Konflik Pertambangan: Mengelola Paradoks (2010)

Tulisan singkat ini bertujuan untuk memperlihatkan dimensi-dimensi penting yang membentuk ruang lingkup konflik terkait praktik pertambangan dan resistensi masyarakat terhadap eksploitasi SDA. Dalam satu dekade terakhir, konflik pertambangan tak dapat dipisahkan dari dinamika demokratisasi dan penguatan isu kesejahteraan. Demokratisasi membentuk kesadaran baru di kalangan masyarakat bahwa eksploitasi sumber daya alam di daerah mereka perlu dikontrol dan dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat lingkar tambang.

Meski demikian, konflik-konflik yang muncul sebagian besar memperlihatkan kontestasi antara legitimasi dan legalitas, atau kontestasi dalam dua paradigma yang saling bertabrakan: paradigma hukum dan paradigma politik. Tulisan ini juga berargumentasi bahwa kajian konflik dan kelola konflik pertambangan patut mempertimbangan dua skenario atau formula pendekatan, yakni pertama, pendekatan kajian konflik terkait pembuatan kebijakan (process and input side) dan kedua, pendekatan kajian konflik terkait implikasi kebijakakan (process and output side).        

Demokrasi, Konflik dan Kesejahteraan

Rangkaian Konflik pertambangan yang marak beberapa tahun terakhir berlangsung dalam konteks sosial dan politik tertentu. Bersamaan dengan menguatnya konflik politik identitas di sejumlah daerah (Klinken, 2007),  konflik pertambangan tak bisa dilepaskan dari konteks demokratisasi pasca reformasi. Konflik ini pun dalam sejumlah kasus menghadirkan masyarakat sebagai aktor konflik dominan selain negara dan korporasi. Masyarakat memandang SDA di daerahnya sebagai aset publik dan juga sebagai aset komunal untuk kesejahteraan mereka. Di pihak lain, korporasi memandang tak ada persoalan dengan eksploitasi karena proses ini sudah memiliki basis hukum yang kuat.

Dalam situasi semacam ini, aktor dan institusi negara cenderung bersikap ambigu yang pada gilirannya memperlihatkan sikap oportunis baik dengan cara berafiliasi dengan masyarakat ataupun dengan korporasi. Dalam konteks demokratisasi ini, kesadaran baru masyarakat akan otonomi komunitas dan ko-eksistensi mereka dengan alam berhadap-hadapan dengan praktik eksploitasi SDA yang mendapatkan izin kuasa pertambangan. Absennya pemerintah dipertanyakan karena pemerintah pusat dan daerah yang sebetulnya memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi (UU Migas 22/2001; UU Minerba 4/2009).            

Tercatat bahwa selain masyarakat lingkar tambang, resistensi dan koreksi terhadap praktik eksploitasi SDA juga datang dari gerakan-gerakan peduli lingkungan hidup. Harus diakui sebagian besar studi dampak pertambangan terhadap sustainabilitas lingkungan hidup memberikan catatan buruk. Tidak saja kerusakan dan ancaman nyata terhadap ekosistem alam tetapi terpenting lagi rusaknya hubungan komunitas lokal dan alam tempat di mana ekploitasi itu berlangsung.  Studi dan advokasi PSKP (Mei-Desember 2010) di Halmahera Utara, misalnya, menemukan sejumlah persoalan krusial terkait dampak tambang  emas PT NHM terhadap ekosistem kehidupan setempat.

Limbah pertambangan mencemari sungai-sungai yang mengalir menuju pantai di pesisir Teluk Kao. Laut yang tercemar pun mempengaruhi aktivitas perikanan dan kelautan masyarakat sejumlah desa di pesisir Teluk. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah tangkapan ikan menurun drastis dan sangat berdampak terhadap keberlanjutan mata pencaharian kelompok nelayan setempat. Studi ini juga menemukan adanya pergeseran mata pencaharian secara sporadis dan masif dari sektor perikanan menuju sektor pertanian daratan tanpa intervensi yang memadai dari pemerintah daerah setempat.

Perlu dicatat, dalam beberapa tahun terakhir, protes dan koreksi terhadap praktik ekploitasi SDA berjalan bersama dengan munculnya paradigma ‘good corporate governance’. Paradigma ini dimaksudkan agar korporasi-korporasi melakukan eksploitasi dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dampak pertambangan terhadap ekosistem alam dan ekosistem komunitas. Tekanan diberikan pada pentingnya mengakomodasi kepentingan alam dan manusia yang hidup di sekitar areal pertambangan. Dalam paradigma ini, pertimbangan Amdal dan Community Corporate Responsibility (CSR) menjadi penting dan dipraktikkan dengan sejumlah keterbatasan dan kelemahan mendasar.

Dalam prakteknya, CSR misalnya lebih tampak sebagai proyek karitatif korporasi. Masyarakat atau komunitas lingkar tambang diperlakukan sebagai ‘beneficiaries’ yang perlu dipuaskan dengan memberikan pelayanan publik jangka pendek. Alih-alih melibatkan masyarakat, tata kelola ekploitasi SDA tetap saja menjadi urusan transaksi kepentingan korporasi dan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten). Paradigma ini pun menampilkan watak korporasi yang terlihat lebih humanis bersamaan dengan aktor-aktor negara pembuat kebijakan (pemberi izin eksplorasi dan eksploitasi) yang menjadikan korporasi sebagai penyandang dana untuk keperluan kontestasi politik lokal seperti Pilkadal Gubernur dan Bupati (McCarthy, 2007:189-224; Erman, 2007:225-266).

Tampilan PR (public relation) yang terkesan humanis itu tentu tak ada hubungannya dengan tata kelola demokratis terhadap eksploitasi pertambangan.  Dalam kasus konflik pertambangan, salah satu prinsip penting demokrasi yang terabaikan adalah akses masyarakat lokal terhadap proses eksploitasi tersebut. Masyarakat lokal tidak memiliki informasi memadai mengenai proses pengerukan isi perut bumi dan semata-mata berurusan dengan resiko bencana yang nyata dan aktual dari ekploitasi tersebut. Dalam situasi ini CSR hadir dengan memberikan masyarakat sebuah fantasi kesejahteraan baik dalam formula Community Development ataupun bagi hasil dengan pemerintah daerah setempat yang juga tak sepenuh diketahui masyarakat lingkar tambang.  

Masyarakat dikonstruksi sebagai konsumen yang tinggal menikmati bagi hasil keuntungan eksploitasi, sementara dibiarkan hidup dengan segala resiko nyata akibat tata kelola SDA yang tertutup antara investor dan elit-elit politik pusat dan daerah. Karena itulah dapat dimaklumi sikap resisten dan protes dengan kekerasan yang dipertunjukkan oleh masyarakat tidak semata-mata disebabkan persoalan adil tidaknya distribusi dana dan proyek Community Development, tetapi lebih mendasar lagi, yakni tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan korporasi. Artinya tidak ada rasa memiliki di kalangan masyarakat terhadap kehadiran dan praktik korporasi di wilayah mereka hidup dan bekerja. 

Kritik radikal terhadap tata kelola anti-demokrasi ini, secara langsung,  merupakan kritik terhadap rendahnya mutu politik representasi yang diwakili oleh elit-elit politik lokal dan daerah. Sikap abai dan tak bertanggung jawab para elit lokal terhadap masalah-masalah pertambangan tak terpisahkan dari karakteristik dan pola politik representasi di daerah-daerah pasca-desentralisasi. Maraknya politik representasi berbasis simbolik dan deskritif (etnis, agama dan daerah) menghadirkan ke arena pembuatan kebijakan para birokrat dan politisi tanpa basis konstituensi yang jelas.

Secara teoretis, mereka mewakili kepentingan negara dan warga negara, dalam hal ini konstituen politik. Dalam studi demokrasi mereka mewakili dan memperjuangkan kepentingan warga negara dalam proses pembuatan kebijakan dan pemberian izin pertambangan. Ini disebut representasi substansial (Pitkin,  1967:112-143). Bahkan tugas mulia para politisi ini pun disebutkan bahwa tidak hanya mewakili tetapi ikut memformulasi kepentingan masyarakat apabila kepentingan itu belum berwujud terutama karena mereka dianggap memiliki kapasitas merumuskan kepentingan publik (Laclau,  2005:157-164). Gambaran ideal ini ternyata jauh panggang dari api.

Bukannya terlibat dalam konflik pembuatan kebijakan dan pemberian izin pertambangan, para birokrat dan politisi ini justru tanpa silang pendapat memberikan persetujuan dan izin ekploitasi kepada para investor yang pada dasarnya hanya punya satu tujuan, yakini akumulasi kapital. Arena konflik pun bergeser ke tingkal paling bawah di mana masyarakat lingkar tambang berhadap-hadapan langsung dengan praktik dan dampak eksploitasi korporasi yang telah mendapatkan KP.  Artikulasi kepentingan masyarakat pun beragam, dari soal tanah ulayat, dampak perubahan mata pencaharian karena kerusakan ekosistem, sampai soal keadilan pembagian dana comunity development.

Dalam situasi semacam ini, korporasi cenderung mencari jalan pintas dengan melakukan negoisasi-negosiasi dengan masyarakat untuk pemecahan masalah jangka pendek sembari mengucilkan negara dari intervensi pasca-pembuatan kebijakan. Berbeda dari proses pembuatan kebijakan yang oligarkis, demokrasi justru berbicara melalui sikap dan tindakan warga negara yang mempersoalkan kehadiran dan kontribusi korporasi bagi kehidupan mereka sekaligus secara tak langsung mempertanyakan peran negara yang gagal memformulasikan kepentingan mereka dalam pembuatan kebijakan dan pemberian izin pertambangan.    

Konflik antara masyarakat dan korporasi, selain merupakan implikasi dari kelalaian negara yang fundamental dalam pembuatan kebijakan, juga menjadi arena dan momentum pembentukan kesadaran dan identitas kolektif. Argumen pesimistik yang menyatakan bahwa bentuk artikulasi mereka cenderung primordial, misalnya klaim wilayah ulayat, tak memiliki dasar analisis yang kuat. Dalam situasi negara tak hadir, masyarakat menyadari mereka sendirian dalam mangalami dan menghadapi resiko-resiko eksploitasi SDA. Ketika jalur-jalur formal tak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan kepentingan mereka, pilihan untuk menghidupkan imaji komunal–sebagai bagian dari alam dan kultur ekologis—merupakan cara efektif baik untuk mobiliasi kelompok kepentingan di antara mereka maupun untuk mengisi peran negara yang ditinggalkan para birokrat dan politisi pusat dan daerah.  

Dalam pengungkapan lain, konflik masyarakat versus korporasi merefleksikan menguatnya ‘political engagement’ warga negara yang semakin menyadari haknya dan mandiri dalam menghadapi resiko-resiko rusaknya hubungan produktif mereka dengan ekosistem kehidupan akibat eksploitasi. Di saat pemerintah menunjukan kecenderungan ‘political disengagement’ karena rendahnya mutu perwakilan politik, masyarakat lingkar tambang dan masyarakat peduli lingkungan hidup justru membela kepentingan manusia dan lingkungan kehidupan yang jauh lebih besar daripada slogan kepentingan ekonomi negara melalui pemberian izin pertambangan.     

Tentu bukan maksud tulisan ini untuk mendukung masyarakat berkonflik dengan korporasi. Yang mau diperlihatkan adalah konteks di mana konflik ini berlangsung. Konflik pertambangan perlu dibaca dalam kerangka yang lebih besar untuk mengetahui faktor-faktor utama yang menyebabkan munculnya konflik termasuk kekerasan-kekerasan yang muncul dalam konflik tersebut.  Kekerasan yang merupakan tampilan ekstrim dari konflik pertambangan bukan semata-mata kegagalan kelola konflik antara masyarakat dan korporasi melainkan lebih mendasar lagi, kegagalan fundamental negara dalam memformulasi kepentingan warga negara dan mempertimbangkan resiko-resiko nyata dari eksploitasi SDA dalam pembuatan kebijakan dan pemberian izin ekplorasi dan eksploitasi.

Dalam konteks itulah konflik antara korporasi dan masyarakat merefleksikan pertarungan hidup mati tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga generasi masa depan yang akan hidup dengan resiko-resiko sebagai makhluk hidup. Kehidupan yang harmonis dalam ekosistem menjadi terganggu dengan ekploitasi tanpa kontrol negara secara sistematis dan terpadu.  Berbeda dari para birokrat dan politisi yang hidup enak dan bisa tertidur lelap, eksistensi ekologis masyarakat lingkar tambang semakin telanjang dan terancam sebagai makhluk hidup ketika eksploitasi SDA tidak saja mempengaruhi bentuk dan sustainabilitas mata pencaharian mereka tetapi lebih fundamental lagi mengubah lingkungan hidup itu sendiri dan mengubah kosmologi hidup komunitas lokal di mana hubungan saling menjaga antara manusia dan alam menjadi dasar dan latar utama pergumulan hidup mereka di daratan dan di lautan (Martanto, 2007:173-192).

Kerusakan lingkungan berarti kelangkaan lingkungan sebagai sumber daya ekonomi yang membawa dampak kolateral yang serius seperti migrasi dan kekerasan-kekerasan sebagai dampak dislokasi sosial dan kultural. Dalam cara baca enviromental security, yang harus hidup dengan resiko fundamental ini bukanlah korporasi yang beroperasi sesuai masa kontrak, bukan pula negara yang tampil dalam entitas yang abstrak, melainkan masyarakat lingkar tambang itu sendiri.        

Antara Legitimasi dan Legalitas

Konflik masyarakat versus korporasi pertambangan yang marak beberapa tahun terakhir, merupakan ilustrasi paling terang dari pertarungan antara isu legitimasi dan legalitas dalam mengakses sumber daya alam. Dalam cara baca demokrasi politik, legitimasi disebut isu konflik karena legitimasi bukan kepentingan kolektif yang diperjuangkan melainkan kerangka simbolis dari klaim-klaim yang dirumuskan untuk dibawa ke dalam artikulasi politik.

Legitimasi menjadi ‘collective imaginary’ yang di dalamnya aktor konflik memandang sangat pentingnya memperjuangkan kepentingannya. Tak ada politik tanpa legitimasi. Sumber legitimasi dan dalam konteks apa ia terbentuk bisa beragam dan seringkali tumpang tindih. Dalam konteks konflik pertambangan, isu legitimasi menjadi kerangka simbolis-politis yang melaluinya masyarakat lingkar tambang memperjuangkan kepentingan ekonomi dan ekologis mereka. Kebangkitan kembali narasi tanah ulayat atau pun kosmologi lokal, misalnya, perlu dibaca sebagai kerangka simbolis perjuangan mempertahankan dan merebut kembali hubungan produktif komunitas lokal dengan alam yang dirusak oleh intervensi modal dan teknologi dalam praktik eksploitasi SDA.          

Di lain pihak, isu legalitas menjadi pilihan utama korporasi dalam memposisikan dan memperjuangkan kepentingan bisnisnya. Berlindung di balik tameng hukum, inisiatif negosiasi yang diambil korporasi cenderung bergerak dari paradigma hukum sebagai panglima. Tentu saja isu legalitas (seperti bukti kuasa pertambangan, pemenuhan kriteria Amdal dan distribusi dana Comdev) merupakan satu-satunya opsi yang tersedia buat korporasi ketika menghadapi gerakan tolak tambang. Dalam sebagian besar kasus konflik korporasi dan masyarakat, korporasi tak bisa berbuat banyak selain menegaskan legalitas ekploitasinya dan bernegosiasi dengan masyarakat untuk merespon aspirasi-aspirasi kesejahteraan yang bersifat taktis dan strategis yang sebetulnya merupakan tugas pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan dan jalur transportasi. Kemudahan mendapatkan izin ekploitasi dari pemerintah daerah yang elitis rupanya harus dikompensasi dengan mengurusi pelayanan publik yang bersifat strategis.

Bernegosiasi dengan komunitas yang belum mampu membaca konteks pembuatan kebijakan, korporasi menunjukkan dua kecenderungan permanen. Pertama, bernegosiasi langsung dengan masyarakat dan kedua, mencegah masuknya negara dalam konflik tersebut. Dalam praktiknya dua kecenderungan ini tergantung pada konteks dan kepentingan yang diperjuangkan masyarakat.

Studi-studi konflik pertambangan di sejumlah daerah menunjukkan bahwa sikap oportunis korporasi juga bergantung pada watak rejim politik setempat yang tidak saja ‘mengeksploitasi’ korporasi tapi juga berubah haluan ‘membela’ kepentingan masyarakat dalam konflik tersebut untuk kepentingan politik mereka sendiri (McCarthy, 2007; Lay, 2007:153-171). Dalam situasi ini pun masyarakat cenderung bersikap pragmatis asalkan aspirasi mereka dapat dipenuhi korporasi. Aktor-aktor negara kian luput dari kritik masyarakat. Studi PSKP di Halmahera Utara (2010) misalnya menemukan fakta bagaimana konflik berkepanjangan antara perusahaan tambang emas PT NHM dan masyarakat 6 desa di pesisir Teluk Kao telah mengalihkan perhatian masyarakat lingkar tambang terhadap peran pelayanan publik pemda di kawasan tersebut. Dalam masyarakat pun muncul persepsi bahwa pelayanan publik strategis harus ditangani melalui dana Comdev.    

Di atas kertas, konfrontasi antara isu legitimasi dan legalitas sudah dapat dipecahkan melalui penerapan UU Migas 22/2001 dan UU Minerba 4/2009. Khusus untuk UU Minerba, peran pemerintah daerah sangat penting untuk mengassesment dan memformulasi kepentingan masyarakat di wilayah pertambangan yang direncanakan. Dengan otoritas pemberikan izin eksplorasi, izin eksploitasi kepada investor serta pengawasan, pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten, diberikan wewenang dan kewajiban melindungi dan memperjuangkan kepentingan daerah dan masyarakatnya dalam bernegosiasi dengan bakal kontraktor pertambangan.

Secara tak langsung, UU Minerba memberi peluang besar kepada pemerintah daerah untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat daerah yang dapat digarap sejak periode eksplorasi sampai periode eksploitasi SDA. Kendati demikian, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, baik UU Migas maupun UU Minerba yang menjunjung tinggi prinsip ‘democratic governance’ ini tidak direspon birokrat dan politisi lokal dalam semangat otonomi daerah selain semangat ‘raja-raja kecil’ yang dengan mudahnya memberikan izin eksploitasi untuk secepatnya menarik upeti dari proses ekploitasi tersebut.

Idealnya, isu legitimasi—representasi kepentingan daerah dan masyarakat daerah—dipertaruhkan dalam proses pemberian izin eksplorasi dan izin ekploitasi. Idealisme ini sulit terwujud melihat kinerja birokrasi lokal dan kapasitas politisi lokal yang sangat rendah dalam perspektif demokrasi politik. Di atas segala peraturan dan regulasi teknis yang seringkali tumpang tindih, tidak ada rintangan yang menghalangi mereka merumuskan kepentingan masyarakat daerah dan khususnya kepentingan masyarakat lingkar tambang. Persoalan muncul ketika bupati dan gubernur memandang diri mereka layaknya raja di daerah yang berdampak langsung pada buruknya koordinasi lintas departemen dan badan yang terkait dengan pertambangan.

Di propinsi NTT, misalnya, sejak tahun 2009 Gubernur telah mengeluarkan 300an KP yang sebagian terbesarnya tak diketahui masyarakat di lingkar tambang. Masyarakat baru mengetahui adanya eksploitasi ketika ada sosialisasi perizinan baik yang dilalukan korporasi sendiri maupun aparatur pemerintah provinsi. Sebagaimana kasus di daerah lain, tata kelola anti-demokrasi ini tentu menyimpan bom waktu yang akhirnya menggiring masyarakat dan kontraktor eksploitasi ke dalam konflik di kawasan pertambangan. 

Uraian ini hendak menunjukkan bahwa surat izin ekploitasi sebagai produk kebijakan tidak mempertimbangkan prinsip legitimasi yang dipersyaratkan oleh proses politik pembuatan kebijakan yang demokratis. Tentu prosedur dan mekanisme diperhatikan pemda sejalan dengan amanat undang-undang, meski yang termuat dalam proses itu bukanlah formulasi kepentingan masyarakat. Surat izin memberikan basis hukum bagi korporasi untuk melakukan eksploitasi sekaligus sebagai sebab utama masyarakat berkonflik dengan korporasi. Tidak hadirnya masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan tanpa legitimasi itu mendorong masyarakat membayangkan dan merumuskan kerangka legitimasi mereka sendiri dalam berhadapan dengan korporasi. Barangkali inilah resiko-resiko politik dan ekonomi yang harus dihadapi korporasi karena semestinya konflik kepentingan itu sudah berlangsung dan dipecahkan dalam proses pembuatan kebijakan sampai dikeluarkannya izin eksploitasi.

Dua Skenario

Dalam analisis serba cepat ini dan ditopang oleh sejumlah studi kasus konflik pertambangan yang tipikal pasca desentralisasi, penulis memandang penting upaya resolusi konflik melalui dua skenario secara simultan. Pertama skenario resolusi dan kelola konflik dalam arena pembuatan kebijakan dan kedua, skenario resolusi dan kelola konflik antar korporasi dan masyarakat selama proses eksploitasi. Dua skenario ini tidak lebih dari kerangka besar memahami dan melakukan upaya kelola konflik dari perpsektif demokrasi politik.

Skenario pertama dibangun di atas asumsi bahwa konflik kepentingan antar masyarakat dan korporasi haruslah muncul dalam proses pembuatan kebijakan. Masyarakat melalui representasi pemerintah daerah bernegosiasi dengan korporasi mulai dari proses eksplorasi sampai proses eksploitasi. Masyarakat perlu diberi informasi memadai mengenai rencana ekplorasi dan eksploitasi SDA. Selain peran birokrasi dalam hal ini dinas-dinas terkait seperti dinas pertambangan dan kehutanan, parlemen daerah mendapatkan kesempatan membuktikan kerja perwakilan atas kepentingan masyarakat sebagaimana merupakan fundamen eksistensi mereka sebagai dewan perwakilan rakyat. Lalai terhadap fungsi politiknya ini berarti hancurnya fundasi eksistensi politiknya sendiri. Bersamaan dengan itu, gerakan-gerakan masyarakat sipil perlu mengambil inisiatif mengawal proses pembuatan kebijakan sembari mengkonsolidasi kelompok kepentingan yang muncul di sekitar areal pertambangan yang sedang dieksplorasi. Ini terkait fakta sumber daya manusia birokrasi dan politisi lokal yang mengkhawatirkan pasca-desentralisasi.      

Point penting dari kerja kolektif ini adalah pelembagaan kepentingan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Kepentingan tidak bakal terbentuk tanpa kerja politik, membutuhkan keagenan dan mobilisasi ke dalam arena pembuatan kebijakan. Lebih lanjut, pelembagaan kepentingan masyarakat ini pun sangat membantu korporasi menegosiasikan kepentingan bisnisnya berhadapan dengan kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat lingkar tambang. Collective gain yang diperoleh pemda dan masyarakat mempermudah korporasi meletakkan eksistensi dan perannya untuk pembangunan masyarakat lokal. Manfaat bersama pun kurang lebih dapat terumuskan dalam negosiasi berbasis kepentingan dan pengetahuan/informasi. Pada tahap ini proses politik pembuatan kebijakan mentransformasi legitimasi politik masyarakat ke dalam produk kebijakan berupa pemberian surat izin atau kontrak kerja sama antara investor dan pemerintah.  

Meski terkesan sulit dilakukan, skenario ini mendesak dilakukan terutama karena terkait hak konstitusional warga negara dan amanat undang-undang yang memberikan wewenang dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk memprioritaskan kepentingan masyarakat dan sustainabilitas lingkungan hidup. Skenario ini juga dapat membantu mengubah perilaku transaksional dalam tata kelola pertambangan antara aktor-aktor pemerintahan (Bupati, Gubernur dan DPRD) dan korporasi yang sama-sama cenderung bersikap pragmatis.

Efek tranformatif skenario tentu berjangka panjang, mentransformasi perilaku negara lokal dan mentransformasi ‘rakyat’ menjadi warga negara yang aktif memperjuangkan kepentingan mereka secara kolektif melalui parlemen ataupun melalui desakan-desakan non-parlementer yang didukung gerakan-gerakan advokasi dan lingkungan hidup. Sepanjang proses demokratis ini benar-benar berlangsung, perilaku eksploitasi korporasi mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah daerah dan masyarakat lingkar tambang. Begitu pula pelibatan tenaga kerja lokal dan transfer teknologi dan keahlian menjadi perhatian khusus pemerintah daerah.           

Skenario kedua adalah resolusi dan kelola konflik selama proses eksploitasi. Dalam beberapa tahun terakhir, konflik pertambangan persis berlangsung dalam skenario ini. Sebagai konsekuensi tata kelola kebijakan anti-demokrasi, eksploitasi pertambangan mendapat resistensi masyarakat sampai pada aspirasi tolak tambang. Konflik ini pun lebih mencerminkan kegagalan pelembagaan kepentingan masyarakat selama proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks inilah upaya negosiasi baik yang dilakukan pihak perusahaan dan maupun upaya mediasi pihak ketiga perlu mencermati hubungan antara politik kebijakan, konflik kepentingan dan kekerasan yang menyertai konflik tersebut.

Tersituasikan dalam periode eksploitasi, upaya mediasi pihak ketiga difokuskan untuk mengatasi sumber-sumber masalah yang menjadi penyebab konflik. Tentu upaya ini tidak mudah karena seringkali upaya mediasi sebetulnya sedang mengelola para pihak dengan posisi dan cara pandang konflik yang berbeda. Warga masyarakat yang marah dan kecewa di satu sisi dan pihak korporasi yang mengedepankan pertimbangan kelancaran bisnis dan dasar hukum yang menjustifkasi praktik eksploitasinya. Agar tak terkesan memaksakan kemampuan dan menutup mata terhadap konteks konflik, pihak ketiga perlu mendorong pemerintah daerah dan parlemen lokal ke dalam proses penyelesaian konflik. Hal ini dapat membantu masyarakat melihat konflik mereka dengan cara yang lebih tepat dan dalam kerangka artikulasi melalui jalur formal-konstitusional. Kehadiran pemerintah dalam penanganan konflik ini bukan saja untuk menyelesaikan pokok soal yang dipertikaikan (yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah) tetapi juga memobilisasi masyarakat menuntut peran negara yang lebih konkrit dalam mengatasi persoalan di lingkar tambang.

Patut dicatat bahwa gerakan advokasi yang menghabiskan energinya untuk memenangkan kepentingan masyarakat terhadap kepentingan korporasi tidak banyak membantu menyelesaikan akar persoalan konflik pertambangan. Fokus sepenuhnya pada advokasi masyarakat dalam konflik masyarakat versus korporasi cenderung mengabaikan persoalan kebijakan sebagai akar masalah dan membuat negara tak bertanggung jawab terhadap dampak kebijakan yang dibuat secara serampangan dan sarat kepentingan elit lokal. Poinnya adalah dengan upaya mediasi konflik antar masyarakat dan korporasi, pihak ketiga menjadikan kelola konflik ini sebagai kesempatan menghadirkan negara di hadapan masyarakat dan korporasi. Dalam formula semacam ini, bisa diidentifikasi seberapa jauh negara menjadi aktor konflik yang ikut bermain dalam konfrontasi antara korporasi dan masyarakat. Juga dapat diketahui apakah negara telah merepresentasikan kepentingan masyarakat dalam membuat kebijakan yang terbukti merugikan masyarakat dan ekosistem kehidupan selama periode eksploitasi. 

Frans Djalong. Refleksi atas Konflik Sumber Daya Alam, Pelatihan Dasar Konflik dan Penanganan Konflik, PSKP UGM bersama BP Migas dan perwakilan korporasi pertambangan, Yogyakarta, 25-28 Oktober 2010

Referensi

Bulletin, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, CSR Masuk Strategi Bisnis, No 16, Desember 2006.

Erman, Erwiza (2007) “Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal: Studi Kasus Bangka”, dalam Nordholt dan Klinken (eds) Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KITLV, hal 225-266

Laclau, Ernesto (2005) On Populist Reason. London: Verso

Lay, Cornelis (2007) “Nilai Strategis Isu Lingkungan dalam Politik Indonesia”, dalam  Dinamika Politik Lingkungan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 11, Nomor 2, November 2007, hal 153-172

Martanto, Ucu (2007) “Perubahan Lingkungan dan Konflik Kekerasan: Membaca Papua Melalui Pendekatan Environmental Security”, dalam Dinamika Politik Lingkungan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 11, Nomor 2, November 2007, hal 173-192

McCharthy, John F (2007) “Di Jual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik atas Alam di Kalimantan Tengah”, dalam Nordholt dan Klinken (eds) Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KITLV, hal 189-224

Pitkin, Hanna Fenichel (1967) The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press    

Tim Peneliti PSK,  Rekomendasi Kebijakan (Membangun Perdamaian: Mengembangkan Kohesi Sosial di Halmahera, Maluku Utara), Oktober 2010 

Undang-Undang No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara