Maluku, Papua dan NTT, disebutkan faktor penyebab paling berpengaruh adalah pola kehidupan berasrama/kontrakan homogen dan sentimen komunalisme yang direproduksi secara rutin (Mastiyoh, 2017; Habibi, 2018; Salehudin, 2013; Novianti & Trimpabudi, 2014).

Baik dari pemberitaan media untuk kasus-kasus konflik yang eskalatif maupun dari kasus-kasus yang dikaji para peneliti, terdapat suatu pola umum konflik. Yaitu dipicu perselisihan atau perkelahian terbatas antara dua orang lalu meluas menjadi konflik kolektif atau perkelahian antara kelompok. Sebagaimana diketahui, mobilisasi dan eskalasi kekerasan sangat mudah terjadi karena peristiwa konflik berlangsung di kawasan padat hunian warga dan mahasiswa ditambah lagi dengan peran teknologi komunikasi untuk percepatan distribusi isu dan produksi narasi-narasi konflik. Peristiwa kekerasan kolektif antara kelompok mahasiswa asal Ambon dan NTT Juli 2022 di kawasan Babarsari, misalnya, adalah gambaran terkini dari bekerjanya sejumlah faktor yang secara efektif mendorong eskalasi konflik kolektif dan tidak mudah dihentikan pihak kepolisian tanpa peran serta perwakilan para pihak yang bertikai.  

Penelitian ini bertolak dari kondisi relasi sosial rentan konflik yang selama ini belum diperiksa secara komprehensif dan belum didapatkan penanganan yang menyasar akar masalah. Dengan menggunakan pendekatan Demokrasi Radikal (Laclau, 1985) didukung kerangka berpikir tentang relasi antara komunitas dalam (re)produksi ruang hidup (Lefebre, 2009, 2002), studi ini menyingkapkan faktor-faktor kerentanan konflik terbentuk dalam relasi sosial-ekonomi yang kompleks di antara kelompok mahasiswa berbasis etnis/daerah asal maupun antara kelompok mahasiswa tersebut dan kelompok warga setempat.

Kepadatan ruang, jenis interaksi atau aktivitas dan pola komunikasi menjadi faktor atau parameter kunci untuk memeriksa seberapa jauh dan dalam relasi sosial-ekonomi yang terbentuk berhasil memproduksi praktek kewargaan bersama. Atau sebaliknya menormalisasi kerentanan melalui relasi saling menegasi-mengalienasi yang dapat dengan mudah dan cepat berubah menjadi konflik kekerasan melibatkan kelompok mahasiswa dan kelompok warga.

Selain menemukan akar konflik dan potensi perdamaian, studi ini juga mendapati tidak adanya model penyelesaian akar konflik secara serius apalagi terkelola dengan baik. Konflik kekerasan diselesaikan sebagai persoalan hukum semata sementara perbaikan hubungan sosial di antara para pihak di dalam kawasan tersebut belum diperhatikan sebagai isu publik mendesak. Yang terjadi sesungguhnya adalah penghentian kekerasan dan bukan kelola konflik termasuk belum terpikirkan adanya penyelesaian akar konflik yang bersumber pada relasi sosial di antara para pihak setiap hari di masing-masing kawasan tersebut.

Pendekatan masih bersifat top-down dengan keterlibatan polisi menghentikan kekerasan termasuk pendekatan formalisme budaya seperti promosi keberagaman dari pihak pemerintah kabupaten dan provinsi khususnya melalui badan kesbangpol. Tidak kalah penting, penelitian ini juga menemukan terbatasnya peran serta kampus-kampus utama di tiga kawasan rentan konflik tersebut untuk mengubah relasi konfliktual antarpihak menjadi relasi sosial berorientasi kewargaan bersama.

Dalam rangka mengisi kekosongan advokasi perdamaian di tiga kawasan rentan konflik tersebut, penelitian ini merumuskan model tata kelola cegah konflik keberlanjutan dengan menitikberatkan pada peran UGM dan kampus lainnya untuk menginisiasi dan mengawal eksperimentasi tata kelola berkelanjutan. Tata kelola cegah konflik dikembangkan dari hasil analisis akar konflik dan potensi perdamaian yang tersedia di ketiga kawasan ini.

Tata kelola itu bersifat inklusif dengan melibatkan agensi perdamaian dari kelompok mahasiswa, kelompok warga serta perwakilan pemerintah akar rumput seperti dukuh dan RT-RW, dan keterlibatan aktif pihak kampus, penegak hukum khususnya polres/polsek dan lembaga agama. Keagensian perdamaian semuanya berlokasi di tiga kawasan yang ditargetkan untuk eksperimentasi tata kelola cegah konflik. Bersamaan dengan itu UGM sebagai inisiator dan eksekutor didukung kelompok mahasiswa penggerak perdamaian yang sudah terbentuk dalam proses awal eksperimentasi tata kelola ini. Dengan cara ini, promosi perdamaian menjadi terlembaga, tidak bersifat kasuistik tetapi terintegarasi dalam relasi sosial rentan konflik yang hendak ditransformasikan menjadi relasi kewargaan bersama untuk Yogyakarta sebagai kota pendidikan Indonesia yang berhati nyaman.

Rumusan Masalah dan Pendekatan Penelitian

Penelitian untuk penyusunan tata kelola perdamaian dan road map keberlanjutan dibangun di atas tiga pertanyaan kunci. Mencakup pemeriksaan akar konflik, faktor-faktor konflik tidak teratasi dan terkelola dan gambaran faktor atau kondisi yang tersedia yang dapat digarap untuk kelola konflik dan promosi perdamaian berkelanjutan di tiga wilayah sasaran.

Adapun ketiga pertanyaan dirumuskan secara terperinci sebagai berikut.

Pertama, Apa sesungguhnya akar masalah konflik antara kelompok mahasiswa dan antara kelompok mahasiswa dan warga setempat?

Kedua, mengapa akar masalah konflit tidak diatasi?

Ketiga, apa saja potensi perdamaian yang tersedia untuk dikembangkan dalam tata kelola perdamaian berkelanjutan di lokasi penelitian?

Dalam rangka memandu penelitian berdimensi advokasi ini pendekatan yang digunakan adalah perspektif demokrasi radikal. Perspektif ini dikembangkan dalam tradisi berpikir membangun gerakan sosial berbasis pencarian titik temu atau mengubah relasi sosial bersifat antagonistik menjadi relasi agonistik (Laclau &Mouffe, 1985; Mouffe, 2000). Dalam praksis penelitian, pendekatan ini mengarahkan perhatian peneliti pada pemeriksaan akar ekonomi-politik dari pengerasan identitas sebagai konsekuensi dari tidak terbangunnya identitas bersama.

Demikian halnya dalam studi perdamaian mutakhir hubungan kekerasan dan identitas telah diperlihatkan memiliki akar ekonomi dan politik terkait ketidaksetaraan kekuasaan atau aksesibilitas sumber daya dalam ruang dan waktu tertentu. Armatya Sen, salah satu proponen utama dalam tradisi ini, misalnya, berargumen bahwa kekerasan kolektif yang bersifat fisik tidak selalu terkait dengan tidak meratanya distribusi ekonomi dan politik yang berujung pada krisis pengakuan serta terburuk tata kelola konflik bersifat top-down yang merayakan identitas kultural tanpa menyasar isu ketidakadilan dan ketidaksetaraan politik dalam ruang sosial kemasyarakat multikultural (Sen, 2006).

Kekerasan fisik diasumsikan selalu berjalan bersama atau didasarkan pada kekerasan simbolik dan struktural. Kekerasan simbol berupa stigma terhadap ras, suku atau agama tertentu sementara kekerasan struktural berkaitan dengan kebijakan produksi dan implementasi kebijakan atau politik pengaturan keberagaman yang memproduksi dan menormalisasi ketidaksetaraan akses ekonomi dan politik.

Bertolak dari cara pandang mengenai akar kekerasan kolektif di atas, teorisasi perdamaian kemudian dirumuskan dari hasil analisis akar masalah yang membuka ruang adanya aksi kolektif lintas-kelompok identitas dan intervensi kebijakan yang mempromosikan perdamaian. Promosi perdamaian tidak lagi sebatas seruan etis-moral tetapi lebih berakar pada tantangan sosiologis masyarakat multikultural dan penggarapan potensi sosial-ekonomi dan kultural untuk mengelola perbedaan secara produktif.

Pendekatan demokrasi radikal mengajak peneliti untuk tidak hanya menemukan akar konflik tapi juga potensi perdamaian yang tersedia berupa pencarian peluang-peluang interseksi kepentingan antarkomunitas. Agenda perumusan identitas bersama harus didasarkan pada kondisi-kondisi sosiologis yang aktual seperti kepentingan ekonomi, pengalaman bersama sebagai masyarakat tertentu (kota, desa), selain kesamaan kepentingan politik berbasis kelas sosial dan orientasi kebudayaan.

Dengan mengambil topik penelitian advokasi terkait tata kelola konflik antar kelompok mahasiswa dan kelompok masyarakat di tiga lokasi konsentrasi kampus di kota Yogyakarta, pendekatan penelitian ini sangat membantu peneliti menemukan akar masalah ekonomi dan politik pengakuan sekaligus potensi perdamaian. Agar perdamaian berkelanjutan menjadi kenyataan maka pendekatan ini mensyaratkan perumusan tata kelola perdamaian yang harus diinstitusionalisasikan melalui mekanisme aksi kolektif antar kelompok mahasiswa dan kelompok masyarakat serta keterlibatan aktif lembaga kampus dan pemerintahan.

Potensi inteseksi kepentingan antarpihak sesungguhnya sudah tersedia khususnya dari segi kesalingtergantungan ekonomi, kesatuan ruang kehidupan dan interaksi, dan terpenting juga konstruksi identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar dengan sumber daya ekonomi berbasis pendidikan dan pariwisata. Dalam konstruksi tata kelola perdamaian ini, pengerasan identitas kelompok diuraikan kembali untuk mendapatkan identitas bersama demi keberlanjutan proses belajar mahasiswa dan integrasinya bersama komunitas warga dalam ruang interaksi yang relatif di tiga lokasi penelitian. Melalui tata kelola perdamaian yang peka akar konflik diharapkan dapat mendorong praktik politik kewargaan, yang dijaga oleh norma kebersamaan dalam mekanisme kolektif mengelola keragaman.

Metode

Kegiatan penelitian dilakukan sejak bulan Juni sampai November 2023. Adapun lokasi penelitian dilakukan di 3 lokasi terpilih yang menjadi konsentrasi hunian mahasiswa, proksimitas ruang antara hunian mahasiswa dan lingkungan kampus dan kerapatan interaksi antara komunitas mahasiswa dan komunitas warga. Selain itu, penentuan ketiga lokasi juga didasarkan pada adanya kasus-kasus konflik dan ketegangan sosial antara kelompok mahasiswa berbasis etnis dan daerah asal serta konflik dan ketegangan sosial antara kelompok mahasiswa dan kelompok warga. Adapun ketiga lokasi penelitian disebutkan sebagai berikut:

  1. Kawasan Mrican mencakup lokasi hunian mahasiswa terseleksi, dukuh, RT-RW, kampus utama (UGM, Sanata Dharma, UNY, Atma Jaya, Mercu Buana)
  • Kawasan Babarsari mencakup lokasi hunian mahasiswa terseleksi, dukuh, RT-RW dan kampus utama (Atma Jaya, UPN,
    AKPAR, API, Wirahusada, Unprok dan ITY)
  • Kawasan Timoho mencakup lokasi hunian mahasiswa terseleksi, dukuh, RT-RW, dan kampus utama (APMD-STPMD dan Janabadra, UTS dan Ahmad Dahlan)

Pada lokasi target 1 (Mrican), kompleks hunian mahasiswa relatif berjarak dari lokasi kampus dibandingan dengan kerapatan hunian dan kampus di kawasan Babarsari (target lokasi 2). Sebagian terbesar mahasiswa menempuh pendidikan di Universitas Sanata Darma, Atma Jaya, Mercu Buana dan sebagian lagi belajar di STPMD APMD, UPN, dan kampus-kampus swasta di kawasan Babarsari. Dari segi frekuensi perjumpaan, terdapat sejumlah tempat perjumpaan (resto, burjo, cafe) di pertigaan jalan utama khususnya Jl Demangan Baru. Di sisi lain, akses jarak ke pelayanan kelurahan relatif berjarak kecuali rt-rw yang berada langaung di kawasan hunian mahasiswa.

Berbeda dari kawasan Mrican yang menunjukkan interaksi yang tidak padat dan rutin antar kelompok mahasiswa dan antar mahasiswa dan masyarakat, kawasan Babarsari adalah lokasi perjumpaan antar pihak yang sangat intensif. Lokasi hunian mahasiswa, masyarakat dan kampus saling berdampingan termasuk lokasi kelurahan dan dukuh. Sebagian terbesar mahasiswa belajar di kampus Atma Jaya, UPN, AKPAR, API, Wirahusada, Unprok dan ITY. Hunian mahasiswa khususnya pria ditempati berdasarkan daerah asal dan sebagian terbesar berasal dari Indonesia bagian Timur seperti NTT, Maluku-Maluku Utara dan Papua.

Temuan di lokasi target 3 (Timoho) menunjukkan kesamaan karakteristik dengan kawasan Mrican. Sebagian terbesar mahasiswa yang diobservasi berasal dari Indonesia Timur, belajar di STPMD, Janabadra, Universitas Taman Siswa dan Ahmad Dahlan. Hunian berupa kontrakan dan kompleks kos dari daerah asal-etnis serupa. Titik perjumpaan sehari-hari berada di sepanjang jalan Timoho khususnya bagian utara Kampus STPMD dan selatan Kampus UIN Sunan Kalijaga.

Dalam menjalankan kegiatan penelitian advokasi ini, peneliti menggunakan tiga metode sekaligus yaitu observasi, diskusi terbatas dan wawancara mendalam dengan narasumber. Ketiga metode ini dijalankan secara serempak selama 6 bulan penelitian di kawasan Mrican, kawasan Babarsari dan kawasan Timoho.

Observasi 

Observasi dilakukan secara rutin selama kegiatan mengingat pentingnya pengamatan langsung terhadap interaksi antara kelompok mahasiswa dan antara kelompok mahasiswa dan warga setempat di dalam ruang publik (di jalan raya utama, gang persimpangan, resto/warung makan, kedai kopi, warung burjo, alfamart/indomaret, tempat olahraga khususnya lapangan futsal). Melalui observasi diperoleh gambaran pola interaksi antarpihak di ruang publik atau ruang perjumpaan secara fisik. Gambaran pola interaksi menunjukkan tingkat kerapatan/kedekatan interaksi, kedalaman hubungan interpersonal, dan keseringan atau frekuensi perjumpaan antar pihak. Observasi rutin bisa dilakukan terutama karena peneliti juga bertempat tinggal berdekatan dengan tiga lokasi penelitian.

 Diskusi Terbatas

Diskusi terbatas dilakukan bersama kelompok mahasiswa (homogen dan heterogen) terseleksi di lokasi-lokasi terpilih dari masing-masing kawasan yang merepresentasikan kelompok etnis, daerah asal dan kampus. Dilakukan secara intensif dan reguler selama penelitian, diskusi terbatas diselenggaran seinformal mungkin di kontrakan dan kompleks kos serta dilakukan di kafe-kafe sederhana yang telah menjadi tempat berkumpul kelompok target. Selain untuk mendapat informasi mendalam dan refleksi pengalaman mereka, diskusi terbatas dimaksud untuk memupuk kebersamaan di antara mereka yang ditargetkan sebagai kelompok penggerak perdamaian setelah kegiatan berakhir.

Dari diskusi terbatas diperoleh gambaran sikap, pikiran dan tindakan para pihak berkenaan dengan (1) relasi antara kelompok mahasiswa di lokasi tersebut dan (2) relasi antara kelompok mahasiswa dan warga setempat di lokasi tersebut. Mengingat penelitian ini adalah riset advokasi, diskusi terbatas oleh peneliti dijadikan membangun komitmen para pihak untuk menjadi penggerak perdamaian di lokasi masing-masing.

Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan dengan sejumlah mahasiswa terpilih dan perwakilan dukuh/RT-RW dari tiga kawasan penelitian. Mahasiswa/narasumber adalah mereka yang terlibat aktif dalam kelompok atau organisasi berdasarkan kampus, etnis dan daerah asal, untuk mendapatkan informasi, pengalaman dan harapan mereka terkait kelola perdamaian. Dari hasil wawancara diperoleh informasi mendalam mengenai dinamika interaksi antar kelompok mahasiswa maupun antar kwlompok mahasiswa dan warga setempat. Para narasumber ini terlibat aktif dalam kegiatan olahraga bersama, diskusi dan pentas budaya yang dilakukan kelompok mereka selama 2-3 tahun terakhir

Sementara wawancara dengan perwakilan dukuh/RT-RW memberikan informasi, pengalaman dan harapan mengenai cara-cara tersedia untuk merapatkan hubungan antara kelompok mahasiswa dan warga setempat. Tidak kalah penting melalui narasumber ini diperoleh informasi mengenai sejarah konflik dan ketegangan sosial serta curah pendapat mereka mengenai akar-akar konflik dan ketegangan sosial di antara pihak. Termasuk terbangun komitmen narasumber untuk terlibat dalam agenda aksi eksperimentasi tata kelola perdamaian yang diinisiasi UGM ke depan. Metode ini efektif terutama peneliti sudah membangun kedekatan dan kebersamaan dengan para narasumber sebelum kegiatan dilakukan dan lokasi tempat tinggal peneliti berada di dalam lokasi penelitian.

Temuan Penelitian: Akar Konflik

Berdasarkan data dan informasi yang terkumpul dari keseluruhan aktivitas observasi, diskusi terbatas dan wawancara mendalam, dikompilasi dan dianalisis menghasilkan rumusan sejumlah faktor penyebab konflik dan ketegangan sosial di tiga lokasi penelitian. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, dimulai dari hubungan antara kelompok mahasiswa hunian dengan pemilik kos/kontrakan sampai pada relasi yang kompleks melibatkan kelompok mahasiswa lintas kampus/daerah asal dan kelompok warga. Berikut diringkaskan sejumlah faktor kunci yang menyebabkan konflik dan ketegangan sosial tersebut.

Relasi Konflik antara Kelompok Mahasiswa dan Pemilik Kost-Kontrakan

Relasi konfliktual ini sangat dominan ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini terkait dengan kurangnya kontrol pemilik hunian atas aktivitas hunian yang berdampak pada relasi bersifat transaksional semata dan rentan manipulasi. Selain itu relasi konfliktual ini berkaitan dengan tanggung jawab pemilik hunian mengontrol dan memastikan tata tertib hunian yang berdampak ke lingkungan warga. Isu dominan antara lain mencakup tata krama atau kesantunan mahasiswa hunian dalam berinteraksi dengan warga dan termasuk masalah ‘susila’ seperti hunian kost/kontrakan menjadi tempat tinggal pasangan laki-perempuan atau ‘kumpul kebo’.

Penelitian ini selanjutnya menemukan adanya sikap dan perilaku pemilik hunian bersifat pragmatis ketika terjadi perselisihan antara mahasiswa hunian dan pengurus RT-RW. Terdapat kasus di mana pemilik hunian membela kelompok anak kost/kontrakan jika dianggap menguntungkan atau sebaliknya terdapat sejumlah kasus di mana pemilik hunian menyerang atau mendiskreditkan anak kost/kontrakan menggunakan pengurus dukuh/RT-RW jika dianggap merugikan. Fenomena konflik semacam ini menunjukkan belum terpola cara kelola perbedaan kepentingan dan sudut pandang yang menyatukan para pihak.

Relasi Konflik antara kelompok mahasiswa lintas etnis-kampus-daerah asal

Ditemukan di tiga kawasan fenomena interaksi yang kurang terjalin baik antara antara hunian mahasiswa satu etnis/asal daerah dengan hunian lain dari etnis/daerah asal berbeda. Kurangnya interaksi ini berdampak pada berlanjutnya produksi narasi-narasi pembeda ‘identitas’ di antara mereka. Terjadi pengerasan dan pengentalan stigma di antara mereka, yang terus menerus direproduksi menjadi sikap dan perilaku yang rentan gesekan kolektif termasuk diawali dengan pertikaian/perkelahian antara individu bereskalasi menjadi pertikaian antara kelompok mahasiswa.

Terbatasnya interaksi antar kelompok mahasiswa di masing-masing kawasan ditandai dengan terbatasnya kegiatan bersama antara kelompok mahasiswa berbeda daerah asal/etnis dalam lokasi yang sama. Kegiatan kelompok mahasiswa lebih ditonjolkan kesamaan daerah asal/etnis daripada kesamaan tempat belajar/kampus/fakultas.

Fenomena pengerasan identitas etnis/daerah asal juga dipengaruhi oleh besarnya pengaruh ‘senior pemberani’ sbg pengendali tindakan kolektif  kelompok mahasiswa. Kompleks kost dan kontrakan menjadi ruang produksi supremasi etnis/daerah asal tidak saja antar kelompok mahasiswa lintas provinsi tapi lebih intensif antara kelompok mahasiswa berbasis etnis/kabupaten asal dari provinsi yang sama. Dari sejumlah kasus konflik antar kelompok mahasiswa di tiga kawasan, khususnya kawasan Babarsari dan Timoho, peran senior pemberani ini dalam eskalasi konflik diakui narasumber sebagai faktor pemicu ketengangan dan mobilisasi kelompok.

Penelitian ini juga menemukan bahwa aktivitas budaya kelompok mahasiswa cenderung didominasi acara pentas budaya etnis sendiri/daerah asal. Adapun tujuan kegiatan semata untuk aktualisasi identitas budaya etnis/daerah asal. Hal ini disebabkan oleh makin berakarnya pengerasan identitas etnis dan juga difasilitasi oleh agenda pemerintah untuk pertunjukan budaya multikultural Yogyakarta. Sampai penelitian berakhir, belum ditemukan adanya penyelenggaraan aktivitas lintas budaya/daerah asal di kalangan kelompok mahasiswa. Pola serupa ditemukan dalam aktivitas olahraga kelompok mahasiswa, belum ada ajang olahraga rutin bersama khususnya futsal utk mahasiswa laki-laki Sekali lagi, praktek ini berkontribusi pada pengerasan identitas atau relasi identitarian sarat prasangka dan rentan gesekan fisik.

Relasi Konflik antara Kelompok Mahasiswa dan Komunitas Warga

Penelitian ini menemukan fenomena yang terjadi di tiga kawasan yaitui interaksi antara kelompok mahasiswa dan komunitas warga setempat bersifat cair tanpa terpola atau belum terlembaga dalam aktivitas bersama melalui koordinasi Dukuh/RT-RW. Dalam acara-acara besar kenegaraan dan kemasyarakatan seperti perayaan HUT Kemerdekaan dan kegiatan rutin warga belum ada keterlibatan kelompok mahasiswa baik di tingkat dukuh maupun RT-RW. Malah terbentuk situasi saling menegasi dan mengalienasi antara kelompok warga dan kelompok mahasiswa pada momen-momen tersebut dengan dampak pengerasan identitas yang terus dilanggengkan dalam interaksi saling mengabaikan (mutual ignorance) setiap hari.

Keseluruhan proses saling mengabaikan yang dianggap normal tersebut menjadi mekanisme tanpa sadar dalam konstruksi tentang pendatang dan warga asli. Konstruksi warga setempat terhadap mahasiswa sebagai pendatang memiliki konotasi beda budaya, sikap dan perilaku—terjadi pengerasan identitas ‘kejawaan’ sebagai kontras terhadap identitas ‘ketimuran’ atau bukan jawa yang dihayati oleh kelompok mahasiswa. Simptom paling menonjol dari produksi asli/pendatang ini dapat dengan mudah terbaca dalam respon terhadap peristiwa konflik meluas antara kelompok mahasiswa atau antara kelompok mahasiswa dan kelompok warga. Label asli versus pendatang dari waktu ke waktu tidak lagi bersifat simbolik semata tetapi termaterialisasi dalam sikap dan perilaku saling menegasi dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana ditemukan di sejumlah lokasi kawasan Babarsari dan Timoho.

Hal ini pun diperparah oleh minimnya advokasi kampus terhadap aktivitas mahasiswa. Sebagaimana diketahui, lokasi hunian mahasiswa dan kampus hampir seluruhnya saling berdekatan atau berdampingan sebagaimana terlihat di kawasan Babarsari, Timoho dan juga Mrican. Kendati demikian, penelitian ini menemukan tidak adanya koordinasi antara pihak kampus, hunian mahasiswa dan kelompok warga di sekitar lingkungan kampus. Fenomena ini sekaligus menunjukkan tidak tersambungkan aktivitas mahasiswa di dalam dan di luar kampus sekaligus komunitas warga tidak merasa terlibatkan atau ikut bertanggung jawab terhadap kehidupan harian kelompok mahasiswa dalam lokasi hunian warga.

Tabel I. Ikhtisar Hasil Analisis 1: Akar Konflik

Ikhtisar Hasil Analisis I: Akar-Akar Konflik
Relasi Konfliktual I antara Pemilik Kost/Kontrakan dan MahasiswaIsu konflik: pembayaran uang kost/kontrakan, keributan karena minuman keras dan musik, susila (kumpul kebo)  
Aktor konflik: mahasiswa secara perorangan atau kelompok, pemilik kost/kontrakan termasuk melibatkan kerabat atau tetangga
Sebaran konflik: terjadi merata di tiga kawasan, lebih dominan terjadi di lokasi-lokasi tertentu di kawasan babarsari  dan Timoho
Relasi Konfliktual II antara kelompok mahasiswa berbasis etnis/daerah asalIsu konflik: pertengkaran/perkelahian antara individu dari kelompok etnis/daerah asal berbeda (antara kabupaten asal dari satu provinsi atau dari provinsi berbeda, gesekan antar individu atau kelompok dalam turnamen olahraga dan pesta wisuda
Aktor konflik: kelompok berbasis etnis/daerah asal, jarang berbasis kampus, ‘senior pemberani’, warga pendatang yang mempekerjakan mahasiswa satu etnis/daerah asal
Sebaran konflik: frekuensi tertinggi terjadi di semua lokasi hunian di Babarsari dan sebagian kecil di Timoho dan Mrican
Relasi Konfliktual III antara kelompok mahasiswa berbasis etnis/daerah asal dan kelompok warga/pemudaIsu konflik: tata krama tegur sapa, perilaku tak sopan dan keributan karena miras dan musik, pertengkaran/perkelahian antara mahasiswa dan pemuda setempat atau di dalam dan lintas kawasan
Aktor konflik: mahasiswa berkelompok satu etnis/daerah asal atau campuran, kelompok warga berupa kelompok pemuda atau campuran remaja dan orang tua, dari satu atau lebih lokasi dalam satu kawasan dan juga lintas kawasan
 Sebaran Konflik: paling dominan terjadi di kawasan Babarsari dan Timoho, relatif terbatas terjadi di kawasan Mrican

Temuan Penelitian: Potensi Perdamaian

Analisis terhadap data dan informasi dalam penelitian ini menemukan sejumlah potensi perdamaian. Potensi perdamaian ditemukan tidak terpisah dari analisis akar konflik yang disebutkan terdahulu. Faktor-faktor untuk memperkuat integrasi kehidupan antara kelompok mahasiswa dan kelompok masyarakat di tiga lokasi diperoleh dan dirumuskan dari observasi dan terutama hasil wawancara dan diskusi terbatas. Faktor tersebut didapatkan dalam (1) kehidupan kelompok mahasiswa, (2) interaksi antara kelompok mahasiswa dan kelompok warga serta (3) peluang interaksi antara kelompok mahasiswa, warga dan kampus.

Agensi Perdamaian dalam Kelompok Mahasiswa

Penelitian advokasi ini menemukan adanya kalangan mahasiswa atau pelopor perdamaian di dalam kelompok mahasiswa berbasis etnis/daerah asal. Jumlah mereka tidak banyak dan tidak dominan. Kendati demikian, mereka berperan menetralisasi kecenderungan pengerasan identitas dalam kelompok mereka sendiri serta pendapat mereka relatif didengar dan dipertimbangkan oleh kelompoknya. Dalam penelitian ini agensi perdamaian ini ditemukan di tiga kawasan penelitian dari masing-masing kelompok mahasiswa etnis/daerah asal.

Sejalan dengan ditemukannya agensi dari kalangan mahasiswa, terdapat pula formasi mahasiswa senior dan perwakilan orang tua diaspora dalam paguyuban berbasis etnis/daerah asal/kabupaten termasuk berbasis provinsi. Meski berbeda tingkat kerapatan mereka, sudah terdapat aktivitas rutin bersama antara mahasiswa, mahasiswa senior dan orang tua diaspora dalam paguyuban masing-masing, seperti kumpul bersama dalam acara keagamaan, adat-istiadat, acara pesta wisuda, pernikahan, kematian, turnamen olahraga dan pentas budaya. Formasi agensi ini efektif untuk ditransformasi menjadi agensi perdamaian mengingat mereka berdomisili di tiga kawasan penelitian.

Agensi Perdamaian dalam Interaksi Mahasiswa dan Warga

Hasil observasi di tiga kawasan menunjukkan bahwa ruang interaksi berbasis hunian relatif rapat atau dekat antara kelompok mahasiswa dan warga. Dimulai dari relasi pemilik hunian kost/kontrakan adalah warga setempat dengan hubungan kekerabatan dengan warga dalam satu RT-RW. Proksimitas ruang interaksi ini memudahhkan untuk saling mengingatkan, berkoordinasi atau berbagi pikiran jika terjadi perselisihan antara kelompok mahasiswa dan warga.

Lebih lanjut, letak kantor dukuh dan rumah pengurus RT-RW berada dalam lokasi hunian kelompok mahasiswa yang sesungguhnya tidak menjadi halangan untuk berinteraksi atau merespon adanya perselisihan dan cepat tanggap khususnya terkait deskalasi konflik. Demikian pula hasil wawancara mendalam dengan narasumber dukuh/RT-RW memperlihatkan adanya harapan dan keinginan yang kuat dari perwakilan warga agar terbangun hubungan baik berupa aktivitas bersama warga dan mahasiswa di lingkungan masing-masing. Hal ini membutuhkan terobosan atau inisiasi perintis tata kelola perdamaian dari pihak kampus khususnya UGM dalam kolaborasi dengan kampus-kampus utama di tiga kawasan.

Diketahui bersama bahwa antara warga dan kelompok mahasiswa memiliki relasi saling membutuhkan berkenaan dengan aktivitas ekonomi sehari-hari seperti  sewa hunian, warung makan,  kedai kopi, pasar  sembako , kios kecil warga di gang-gang lokasi hunian. Tantangan terpenting adalah bagaimana mengubah relasi yang dinormalisasi sebagai transaksi ekonomi semata menjadi relasi sosial yang bermakna atau sanggup memproduksi kebersamaan sebagai warga setempat tanpa menghidupi antagonisme pendatang dan penduduk asli. Kesalingtergantungan ekonomi seharusnya digarap sebagai basis memproduksi identitas kewargaan yang di satu sisi memperlihatkan perbedaan latar belakang budaya dan di sisi lain memfasilitasi terbentuknya identitas kewargaan berbasis etika kesalingtergantungan. Etika kesalingtergantungan tidak lain adalah ethics of care, terbentuknya saling peduli dan berbagi tanggung jawab dalam ruang hidup bersama.  

Agensi Perdamaian dalam Relasi Kampus dan Hunian Mahasiswa

Secara geografis, jarak kampus dan hunian mahasiswa berdekatan atau bahkan  berdampingan sebagaimana tampak di kawasan Babarsari menyusul Timoho dan Mrican. Proksimitas geografis ini mengakibatkan dan mendorong aktivitas kelompok mahasiswa di luar kampus tetap berorientasi ke rutinitas kampus dalam sepekan. Penelitian ini mengidentifikasi sejumlah staf pengajar dari kampus-kampus utama bertempat tinggal di tiga kawasan penelitian. Tentu hal ini seharusnya memudahkan kampus untuk melakukan pengawasan dan advokasi masalah yang dialami kelompok mahasiswa di lokasi hunian.

Di lokasi hunian mahasiswa sekitaran kampus terdapat sentra-sentra keramaian sebagai arena perjumpaan antara kelompok mahasiswa di tiga kawasan seperti warung makan, cafe, kedai kopi dan sejenisnya. Frekuensi dan intensitas interkasi antara kelompok mahasiswa lintas etnis/daerah asal dan antara kelompok mahasiswa dan warga setempat sangat tinggi di lokasi-lokasi tersebut. Tantangan yang harus diatasi adalah bagaimana mengubah interaksi yang bersifat saling menegasi menjadi relasi saling menghormati, menghargai dan membutuhkan. Poin terpenting adalah transformasi relasi semata transaksional menjadi relasi saling percaya (mutual trust). 

Tidak kalah penting adalah letak rumah ibadah yang strategis berada di dalam kawasan hunian kelompok mahasiswa dan kampus, baik untuk kalangan mahasiswa muslim dan kristiani di kawasan Babarsari, Timoho, dan Mrican. Proksimitas geografis ini sekaligus menjadi ruang interaksi yang intesif antara kelompok mahasiswa, warga dan kampus. Dimungkinkan keterlibatan aktif pemuka agama untuk mendorong sikap dan perilaku damai berdasarkan pengalaman langsung yang dialami mahasiswa di tiga kawasan rentan konflik tersebut. Jarak berdekatan antara kampus, rumah ibadat dan hunian mahasiswa dan warga menjadi faktor fasilitatif bagi terbangunnya koordinasi dan saling berbagi tanggung jawab, baik dalam pencegahan konflik maupun deskalasi konflik.

Ikhtisar Hasil Analisis II: Potensi Perdamaian

Ikhtisar Hasil Analisis II: Potensi Perdamaian 
Agensi Perdamaian 1:Aktor perdamaian: terdapat kelompok mahasiswa penggerak perdamaian, jumlahnya terbatas tapi berpengaruh di dalam kelompok berbasis etnis/daerah asal
 Relasi kewargaan antar Kelompok Mahasiswa berbasis etnis/daerah asal/kampus
Kegiatan dan isu: diskusi kritis di kompleks kost/kontrakan, cafe/kedai kopi, kegiatan promosi keragaman budaya seperti sanggar budaya dan pentas seni
Sebaran: tersebar merata di tiga kawasan, tinggal bersama dalam kompleks kost/kontrakan berbasis etnis/daerah asal
Agensi Perdamaian 2:Aktor perdamaian: kelompok mahasiswa penggerak perdamaian, kelompok pemuda berwawasan dan perwakilan dukuh, RT-RW Kegiatan dan Isu: aktivitas bulanan RT-RW membersihkan hunian dan jalan/gang, aktivitas pasar sembako RT-RW, acara kenegaraan dan hari raya keagamaan Sebaran: relatif tidak merata antara kawasan dan tidak merata di lokasi-lokasi dalam satu kawasan, bergantung inisiatif pengurus RT-RW dan respon kelompok mahasiswa
Relasi kewargaan antara Kelompok Mahasiswa dan komunitas Wargaserta kelompok pemuda
Agensi Perdamaian 3:Aktor perdamaian: mahasiswa penggerak perdamaian (perwakilan kelompok etnis/daerah asal/kampus), perwakilan lembaga kampus (dosen + mahasiswa), kelompok pemuda dan pengurus RT-RW
Relasi kewargaan antara Kampus,  Kelompok Mahasiswa berbasis etnis/daerah asal, dan kelompok pemuda atau perwakilan dukuh dan RT-RW
Kegiatan dan Isu: kegiatan kolaboratif
membersihkan lingkungan sekitaran kampus dan hunian warga/kost/kontrakan, kegiatan kolaboratif merayakan acara kenegaraan dan hari raya keagamaan termasuk olahraga bersama dan pentas seni bersama
Sebaran:kegiatan kolaboratif jarang terjadi di tiga kawasan, belum ada inisiatif para pihak

Tata Kelola Cegah Konflik

Hasil analisis terhadap akar konflik dan potensi perdamaian dijadikan dasar kajian untuk merumuskan model tata kelola cegah konflik atau tata kelola perdamaian di tiga kawasan rentan konflik (Mrican, Babarsari dan Timoho). Rumusan model tata kelola cegah konflik ini mencakup empat hal penting yang harus dilakukan untuk melembagakan integrasi sosial antara kelompok mahasiswa dan kelompok warga dengan pelibatan aktif kampus dan kalangan pemerintah khususnya di tingkat desa, dukuh dan RT-RW.  Adapun keempat fundamen dari pelembagaan tata kelola cegah konflik dimaksud tersebut di bawah ini.

  1. Konsolidasi dan koordinasi aktor-aktor kelola konflik

Konsolidasi dan koordinasi mencakup perwakilan kelompok mahasiswa lintas etnis/daerah asal/lintas kampus, perwakilan warga melalui Dukuh/RT-RW, perwakilan kampus melalui staf pengajar/pejabat kampus, pemuka agama (Islam, Katolik, Protestan), perwakilan orang tua paguyuban etnis/daerah asal, polsek di tiga kawasan terintegrasi ke polres. Penelitian ini telah mengidentifikasi agensi perdamaian dari para pihak tersebut untuk terlibat aktif dalam tata kelola cegah konflik. Agensi para pihak bukanlah sesuatu yang baru dan harus diadakan tetapi sudah tersedia sesuai peran masing-masing dan menanti untuk dikoordinasikan dan dikonsolidasikan dalam forum berisikan agenda kolektif untuk perdamaian berkelanjutan. Koordinasi dan konsolidasi harus dilakukan sebagai awalan dari perumusan agenda kolektif cegah konflik, diinisiasi oleh perwakilan UGM berkolaborasi dengan kampus-kampus di tiga kawasan.  

  • Pembentukan Forum Tata Kelola Cegah Konflik

Pembentukan forum tata kelola cegah konflik dilakukan sejalan dengan koordinasi dan konsolidasi para pihak atas inisiatif UGM melibatkan kampus-kampus utama di tiga kawasan (Sanata Dharma, Atma Jaya, UPN, Mercu Buana, AMPD-STPMD, Janabadra, Universitas Proklamasi, ITY, AKPAR, API, Wirahusada. Dalam forum yang terbentuk sebaiknya berisikan perwakilan kampus berupa pusat studi atau departemen tertentu yang dimandatkan sebagai wujud advokasi kampus bagi kehidupan damai dan integrasi mahasiswa bersama warga di lingkungan sekitaran kampus. Mengingat forum ini adalah pilot project, maka disarankan UGM mengambil tanggung jawab utama untuk menginisiasi dan mengawal pembentukan forum tata kelola cegah konflik ini.

  • Perumusan Aksi/Program cegah konflik Atas inisiasi UGM dan Kampus

Sebagai tindak lanjut terbentunya forum tata kelola cegah konflik, UGM sebagai agensi utama menginisiasi rangkaian pertemuan rutin berkelanjutan bersama para pihak untuk merumuskan program aksi. Program aksi berupa (1) aktivitas bersama yang melibatkan semua pihak, (2) aktivitas bersama khusus bagi pelibatan kelompok mahasiswa lintas etnis/daerah asal/kampus, (3) aktivitas bersama amtara kelompok mahasiswa lintas etnis/daerah/kampus dan komunitas warga bersama perwakilan dukuh/RT-RW untuk masing-masing kawasan, dan (4) aktivitas bersama antara kelompok mahasiswa, kampus, dan komunitas warga di masing-masing kawasan.

  • Peran dan tanggung jawab para pihak

Model tata kelola cegah konflik yang bersifat inklusif ini mensyaratkan fokus kegiatan/program melayani dua fungsi atau tujuan utama dari keterlibatan para pihak. Pertama, melayani tujuan konsolidasi untuk pelembagaan perdamaian. Mengingat adanya kerentanan menahun dan berlapis dalam relasi antara kelompok mahasiswa berbasis etnis/daerah asal dan relasi antara kelompok warga dan kelompok mahasiswa, maka model tata kelola cegah konflik mengarah pada positive peace, perdamaian positif yaitu transformasi kondisi kerentanan menjadi kondisi perdamaian untuk terbentuknya identitas bersama dalam keberagaman.

Kedua, melayani tujuan deskalasi konflik atau penghentian kekerasan kolektif—negative peace. Kerentanan sosial terkini yang ditemukan dalam penelitian ini menuntut peran forum tata kelola cegah konflik untuk memiliki kapasitas antisipasi terhadap eskalasi konflik menjadi kekerasan sekaligus cepat tanggap terhadap upaya deskalasi kekerasan. Kendati demikian, tujuan kedua ini dapat terealisasi sepanjang tujuan pertama telah terpenuhi yakni kapasitas teknis dan legitimasi para pihak sudah terbangun sehingga memudahkan koordinasi, konsolidasi dan mobilisasi penghentian kekerasan kolektif melalui mediasi dan negosiasi.