Dialektika, Perubahan, dan Transformasi (2023)

Tulisan ini membahas krisis dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis, dialektis, dan transformatif. Dimensi transformatif dari sebuah perubahan terletak pada kapasitas dialektis yang memungkinkan berbagai jenis elemen bertansformasi menciptakan sistem yang baru, baik sebagai framework berpikir maupun kebijakan. Disebut demikian karena masyarakat bukanlah sebuah format yang ajek namun senantiasa berubah. Dari cara berpikir tesebut, krisis dapat diartikan sebagai gagalnya masyarakat mengelola dan bernegosiasi dengan perubahan sistem yang berlangsung serba cepat dan tak terduga. Momentum krisis lalu menjadi konsekuensi dari ketidakmampuan masyarakat bernegosiasi dengan sesama yang terpolarisasi di hadapan sistem yang sempurna. Agar bisa bertahan dalam situasi tersebut, dibutuhkan kecerdasan, kelenturan, dan kemampuan memprediksi masa depan agar tidak mudah tergerus dan tenggelam karena krisis. Alih-alih merumuskan strategi yang tepat untuk mengatasi krisis secara keseluruhan, opsi tercepat yang diambil yakni membangun solidaritas sebagai cara bertahan diantara sesama masyarakat dengan cara mengaktifkan kembali modal sosial dan kearifan lokal sebagai social safety net.

Hadir sebagai perspektif alternatif, krisis juga diletakan sebagai gagalnya sebuah sistem dalam membaca dan mengatur masyarakat yang senantiasa berubah. Cara pandang ini berargumen bahwa untuk menciptakan masyarakat yang transformatif, sistemnya perlu diubah. Dalam sosiologi konflik misalnya, ada keyakinan bahwa norma sosial yang lama tidak lagi cukup tangguh dijadikan sebagai mekanisme mendeteksi akar sekaligus mencegah komplikasi konflik sosial dengan berbagai jenis dimensinya. Pendekatan normatif berdasarkan norma adat misalnya, tidak cukup ampuh memulihkan hubungan yang telah dirusak oleh konflik tersebut sehingga dibutuhkan formula taktis baru selaras dengan perubahan masyarakat.

Berbeda dengan dua cara pandang sebelumnya, krisis yang adalah bagian integral dari perkembangan masyarakat juga dimengerti sebagai konsekuensi logis dari rezim keterhubungan (connectivity). Krisis berlangsung karena ketakmampuan mengelola risiko yang inheren dalam silang sengkarut jaringan perusahan mutinasional (MNCs). Alih-alih meletakkan sistem atau masyarakat sebagai akar lahirnya krisis, perspektif ini menegaskan bahwa interkoneksi merupakan penyebab utama munculnya krisis yang tidak bisa diatasi, bahkan oleh sistem sekalipun. Krisis, khususnya dalam perspektif neoliberalisme hari ini, dengan demikian menjadi tak terelakan. Bandingkan misalnya mekanisme planetarisme sebagai salah satu isu dominan yang menempatkan spesies manusia dalam kondisi darurat permanen. Demikian pula promosi pembangunan neoliberal melalui kampanye SDGs yang sengaja menyembunyikan risiko yang muncul dari perang dan industri militer. Oleh karena itu, mendiskuskusikan krisis dalam kajian sosiologi mewajibkan pemeriksaan yang cermat terkait perubahan sistem. Menggunakan empat pendekatan diantaranya Weberian, Marxisme, Teori Kritis dan Postrukrualisme, krisis dipahami sebagai bagian yang memengaruhi dinamika dan transformasi masyarakat secara keseluruhan. Dalam pengertian itu, krisis dapat diletakan baik sebagai penyebab maupun akibat dari perubahan tatanan sosial, politik, dan ekonomi dunia hari ini.

Krisis dalam Terang Empat Perspektif

Relasi tak kasat matanya dengan politik membuat krisis bukan hadir sebagai sesuatu yang terberi melainkan menjadi konsekuensi logis dari tak bekerjanya sebuah otoritas kelembagaan. Cara pandang Weberian ini memberikan signifikansi bahwa krisis lahir dan termanifestasi dalam sistem atau lembaga politik maupun otoritas legal dalam bentuk undang-undang (Toteff, 2022). Prasyarat munculnya UU ITE misalnya, disebabkan karena adanya keyakinan bahwa dalam rangka mencegah terjadinya krisis karena surplus penetrasi digital, dibutuhkan seperangkat mekanisme baru yang mengatur kehidupan masyarakat, mencegah terjadinya konflik horizontal sekaligus memapankan integrasi sosial. Pemusatan fokus pada aspek kelembagaan dan produk undang-undang untuk mencegah krisis juga tampak dalam cara mayoritas aktivis pro-demokrasi yang membayangkan reformasi melulu sekadar reformasi birokrasi atau utak-atik cara kerja lembaga. Asumsi dasar pandangan ini menegaskan bahwa krisis lahir karena monopoli elit (katakanlah, Soeharto dan kroninya) dan dominannya rezim teknokratis yang menyebabkan depolitisasi berlangsung berlarut-larut. Artinya, tradisi ini melihat krisis politik tidak berhubungan dengan paradoks demokrasi atau kegagalan representasi melainkan disebabkan oleh kegagalan membangun konsensus diantara para elit politik. Oleh sebab itu, paska lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan, penganut perspektif Weberian cenderung memahami reformasi sebagai restrukturisasi kelembagaan dan bukannya reformasi sipil, seperti seseorang yang menemukan kamar tidurnya berantakan dan setelah ia membereskan kamar tersebut barulah ia sadar bahwa yang berantakan justru adalah dirinya sendiri.

Namun, tanpa sekalipun melakukan reformasi sipil sebagai salah satu agenda demokrasi, perspektif Weberian dalam Indonesia paska-reformasi digunakan untuk mengarusutamakan good governance yang berbiak di atas mekanisme teknokratis. Bersamaan dengan berlangsungnya gelombang demokratisasi di Asia Tenggara, kualitas politik dan demokrasi Indonesia lalu diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan menuntaskan kerja-kerja standar birokratis-administratif. Disebut demikian karena perspektif ini meyakini bahwa krisis hanya bisa dihindari jika dilakukan penguatan terhadap manajemen dan birokrasi. Sementara itu, kualitas elit politik justru dinilai berdasarkan klaim keahlian dalam tata kelola bencana dan krisis yang berlangsung sambil terus melanggengkan proses depolitisasi yang menjauhkan masyarakat dari akar penyebab krisis.

Bagian ini menemukan implikasi terkininya dalam berbagai model tata kelola bencana dan krisis yang dihadapi oleh Indonesia dan dunia, terutama pada masa pandemi Covid-19. Karena masyarakat sudah terdepolitisasi nyaris sepenuhnya, kemampuan menemukan akar soal dalam tata kelola bencana cukup sulit dilakukan, bahkan jika dilakukan, itu justru mempertebal dimensi antagonisme dan polariasi diantara masyarakat itu sendiri. Sebagai strategi melepaskan tanggung jawabnya, akar soal dan pelbagai jenis risiko yang ditimbulkan oleh model tata kelola teknokratis kebencanaan justru diletakan pada warga negara. Karena adanya pembagian kerja melalui berbagai jenis profesi, masyarakat dianggap perlu bertanggungjawab atas dirinya sendiri, memanfaatkan semua jaringan potensi yang ada. Sehingga muncul ilustrasi lain yang bercerita bahwa orang yang mengalami kecelakaan justru karena keteledorannya sendiri, meninggal terjangkit virus corona karena tidak taat pada protokol kesehatan, miskin karena malas, dan seterusnya, tanpa pernah sekalipun diberikan kemungkinan untuk memikirkan alternatif lain penyebab berbagai krisis di atas terjadi. Selain itu, distribusi risiko dan krisis seperti itu menyebabkan statusnya bersifat permanen, bahkan krisis direkayasa sedemikian rupa agar kehadirannya penting untuk menunjukkan bekerjanya birokrasi. Atau lebih tragis, jika tidak ada krisis, maka ia perlu diciptakan. Kemalasan, sakit atau penyakit, dan penderitaan misalnya hadir semata-mata untuk menegaskan bahwa lembaga ekonomi, kesehatan, dan agama berperan sentral dan strategis.

Alih-alih meletakkan sistem sebagai akar sebab lahirnya krisis, Tradisi Marxian berupaya melacak penyebab krisis yang terletak pada kontradiksi internal kapitalisme yang menciptakan dua dampak sekaligus yakni demarkasi antara kelas pemilik modal dan kaum proletar sekaligus meletakkan dasar argumen bahwa krisis adalah masalah struktural. Namun, dikotomi dua kelas tersebut justru menjadi semakin menjadi-jadi persis ketika ekonomi dijadikan sebagai basis yang memberikan legitimasi bagi perkembangan sebuah masyarakat. Hal ini mirip dengan ilustrasi “di balik dompet yang tebal, terdapat cinta yang kuat”, di mana ekonomi lalu menjadi landasan bagi ideologi dan kebudayaan dalam relasi saling membentuk. Akibatnya, ideologi dan kebudayaan diproduksi, didistribusikan, dan dinormalisasi sebagai sarana memapankan model dominasi sekaligus depolitisasi. Itulah mengapa cinta tanpa uang memang tidak cukup, tetapi uang tanpa cinta menjadi sangat berbahaya.

Dengan sedikit banyak sentuhan aparatus ideologis, kesadaran palsu sebagai teknik mengalihkan perhatian masyarakat dari akar penyebab krisis tersebut di atas berlangsung dalam hampir semua domain ekonomi dan politik hari ini. Masyarakat dibuat terasing bukan hanya dari penyebab krisis melainkan dicekoki agar menemukan akar itu dalam dirinya sendiri. Gambaran tersebut dapat diamati dalam empat jenis alienasi yang dialami oleh kelas pekerja antara lain (Marx, 2008, 1973):

Pertama, pekerja dari hasil produksinya. Dengan sistem pengupahan, para pekerja terasing dari hasil produksinya dan digantikan dengan mekanisme pengupahan. Selanjutnya, para pekerja kehilangan kapasitasnya untuk mengontrol apa yang perlu dan tidak perlu diproduksi melainkan bergantung sepenuhnya pada kuasa pemilik modal. Ilustrasi seperti mahalnya harga beras merupakan salah satu contoh bahwa sistem pengupahan di satu sisi dan monopoli produksi beras akhirnya menciptakan kelaparan sebagai krisis yang terpaksa ditanggung oleh para petani. Kedua, alienasi pekerja dari aktivitas produksinya di mana proses kerja dilakukan bersifat repetitif, dan mekanistis dan tidak ada emotional attachment. Dengan kata lain, orang bekerja semata-mata hanya untuk bertahan hidup (survival of the fittest), dengan asumsi bahwa bekerja sesuai passion dapat di lakukan di luar jam kerja. Padahal, dengan bekerja, seseorang menjadi manusia.

Ketiga, alienasi pekerja dari para pekerja lainnya yang menyebabkan mereka sulit terkonsolidasi sebagai sebuah gerakan bersama. Masing-masing pekerja berkompetisi menjadi yang terpenting dan berguna di hadapan sistem, tidak berbeda dengan mental kompetitif masyarakat hari ini di hadapan rezim birokrasi baik di agama, pendidikan, maupun pemerintah. Hal itu disebabkan karena relasi diantara para pekerja tidak berbeda dengan hubungan antarbenda-benda komoditas. Keempat, alienasi pekerja dari spesiesnya sebagai manusia membuat mereka kehilangan kemampuan potensialnya termasuk identitasnya sebagai manusia yang menemukan hakikatnya melalui apa yang disebut Marx sebagai “bekerja”. Akibatnya, pekerja kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya karena selalu dijebak dalam mekanisme menjual tenaganya dalam sistem pasar komoditas.

Dalam perkembangannya terkini melalui transformasinya dari kapitalisme industrial berbasis tenaga kerja menunju kapitalisme finansial berbasis jual beli uang atau dalam beberapa konteks disebut dengan kapitalisme tahap lanjut, krisis sosial dan keterasingan menemukan titik ekstremnya. Dalam kapitalisme jenis ini, identitas diri pekerja, termasuk potensi dan kapasitas dirinya adalah modal yang diasumsikan perlu diberdayagunakan sedemikian rupa agar tercakup dalam kalkulasi untung-rugi (Brown, 2019). Tanpa lepas dari dua strategi umumnya, kapitalisme jenis ini mengontrol ekonomi dan politik melalui privatisasi dan monopoli. Pada tingkat individu, monopoli dan privatisasi kebahagiaan, kecantikan kesuksesan, dan kesejahteraan diukur berdasarkan parameter yang berguna bagi ketahanan kapitalisme itu sendiri. Masing-masing orang berlomba-lomba dalam kuasa percepatan (power of speed) untuk mengantisipasi harga saham, memonitor news lead media agar tidak menjadi individu yang terasing bahkan irelevan di hadapan sistem yang berubah sangat cepat (Virilio, 2006). Absennya dimensi konstitutif yang membentuk manusia seperti yang sudah digambarkan di atas menggaungkan kembali pentingnya melakukan, bukan hanya perubahan di level individu, melainkan gerakan perlawanan sistematis para kelas pekerja guna merebut kontrol politik dan ekonomi dari tangan kelas pemilik modal yang berkuasa. Jika tradisi Weberian cenderung menjadikan reformasi teknokrasi sebagai jalan keluar, dalam tradisi ini, demokrasi sosial hanya akan terwujud jika ada demokrasi ekonomi. Pengelolaan keputusan ekonomi yang dilakukan secara bersama menjadi prasyarakat penting bagi berlangsungnya demokrasi sosial.

Merespon dua cara pandang sebelumnya, tradisi teori kritis berupaya menjadikan problem kapitaslime dan birokratisme sebagai titik tolak dilakukannya kritik ideologi. Bahwa ternyata krisis yang dialami oleh manusia modern justru disebabkan oleh cita-cita modernitas itu sendiri yang diilustrasikan sebagai upaya memberikan manusia kebebasan untuk mengubah segalanya namun pada akhirnya mengubah dirinya sendiri. Akibatnya, mengutip Lyotard (1984) misalnya, sejarah modernistas justru menumbangkan janji-janji narasi besarnya sendiri (reason, enlightment, progress). Artinya, jika modernitas dibayangkan sebagai sebuah upaya pengembangan manusia, mengapa dalam tiga abad ini (1600-1945) berlangsung perang paling biadab di muka bumi: mulai dari perang agama (Katolik-Protestan) sampai perang ideologi (kapitalisme, komunisme, dan nasionalisme) dan ekspor kolonialisme serta genosida ke seluruh penjuru dunia?

Nalar instrumental yang ditopang oleh rasionalitas bertujuan sekaligus esensialisme tersebut lalu menciptakan manusia satu dimensi (One Dimensional Man), kumpulan individu modern yang tersandera dalam ilusi tentang keutuhan, keunikan, dan kesatuan. Ada upaya unifikasi dimensi kemanusiaan yang kaya ke dalam parameter yang terukur, dapat dikuantifisir, dan sewaktu-waktu dapat digunakan tergantung seperti apa kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Nazizme merupakan ilustrasi terbaik mengenai hal ini di mana anti-semitisme yang ditopang oleh perspektif Darwinisme sosial berbasis ras Yahudi, akhirnya melahirkan fasisme Jerman. Fantasi tentang ras unggul dan tidak unggul, dunia barat dan timur atau oksidentalis dan orientalis, merupakan beberapa eksperimentasi bagaimana modernitas justru mengandung ambiguitas di dalam dirinya sendiri (Said, 2003). Fantasi tersebut semakin mengkristal jika ditopang oleh birokrasi dan sistem negara otoritarian yang menjadi basis legitimasi bagi pembenaran tindakan atau perilaku fasis (Diamond, Plattner, & Walker, 2016). Perspektif esensialisme seperti itu, dalam beberapa bagian ditunjukkan juga oleh Weber (2001) dalam The Protesant Ethic and the Spirit of Capitalism yang membayangkan pembangunan Eropa (Eropanisasi) sebagai asal mula modernitas dengan cara mendefinisikan modernitas sebagai proses menjadi ke-Eropaan.

Selanjutnya, krisis juga dibaca sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem neoliberalisme. Dalam terang tradisi postrukturalisme, sistem ini berupaya menjauhkan masyarakat dari peluang melacak akar krisis dengan cara memproduksi dan mendistribusikan wacana supra-human yang tak dapat diprediksi dan mustahil diatasi dalam tempo singkat. Ilustrasi terkini terkait bencana alam banjir dan pandemi covid-19 misalnya, tidak dilihat sebagai dampak dari pembangunan dan penetrasi indutsri militer demi kebutuhan perang melainkan karena kegagalan manusia menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Melanjutnya perspektif Weberian, neoliberalisme menawarkan solusi teknokratis melalui penguatan kapasitas expertisme atau keahlian yang sudah dikontrol demi mengonstruksi pengetahuan masyarakat tentang apa itu kesehatan dan keamanan. Penetrasi neoliberal semakin menjadi-jadi persis ketika digitalisasi dijadikan sebagai salah satu unsur dominan dalam hampir semua tata kelola krisis (beberapa diantaranya yakni sektor kesehatan dan keamanan) sambil terus menyembunyikan niat terselubung mengintegrasikan semua elemen masyarakat ke dalam sebuah sistem yang jauh lebih besar agar mudah dikontrol.

Krisis dan Sekuritisasi

Implikasi langsung dari penanganan krisis pada masa ini membiak dalam bentuk kepengaturan yang berlangsung nyaris total. Teknik governmentality tersebut membagi masyarakat ke dalam sub-sub atomik yang terpisah bahkan saling bertentangan satu dengan yang lain (Foucault, 1991). Mekanisme divide and rule berlangsung dalam rangka memisahkan sekaligus menata ulang. Masing-masing individu dibuat tidak terhubung, bahkan sejarah sebuah bangsa dibayangkan terdiri atas angkatan di mana masing-masing angkatan berdiri sendiri, asing, bahkan bertentangan dengan angkatan yang lainnya(Mamdani, 2020). Alih-alih menawarkan proposal mengatasi krisis, neoliberalisasi krisis berlangsung melalui penguatan rezim sekuriti melalui penetrasi teknologi (Beck, 1992). Itu berarti, risiko meningkat seiring dengan kompleksitas teknologi. Dalam teorinya tentang “masyarakat risiko”, Beck mengajukan masalah risiko dalam konteks teori modernitas, dengan fokus terutama pada bahaya teknis dan, pada tingkat lebih rendah, pada tindakan sosial. Dalam masyarakat berisiko, keselamatan menjadi tujuan utama kebijakan sosial dan politik. Terlepas dari kenyataan bahwa Beck mengabaikan peran sentral dari ketidakamanan dalam masyarakat tradisional dan modern awal, ia berhak berpendapat bahwa warga negara sekarang menjadi lebih sadar akan potensi risiko yang terkait dengan penelitian ilmiah dan perubahan teknologi. Kesadaran akan krisis akut telah membawa konsekuensi politik yang serius, meningkatkan ketergantungan kepada ahli dan negara sebagai pembuat keputusan untuk mengevaluasi dan melawan ancaman lama dan baru. Dalam The Consequences of Modernity (1990), Giddens menjelaskan bahwa kesadaran risiko terkait erat dengan kepercayaan; warga harus menempatkan kepercayaan pada para ahli dan pegawai negeri (teknokrasi bencana dan krisis) untuk melawan ancaman lingkungan yang tampaknya luar biasa bagi mereka. Semua itu dilakukan melalui propaganda yang masif dengan memanfaatkan pelbagai platfom. Bandingkan misalnya selama kampanye presiden AS 2004, ketika Partai Republik merancang iklan di televisi yang menampilkan ancaman serigala-serigala yang berkeliaran di hutan yang gelap. Selama kampanye yang berfokus pada keamanan nasional, iklan ini dengan jelas menyarankan bahwa hanya George W. Bush dan rekan-rekan Republiknya yang dapat melindungi Amerika Serikat dari tentara serigala teroris yang terus bertambah.

Paska Global War On Terror (GWOT), hari ini, di mana-mana, krisis dan keamanan berkelindan satu dengan yang lain dan tampak semakin konkret di depan mata kita sendiri. Nyaris tak disadari, praktik lanjutan dari GWOT terlihat jelas melalui sistem penyaringan di bandara, jaringan CCTV di pusat perkotaan, kehadiran polisi yang terlihat di taman umum, dan sebagainya. Mempertimbangkan bahwa pengalaman akan krisis dan ketidakamanan selalu berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain, kelompok paling rentan dalam praktik keamanan sehari-hari adalah kaum wanita (Lefebvre, 1971:73). Mereka adalah subjek kehidupan sehari-hari dan korbannya. Misalnya, bagi sebagian wanita muslimah, berhijab bagi mereka adalah sekaligus praktik keamanan, karena mereka memperoleh keamanan dari dan melalui identitas Muslim—dan, pada saat yang sama, dapat meningkatkan secara signifikan kerentanan mereka terhadap bahaya, penghinaan atau serangan. Meminjam istilah James C. Scott (1990:200) inilah yang disebut dengan “infrapolitik” yaitu pengalaman ketidakamanan dan krisis sosial yang sebagian besar tidak terlihat dalam politik resmi namun memberikan gambaran yang sepadan tentang kehidupan politik yang belum sempurna.

Pengabaian terhadap kemananan sehari-hari tersebut disebabkan oleh karena dominannya fokus studi keamanan pada cara pandang Weberian yang cenderung menyasar negara dan struktur kelembagaan. Akibatnya, fokus studi keamanan yang hampir eksklusif pada ancaman militer menjadi standar selama Perang Dingin, dan pada akhirnya mengakibatkan keterbelakangan konseptualisasi keamanan (Buzan, 1991). Akibatnya, hari-hari ini, kita seolah-olah membutuhkan keamanan lebih, dan disibukkan dengan melacak berbagai kemungkinan bahaya dan ancaman di ranah sosial. Konflik internasional, bahaya perang nuklir, dan ancaman lingkungan membangkitkan perasaan takut, ketidakpastian, dan keadaan tak berdaya. Akibatnya, ketika seseorang mengalami ketidakstabilan di lingkungannya, kesejahteraan psikologisnya menyusut, dan dia sangat sensitif terhadap,— mengutip Toffler (2002)—“kejutan masa depan”. Oleh karena itu, perlu adanya formulasi kerangka teoretis yang jauh lebih luas dengan memeriksa keamanan dari tiga tingkat analisis: sistem internasional, negara, dan individu. Maksudnya, negara berdaulat merupakan jaminan paling signifikan dan efektif dari keamanan, dan karena itu harus tetap menjadi referensi utama.

Ideologi dan Kekuasaan

Sub bab ini berupaya mengganggu asosiasi arbiter yang umumnya melekat dalam perspektif umum ketika memahami ideologi dan kekuasaan. Disebut demikian karena cara kita memahami kekuasaan dan ideologi menentukan cara kita melakukan politik. Dalam pandangan umum, kekuasaan dan ideologi dimengerti sebagai atribut tunggal yang melekat pada institusi, hukum, dan orang. Dengan demikian, politik diterjemahkan sebagai seperangkat mekanisme yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kelembagaan politik seperti negara, kepala negara, dan produk undang-undang. Frasa L’Etat, c’est moi (negara adalah saya) yang dipopulerkan pemerintahan Raja Louis XIV di Prancis merupakan salah satu contoh bagaimana kekuasaan dan ideologi berkelindan dalam diri aktor. Kecenderungan serupa juga terdapat dalam tradisi Marxisme yang memahami kekuasaan yang bersumber dari kepemilikan alat produksi di mana ideologi kapitalisme misalnya hanya bisa beroperasi dan bertahan lama jika ditopang oleh mekansisme kekuasaan yang berkiblat pada monopoli dan privatisasi politik dan ekonomi dengan cara mengkonsentrasikan modal pada segelintir orang. Akibatnya, kekuasaan menjadi sangat tertentu, dapat direngkuh sebagai hak milik serentak rentan direbut melalui momen periodik seperti pemilihan umum atau revolusi kelas pekerja.

Hadir sebagai strategi baca alternatif, kekuasaan dipahami sebagai dimensi konstitutif yang tersebar dan termanifestasi dalam setiap relasi sosial. Perspektif ini memahami kekuasaan melampaui bentuk-bentuk dan konstruksi-konstruksi juridis versi Weberian atau semata-mata menemukan kedaulatannya pada aparatus negara dan pasar. Pegerseran ini berimplikasi pada proses desakralisasi politik, sebuah upaya melepaskan asosiasi arbiter kita pada otoritas-legal sebagai satu-satunya atribut kekuasaan sekaligus ideologi. Proses tersebut akhirnya membuka peluang bagi formulasi baru tentang politik sebagai aktivasi kapasitas yang ada dalam diri setiap warga negara.

Sumber dan Legitimasi

Dalam tradisi Weberian, ideologi diasumsikan melekat sekaligus menggerakan sebuah sistem, baik melalui birokrasi maupun para elit politik. Perspektif tersebut diuraikan oleh Weber dalam The Types of Legitimate Domination (1914) di mana ia membagi tiga basis legitimasi seorang pemimpin antara lain: Pertama basis rasional dengan basis identifikasi kekuasaan terletak pada seperangkat aturan hukum yang disepakati bersama. Contoh terbaik dapat ditemukan misalnya dalam Undang-Undang Pemilihan Umum yang mengatur mekanisme pemilihan para pemimpin baik di level pusat maupun daerah. Orang dianggap berkuasa sejauh ia berada di dalam birokrasi dan parlemen. Basis legitimasi kekuasaan terletak pada ketentuan hukum yang mengatur dan mengangkat seseorang menjadi penguasa. Ada hubungan saling membentuk antara otoritas legal dan aktor. Kedua, basis tradisional di mana identifikasi kekuasaan mengacu pada kepercayaan terhadap tradisi diantaranya penetapan pemimpin berdasarkan garis keturunan. Tipe kekuasaan jenis ini berhubungan dengan pelanggengan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sebagaimana dalam proses penahbisan kepala suku dan aristokrat feodal. Basis legitimasi bagi kekuasaan ini terletak pada kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama dan dijadikan sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah sesuka hati. Ketiga, basis karismatik di mana proses identifikasi mengacu pada atribut kepahlawanan atau karakter lain yang dianggap mampu membuat seorang individu dinobatkan sebagai pemimpin atau orang yang berkuasa (Turner, 2013). Soekarno misalnya, dapat masuk kategori ini karena memiliki kekuatan magnetik seperti yang ada dalam diri para nabi atau figur besar lainnya di dunia. Daya sihir menjadi elemen utama pembentukan legitimasi bagi bertahannya kekuasaan yang dianggap mampu mentransformasi hidup orang banyak.

Dari tiga pembagian di atas, kekuasaan dan ideologi berkelindan diantara aktor dan sistem (baik lembaga maupun produk hukum) yang berfungsi menjaga stabilitas dan integrasi sosial. Artinya, keberlangsungan sebuah sistem sangat ditentukan oleh cara kekuasaan bekerja melalui norma, institusi, dan mekanisme yang digunakan. Meskipun demikian, dinamika kekuasaan Weberian terjadi persis ketika berkembangnya masyarakat modern justru menghasilkan negara yang birokratis, teknokratis, dan elitis. Hal ini terjadi karena karena Weber menaruh perhatian lebih pada kekuasaan yang melekat pada otoritas legal, institusi dan legitimasi karismatik yang dianggap bermanfaat dalam proses mengelola birokrasi (Weber, 1978). Kedudukan dan status seseorang dapat memainkan peran simbolik yang mengontrol tatanan sosial. Basis legitimasi ini harus dipelihara agar kekuasaan beroperasi secara efektif. Mewujudkan itu, penguasa menggunakan gagasan dan ideologi di satu sisi dan perangkat negara di lain sisi sebagai sarana mempertahankan permanensi rezim kuasanya. Bandingkan misalnya pengerahan militer dan aparat kepolisian untuk membubarkan demontrasi yang menegaskan posisi relasi kuasa antara otoritas legal dan masyarakat. Selain kedudukan, kepercayaan memainkan peran penting sebagai sumber kekuasaan, terutama dalam konteks agama. Para pemimpin agama dianggap berkuasa sejauh ia memiliki kharisma tertentu sebagai basis legitimasi sekaligus menggunakan dimensi itu untuk mengontrol cara berpikir dan bertindak orang yang berada di bawah radar kuasanya.

Berbeda dengan cara pandang Weberian, Marxisme mendasarkan argumentasinya pada dua dikotomi yakni ekonomi sebagai base dan ideologi sebagai superstruktur (Marx, 1973, 2008). Dalam aras itu, kekuasaan dimengerti sebagai teknik atau mekanisme memonopoli sumber-sumber produksi sekaligus menjadikan ideologi sebagai sarana memberikan justifikasi bagi mekanisme kepengaturan tersebut melalui upaya menciptakan kesadaran palsu. Determinisme ekonomi sebagai penadan kekuasaan akhirnya melanggengkan ideologi kapitalistik yang mengukur nilai segala seuatu berdasarkan parameter ekonomi. Alih-alih menawarkan rumusan baru tentang kekuasaan, Marxisme masih menjadikan ekonomi sebagai parameter utama khususnya melalui skenario komunisme yang ditawarkan dengan argumentasi bahwa kelas pekerja yang dianggap tidak punya kekuasaan perlu merebut monopoli kelas kapitalis melalui perlawanan secara sistematis sekaligus mengubah sistem yang ada.

Persis di situ, ideologi memainkan peran penting dalam menjaga keberlangsungan mekanisme monopoli ekonomi dan politik melalui distribusi politik pengetahuan dan wacana moral keagamaan atau dalam kosa kata Marx, religion is the opium of the people, berbanding terbalik dengan argumen Weber bahwa penggerak spiritual kapitalisme sekaligus sumber makna hidup manusia justru terletak pada agama khususnya potestanisme (Weber, 2001). Tanpa perlu mempertentangkan dua perspektif ini, dapat disebut bahwa baik Weber maupun Marx menganggap kekuasaan mempunyai sumber sekaligus basis legitimasinya. Pada Marxisme, kekuasaan dianggap bersumber dari kedudukan sebagai kelas pemilik modal dengan parameter mutlak pada akumulasi kekayaan. Sementara itu, skenario yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dilakukan dengan tidak memberikan tempat bagi partisipasi publik dalam setiap proses-proses politik dan ekonomi melalui distribusi kesadaran palsu. Kesadaran palsu ini diciptakan dan didistribusikan melalui aparatus ideologis yang terdapat dalam kebudayaan, agama, dan pendidikan.

Mekanisme, Taktik, dan Strategi

Berbeda dengan, sekaligus melanjutkan analisis Marx dan Weber, tradisi postrukrualisme berupaya mempertanyakan kembali definisi politik dan kekuasaan yang menjadi basis teori elit Weber dan teori anti-elit Marx. Dengan kata lain, tradisi ini berupaya menawarkan konseptualisasi kekuasaan yang non-esensialis (elit dan kelas) karena kekuasaan tidak bisa dilokalisir sebagai kepemilikan berdasarkan atribut tertentu (Dobratz, dkk., 2012; Honneth, 1991). Jika Marx memahami kekuasaan dalam cara kelas pemilik modal menguasai kelas pekerja secara manipulatif melalui distribusi kesadaran palsu, dalam postrukturalisme, khususnya Foucault, kekuasaan bersifat saling mengkonstruksi atau saling membentuk yang bisa kita amati dalam setiap tindakan dan kenyataan sosial yang ada. Dengan demikian, setiap relasi dan tindakan (atau memutuskan untuk tidak bertindak), merupakan praksis kekuasaan. Sebagai sebuah strategi, kekuasaan beroperasi bukan lagi melalui otoritas legal tetapi melalui apa yang disebut oleh Foucault (2003:256), sebagai biopower yang membentuk tata kehidupan di tingkat populasi dengan tujuan meningkatkan dan memaksimalkan kehidupan bagi mereka yang dianggap layak. Ras dan rasisme adalah konstituen utama dan fungsi biopower karena mereka mengizinkan teknologi biopolitik dan rasionalitas yang ditujukan untuk “membersihkan” masyarakat. Rasisme dengan demikian adalah “prasyarat untuk melaksanakan hak untuk membunuh” yang dapat Anda saksikan dalam kasus Nazisme atau pelabelan teroris terhadap gerakan kemerdekaan di Papua.

Sekali lagi mendeformasi relasi arbiter kekuasaan dengan otoritas dan elit, Foucault (1978) menekankan bahwa kekuasaan itu tidak beroperasi di luar tetapi di dalam dan melalui tubuh manusia dan di dalam rutinitas dan tindakan sehari-hari. Sekaligus menentang gagasan bahwa kekuasaan hanya terletak pada dominasi kelas dan negara sebab kekuasaan akan memiliki karakter jaringan yang memengaruhi semua hubungan sosial (1991). Singkatnya, pelaksanaan kekuasaan bukanlah kekerasan; juga bukan persetujuan yang, secara implisit, dapat diperbarui. Dengan kata lain, kekuasaan dapat beroperasi melalui tindakan menghasut, menginduksi, merayu, membuat lebih mudah atau lebih sulit; dan dalam konteks ekstrem membatasi atau melarang secara mutlak.

Bersamaan dengan penetrasi digitalisasi dan fetisisme internet hari ini, distribusi ideologis melalui aparatus kepengaturan semakin kokoh. Semua itu dilakukan dengan pertama-tama mengasumsikan bahwa masyarakat adalah mesin dan berfungsi seperti Internet dan bahwa Internet adalah oleh karena itu solusi untuk segala sesuatu di masyarakat. Menekankan urgensinya, Marcuse (2004:44) mengingatkan bahwa rasionalitas teknologi ingin diterapkan menggunakan “kerangka kinerja standar” yakni menggunakan algoritma standar Google untuk memberi tahu orang-orang apa yang harus mereka sukai, bagaimana mereka mendefinisikan kenyataan, ke mana mereka harus pergi, apa yang harus mereka anggap penting dan tidak penting (Castell, 2015). Fitur seperti google map, memang dapat membantu untuk menemukan jalan keluar, tetapi juga memungkinkan Google (dan sebagai konsekuensinya berpotensi digunakan oleh perusahan lain dan polisi) untuk melacak pergerakan Anda dan untuk pergerakan subjek di ruang digital melalui logika advertisment atau periklanan: iklan bertarget mengikuti Anda di mana pun Anda mengambil ponsel Anda dan menyajikan kenyataan dan apa yang harus Anda makan, minum, tonton dan sukai sesuai logika pemasang iklan.

Sejalan dengan itu, terciptanya masyarakat yang menjadikan konsumsi sebagai ideologi dengan keterbedaan dalam selera (dictinction) menjadi parameter penanda kelas dan status sosial (Bourdieu, 1996). Penetrasi digital membuat aktivitas ekonomi tidak dilihat sebagai tindakan politik dan ideologis sebagai turunan dari matriks biopolitik neoliberalisme. Teknik beroperasinya teknologi pengawasan dalam arsitektur keamanan global tersebut semakin menjadi-jadi persis ketika hadirnya pandemi hari ini dan diikuti dengan proposal Great Reset yang dirancang melalui pertemuan rutin World Economic Forum di Davos. Akhirnya, dalam konteks lebih luas, pengorganisasian masyarakat menurut rasionalitas teknologi dapat menghasilkan fasisme karena Nazi Jerman diperintah oleh “pertimbangan teknis efisiensi imperialistik dan rasionalitas” semacam itu.

 

Representasi dan Kepentingan Umum

Kualitas demokrasi diukur berdasarkan sejauh mana sistem itu merepresentasikan kepentingan publik. Artinya, representasi atau perwakilan memainkan peran penting dalam rangka memformulasikan pluralitas kepentingan umum ke dalam rumusan yang bersifat universal. Kepentingan partikular diberi signifikansinya sekaligus dikomparasikan dengan konteks dan daerah berbeda dalam rangka menjadikan kepentingan itu bersifat hegemonik sekaligus dinegosiasikan. Sementara itu, teknokrasi jutsru sebaliknya. Alih-alih fokus pada proses politik, mekanisme ini fokus pada kualitas kompetensi teknis dan klaim expertisme atau keahlian demi menunjang bekerjanya sebuah sistem birokrasi. Jika dalam demokrasi, kepentingan umum dibicarakan dan didiskusikan melalui kontestasi maka dalam teknokrasi, basis legitimasi sebuah kepentingan disebut publik diperoleh melalui formulasi preskripsi dengan matriks yang sangat berbeda.

Dari perspektif diskursus postrukturalis, demokrasi merupakan ruang kosong di mana pelbagai artikulasi kepentingan saling berkontestasi. Masing-masing artikulasi dibentuk dari elemen diskursif yang tidak final. Dengan demikian, politik representasi muncul dari formasi identitas yang bersifat cair dan tidak tetap (unfixed). Pelbagai identitas selalu berada dalam proses pembentukan dan senantiasa direaktiviasi demi lahirnya politik agensi dalam representasi di mana identitas yang satu menguatkan identitas yang lain sebelum membentuk identitas kekuasaan politik tentatif (Laclau, 2005, Laclau & Mouffe, 1985). Meskipun demikian, terdapat dilema lain bahwa kualitas demokrasi sangat bergantung juga pada kerja-kerja teknokratis guna memastikan bahwa kekuasaan sedang bekerja. Disebut demikian karena demokrasi tanpa teknokrasi hanya akan menjadi ruang yang ricuh dan gaduh di mana pelbagai jenis gagasan simpang siur tak terkendali, terutama dalam abad informasi digital hari ini. Sementara itu, teknokrasi tanpa demokrasi hanya akan melahirkan sebuah dunia yang terdepolitisasi. Pelbagai jenis kebijakan yang tidak lahir dari proses politik yang demokratis namun semata-mata hanya berdasarkan assesment para ahli misalnya, justru menjauhkan masyarakat dari politik. Imbasnya, masyarakat dibuat tidak mengerti apa hak politiknya sebagai warga negara karena diskursus seperti itu dikunci dalam klaim expertisme. Oleh sebab itu, ketegangan seperti ini selalu permanen dalam sosiologi politik hari ini.

 

Krisis dan Monopoli Representasi

Sebagai sebuah sistem politik yang dibentuk melalui kontestasi kepentingan umum yang berlangsung melalui politik representasi, demokrasi mengandung paradoks di dalam dirinya: di satu sisi perlu adanya ruang kosong agar tidak ada monopoli wacana dan kebutuhan akan teknokrasi sebagai parameter bekerjanya lembaga politik di lain sisi (Mouffe, 2005). Atau dalam bahasa berbeda, disebut sebagai representasi substantif di mana representasi politik bertindak mewakili kelompok tertentu (katakanlah, kaum buruh) dan representasi deskriptif di mana seorang aktor politik mewakili kelompok tertentu dengan menjadi secara objektif serupa dengan yang diwakili. Jika yang pertama menentukan bekerjanya demokrasi sebagai ruang pertarungan artikulasi maka yang kedua bersifat teknokratis karena dimonopoli oleh teknokrat (pakar dan ahli) yang tidak secara tegas mewakili representator.

Krisis politik dan sosial terjadi ketika representasi dimonopoli oleh segelintir teknokrat demi melanggengkan wacana tertentu atau menjadi apa yang disebut sebagai wacana dominan narasi besar (Lyotard, 1984). Eskperimentasi konkret dari gejala tersebut dapat diamati dalam proses fiksasi identitas berdasarkan teknokrasi krisis dan kebencanaan. Dalam konteks krisis politik dalam negeri, berlangsung polarisasi identitas berbasis matriks neoliberalisme yang membelah masyarakat ke dalam kubu Nasionalis-Radikal, Islam nusantara-islam Arab, dan Indonesia Timur-Indonesia Barat. Tidak berhenti di situ, matriks tersebut digunakan kembali terutama pada masa pandemi covid-19 sebagai elemen diskursif baru. Merespon hal tersebut, negara hadir dengan kebijakan teknokratis rezim kesehatan dengan turunan yang juga serupa yakni membelah masyarakat ke dalam dua kubu vaksinasi-nasionalis-pancasilais.

Proyek pendepakan terhadap kubu yang dianggap “the other” berlangsung bukan hanya di level kebijakan politik birokratis melainkan diterjemahkan melalui biopolitik neoliberal diantara warga negara yang saling bertengkar mengklaim siapa yang paling pancasilais karena mendukung keputusan teknokrat medis negara. Kepentingan publik dalam masyarakat risiko diringkus dalam dua dikotomi: antara kesehatan dan ekonomi (Beck, 1992). Meskipun demikian, setotaliter apa pun sebuah rezim, ia tidak pernah sanggup mengontrol secara total. Hal itu dapat diamati melalui respon dari berbagai negara terhadap tata kelola bencanaan atas nama kepentingan umum (keselamatan spesies manusia) tersebut. Respon berupa mimikri sebagai strategi kritik dilakukan dengan cara meniru sekaligus mendukung represetasi yang sudah dimonopoli tersebut atau meniru sebagai cara mengolok-olok sistem yang ada (Bhabha, 2007). Padahal, sebagaimana yang sudah ditegaskan pada bagian sebelumnya, demokrasi mesti dibayangkan sebagai ruang kosong berisi beragam artikulasi. Disebut demikian karena konstruksi identitas sosial dibentuk dalam dan melalui praktik-praktik artikulasi yang hegemonik, yang secara parsial menentukan pemaknaan identitas sosial dengan memasukkannya dalam sistem diferensial dari suatu diskursus tertentu (Laclau & Mouffe, 1985). Konstruksi identitas melalui praktik artikulasi hanya mungkin jika esensialisme identitas ditangguhkan demi membuka kemungkinan kepada dua hal berikut: Pertama, faktum perbedaan bersifat membentuk kesadaran seseorang tentang identitasnya. Kedua, identitas lain diterima sebagai ‘constitutive outside’ yang tanpa hal tersebut seseorang tidak dapat membayangkan dan menyadari eksistensi diri dan kelompoknya sebagai berbeda dari yang lain (Laclau, 2005). Dengan demikian, identitas tertenti menjadi hegemonik sepanjang satu atau lebih partikularitas (kelompok identitas, kelompok kepentingan) mampu mengartikulasikan identitasnya dan kepentingan kelompok lain. Dia tetap sebuah partikularitas tetapi mampu membelah dirinya menjadi artikulasi partikularitas lain. Biasanya dalam proses tersebut terbentuk identitas bersama dan kepentingan bersama yang baru berhadapan dengan satu atau lebih antagonisme sebagai identitas negatif (kemiskinan, rejim otoriter, dan sebagainya). Antagonisme tersebut berperan penting dalam membangun identitas dan hegemoni, karena penciptaan sebuah antagonisme sosial melibatkan terciptanya sebuah hubungan kawan-lawan/adversarial yang menjadi penting bagi terciptanya batas politis (political frontier).

Pada level tersebut, dianalisis apa yang menjadi logika persamaan yang dibangun dalam ruang diskrursif politik untuk membentuk masyarakat dari satu periode ke periode yang lain. Dari situlah kemudian dicari apa yang menjadi empty signifier yang memainkan peran yang luas untuk mempersatukan identitas dalam rantai persamaan. Disebut demikian karena mengutip Zizek, tonggak perjuangan ideologis adalah menciptakan nodal points atau points de capiton, yang akan mentotalisasi serangkaian kesamaan-kesamaan (equivalences) dari elemen-elemen bebas (free floating-elements) (Zizek, 1999).  Meskipun demikian, patut diingat bahwa relasi hegemonik yang rentan menyebabkan logika persamaan terpecah dan kembali kepada logika perbedaan yang memperluas hubungan-hubungan sintagmatis dan memutus rantai persamaan yang ada. Strategi ini perlu dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya fiksasi kepentingan yang menebal dalam bentuk fiksasi identitas secara esensialis di satu sisi dan dominasi representasi kepentingan tertentu. Perlu ada wacana alternatif atau representasi pembanding di hadapan wacana dominan.

Eksperimen Teknokrasi di Indonesia

Hubungan tarik menarik antara demokrasi dan teknokrasi sebenarnya menggaungkan kembali apa yang pernah disebut oleh John Dewey sebagai demokrasi pragmatis yang menempatkan demokrasi sebagai teknik menyelesaikan soal. Dalam pengertian ini, pragmatisme politik diterjemahkan sebagai kemampuan pemimpin politik untuk tidak hanya berhenti pada pelaksanaan tugas simbolik semata melainkan juga harus mampu menawarkan solusi praktis atas berbagai jenis persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam konteks Indonesia, kecenderungan ini diawali dengan persilangan dan kombinasi manipulatif para teknokrat Orde Baru yang disebut sebagai “Mafia Berkeley”, tempat sebagian besar teknokrat bidang ekonomi asal Indonesia menempuh pendidikan mereka. Meskipun demikian, teknokrasi Indonesia juga ditopang oleh keyakinan ideal bahwa perlu adanya teknologi kekuasaan yang memastikan kedaulatan negara dari ancaman luar negeri. Manifestasi model teknokratis tersebut tampak dalam projek pembangunan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dengan basis epistemik dan akademik pada pertumbuhan ekonomi yang diletakan oleh ahli ekonomi sekaligus mantan penasihat keamanan Amerika Serikat W.W Rostow pada tahun 1960. Model ini mengasumsikan adanya lima jenjang pertumbuhan ekonomi melalui klasifikasi masyarakat dari tahap tradisional hingga tahap konsumsi tinggi (Rostow, 1960 ) dan diterjemahkan dalam Repelita I-VI (1969-1994).

Sekalipun bertolak dan berorientasi pada kepentingan umum, kebijakan politik dan ekonomi Orde Baru justru menciptakan komplikasi serius yang tergambar jelas dalam Repelita. Swasembada pangan, transmigrasi, dan industri padat karya merupakan tiga desain dominan yang menunjukkan bahwa teknokrasi selama 32 tahun berhasil membentuk subjek Indonesia yang terdepolitisasi (Hatherell, 2021). Gejala ini dapat disaksikan melalui berbagai wujud diantaranya konflik komunal di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, dan maluku Utara dengan basis konflik pada sensitivitas “asli” dan “pendatang” hasil bentukan program transmigrasi. Demikian pula masalah kelaparan, gizi buruk, dan ketiadaan lapangan kerja yang memadai karena ketahanan pangan didefinisikan semata-mata dalam format berasnisasi.

Gambaran serba cepat tersebut menunjukkan bahwa kebijakan teknokratis dibentuk dan didistribusikan serentak mendapat legitimasinya melalui permainan klaim. James Ferguson (1990) menegaskan secara jelas bahwa teknokrasi kebijakan pembangunan yang berbasis bukti-bukti ilmiah berupaya menghilangkan political nature dari proses kebijakan publik yang disebut Ferguson sebagai “mesin anti-politik”. Sebuah mekanisme kebijakan yang teknis dan rasional yang menyingkirkan aspek politik (depolitisasi) dalam setiap masalah yang ada. Skema depolitisasi juga berbiak di atas klaim-kalim “berbasis ilmu pengetahuan”, “rasional, “dan bebas nilai”. Masyarakat dan birokrasi yang terdepolitisasi dibuat tidak mampu melacak akar soal yang sedang dihadapi melainkan menunggu titah dan penjelasan dari para ahli di berbagai bidang. Dalam register birokrasi, depolitisasi terjadi ketika pengetahuan cenderung difokuskan pada birorkasi, pakar dan delegasi negara. Elemen-elemen ini memobilisasi bentuk pengetahuan dengan menekankan dimensi teknis suatu objek kajian yang selanjutnya menjadi alat legitimasi kebijakan politik melalui tiga dimensi berikut ini:

Pertama, objektivitas dan netralitas berdasarkan klaim keahlian melalui penciptaan dan penjaringan para ahli yang tersebar di berbagai lembaga pemerintahan, pendidikan tinggi, pusat kajian, sektor swasta, think tank, dan LSM untuk mengkompilasi data-data di berbagai daerah untuk membenarkan peran negara sebagai lembaga otonom ketika melakukan intervensi mendadak, terutama pada saat krisis.  Kedua, menawarkan solusi teknis termasuk interpretasi teknis tentang sebuah masalah. Semua itu dilakukan dengan terlebih dahulu mendepolitisasi akar masalah sekaligus menyembunyikan konsekuensi-konsekuensi sosial budaya. Metode ini dapat diamati dalam banyak studi tentang tata kelola yang cenderung fokus pada penggunaan instrumen kebijakan yang dianggap canggih seperti indikator dan benchmarking. Banyak studi kasus yang mengeksplorasi indikator seperti Program OECD untuk Penilaian Pelajar Internasional (PISA), Indeks Pembangunan Manusia (HDI) UNDP atau pemanfaatan instrumen yang terukur berdasarkan ahli statistik oleh institusi seperti FAO, IMF, atau kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC). Meskipun indikator dan statistik tersebut dapat meningkatkan klaim objektivitas dan berguna untuk meningkatkan perhatian publik pada tren global seperti ketidaksetaraan, namun mereka juga mengurai dunia menjadi angka sehingga mengubah akar masalah sosial politik menjadi masalah teknis. Singkatnya, depolitisasi terjadi bukan hanya pada apa yang dimasukkan ke dalam angka tetapi juga semua politik perhitungan itu justru mengecualikan tidak sedikit elemen yang muskil diukur. Ketiga, membedakan antara masalah dan solusi, di mana para aktor kebijakan dan pemangku kepentingan berusaha membingkai “masalah kebijakan” terlebih dahulu dan untuk memengaruhi identifikasi yang “tepat sasar”, mereka menawarkan solusi yang teknis dan manajerial. Ini dibuat dengan cara fokus hanya pada aspek tertentu saja sambil menghindar dari keterkaitan dengan dimensi sosial politik lainnya. Akhirnya, untuk memecahkan masalah tertentu, birokrasi mengusulkan penggunaan instrumen yang cenderung mendekontekstualisasikan situasi di samping menyediakan pendekatan sektoral yang seringkali bersifat tunggal.

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa penekanan berlebih pada respresentasi justru membawa demokrasi pada ambang kehancuran internal karena tak mampu mengelola pluralitas kepentingan atas nama kebebasan, bahkan atas cara tertentu justru memperparah polariasi. Demikian pula teknokrasi tanpa demokrasi hanya akan menjadi sebuah sistem yang sepenuhnya ajek, kaku, dan menjauhkan masyarakat dari proses-proses politik yang penting bagi kehidupan mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan model demokrasi teknokratis atau teknokrasi demokratis yang memungkinkan ketegangan ini tetap terjaga.

Ilustrasi kepemimpinan sejak masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo menunjukkan dua model pendekatan yang sama sama-sama berupaya membincangkan kepentingan umum.  Pada SBY, melekat imajinasi publik tentang pentingnya politik citra atau politik aliran primordial sebagai basis legitimasi merumuskan kepentingan publik. Sementara Joko Widodo adalah ilustrasi lain yang bercerita bahwa kemampuan teknis mantan walikota Solo itu diantaranya blusukan dan mengunjungi daerah-daerah serta tidak hanya duduk di belakang kursi kekuasaan.  Melampaui dua ketegangan ini, dapat dikatakan bahwa teknokrasi tetap dibutuhkan dalam sebuah sistem demokrasi, sebagaimana halnya kita masih membutuhkan para ahli dan ilmuwan, terutama ketika menghadapi krisis diantaranya kesehatan pada masa pandemi covid-19. Meskipun demikian, teknokrasi jenis ini perlu dikontrol agar rumusan kebijakan yang ditetapkan benar-benar menggambarkan kepentingan publik. Itu berarti, masyarakat perlu dibiasakan melakukan pengawasan dan kritik terhadap teknokrat sebagaimana yang dilakukan pada para politisi pada umumnya. Orang harus diingatkan bahwa kebijakan publik dengan legitimasi akademik misalnya lahir dari intervensi langsung teknokrat baik di kampus maupun lembaga think tank tertentu. Kesadaran ini perlu juga diikuti dengan kebiasaan melakukan kritik secara proporsional, bukan berdasarkan rasa suka-tidak suka.

Penutup

Uraian bab ini coba membongkar sekaligus memahami relasi dilematis antara krisis dan transformasi masyarakat. Di satu sisi, krisis dapat dilihat sebagai penyebab perubahan struktur sosial sehingga perlu ada kelenturan tertentu yang dimiliki oleh masyarakat dalam bernegosiasi dengan perubahan yang ada. Sementara di sisi yang lain, krisis dapat dipahami sebagai akibat dari perubahan tata kelola kebijakan yang dianggap merugikan. Dalam empat tradisi pemikiran, mulai dari Weberian, Marxian, Teori Kritis, dan Postrukturalisme, ditemukan bahwa krisis memainkan peran sentral dalam keseluruhan tatanan hidup masyarakat. Tradisi pemikiran di atas mengajak penstudi sosiologi untuk melacak secara tepat bagaimana sebuah krisis dipahami, diberi legitimasi, dan memikirkan tawaran alternatif pemecahannya. Cara merespon krisis juga turut membuka percakapan baru tentang pilihan-pilihan model tata kelola berbasis demokrasi dan teknokrasi sebagai dua kategori paradoksal yang saling membentuk.

Bersamaan dengan penetrasi neoliberalisme, krisis dilihat bukan lagi sebagai gagalnya sistem mengantisipasi dinamika dan perubahan dunia, bukan pula akibat dari gagalnya tata kelola birokrasi negara melainkan karena statusnya menjadi konstitutif dan dibuat permanen karena keterhubungan berbagai jenis sistem. Akibatnya, tidak ada mekanisme yang, jangakan mendeteksi, tetapi juga tidak mampu mengatasi krisis tersebut. Normalisasi krisis tersebut dilakukan dalam rangka menjauhkan warga negara dari merumuskan kritik terhadap akar masalah. Dengan terus mempromosikan wajah domba berbulu serigala melalui berbagai jenis kegiatan karitatif dan ketahanan sosial, akar krisis racikan neoliberalisme justru diletakan pada masing-masing individu.

(Risalah Bahan Ajar Sosiologi Politik)