Kajian Akademik Penyusunan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kabupaten Manggarai Timur. Kerjasama PSKP UGM dan Pemda Kab. Manggarai Timur. Penelitian berlangsung di seluruh masyarakat adat Kab. Manggarai Timur, 14 Januari-16 Juni 2016. Tujuan terpenting penelitian adalah memastikan masyarakat adat diakui dan terintegrasi ke dalam tata kelola pembangunan desa dan perdesaan di Kab. Manggarai Timur. Sumber pembiayaan: Pemda Kab. Manggarai Timur.
Produk Kegiatan: Laporan Kegiatan, Draft RANPERDA Pengakuan dan Masyarakat Adat Kabupaten Manggarai Timur
Frans Djalong: Koordinator Program
Peneliti Utama:AB Widyanta, Tody Sasmitha, Dian Agung Wicaksono, Eric Hiariej
Koordinator Peneliti Lapangan: Franky Perdana
Peneliti: Paulus Kaunang, Nadia Aghnia Fadhillah, Yuva Ayuning Anjar
Cuplikan salah satu bagian dari Laporan Kegiatan
A. Siapa Masyarakat Hukum Adat?
Diskursus dan gerakan Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih belum berhasil mencapai kesepakatan tentang bagaimana seharusnya MHA dimaknai dan didefinisikan. Terdapat beragam istilah yang berkembang dan, secara bersamaan, baik dalam kajian akademik, politik legislasi maupun gerakan advokasi. Pada diskursus di tataran internasional, variasi penyebutan MHA juga cukup beragam, antara lain: indigenous peoples; tribal peoples; native peoples; dan berbagai istilah lainnya. PBB dan berbagai organisasi internasional yang bekerja dalam isu MHA memilih untuk menggunakan istilah indigenous peoples, meskipun diakui pula bahwa digunakannya istilah indigenous peoples tidak mengesampingkan bahwa istilah-istilah lain yang merujuk pada masyarakat asli tetap masuk dalam ruang lingkup kerja mereka.
Indigenous peoples diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional. Dua instrumen utama yang kerap menjadi rujukan adalah Konvensi ILO 169 dan United Nation Declaration of The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Tidak satupun dari kedua instrumen hukum internasional tersebut mengatur definisi yang ketat mengenai Indigenous Peoples. ILO 169 misalnya, hanya menegaskan bahwa yang entitas yang berada dalam cakupan pengaturan ILO 169 adalah indigenous peoples dan tribal peoples. Indigenous peoples sendiri dipertimbangkan sebagai:
“peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions”
Berdasarkan pengertian di atas, penekanan indigenous peoples terletak pada aspek adanya keberlanjutan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diwariskan dari nenek moyang sebelum situasi penaklukan, kolonialisasi atau pembentukan batas negara sampai pada masa sekarang dimana antara masyarakat asli dan masyarakat mayoritas di suatu negara merupakan kelompok yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia, berkembang beberapa istilah untuk menyebut masyarakat hukum adat, antara lain: masyarakat hukum adat (MHA); masyarakat adat; masyarakat tradisional; kesatuan masyarakat hukum adat; komunitas adat terpencil (KAT) dan desa adat (untuk menyebut MHA yang berbasis wilayah). Saat ini, MHA dan Masyarakat Adat menjadi istilah yang paling banyak digunakan. MHA digunakan dalam sebagian besar peraturan perundang-undangan dan kajian-kajian akademik, sedangkan masyarakat adat lebih akrab digunakan dalam lingkungan pergerakan dan advokasi, serta masyarakat adat itu sendiri.
Masyarakat adat, sebagai sebuah terminologi, dianggap lebih luas pengertiannya dibandingkan dengan MHA. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa istilah MHA justru hanya menempatkan masyarakat adat sebagai subyek hukum (legal entity), namun mengingkari atribut lainnya sebagai entitas budaya, sosial dan ekonomi. Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 tentang Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara menegaskan bahwa ”masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”
Istilah lain, yang lebih populer digunakan dalam legislasi dan kajian-kajian akademik adalah masyarakat hukum adat (MHA). Sejak amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), masyarakat hukum adat diakui dan dinyatakan memiliki hak konstitusional. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai the sole interpreter of constitution memberikan definisi operasional berkaitan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut. Dalam Putusan Nomor 31/PUU-V/2008 tanggal 18 Juni 2008 mengenai perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai masyarakat hukum adat, antara lain melalui pertimbangan berikut:
- Menurut Mahkamah, suatu kesatuan masyarakat hukum untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence), baik yang bersifat teritorial, geneologis, maupun yang bersifat fungsional, setidaknya-tidaknya mengandung unsur-unsur:
a. Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
b. Adanya pranata pemerintahan adat;
c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d. Adanya perangkat norma hukum adat; dan
e. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu. - Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut:
a. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
b. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. - Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Masyarakat Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak menggangu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu:
a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Selain Pasal 18B ayat (2), UUD 1945 juga memberikan pengakuan berkaitan dengan identitas budaya masyarakat tradisional dalam Pasal 28I ayat (3) yang mengatakan bahwa “ identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Berdasarkan dua pasal yang mengatur perihal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tersebut tampak jelas bahwa negara memberikan pengakuannya kepada masyarakat hukum adat sebatas pada pengakuan bersyarat (pseudo recognition), yang mana ditegaskan melalui prasyarat “sepanjang masih hidup” atau “sepanjang sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengakuan semacam ini banyak mendapat kritik dari para pemerhati dan masyarakat adat sendiri karena dianggap menafikan keberadaan masyarakat hukum adat yang telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah negara kesatuan.
Disamping pengakuan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, pengertian masyarakat hukum adat juga diatur dalam peraturan perundang-undangan di berbagai tingkat. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 31 yang mengatakan bahwa “masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan hukum yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.”
Lebih khusus, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Pasal 1 huruf p juga dijelaskan bahwa masyarakat adat Papua adalah “masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.”
Pengertian masyarakat hukum adat juga berkembang dalam beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU). Salah satunya adalah RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang mendefinisikan masyarakat adat sebagai “kelompok masyarakat yang secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur, mempunyai hak-hak yang lahir dari hubungan yang kuat dengan sumber daya alam dan memiliki adat, nilai dan identitas budaya yang khas dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”
Pengertian masyarakat hukum adat juga diatur dalam Pasal 1 angka 2 RUU Pertanahan yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah “sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun berdasarkan keturunan”
Berdasarkan beberapa sampel legislasi dan rancangan legislasi di atas, nampak bahwa pengertian masyarakat hukum adat dalam konteks yuridis formal belum memperoleh pemaknaan yang tunggal. Belum lagi jika pemaknaan MHA juga dilihat dari koefisien lainnya seperti advokasi, gerakan sosial dan budaya, maka kemajemukan istilah tersebut cenderung akan mengantar pada perdebatan yang tidak berkesudahan.
Mengingat kajian ini memiliki tujuan untuk menghasilkan rancangan legislasi di tingkat kabupaten, maka diperlukan batasan konseptual ketika membincangkan MHA sebagai sebuah entitas yang perlu diakui keberadaan dan hak-haknya. Oleh karena itu, kajian ini menggunakan indikator di bawah ini ketika menyebut masyarakat hukum adat (MHA): - Memiliki karakteristik paguyuban;
- Memiliki Hukum Adat;
- Memiliki wilayah adat;
- Memiliki kelembagaan adat/sistem pemerintahan; dan
- Memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat.
Indikator tersebut merupakan hasil dari pembacaan terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini menjadi acuan dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak MHA, seperti: UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Permendagri 52/2015. Dikesampingkannya aspek lain seperti “ikatan dengan leluhur” atau “adanya sistem nilai”, tidak berarti bahwa kajian ini mengesampingkan adanya unsur-unsur konstitutif lain yang melekat pada MHA. Keputusan untuk mengesampingkan beberapa unsur karena telah tercakupnya unsur-unsur tersebut dalam lima unsur utama yang dikemukakan di atas, atau karena beberapa unsur seperti “hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup” justru akan mempersempit pemahaman MHA sebagai entitas dalam pengaturan UU Lingkungan Hidup semata.