Ideologi bekerja tidak semata melalui dogma atau seperangkat konsep yang sistematis. Lebih dari itu, ideologi terbaca dan teruji melalui tindakan yang berpola, terlembaga dan kemudian diterima sebagai norma kebenaran, sekaligus pembenaran. Singkatnya, ideologi sebagai teknologi politik.
Dengan pengertian sederhana di atas, kita bisa memeriksa Orde Baru dengan pertanyaan yang tak terduga. Yaitu, apakah Orde Baru itu sungguh-sungguh anti-komunis atau sebaliknya, dalam Orde Baru gagasan dan tindakan komunisme menjadi paradima negara?
Menjawab pertanyaan baru seperti ini, kita disarankan tidak berkumpul dalam ruang diskusi dan debat kusir tentang apa itu ideologi, tetapi pergi ke cerita atau kesaksian sejarah tentang komunisme sebagai sistem ekonomi-politik.
Nah, dari cerita sejarah dunia, komunisme itu terjelma dalam sistem memerintah yang terpusat. Satu garis komando politik, dari atas ke bawah, dengan satu pemimpin tertinggi dikelilingi orang-orang kepercayaan atau satu badan khusus seperti polit biro atau komite sentral.
Dalam sistem kerja Komunis, rekayasa sosial, politik dan ekonomi, termasuk juga rekayasa kebudayaan, bekerja dengan slogan kemakmuran, ketertiban dan keluhuran. Semuanya diseragamkan, diatur dan dijaga, lebih sering dengan intelijen dan senjata. Kemakmuran dicapai secara bertahap, diukur setiap lima tahun atau lebih, menuju masyarakat sama rata, satu pikiran dan sama rasa.
Paling kentara sekaligus menyiksa batin, dalam sistem ini, pikiran warga negara harus tunduk pada asas berpikir elit partai dan birokrasi. Berbeda sedikit saja, diringkus ke dalam penjara, selebihnya jika berani melawan ditembak di tempat atau dilempar ke tempat pembuangan dengan kerja paksa sambil menanti belas kasihan penguasa.
Dalam sistem ini, mulut manusia tak lebih dari organ tubuh memasukan empat sehat lima sempurna, tidak untuk menyampaikan perasaan dan isi kepala. Anak remaja dan generasi mudah dicuci otaknya melalui kurikulum, dikeringkan imajinasinya dengan ritual pedagogi dan siap dipakai atau dikerahkan untuk bela tanah air, memberantas musuh negara, berupa manusia, simbol, berita bahkan buku atau teks tertentu. Mereka tak diberi kesempatan untuk tahu dan belajar siapa itu musuh dan mengapa dia harus menjadi ancaman terhadap eksistensi negara dan diri mereka sendiri.
Itu gambaran cepat cara kerja brutal sistem komunis di China dan Uni Soviet selepas Perang Dunia II sampai tahun 1960 dan 1970-an sebelum akhirnya diperbaharui menjadi lebih manusiawi.
Lalu, bagaimana dengan Orde Baru kita, 1968-1998? Bukankah buku-buku sejarah dan kajian ekopol menunjukan karakteristik Orde Baru serupa dengan karakteristik sistem komunis yang tersebutkan di atas?
Juga bukankah itulah alasan mengapa kita menolaknya, menjatuhkannya dan berusaha menjadi lebih baik, lebih manusiawi, lebih demokratis, dengan Reformasi 1998 sampai hari ini?
Patut dicatat dua hal penting. Pertama, PKI 1952-1965 belum pernah berkuasa di Indonesia, sebatas kekuatan politik di antara kekuatan politik lain yang berusaha merebut kekuasaan. Kedua, Komunisme adalah elemen ideologis penting yang menjadi inspirasi proyek nasionalisme Sukarno dan Pancasila. Komunisme adalah ideologi besar yang mendorong lahirnya nasionalisme, de-kolonisasi di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Sekiranya kita berpikir lebih cerdas lagi tentang PKI, Orde Baru dan Komunisme.
Frans Djalong. 30 September 2020