Melampaui Politik Identitas: Politik Islam Indonesia Menuju Tata Dunia Pasca-Unipolarisme (2022)

Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi, Prisma, Vol 41, No 3, 2022, 43-59, link https://www.google.com/search?q=Prisma+melampaui+politik+identitas

(berikut cuplikan hal 49-59)

‘Islam Damai’ dan ‘Indonesia Multikultural’

Selama periode konsolidasi unipolar GWOT, ketika artikulasi politik  Islam saling mengunci, diplomasi Indonesia di Asia Tenggara dan dunia belum memperlihatkan proaksi politik Islam sebagai komponen terpenting dalam nasionalisme anti-kolonialisme dan kritik terhadap neo-imperialisme. Tentu tidak mudah untuk mengharapkan artikulasi politik Islam bakal menjadi kekuatan koreksi terhadap tata dunia yang tak adil terutama karena basis artikulasinya masih terkunci dalam wacana multikulturalisme dan toleransi, sebagaimana dibahas sebelumnya. Neoliberalisasi terhadap politik Islam membawa konsekuensi serius terhadap artikulasi Islam di dalam dan di luar negeri secara bersamaan. Di dalam negeri, Islam dijadikan matriks politik identitas untuk polarisasi politik elektoral dan isu keamanan negara, sementara ke luar negeri Islam Indonesia dihadirkan sebagai keunikan Nusantara ketimbang sebagai bagian dari sejarah dekolonisasi dan konsolidasi negara-negara pasca-kolonial dalam tata-dunia unipolar.[1]

Selama periode GWOT, artikulasi Islam Damai ke luar negeri tidak terpisahkan dari involusi politik Islam di dalam negeri pasca-Orde Baru. Terorisme dan kontra-terorisme menjadi wacana kebijakan sejak Bom Bali 2002 dan hal ini berkembang sejalan dengan konflik komunal berbasis etnis-agama di Maluku dan Sulawesi Tengah, respon terhadap etno-nasionalisme Aceh, selain rangkaian peristiwa diskriminasi dan intoleransi di berbagai daerah. Pada fase awal perang terhadap teror, dikeluarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Terorisme 2003, termasuk pembentukan Densus 88, untuk memastikan aksi teroris dihentikan dan jaringannya diberantas. Eskalasi teror dan ekspansi jaringan transnasional terorisme ini diberi perhatian serius agar Indonesia tidak menjadi salah satu simpul utama dari front kedua Al Qaeda di Asia.[2]   

Konsentrasi kebijakan pada isu utama terkait terorisme dan konfllik komunal kemudian mulai mewarnai artikulasi kekuatan-kekuatan politik Islam dalam kancah demokrasi elektoral. Liberalisasi politik Islam pasca-Orde Baru mendorong kekuatan-kekuatan politik Islam mendekati dua isu ini dengan sikap yang tak seragam kendati sebagian besar pendekatan didasarkan pada konstruksi ancaman terhadap keamanan warga negara, potensi disintegrasi dan bahaya bagi dunia.[3] Dalam situasi ini artikulasi politik Islam menjadi terpecah-belah, tanpa panduan strategis dalam konteks liberalisasi politik, dan perlahan diubah dari kekuatan utama demokratisasi menjadi masalah dan tantangan demokrasi. [4] Pergeseran itu sangat dramatis dan serba cepat karena terbentur dari dua arah sekaligus, yaitu inflitrasi radikalisme-terorisme transnasional dan kontraksi nasional antar-sesama anak bangsa menata Indonesia di pusat dan daerah seiring agenda demokratisasi dan desentralisasi. 

Sejak 2010, setidaknya sejak dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan digencarkannya agenda Indonesia Multikultural, artikulasi politik Islam mulai terkunci dalam kerangka berpikir neoliberal yaitu apakah Islam itu selaras atau tak selaras dengan demokrasi liberal. Dalam pertanyaan ini Islam bergeser menjadi pertanyaan tentang identitas Indonesia, ideologi Pancasila, dan promosi Indonesia multikultural dalam tata dunia liberal. Terhadap pertanyaan apa itu Islam Indonesia, artikulasi politik Islam ternasionalisasi sedemikian rupa dalam arti jawabannya hanya bisa dicarikan dalam dua hal. Pertama, keunikan identitas yang beragam namun dipersatukan oleh Pancasila dan kedua, diplomasi politik dan budaya ke luar negeri yang tak lebih dari promosi keislaman Indonesia yang merayakan perbedaan. Poin pentingnya adalah bahwa dalam kerangka berpikir neoliberal ini, Islam Indonesia mengalami nasionalisasi sebagai wacana kebangsaan berkaitan dengan keberagaman budaya dan Islam Indonesia mengalami transnasionalisasi sebagai pendukung wacana global demokrasi liberal yang memisahkan secara tegas ruang lingkup agama dan negara.   

Resolusi konseptual ini membawa Islam dalam agenda politik luar negeri sebagai jalan pintas kebijakan yang dilakukan selama periode akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dua periode periode pemerintahan Joko Widodo. Resolusi ini memberi efek kebanggaan tersendiri bagi diplomasi Indonesia dalam kendali collective West yang membutuhkan Indonesia sebagai aliansi strategis khususnya mengalihkan perhatian Indonesia dari unilateralisme dan destabilisasi di Timur Tengah. Bahkan pada periode krusial GWOT 2015-2020, ketika Rusia, China dan Iran mulai menghadang aksi unilateral AS di Suriah sampai terusir dari Afghanistan, diplomasi Indonesia tidak mengambil terobosan strategis untuk menjadi aktor penting dalam periode yang menentukan transisi geopolitik tersebut. Sebaliknya, kebijakan politik luar negeri kita lebih diarahkan pada pengawasan dan penindakan terhadap pengaruh ISIS di dalam negeri. Selama periode ini, tidak tampak adanya proaksi diplomasi untuk menghentikan destabilisasi Timur Tengah—yang kerap menjadi episentrum yang membentuk pola aksi teror di negeri ini, baik menjadi foreign fighters atau melakukan aksi kekerasan di dalam negeri. Dengan kata lain, kita lebih bersibuk memperlakukan diri sebagai sasaran ancaman jaringan teroris proksi unilateralis tersebut.[5]

Di dalam negeri, nasionalisasi Islam dalam tata kelola kebangsaan atau manajemen politik keragaman menghasilkan ragam arus artikulasi yang saling menentang baik untuk kepentingan gerakan sosial maupun terpenting untuk polarisasi politik. Di satu sisi, muncul gerakan Islam Nusantara dengan semangat untuk menggarap keberagaman sebagai identitas politik Islam bersamaan dengan gerakan Islam Modern yang memberi perhatian pada pembaharuan ideologis dalam kaitan dengan perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi. Sementara di sisi lain, muncul gerakan Islam yang dilabeli fundamentalis, radikal dan intoleran, yakni mereka yang mengartikulasikan Islam koreksi terhadap demokrasi liberal termasuk terpenting interpretasi Pancasila (seperti Hizbut Tahrir, HTI) dan menentang isu pluralisme namun mengartikulasikan isu ekonomi-politik masyarakat urban yang ‘tidak didengar’ (seperti Front Pembela Islam, FPI). Sebagaimana diketahui, arus-arus gerakan ini lebih sering bertengkar daripada melakukan dialog pemikiran dan proyeksi kebijakan. Polarisasi Islam politik ini pula yang terus menghantui perasaan komunitas non-Muslim yang merasa berada dalam bahaya radikalisme dan intoleransi, menggarap narasi biner problematik ‘mayoritas-minoritas’ dalam kerangka kebangsaan dan kewarganegaraan Indo nesia.  

Nasionalisasi dan transnasionalisasi Islam Indonesia dalam kendali neoliberalisme memiliki efek destruksi yang sama besarnya terhadap kapasitas politik Islam sebagai kekuatan pembeda atau alternatif bagi ideologi dominan dalam spektrum global. Salah satu risiko terburuk adalah polarisasi politik elektoral selain promosi toleransi yang semata-mata berhenti pada perayaan perbedaan. Demokrasi elektoral menjadi ajang kontestasi dua artikulasi ini, ditandai dengan produksi isu-isu politik untuk mobilisasi massa dan polarisasi kekuatan parlemen-partai politik. Demikianlah Pilpres/Pemilu 2014 dan 2019 kemudian tak lebih dari pesta kebencian dengan saling melabelkan satu sama lain dalam narasi keislaman dan nasionalisme. Instrumentalisasi antagonisme berbasis politik identitas ini bukan hanya produk dari kecerdikan oligarki, namun bahwa antagonisme ini telah terkondisikan oleh nasionalisasi dan transnasionalisasi politik Islam dalam metanarasi demokrasi liberal selama paruh kedua periode GWOT.[6]

Involusi politik Islam sejak periode akhir pemerintahan SBY lebih disebabkan oleh hilangnya pertanyaan penting mengenai artikulasi politik Islam untuk keadilan dan kesetaraan. Argumen tentang hilangnya artikulasi ideologis tersebut semakin terbaca dalam kontestasi Pilres 2014 dan hilang sama sekali dalam isu politik Pilpres 2019. Menarik dicermati bahwa artikulasi politik Islam, baik dari kubu ‘nasionalis’ maupun ‘Islamis’, tidak membawa Islam ke dalam tata kelola pembangunan dan proyeksi diplomasi ke luar negeri. Terdapat pula kelompok Islam, seperti Gerakan 212 yang memobilisasi dukungan massa untuk anti-Ahok dalam Pilkada Jakarta, yang mengartikulasikan isu ketimpangan dan mengangkat narasi Muslim Indonesia yang terabaikan dan terdzolimi.  Namun, artikulasi semacam ini menjadi problematis terutama karena kerangka Muslim versus Non-Muslim, yang dianggap sebagai akar masalah, tidak mampu menjelaskan problem ketimpangan pembangunan di negeri. Artikulasi ini malah melahirkan polarisasi sosial baru—misalnya dalam narasi ‘pribumi’ versus ‘non-pribumi’ dan ‘mayoritas’ versus ‘minoritas’—yang tidak punya potensi dampak bagi perubahan struktural sedikitpun.

Demikian halnya dalam meninjau kembali sebab-sebab konflik komunal dan terorisme transnasional, pertanyaan tentang akar masalah dihilangkan dalam diskusi kebijakan. Meskipun Undang Undang Penanganan Konflik Sosial, yang didasarkan pada pengalaman konflik etnis-umat beragama 1999-2004, diberlakukan pada 2013, ramifikasi konflik terus berlanjut dengan terjadinya nasionalisasi dan lokalisasi jaringan teror dengan tujuan yang tidak lagi terkait dengan isu global. Konflik komunal dinetralisasi semata sebagai problem teknis pembangunan yang bisa dipecahkan dengan konsesi politik dalam kelola kekuasaan dalam demokrasi elektoral. Begitu pula halnya dengan lokalisasi gerakan teror di Poso dan Ambon disederhanakan sebagai soal radikalisasi ideologi yang bisa d iatasi dengan program deradikalisasi dan disengagement atau mencerabut para pihak dari jaringan teror. Dengan kata lain, hubungan identitas keislaman dengan demokrasi dan pembangunan tidak dikembangkan tetapi dikerangkai sebagai persoalan radikalisme dalam ideologi keislaman.

Sekuritisasi dan teknokratisasi terhadap  perkara Islam dan nasionalisme selama periode liberalisasi politik berdampak langsung pada performa kebijakan luar negeri. ‘Islam Damai’ dalam ‘Indonesia Multikultural’ dijadikan menu diplomasi sejalan dengan artikulasi Islam politik ‘nasionalis’ yang berkuasa sejak pemerintahan SBY sampai sampai dua periode pemerintahan Jokowi. Pertanyaan apakah Islam Indonesia sebagai diplomasi budaya atau bagian dari artikulasi politik Islam tentu tidak sulit ditemukan jawabannya. Yaitu bahwa kekuatan politik ’nasionalis-Islam moderat’ yang memenangkan pemilihan umum mengedepankan diplomasi kebudayaan daripada diplomasi politik dalam kebijakan luar negeri. Sebagaimana akan dibahas, ada anggapan umum yang lahir dari euforia elektoral bahwa kita tak perlu lagi mempelajari dunia Islam lainnya karena Indonesia adalah dunia islam itu sendiri, yang khas dan istimewa—Islam  yang damai dalam Indonesia yang beragam.

Joko Widodo dan Retno Marsudi, Dua Wajah ‘Islam Damai’ yang liberal, inferior dan reaksioner dalam tata dunia unipolar, KTT G20, Source Liputan6.com

Defisit Geopolitik   

Islam Damai dalam narasi Indonesia Multikultural terintegrasi dalam aksi diplomasi mencerminkan dua isu strategis politik Islam yang terabaikan. Pertama, sebagaimana diuraikan terkait nasionalisasi Islam yang  paradoksal, arus utama Islam Damai dalam kebijakan luar negeri memperlihatkan kepada dunia unipolar bahwa praktek demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan efektif. Artinya, antagonisme internal dalam artikulasi Islam telah dipecahkan melalui kotak suara dan suara terbanyak dengan sendirinya berarti terbentuknya hegemoni Islam Damai. Dengan demikian, tujuan promosi tersebut adalah untuk menegaskan sambungan antara kelola hubungan agama dan negara dalam negeri dan ekspresinya dalam visi Indonesia ke dalam dunia unipolar. Alih-alih merumuskan artikulasi politik Islam yang berpihak dalam merespons agenda unipolar GWOT, diplomasi model ini menjadi eksplikasi kebijakan untuk memastikan dunia unipolar berdecak kagum dengan capaian demokrasi liberal di Indonesia. 

Kedua, Islam Damai yang dibungkus dalam diplomasi Indonesia Multikultural balik menegaskan defisit proaksi kebijakan luar negeri dalam dua dekade Islam dijadikan matriks keamanan dan ketidakamanan internasional. Bukannya mempertanyakan konstruksi Islam sebagai ancaman, diplomasi Indonesia Multikultural malah sebaliknya terobesesi dengan kebutuhan diakui ‘masyarakat internasional’ sebagai negara Muslim yang netral atau bebas dari kekisruhan politik Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah. Dalam konteks ini, menjadi jelas bahwa diplomasi Indonesia Multikultural bergerak dalam matriks yang ditetapkan unilateralisme George Bush dengan slogan perang ‘you are with us or with the terrorist’. Eskalasi teror dalam negeri dan antagonisme politik Islam Nusantara-Islam Radikal rupanya tidak mengarahkan diskusi kebijakan kepada aksi-aksi unilateral Amerika Serikat bersama NATO terhadap Afganisthan, Irak, Libya, dan Suriah. Sebaliknya, rekam jejak diplomasi Indonesia malah terkesan ‘membenarkan’ aksi unilateral tersebut dan berusaha menegaskan ke dunia bahwa Islam Indonesia itu cinta damai atau minimal tidak ambil bagian dalam kekacauan politik Islam Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika.

Defisit kepekaan geopolitik dan terlalu membangagungkan diplomasi multikultural bukanlah hal yang menguntungkan tetapi berkontribusi pada tidak maksimalnya kontribusi politik luar negeri Indonesia. Dengan netralisasi Islam sebagai urusan kebudayaan maka Indonesia gagal mendayagunakan prinsip keadilan dan kesetaraan sebagai unsur ideologis keislaman yang terpenting dalam konstruksi Pancasila, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Hal ini sekali disebabkan nasionalisasi Islam sebagai persoalan demokrasi dalam negeri semata yang harus dipecahkan untuk mempertunjukkan pentingnya posisi Indonesia dalam dalam tata dunia unilateralisme GWOT. Dengan kata lain, Islam Indonesia dipartikularisasi sebagai kekhasan Nusantara, sementara sifat keuniversalannya ditemukan pada aspirasi perdamaian dalam arti tidak berpotensi menjadi ancaman bagi demokrasi liberal dan tata dunia unipolar.

Dalam lensa realisme politik, kisruh politik Timur Tengah adalah isu strategis yang bisa dimainkan kebijakan luar negeri Indonesia, selain advokasi kedaulatan negara melawan campur tangan kekuatan unipolar di Amerika Latin dan komplikasi konflik di Afrika. Kisruh berdarah Timur Tengah tak terpisahkan dari aksi unilateralisme dan provokasi konflik Suni-Shiah dalam kaitan dengan perebutan wilayah sumber daya energi dan wilayah pengaruh. Selama periode pemerintahan SBY dan Jokowi, hampir tidak ada proaksi strategis yang dilakukan khususnya untuk mengurangi ketegangan diplomatik antara Iran, Turki dan negara-negara Arab. Ketegangan diplomatik itu menjadi konflik berdarah-darah antara sesama umat Muslim dan tentu saja berdampak pada ramifikasinya berupa ekspansi gerakan teror transnasional sebagaimana dialami Indonesia selama dua dekade. Alhasil, dengan krisisnya unilateralisme Amerika Serikat, diplomasi Indonesia Multikultural terbukti tidak meninggalkan rekam jejak geopolitik perdamaian.

Ilustrasi lain tentang tidak jelasnya visi geopolitik juga terlihat dalam diplomasi Indonesia Multikultural di Asia Timur dan Asia Tenggara. Tersituasikan dalam ruang multikultural Asia Tenggara, proaksi diplomasi Indonesia terhadap isu Rohingya di Myammar terhitung belum efektif. Pendekatan diplomasi lebih mengandalkan diri sebagai bagian dari ASEAN ketimbang proaksi bilateral menuju konsensus multilateral dari negara-negara terdampak. Padahal sesungguhnya isu Rohingya sedang menantang aksi strategis politik Islam Indonesia berupa pemahaman atas seteru China dan Amerika Serikat dengan politik internal Myanmar sebagai proksi geopolitik. Terlepas dari aksi darurat kemanusiaan, berupa suaka politik dan transit pengungsi, diplomasi Indonesia dapat bergerak lebih jauh dengan memainkan daya tawar strategis Indonesia terhadap dua kekuatan yang bertarung agar, paling tidak, dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Myanmar di tengah komplikasi ketegangan etnis di negara tersebut. Akan tetapi, hal itu bisa dilakukan jika diplomasi Indonesia menyadari terlebih dahulu betapa sentralnya posisi Indonesia dalam ruang multikultural Asia Tenggara dengan komunitas muslim terbesar selain Katolik Filipina dan Hindu-Budha Thailand, Vietnam, Laos dan Kamboja. 

Ilustrasi berbeda dengan kritik yang serupa bisa diperiksa melalui sikap diplomasi Indonesia terhadap isu muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, wilayah barat China. Sampai saat ini, sikap diplomasi Indonesia terhitung nyaris tidak terdengar dalam kancah internasional. Isu Uighur sesungguhnya jauh lebih menantang diplomasi geopolitik Indonesia terutama karena isu ini kini menjadi menu propaganda Amerika Serikat dalamnya upayanya mendiskreditkan China sebagai pemerintah ‘komunis otoriter’ dan ‘anti-Muslim’. Tampaknya diplomasi Indonesia belum mencermati arti penting geopolitik dari isu ini berkaitan dengan kebangkitan Euroasia multikultural dalam skema Belt and Road Initiative (BRI) dan Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang menjadi salah satu pilar utama multipolarisme dalam menandingi unilateralisme Amerika Serikat dan NATO di Asia Barat dan Asia Tengah.

Isu Uighur dimunculkan persis pada saat unilateralisme Amerika Serikat mengalami kebuntuan di Timur Tengah dan kembalinya Taliban menguasi Kabul. Diplomasi Indonesia tampaknya belum memperhitungkan dampak tarik menarik antara kebijakan luar negeri yang agresif terhadap China sebagai poros multipolar utama dan respon pemerintah China yang semakin tegas bahkan bersiap konfrontasi terbuka. Dalam lensa ini, isu Uighur dan Taiwan harus dipahami sebagai satu kesatuan. Yakni bahwa isu Uighur adalah perang propaganda ideologis antara komunisme dan demokrasi di mana Amerika Serikat mengharapkan dukungan negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Sementara di sisi lain, isu Taiwan adalah isu kedaulatan yang problematis yang lebih menyingkap kepentingan Amerika Serikat menghadang laju pertumbuhan ekonomi Beijing dan mendorong Cina untuk terus terjebak dalam sekuritisasi ekonomi dan perdagangan.

Konfrontasi berkedok antagonisme ideologi maupun peluang konfrontasi militer antara dua kekuatan nuklir ini adalah tantangan bagi diplomasi Indonesia, dalam mana artikulasi politik Islam dalam diplomasi menjadi kunci utama. Tantangan yang dimaksud adalah seberapa dalam kita memahami perang propaganda media yang dimainkan kekuatan unipolar dengan pola yang sama dengan agitasi ideologis ‘you are with us or with the terrorist’. Diplomasi Indonesia tidak akan bisa menangkap peluang proaksi diplomasi jika belum memiliki pembacaan geopolitik yang dinamis dan kapasitas untuk merumuskan aksi-aksi menciptakan keseimbangan baik dilakukan secara bilateral terhadap dua superpower maupun melalui pengarusutamaan melalui aksi multilateralisme ASEAN. 

Dalam ilustrasi isu Uighur, tentu diplomasi Indonesia multikultural tidak bertenaga untuk melakukan proaksi strategis. Belum terhitung narasi ‘dilema’ kebijakan Indonesia antara pro-Amerika Serikat atau pro-China dengan segala pertimbangan teknis-ekonomi dan teknis-keamanan. Dilema keliru ini berbiak di atas keterbatasan pemahaman geopolitik yang mendatangkan dampak dan peluang bagi Indonesia. Hal itu tak jauh beda dengan dilema buatan unipolar lainnya seperti ‘kesehatan’ versus ‘ekonomi’ terkait kelola pandemi COVID-19 dan dilema ‘keamanan’ versus ‘demokrasi’ terkait kelola terorisme dan radikalisme. Kondisi ini diperparah oleh tafsiran terhadap kedaulatan negara dan prinsip politik luar negeri bebas aktif—yang dimaknai sebagai sebatas tidak campur urusan negara lain, meskipun persoalan itu berdimensi regional dan internasional dan jelas berdampak bagi negeri ini. Dalam medan tantangan ini, diplomasi Indonesia Multikultural tidak bisa diharapkan untuk menawarkan agenda strategis.    

Ilustrasi isu dan pemetaan tantangan di atas menegaskan relasi saling membentuk antara involusi artikulasi politik Islam di dalam negeri dan defisit proaksi diplomasi yang bersifat strategis selama periode unilateralisme GWOT. Nasionalisasi politik Islam sebagai konsekuensi perebutan kekuasan dalam negeri dan tata kelola terorisme-radikalisme membawa dampak pada kinerja diplomasi di saat Indonesia justru harus menanggung globalisasi risiko yang ditimbulkan oleh unilateralisme Amerika Serikat dan aliansi collective West. Selain memberi ruang bebas bagi oligarki untuk melakukan polarisasi elektoral dan konsesi kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan, artikulasi politik Islam terpapar sindrom negative peace, berpura-pura damai agar tidak terlibat dalam perang terbuka. Tentu saja konstruksi Islam Damai dalam diplomasi Indonesia Multikultural mengubah tafsir bebas-aktif menjadi terbebaskan dari Islam radikal dan terlibat aktif ke dalam pembenaran terhadap tata dunia unilateralisme GWOT yang membawa dampak destabilisasi di negara-negara Muslim dan dunia pada umumnya.    

Bertolak dari tinjauan realisme politik ini, politik Islam harus keluar dari percakapan ideologi nasionalisme yang sempit dan perlu bergegas masuk ke dalam wacana ekonomi politik dan geopolitik. Pada bagian selanjutnya ditunjukkan bahwa artikulasi politik Islam akan bermanfaat bagi konsolidasi demokrasi dalam negeri dan proyeksi diplomasi ke luar negeri jika selalu memperhitungkan persoalan dan tantangan dalam negeri sebagai bagian dari persoalan kawasan dan dunia. Keniscayaan ini dikembalikan kepada nasionalisme anti-kolonial Indonesia dalam mana politik Islam menjadi kekuatan terpenting bagi kemerdekaan bangsa dan pertunjukan keberpihakan Indonesia di dalam struktur kapitalisme global dan arsitektur keamanan yang sarat konflik kepentingan dan ancaman eksistensial bumi. Dalam arti nilai-nilai keislaman hanya dapat diwujudkan bilamana dipandu politik pengetahuan dan visi besar seluas peta kawasan dan dunia bergolak.     

Proyeksi Politik Islam Indonesia Pasca-Unipolarisme

Pesan penting dari refleksi di bagian sebelumnya adalah bahwa gerakan politik Islam yang tranformatif harus sungguh-sungguh mengenali cara kerja atau teknologi kekuasaan unipolar: divide and rule.[7] Artinya, manusia Indonesia dibuat saling membidik, menegaskan diri yang paling pancasilais atau paling Islamis dan di luar kelompoknya setengah Indonesia atau anti-Islam.[8] Pola eksklusi ini pun bekerja dalam logika dan praktik geopolitik: negara-negara yang menentang unilateralisme digolongkan otoriter, melanggar HAM dan produsen terorisme. Sementara negara yang patuh disatukan dalam satu kelompok bernama ‘masyarakat internasional’ yang di dalamnya relasi-kuasa antara dunia Utara dan dunia Selatan disembunyikan, atau menjadi terbenarkan atas nama ‘supremasi liberalisme’, ‘keniscayaan ekonomi hijau’ dan ‘kendali moneter’.[9] Di dalam dan di luar negeri, teknologi imperial-kolonial ini dikerahkan dengan ragam jurus mulai dari produksi pengetahuan, berita, hiburan sampai produksi manusia, masyarakat dan negara sebagai proksi dari pengelolaan kekuasaan secara tak langsung.

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa involusi politik Islam Indonesia dapat direduksi sepenuhnya sebagai kecanggihan cara kerja kuasa unipolar. Tetapi, sebagaimana telah dibahas, hal itu h disebabkan oleh komplikasi relasi ekonomi-politik dalam negeri yang diperparah dengan pragmatisme politik elektoral. Islam dibawa masuk ke dalam kotak suara hanya untuk merebut kekuasaan. Sama halnya, Islam dibawa ke dalam diplomasi luar negeri tidak lagi memberi panduan ideologis untuk mencegah, menyingkap, dan menentang efek destruktif unilateralisme GWOT tetapi sebagai mistifikasi dan reifikasi terhadap Indonesia multikultural yang dapat terbedakan dari artikulasi politik Islam di Timur Tengah dan lainnya.[10] Dalam dua artikulasi tersebut, Islam diperebutkan dan dipertunjukkan sebagai simbolisasi keistimewaan, namun kehilangan perannya sebagai metafor politik, sebagai penanda terbuka (empty signifier) bagi kerja keadilan, kesetaraan dan perdamaian.    

Sekarang ini, dalam transisi kelola dunia pasca-unipolarisme, kekuatan politik Islam, entah berlabel nasionalis atau Islamis, ditantang untuk berbenah dalam pikiran, sikap dan tindakan kolektif. Transisi yang sedang berlangsung sebetulnya menunjukkan perubahan matriks wacana global dan tentu berdampak pada eksperimentasinya di Indonesia. Di dalam transisi itu terjadi peralihan fundamental dalam kaitan dengan isu konflik dunia, aktor utama, lokasi strategis dan tujuan akhir pertarungan. Tentu belum bisa dipastikan seberapa jauh dan seberapa cepat agama dalam hal ini ‘radikalisme Islam’  akan menghilang dari radar transisi tata dunia. Atau, sebaliknya, konstruksi Islam seperti apakah yang akan terhadirkan, cara artikulasi dan tujuannya, termasuk kekuatan politik atau negara apa saja yang akan memainkan peran penentu, penyeimbang atau pengganggu transisi.

Setidaknya krisis Ukraina pasca-pandemi COVID-19 menyingkapkan peralihan tersebut. Krisis ini tanpa disadari menjadi katarsis, terbukanya kotak pandora, yang membiaskan isu strategis baru bagi politik Islam dan melenyapkan secara tak terduga isu-isu utama yang membelit artikulasi politik Islam global dalam satu dekade terakhir GWOT. Isu pengungsi dan migran Timur Tengah dan Afrika Utara tidak lagi digencarkan, diganti isu pengungsi Ukraina dengan advokasi dinarasikan lebih patut diprioritaskan. Dalam perlakuan jurnalis-intelektual globalis, pengungsi Ukraina yang berkulit putih dianggap sebagai bencana kemanusiaan di pusat peradaban, korban ‘fasisme’  Putin yang dilabelkan anti-demokrasi dan teobsesi sejarah Rusia imperial.[11] Perhatian dunia diarahkan pada ‘bencana’ Eropa sambil mengabaikan Palestina, Suriah, Libya, Afghanistan dan Yaman. Konstruksi Putin sebagai aktor utama di balik migrasi Ukraina, disrupsi suplai energi dan pangan dunia mengalihkan perhatian publik dari bencana kemanusian yang disebabkan aksi unilateralis Amerika Serikat bersama NATO dan juga Uni Eropa melalui sanksi ekonomi menahun terhadap Iran dan Suriah, termasuk Kuba dan Venezuela di Amerika Latin.[12] 

Krisis Ukraina tidak saja menyingkap tentang seteru superpower antara Rusia-China versus Amerika Serikat/Uni Eropa/NATO, tetapi ia menandai pergeseran sikap dan perilaku negara dalam dunia pasca-unipolarisme.[13] Krisis ini mengguncang persekutuan Eropa, memperlihatkan kontraksi antara globalisme neoliberal dan nasionalisme ekonomi pasca-Brexit. Sementara negara-negara muslim di Timur Tengah mulai memperbaiki hubungan satu sama lain, sementara Afrika terdorong ke dalam solidaritas Uni Afrika untuk lebih kolaboratif sekaligus independen sebagai hasil refleksi bersama atas pengalaman konflik proksi khususnya selama periode GWOT. Sama seperti Asia Tengah dan Asia Tenggara, sebagian besar negara di Amerika Latin mendorong multilateralisme, reformasi PBB dan atensi yang lebih maksimal bagi lingkungan hidup.[14]

Munculnya wacana kedaulatan negara menarik untuk dipertimbangkan dalam artikulasi politik Islam Indonesia. Isu konflik dalam reposisi kekuatan superpower dan rekonfigurasi aliansi berkisar dalam perebutan dan kontrol sumber daya energi, pangan dan teknologi mutakhir. Artinya, wacana politik Islam harus diarahkan pada tata ekonomi berkeadilan di dalam negeri, kawasan dan global, sekaligus diperiksa kelola isu keamanan dalam tiga arena tersebut. Dengan cara itu politik Islam membahas perang dan damai dengan memeriksa akar masalah, perilaku superpower dan aliansi proksi di kawasan serta orientasi kebijakan makro di dalam negeri yang terartikulasi dalam diplomasi ekonomi, politik, dan keamanan. Politik Islam tidak menjadikan keadilan semata propaganda elektoral tetapi sepenuhnya harus diarusutamakan dalam debat publik dan debat kebijakan. Sama seperti kesetaraan, keadilan bukanlah diktat moral melainkan bagian integral dalam wacana politik Islam yang tentu memberantas sekat-sekat identitas multikultural dan mengoreksi narasi Islam damai yang terdepolitisasi. 

Krisis Ukraina, termasuk eskalasi krisis Taiwan, sudah saatnya menjadi momen memulihkan kembali percakapan mengenai hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Eskalasi ketegangan di Taiwan dan Indo-Pasifik secara langsung menempatkan Indonesia dalam ruang multilateralisme ekonomi dan keamanan yang dinamis dan tak selalu stabil.[15] Mengingat posisi Indonesia berada dalam koordinat geopolitik yang strategis dan kaya sumber daya alam, artikulasi politik Islam sebaiknya segera dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan bebrasis ekonomi-politik. Hal ini semakin urgen karena karena paradigma ekonomi neoliberal dan doktrin keamanan dunia unipolar telah banyak menjerumuskan bangsa ke dalam pertumbuhan ekonomi rentan krisis dan ketidakamanan perbatasan yang dikondisikan oleh komplikasi arsitektur aliansi keamanan. Selain itu, meningkatnya segmen kelas menengah juga menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar penting sekaligus kekuatan produksi yang menjaga kedaulatan ekonomi sebagai bagian integral dari pertahanan nasional.   

Sejalan dengan itu stabilitas politik memberi pekerjaan rumah tersendiri bagi politik Islam. Strategisnya posisi geopolitik Indonesia membuatnya mudah terpapar agitasi dan inflitrasi dalam seteru superpower, khususnya China dan Amerika Serikat bersama aliansi keamanan imperialnya seperti Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan. Pemahaman yang tak terbaharui menjadi rentan dalam mengambil sikap, yang tanpa disadari bisa dijadikan proksi ideologis superpower untuk menciptakan ketidakstabilan politik.[16] Eskalasi konflik antar-superpower sudah tentu dibarengi dengan percobaan taktik mempertahankan atau mengubah aliansi strategis dan persis pada titik itu, politik Islam Indonesia yang terpolarisasi menjadi sangat rentan. Dengan kata lain, isu persatuan dan kesatuan negara-bangsa harus dipikirkan dalam rumusan tantangan politik baru tersebut.

Pentingnya artikulasi politik untuk persatuan yang dikembangkan dengan pertimbangan geopolitik akan mengembalikan hakikat kebangsaan Indonesia sebagai bangsa politik dan bukan bangsa antropologis dalam kategori ragam etnis, agama atau bahasa. Akumulasi persoalan pembangunan strategis nasional dan pembangunan daerah bertahun-tahun menghadirkan potensi konflik yang tidak akan efektif diatasi dengan pendekatan keamanan. Semestinya, persoalan-persoalan semacam ini menjadi garapan politik Islam, yang memperhitungkan protes daerah tertentu terhadap ketidakmerataan capaian pembangunan sebagai kerentanan dalam negeri terhadap taktik superpower mengelola sentimen etno-nasionalisme. Papua dan Papua Barat adalah eksemplar terkini, termasuk etno-nasionalisme Aceh berpotensi kembali menguat bilamana pemerintah pusat tidak segera memeriksa capaian dan dampak otonomi khusus bagi kesejahteraan, keadilan dan perdamaian.[17]

Agenda melampaui politik identitas neoliberal bukanlah semata-mata seruan moral keagamaan atau instruksi sila ketiga Pancasila. Sekarang ini, dalam transisi pasca-unipolarisme, politik Islam sangat dibutuhkan untuk merumuskan antagonisme bersama, menyiasati manipulasi oligarki, dan menjaga Indonesia dari guncangan geopolitik. Neoliberalisme dalam ekonomi dan politik sedang mengalami krisis, dan Indonesia harus segera dibenahi supaya tidak terlalu lama berkubang dalam kekeliruan rumusan masalah yang membuat sesama anak bangsa saling bertengkar dan membenarkan kelompoknya sendiri.

Di sini, perubahan paradigma paling mendasar adalah tidak sekedar Islam ada di dalam Pancasila atau Pancasila ada di dalam Islam, tetapi bagaimana Islam mengartikulasikan politik kebangsaan dan kenegaraan. Di dalam artikulasi itu terhadirkan kembali cara berpikir para pendiri negara-bangsa, yang menggalang persatuan karena dirumuskannya musuh bersama dan tujuan negara ini terus bergerak.[18] Persis pada periode pasca-unipolarisme ini, politik Islam diingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa politik dan bangsa geopolitik sekaligus, hasil perjumpaan kepentingan sesama anak bangsa dalam negeri dan perbenturan antarbangsa di luar negeri sejak masa kolonial Belanda, Perang Dunia Kedua sampai periode pasca-unilateralisme GWOT. Pada akhirnya, melampau politik identitas berarti berpikir dan bertindak melampui pragmatisme elektoral dan merumuskan strategi diplomasi yang melampaui Indonesia multikultural. Dengan cara itu pula nasionalisme Indonesia dibebaskan dari pertentangan antara dikotomi ‘Islam dogmatis’ dan ‘NKRI harga mati’, yang terbukti menimbulkan kegaduhan dalam ruang publik dan pertikaian antarkekuatan politik. 


[1] Artikulasi Islam kultural—dengan beragam label seperti ‘Islam damai’, ‘Islam multikultural’, ‘Islam toleran’, dan ‘Islam moderat’—dalam agenda diplomasi Indonesia kerap disampaikan para pemimpin negeri, partai berbasis Islam dan pemimpin organisasi Islam. Artikulasi model Islam kultural untuk diplomasi ini, misalnya, menjadi agenda utama dalam Bali Democracy Forum 2016 dengan tema “Agama, Demokrasi, Pluralisme”.  Pada satu sisi ia diproyeksikan sebagai solusi bagi ketidak-amanan global seakan akar persoalannya bersumber pada isu budaya. Pada sisi lain, ia diagungkan sebagai kekhasan identitas nasional ke-Islaman Indonesia yang bersifat terberi, padahal artikulasi tersebut juga terbentuk dari kontestasi politik Islam selama periode GWOT.    

[2] Lihat, misalnya, Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia (Singapore: World Scientific, 2003); John Gershman, “Is Southeast Asia the Second Front?”, Foreign Affairs, Vol 81. No. 4, hal. 60-74.

[3] Lihat, Hakim, “In Search of Hegemony…” Bab 5.

[4] Lihat Hefner, “Global Violence…”; Mirjam Kunkler dan Alfred Stepan eds.), Democracy and Islam in Indonesia (New York: Columbia University Press). 

[5] Berkaitan dengan konstruksi ancaman jaringan teroris, kondisi di Indonesa sebetulnya sangat beruntung jika dibandingkan dengan kawasan lain. Gerakan teror di Indonesia, setidaknya hingga hari ini, tidak memiliki kapasitas untuk menguasai negara atau perubahan rezim (regime change), tidak seperti Jabhat an-Nusra di Suriah, al-Shabaab di Somalia atau Boko Haram di Nigeria.   

[6] Lihat, Hakim “Politisasi Identitas, Depolitisasi Demokrasi…”

[7] Tentang cara kerja ideologi memproduksi subyek, obyek dan ruang kolonial, karya-karya penting yang bisa dirujuk, misalnya, Mahmood Mamdani, Define and Rule: Native as Political Identity (Massachussett: Harvard University Press, 2012); Neither Settler nor Native: The Making and Unmaking of Pemanent Minorities (Massachussett: Harvard University Press, 2020),  Edward  Said, Orientalism: Western Conception of the Orient (London: Routledge, 1978). Mengenai konstruksi identitas Islam Asia dan Timur Tengah dalam GWOT lihat Hamid Dabashi, Brown Skin, White Mask (London: Pluto Press, 2011). 

[8] Studi tentang cara kerja kuasa memisahkan-mengontrol dalam sejarah ekonomi-politik Indonesia, lihat J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2003), dan Hanneman Samuel, Genealogy Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia: Dari Kolonialisme Belanda sampai Modernisme Amerika (Depok: Kepik Ungu, 2010).      

[9] Bahan penting yang bisa dirujuk mengenai strategi dan taktik unipolar Amerika Serika dan Collective West, lihat Williams Robinson, The Global Police State (London: Pluton Press, 2020), Michel Hudson, Super Imperialism: The Economic Strategy of American Empire, Edisi Ketiga (New York: ISLET, 2021).   

[10] Kritik terhadap haluan kebijakan luar negeri yang bersifat inward-looking dan lambat merespon transformasi geopolitik dunia dan Asia, lihat, misalnya, Mohamad Rosyidin, “Foreign Policy in Changing Global Politics: Indonesias’ Foreign Policy and the Quest for Major Power Status in the Asian Century”, South East Asia Research, Vol 25. No. 2, 2017. Lihat juga Amitav Acharya, Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power (Singapore, World Scientific, 2014).

[11] Propaganda media anti-Putin dan narasi tentang ‘Putinology’ atau ‘Putinomics’ bersumber dari lingkaran think-tanks unilateralist AS seperti Brookings Institution, Atlantic Council, National Endowment for Democracy, Open Society, Council on Foreign Relations. Jejaring forum globalis ini yang berada di balik Project for New American Century yang mendorong deklarasi GWOT dan menjadikan ‘Islam’ sebagai  alternatif bagi komunisme Uni Soviet pasca-Perang Dingin. Selain orang seperti Robert Kagan dan Victoria Nuland, salah satu intelektual anti-Putin yang terus dipopulerkan  adalah Fiona Hill melalui bukunya bersama Cliffor Gaddy, Mr.Putin: Operative in the Kremlin (Brookings Institute Press, 2013). Lihat juga, Fional Hill dan Angela Stent, “The World Putin Wants: How Disastrous About the Past Feed Delutions About the Future”, Foreign Affairs, Vol 101. No. 5, hal. 108-122.  

[12] Lihat Noam Chomsky and Vijay Prashad, The Withdrawal 

[13] Mengenai konsep geopolitik strategis Rusia dapat dirujuk Dmitry Yefremenko,  “World Order Z: The Irreversibility of Change and prospect for Survival”, dalam Russian in Global Affairs, Vol. 20, No.3, Juli-September 2022, hal 10-29.

[14] Isu-isu strategis global pasca-unipolarisme dapat disimak dalam pidato sejumlah negara kekuatan regional dalam Sidang Umum PBB 20-26 September 2022. Khususnya presentasi negara Anggota BRICS (Rusia, China, India, Brazil, Afrika Selatan), Iran, Turki, Argentina, Arab Saudi, Filipina, Kongo, Arab Saudi, Qatar.    

[15] Mengenai perdebatan tentang kebangkitan Cina dan tata dunia unipolar di bawah kendali AS, lihat perdebatan antara dua sarjana Hubungan Internasional, John Marsheimer dan Kishore Mahbubani, “Has China Won?” dalam kanal Centre for Independent Studies, https://www.youtube.com/watch?v=ZnkC7GXmLdo (diakses 20 September 2022).

[16] Selain belajar dari pengalaman di Amerika Latin, Asia Barat dan Afrika mengenai aksi unilateralis menggulingkan pemerintah atau memicu perang proksi, peristiwa 1965 ikut menyingkap keterlibatan geopolitik superpower Amerika Serikat dalam kontestasinya dengan Komunisme China. Lihat, Vincent Bervins, The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World (New York: Public Affairs, 2020).   

[17] Tentang Papua, Indonesia dan geopolitik, lihat, mislanya, Bilveer Singh, Papua: Geopolitics and the Quest for Nationhood (London: Routledge, 2008).      

[18] Mengenai isu ini, lihat tulisan-tulisan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Banana Books), khususnya Bagian 4 tentang Islam Indonesia dan Bagian 5 tentang Indonesia dan Geopolitik Dunia.