Tahun ini dibuka dengan ancaman perang dunia ketiga antara kekuatan multipolar Rusia-China yang semakin kompak dan kekuatan unipolar AS yang kian terpojok dan beringas. Ketegangan meningkat di dua episentrum geopolitik tujuh tahun terakhir: Ukraina dan Taiwan. Keduanya adalah proksi geopolitik, dibuat berlarut-larut dalam krisis sampai pecah perang terbuka atau didapatkan jalan keluar dengan konsesi tak terduga.
Krisis Ukraina dan Krisis Taiwan lebih dari sekadar seteru antarnegara atau konflik antara sejumlah negara di kawasan. Dua krisis ini sesungguhnya saling berkaitan tentang ketegangan permanen antara dua model tata-kelola dunia yang berbenturan di kawasan strategis geopolitik dunia. Eropa Timur dan Asia Timur adalah dua front bersejarah untuk tata dunia pasca Perang Dunia Kedua meski kali ini menjadi arena negosiasi darurat antarsuperpower pasca Perang Dingin.
Mengapa harus terjadi di kawasan ini dan jatuh temponya saat ini?
Dalam geopolitik, wilayah sumber daya dan batas wilayah pengaruh adalah sebab perang terbuka dan perang dingin. Sementara kalender ketegangan menunjukkan sudah waktunya bergesekan di lokasi yang menentukan masa depan kekuatan baru dan kekuatan lama. Karena lahir dan matinya tata dunia demikian adanya, dalam ruang dan waktu tertentu.
Dikatakan bersejarah, sejarah berlanjut atau berulang, karena para pihak yang terlibat adalah negara penentu Perang Dunia II yang terus bermutasi menjadi kekuatan dunia pasca-Perang Dingin. Di sana ada Rusia-nya Putin, Yeltsin dan Gorbachev sebagai akar geografis-demografis Uni Soviet bersama Jerman-nya Olaf Scholz, Merkel dan Gerhard Schroder sebagai kekuatan ekonomi Eropa pasca Nazi dan Marshall Plan. Lalu ada China-nya Xi Jinping, Mao Zedong dan Deng Xiaoping yang dalam tiga dekade berubah menjadi raksasa ekonomi tanpa internasionalisme komunis bersama Amerika Serikat-nya Biden, Trump dan Bush yang bersikeras dunia masih berada dalam kendali imperium dolar Wall Streets dan mesin perang Pentagon.
Mereka bertemu kembali dengan senjata nuklir hipersonik, model silo atau instalasi bergerak kapal selam, sebagai jaminan tak ada yang gila menekan tombol merah pertama kali. Alasan bersitegang bukan soal kemerdekaan Taiwan-nya Tsai Ing-Wen dan Chiang Kai-Shek atau kekacauan politik Ukraina-nya Zelensky dan Poroschenko, tetapi perjuangan menjaga dan merebut sumber daya alam khususnya minyak dan gas Siberia dan LNG Paman Sam, rantai-pasok teknologi canggih khususnya semikonduktor Taiwan, kendali niaga global WTO dan blok-blok perdagangan Belt & Road Initiative, investasi bioteknologi dan komputasi kuantum, sistem IT terintegrasi dan kecerdasan buatan AI untuk perang masa depan. Dengan itu, zonasi pertahanan dan pengamanan jalur dan wilayah menjadi harga mati dalam konfrontasi militer lintas kawasan.
Source France 24
Dua Skenario: Perang Nuklir dan Perang Ekonomi
Pertarungan geopolitik kali ini sangat berpeluang membawa dunia dalam dua skenario kehancuran. Pertama, skenario perang nuklir, yang disebabkan insiden teknis dalam siaga militer di Eropa Timur dan Indo-Pasifik. Hal yang paling dikawatirkan, Amerika Serikat, khususnya Deep State, pengendali Gedung Putih, Capitol Hill dan NATO, mengabaikan diplomasi atau perang melalui pihak ketiga, proxy war, karena posisi tawar yang semakin lemah.
Selain disebabkan Amerika Serikat menarik diri dari Traktat ABM, ketidakseimbangan geopolitik strategis berpeluang memicu konfrontasi terbuka menuju perang nuklir. Belum terhitung ketidakstabilan politik dan stagnasi ekonomi dalam negeri Amerika Serikat yang sulit terkendali berkontribusi pada pilihan konfrontasi menggantikan negosiasi.
Kedua, skenario perang ekonomi atau perang dagang yang berkelanjutan. Perang dagang AS dan China sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Trump dan semakin meningkat di bawah pemerintahan Biden. Titik awal dibuka Obama dengan Pivot to Asia 2010 setelah sadar Beijing mulai jadi saingan dagang dan investasi global.
Perang jenis ini berdampak pada perdagangan dunia dan investasi karena manusia, barang dan jasa telah terintegrasi lintas-batas negara. Berupa pergeseran atau terganggunya rantai-pasok, rantai-nilai, sanksi ekonomi, blokade ekonomi, pertarungan dolar dan yuan dalam rejim moneter dan transaksi keuangan global. Disederhanakan sebagai pertarungan antara dua jenis kapitalisme, kapitalisme Finansial-nya Wall Streets dan Kapitalisme Industrial-nya Shenzhen.
Dua jenis kehancuran di atas, stagnasi ekonomi dan destruksi nuklir, terbayang dengan jelas dalam krisis Ukraina dan krisis Taiwan. Dalam timbangan geopolitik, posisi tawar Amerika Serikat lebih lemah dan struktur kekuatan unipolarnya terancam bubar di dua kawasan utama dunia tersebut selain telah lebih lama kehilangan pengaruh di Amerika Latin dengan kebangkitan kekuatan anti-imperialis dan Afrika dengan konsensus memperkuat Uni Afrika.
Ancaman eksistensial ini mendorong Washington bermain-main dengan provokasi perang dan latihan militer di kawasan terdekat Rusia, Laut Hitam dan kawasan terdekat China, Laut Cina Selatan. Taktik AS di dua front mengikuti pola standar, lakukan manuver agitasi dan mengharapkan reaksi militer terhadap negara proksi. Dibungkus rapi dalam diplomasi megafon dan propaganda media membentuk histeria anti-China dan anti-Rusia.
Sementara dunia berharap aliansi Sino-Rusia tidak melayani provokasi AS, meski kesabaran akhirnya tidak berlaku ketika garis batas telah dilanggar dan rudal nuklir pertama telah diluncurkan. Tak ada yang bisa memberi prediksi akurat kapan dan di mana Hitler menggerakkan dua juta tentara dan mesin perang Jerman pertama kali atau menebak sasaran ratusan pesawat Jepang diarahkan Hirohito untuk membawa dunia ke dalam perang semesta.
Garis batas kesabaran superpower ada dalam peta kekuatan dan kelemahan, kapan dan di mana keunggulan taktis bisa menutupi kelemahan strategi. Taktik agresi Washington berusaha menutupi kelemahan strategis, sementara Kremlin dan Beijing selalu bicara garis batas keseimbangan nuklir—nuclear deterrence—untuk menjaga keunggulan strategis.
Tesis Perbenturan Unipolar-Multipolar
Dalam rangka memahami akar masalah dan peta perbenturan, bisa digunakan satu tesis penting sebagai teropong geopolitik. Yaitu, bahwa benturan superpower hari ini disebabkan oleh tidak selarasnya tata ekonomi-politik multipolar baru yang dikendalikan China bersama Rusia dan tata ekonomi-keamanan unipolar lama yang dikendalikan Amerika Serikat bersama solidaritas Collective-West yang terpecah-belah. Tata dunia multipolar terbangun dari basis kedaulatan negara bersama nasionalisme dan regionalisme ekonomi, sementara sebaliknya, tata dunia unipolar dikendalikan imperium finansial dengan globalisme neoliberal yang digerakkan sistem monopoli sumber daya dan moneter serta mesin perang tak berkesudahan—endless war.
Ketidakselarasan tersebut menghadirkan kalkulasi strategis yang bertabrakan antarsuperpower. Yaitu, di satu sisi, kalkulasi strategis mengenai masa depan China-Rusia sebagai kekuatan penggerak multipolar yang menguat dan di sisi lain, masa depan Amerika Serikat-Barat sebagai pemangku kekuatan unipolar yang melemah dan tak selalu kompak. Putin dan Xi Jinping berusaha keras menjaga ekonomi-politik lintas-kawasan yang dicapai satu dekade terakhir.
Sementara sebaliknya, Joseph Biden, tersingkap lebih beringas dari Donald Trump, berusaha menghentikan kecepatan multipolar dengan ancaman nuklir dengan pola krisis Perang Dingin dan mengurangi integrasi blok-blok persemakmuran baru dengan inflasi global dan sanksi dagang. Termasuk terkini digelar agenda Build Back Better World yang dibayangkan seperti Marshall Plan untuk Eropa dan Development Aid untuk Asia.
Krisis Ukraina dan Krisis Taiwan menjadi neraca kekuatan superpower, memperlihatkan ketidaksesuaian dua sistem tata-kelola dunia. Krisis global ini menghadirkan konsekuensi serius dalam tiga lapisan geopolitik. Pertama, hilangnya keseimbangan strategis—strategic balance—antarsuperpower, China-Rusia versus Amerika Serikat-Uni Eropa.
Kedua, pergeseran aliansi kekuatan kawasan dalam merespon pertarungan superpower sesuai kalkulasi dan proyeksi kekuatan masing-masing di kawasan tersebut. Jerman dan Perancis di Eropa memainkan ketidakjelasan yang bersifat strategis—strategic ambiquiity. Demikian halnya Jepang, India, Pakistan termasuk Indonesia menunjukkan sikap dan tindakan serupa sesuai kalkulasi dan proyeksi sebagai kekuatan kawasan di Asia dan Indo-Pasifik.
Ketiga, perubahan dinamika ekonomi-politik negara-negara terdampak pertarungan superpower di kawasan strategis Eropa Tengah dan Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Barat-Timur Tengah, Asia Timur khususnya Asia Tenggara, dan Amerika Latin termasuk Kuba dan Karibia. Kalkulasi dan proyeksi dipengaruhi kondisi ekonomi dan politik dalam negeri, masalah perbatasan, preferensi mitra perdagangan dan investasi, sejarah konflik, kesamaan ideologi dan budaya. Seluruh faktor ini menjelaskan derajat hubungan dan integrasi negara di dalam dua sistem tata-kelola dunia yang tak selaras. Sikap dan tindakan politik luar negeri saat ini akan berdampak pada posisi dan daya tawar negara tersebut dalam dua sistem ekonomi-keamanan global.
Benturan geopolitik saat ini berbeda dari konfrontasi Perang Dunia II yang berbasis kontinental dengan ambisi ras unggul dan ideologi modern seperti nasionalisme dan komunisme. Dalam Perang Dunia II, fasisme Jerman, Deutschland Uber Alles-nya Hitler, menargetkan Pax Britanica-nya Churchill dengan terlebih dahulu mendapatkan sumber daya alam Uni Soviet-nya Stalin dan Lenin. Begitu juga fasisme Nippon Pemimpin Asia menargetkan Amerika Serikat-nya Roosevelt di seberang Pasifik dengan terlebih dahulu menghancurkan China-nya Mao dan Chiang Khai-Sek dan mendapatkan sumber daya alam Mongolia dan Asia Tenggara dan Indo-China yang sedang berusaha melepaskan diri dari kolonialisme Eropa.
Sebaliknya, pertarungan superpower saat ini berkaitan dengan sistem dan cara kelola ekonomi, politik dan keamanan dunia. Dengan itu pula krisis Taiwan dan krisis Ukraina adalah proksi dan proyeksi dari benturan dua sistem global dalam masing-masing negara dan kawasan. Negara dan kawasan tersandera dalam pertarungan superpower yang memiliki dua kekuatan strategis kelola dunia—senjata pemusnah masal dan sumber daya ekonomi. Dalam kondisi tidak dibekali kepemilikan strategis, strategic ownership, negara dapat memilih aksi dukung-mendukung secara jelas atau disebut strategic clarity atau sebaliknya bersikap pragmatis dengan ketidakjelasan bertujuan—strategic ambiquity.
Dalam krisis Ukraina, Eropa tesandera, berada dalam dua jenis ancaman eksistensial: perang nuklir dan krisis energi. Jerman dan Perancis membutuhkan dua superpower untuk membangun European Dream. China adalah mitra dagang terbesar Eropa sementara Rusia menjamin ketahanan energi Eropa sekaligus bisa sekejab meratakan kawasan itu dengan Kinzal, Poseidon dan Satan II. Di lain pihak, Eropa tak bisa meninggalkan Washington yang membuatnya bangkit dari kehancuran PD II dan menyandera Eropa dengan NATO dan instalasi senjata nuklir. Krisis Ukraina adalah cerita Eropa yang berada dalam darurat berkelanjutan sampai Washington mendapatkan konsesi yang tidak terlalu memalukan.
Demikian halnya dalam krisis Taiwan, kegentingan sesungguhnya sedang dialami Jepang, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN. Krisis akan berlarut-larut karena Washington bertujuan langsung menghadang China di garis pertahanan Indo-Pasifik. Krisis setidaknya diharapkan menguntungkan Amerika Serikat dengan membuat Belt & Road Initiative melambat dan Beijing harus melakukan investasi pertahanan yang lebih besar—melayani tujuan sekuritisasi terhadap kawasan BRI sehingga agresi Washington terbenarkan. China-Rusia sebagai polisi dunia, yang diharapkan Amerika Serikat, akan mendorong ketidakstabilan politik kawasan dan kekuatan baru membutuhkan kembali Pentagon sebagai penyeimbang.
Agitasi militer AS menempatkan Jepang dan Korsel pada posisi tersulit di antara dua kekuatan nuklir China dan Korea Utara sekaligus bakal terganggu hubungan ekonomi dengan Beijing sebagai mitra dagang terbesar keduanya. Sekaligus memastikan Taiwan tidak melayani agenda Great Rejuvenation-nya Xi Jinping dan chip TSMC tetap disuplai untuk industri pertahanan triliunan dolar di Pentagon yang makin gencar sejak masa Donald Trump. Bagi China, Taiwan adalah harga mati bagi sejarah bangsa dan masa depan ekonomi tanpa distraksi Washington dan aliansinya.
Sebagaimana akan dibahas pada bagian Krisis Ukraina dan bagian Krisis Taiwan, kekuatan kawasan seperti Jerman, Perancis di Eropa dan Jepang dan Indonesia di Asia Timur dan Tenggara dapat memicu konfrontasi superpower. Atau sebaliknya, inisiatif strategis kekuatan ini dapat menetralisasi ancaman perang terbuka. Jerman dan Perancis, sedang melakukan terobosan itu sementara Jepang dan Indonesia termasuk Filipina, di luar inisiatif bersama ASEAN, belum memanfaatkan peluang strategis ini secara maksimal.
Peran strategis Indonesia tidak akan ditemukan jika belum dibuat terang-benderang peta perbenturan dua model tata kelola dunia. Indonesia berada dalam spektrum pertarungan superpower mengingat negara ini terintegrasi ke dalam dua tata dunia unipolar dan multipolar. Krisis Ukraina dan Krisis Taiwan adalah dua sisi dari koin yang sama. Proyeksi perbenturan di Eropa akan langsung berpengaruh pada proyeksi perbenturan di Asia khusus Indo-Pasifik atau Asia Tenggara, demikian pula, demikian pula sebaliknya.
(Frans Djalong, 16 Februari 2022, Center for Security and Peace Studies—CSPS UGM)