Demokrasi Liberal dan Ilusi Representasi di Indonesia (2015)

Demokrasi Liberal dan Ilusi Representasi di Indonesia (2015)

 

Mengapa mengkaji representasi sangat penting untuk memahami dan menyiasati kebuntuan demokrasi? Sampai saat ini kajian akademik belum membahas problematika representasi dalam hubungannya dengan penguatan kapasitas emansipatoris demokrasi dan terbentuknya formasi intelektual organik di Indonesia. Sebagaimana akan diuraikan singkat dalam tinjauan ini, sejumlah besar kajian demokrasi Indonesia masih berpijak pada epistemologi representasi yang modernis, proseduralis dan moralis. Kuatnya epistemologi politik liberal tersebut bisa ditebak bergerak melalui dua arus utama berikut.

Pertama, hegemoni paradigma liberal dalam proyek demokratisasi di Indonesia memiliki akar historis dan sosiologis. Demokratisasi pasca Reformasi 1998 tak terpisahkan dari penetrasi geopolitik global dalam mana ‘demokrasi’ menjadi metanarasi pasca Perang Dingin (Fukuyuma, 1992; Huntington, 1991). Liberalisme politik berlaku sebagai regime of truth dengan daftar panjang aksioma dan preskripsi tentang Indonesia yang stabil dan sejahtera. Secara tersurat ataupun tersirat, aksioma dan preskripsi neoliberal dijadikan panduan kolektif agenda kerja pemerintah dan ragam advokasi ‘masyarakat sipil’. Sejak reformasi bergulir, Indonesia menjadi terminal lalu lintas program-program demokrasi liberal seperti penguatan kapasitas negara minimal seperti good governance khususnya anti-korupsi, dan penguatan kapasitas masyarakat lokal seperti advokasi pemberdayaan ekonomi. Bisa dipastikan bahwa intervensi paradigma liberal berlangsung dalam tiga wacana dominan yakni demokratisasi itu sendiri, wacana pembangunan, dan wacana keamanan.

Melalui proses hegemonisasi yang berlapis-lapis, paradigma liberal mengalami normalisasi. Salah satu akibat nyatanya adalah relasi-kuasa antara Barat dan Timur atau Third World dan First World dalam kaitan dengan produksi pengetahuan semakin tersamar dan dianggap tidak perlu diperdebatkan. Dalam situasi ini, problematisasi terhadap klaim representasi dalam paradigma liberal menjadi tidak terpikirkan, atau kalaupun ada problematisasi maka dianggap sebagai tindakan reaktif. Kritik terhadap hegemoni liberal rentan dituding sebagai reaksi kaum fasis dan konservatif. Tak jauh beda dari cara kerja ideologi modernis- kolonial, ‘Barat’ hari ini dipahami sebagai pusat pengetahuan, pusat nilai, dan pusat agensi. Dengan status dan fungsi sebagai simulakrum atau penanda raksasa, paradigma liberal melakukan manuver unik melalui politik keberpihakan terhadap ‘the Other’ sembari terus melanggengkan Barat sebagai pusat representasi (bdk. Spivak, 1988; Kapoor, 2008; Brown, 2006).

Kedua, hegemonisasi paradigma liberal di Indonesia juga berlangsung dalam domain akademik. Hegemoni berlangsung melalui aktivitas produksi, reproduksi dan diseminasi pengetahuan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang mengacu pada epistemologi politik liberal (bdk. Nugroho, 2005; Heryanto, 2005; juga bdk. Hanneman, 2002). Hampir bisa dipastikan bahwa studi demokrasi, pembangunan dan keamanan pasca reformasi kian mengacu pada preskripsi epistemologis dan metodologis yang berbiak di atas paradigma liberal. Dalam studi demokrasi politik (Democracy Studies), misalnya, fokus kajian diarahkan pada regulasi, mekanisme dan proses elektoral dan sedikit perhatian diberikan pada politik kewarganegaraan aktif.

Selanjutnya, dalam studi pembangunan (Development Studies), fokus kajian diarahkan pada integrasi masyarakat-komunitas lokal ke dalam pasar. Alih-alih diperlakukan sebagai arena artikulasi kepentingan, negara diberlakukan sebagai aktor sama seperti pasar atau korporasi, dan sampai pada titik di mana negara disarankan sebagai fasilitator dan regulator semata. Melalui manuver advokasi ini, kemiskinan mengalami de-politisasi dan membuka jalan lebar bagi pengarusutamaan MDGs dan SDGs( bdk. Toby Carrol, 2010). Demikian pula dalam studi keamanan (Security Studies), fokus kajian dibingkai dalam konseptualiasasi konflik dan kekerasan sebagai persoalan yang berakar pada kemiskinan, keterbelakangan budaya dan lemahnya penegakan hukum (lihat, Johan Galtung, 1996; Richmond, 2008). Konflik dan kekerasan tidak lagi dipahami sebagai persoalan ketimpangan relasi-produksi ekonomi dan relasi-kuasa dalam mana para pelaku tersituasikan untuk bertindak.

Produksi dan diseminasi pengetahuan pasca Reformasi telah menjadikan universtitas dan NGOs (dua pilar utama masyarakat sipil) sebagai kolaborator dan artikulator utama paradigma liberal. Pasca Reformasi, ‘Masyarakat sipil’ muncul sebagai penanda baru, sebuah identitas dan agensi politik yang merepresentasikan peradaban dan modernitas. Dalam konteks post-kolonial, masyarakat sipil adalah penejermah atau simpul penghubung antara Barat (signifier of surplus) dan Timur (signifier of lack). Jika dalam masa kolonial, modernitas secara langsung direpresentasikan oleh subyek Barat, maka dalam era postkolonial, mengutip Hadashi, proyek modernitas berlangsung dalam slogan ‘Brown Skins, White Masks’ (lih.Hadashi, 2011). Alih-alih melakukan kritik dan advokasi radikal terhadap ketimpangan dalam relasi kuasa, status dan peran intelektual dan aktivis justru kian memperkokoh penetrasi paradigma liberal baik dalam interaksinya dengan negara melalui advokasi kebijakan maupun dalam interaksinya dengan masyarakat melalui implementasi program pemerintah dan donor internasional. Situasi ini membatalkan terbentuknya formasi intelektual organik sebagaimana yang dibayangkan para penstudi post-marxist (lih. Gramsci, 1971). Mengunakan kacamata Althusser (2014)), masyarakat sipil pasca Reformasi telah ambil bagian aktif sebagai aparatus ideologi neo-liberal.

Mengisi Kelangkaan Kritik Ideologi

Studi ini merupakan upaya untuk mengisi kelangkaan kajian kritik ideologi terhadap problematik representasi paradigma liberal yang dikondisikan oleh dua arus utama di atas. Merespon situasi tersebut, studi ini menemukan relevansi tiga perspektif ilmu-ilmu sosial kontemporer, yakni perspektif Postkolonial, Teori Kritis dan Post-strukturalisme. Keutamaan tiga perspektif tersebut dalam membedah probelematika representasi sebagai berikut. Pertama, kapasitas membaca dan membongkar relasi-kuasa yang beroperasi dalam wacana demokrasi, pembangunan dan keamanan. Melalui perspektif ini dapat diurai hubungan kuasa antara First World dan Third World dan implikasi-implikasinya bagi Dunia Ketiga (Said,1978; Fanon, 1967; Ilan Kapoor, 2008). Kedua, kapasitas teoretis dari ketiga perspektif tersebut untuk memberikan jalan keluar dari kebuntuan demokrasi yang disebabkan oleh hegemoni paradigma liberal (Mouffe, 2010). Ketiga, kapasitas politik pengetahuan dari ketiga persepektif tersebut untuk mendorong munculnya rumusan-rumusan masalah sosial, ekonomi dan politik yang tidak mengacu pada paradigma liberal dan berujung pada paradigma alternatif dan model serta advokasi yang berbeda (Spivak, 1988; Bhabha,1994) .

Dalam studi ini, ketiga perspektif di atas digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis aspek-aspek fundamental terkait politik representasi (basis nilai/ideologi, identitas, relasi antara yang merepresentasi dan yang direpresentasi, dan mekanisme-strategi representasi) di dalam 4 wacana populer selama periode demokratisasi di Indonesia. Berikut diuraikan tinjauan terkini mengenai keempat wacana populer tersebut.

A. Wacana Reformasi Birokrasi Pemerintahan

Sampai saat ini topik utama dalam kajian reformasi birokrasi pemerintahan masih berkisar soal Tata kelola Kepemerintahan (Good Governance) termasuk wacana anti-korupsi. Dalam isu ini, masih terbatas kajian khusus mengenai problematika representasi. Kendati demikian, isu reformasi birokrasi pemerintahan merupakan program utama terkini dari paradigma liberal global khusus terkait reformulasi fungsi dan peran negara dalam hubungannya dengan masyarakat dan pasar (lih. World Bank, 2011; WB Policy Report, 2013). Dalam bingkai neoliberal ini, pembangunan (Development) dan Ketertinggalan (Underdevelopment) dinilai berakar pada seberapa jauh masyarakat dan negara terintegrasi ke dalam pasar regional dan global. Pemerintah dan pasar diharapkan bekerjasama mengidentifikasi kebutuhan masyarakat lalu merumuskan kebijakan dan implementasi program. Secara hipotetik disimpulkan, negara dan pasar adalah pelaku perubahan, producer of welfare/agent of change. Di lain pihak, masyarakat adalah penerima sasaran/obyek perubahan, consumers of welfare/object of intervention (lih. Harris, 2011; Caroll, 2010; bdk. Fergusson, 1994; Gupta, 2012).

B. Wacana Hubungan Agama dan Politik

Pasca reformasi sampai saat ini, wacana hubungan negara dan agama mendapatkan ilustrasi terbaik melalui topik Islam Politik dan Multikulturalisme-Toleransi. Cara kerja representasi dalam wacana ini mudah dicermati mengingat banyaknya studi, publikasi dan perdebatan kebijakan di tingkat nasional dan internasional pasca 9/11. Dalam prakteknya, wacana ini telah menghasilkan polarisasi politik dalam ruang publik antara kelompok yang melabelkan diri liberal-sekuler dan kelompok yang dilabelkan fundamentalis-puritan atau komunitarian. Secara umum politik representasi bertolak dari aksioma liberal bahwa agama tidak mencampuri urusan politik dan juga sebaliknya. Masuknya agama ke dalam politik dinilai melahirkan tirani mayoritas, melegitimasi kekerasan kolektif terhadap minoritas, dan bahkan memicu perdebatan tentang hubungan antara Islam, HAM dan multikulturalisme. Dalam periode demoktratisasi saat ini, isu HAM mengalami depolitisasi dan diambil alih oleh paradigma hukum sebagai panglima, baik yang diterjemahkan pemerintah maupun yang diadvokasi pegiat HAM.

C. Wacana Otonomi Daerah dan Pembangunan Lokal

Otonomi daerah dan pembangunan lokal merupakan wacana perintis dalam agenda nasional reformasi dan kian relevan dibahas dalam perdebatan kebijakan belakangan ini. Wacana ini terkait erat dengan wacana reformasi birokrasi. Desentralisasi merupakan realisasi kebijakan nasional terkait hubungan antara pusat dan daerah yan diharapkan dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan pelayanan publik oleh negara dan bersama masyarakat lokal. Sebagian besar penstudi merisaukan kontribusi otonomi daerah bagi penguatan dan pendalaman demokrasi di tingkat lokal. Alih-alih memberdayakan ekonomi rakyat dan mendorong partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan, desentralisasi ditengarai justru memperkuat tentakel birokrasi negara ke tingkat akar rumput. Negara terus memposisikan dirinya sebagai produsen pembangunan dan warga sebagai konsumen pembangunan. Para penstudi menilai dalam situasi negara mengalami ‘lokalisasi’, tersedia insentif politik dan ekonomi bagi reproduksi rejim politik lokal seperti patronase, ‘big boss’, kebangkitan aristokrasi lokal, dab revitalisasi adat (lih. Aspinall dan Klinken, 2011; Nordholt dan Klinken, 2007; Tyson, 2010).

D. Wacana Geopolitik Keamanan Global

Wacana geopolitik keamanan global merupakan arena krusial yang tidak dapat dipisahkan dari wacana reformasi birokrasi dan wacana hubungan agama dan politik (lih. Duffield, 2001; Little, 2002). Di Indonesia sendiri, masih sangat terbatas kajian yang membedah dimensi ideologi di balik propaganda geopolitik keamanan global di dalam negeri dan implikasinya bagi kebijakan keamanan nasional, belum termasuk kaitannya dengan skenario pembangunan dan penciptaan negara pro-pasar yang didikte oleh lembaga-lembaga internasional dan negara-negara Dunia Pertama termasuk program-program akrobatik seperti MDGS dan SDGS. Pasca Reformasi, paradigma neoliberal tentang keamanan sangat mempengaruhi pembuatan kebijakan dan implementasinya seperti kebijakan pemberantasan terorisme dan program-program de-radikalisasi. Demikian pula studi Islam Politik dan Multikulturalisme di Indonesia membludak sejak 9/11 dan Bom Bali 2001. Dalam wacana ini tidak sulit mencermati cara kerja representasi liberal yang menghadirkan kembali politik orientalisme dalam kontruksi-biner Barat (sekuler) dan Islam (fundamentalis), atau Demokrasi liberal bercirikan toleransi dan fundamentalisme Islam berkubang dalam kekerasan (lih. Mamdani, 2002; Sayyid, 1997). Islam Politik dianggap ancaman serius bagi Demokrasi Liberal. Sejalan dengan itu, kemiskinan dan rejim otoriter, representasi Dunia Ketiga, dipersepsikan sebagai akar struktural dan akar politik di balik terorisme global, regional dan global. Orientalisme pasca Perang Dingin ini melakukan kontrol total dalam kombinasi yang unik antara pengawasan terhadap Islam, negara Dunia Ketiga dan kemiskinan global.

(Frans Djalong, presentasi seminar penelitian, 2015)

Daftar Pustaka

Bhabha, Homi. 1994. The Location of Culture. London: Routledge
Brown, Wendy. 2006. Regulating Aversion: Tolerance in the Age of Identity and Empire. Princenton: Princenton University Press
Carroll, Toby. 2010. Delusion of Development: The World Bank and the Post Washington Consensus in Southeast Asia. London: Palgrave Macmillan
Chatterjee, Partha. 2004. Politics of The Governed: Reflections on Popular Politics in Most of The World. New York: Columbia University Press
Debord, Guy.199o. Society of Spectacle. London: Rebel Press
Duffield, Mark. 2001. Global Governance and The New Wars: The Merging of Development and Security. London: Zed Books
Fanon, Frantz. 1967. Black Skin, White Mask. New York: Grove Press
Ferguson, James. 1994. The Anti-Politics Maschine: Development, Depolitization and Bureaucratic Power in Lesotho. New York: Cambridge University Press
Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and The Last Man. New York: The Free Press
Galtung, Johan. 1996. Peace By Peaceful Means. Peace and Conflict, Development and Civilization. London: Sage
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Notebooks. New York: International Publishers
Gupta, Akhil. 2012. Red Tape: Bureaucracy, Structural Violence and Poverty in India. London: Duke University Press
Hadashi, Hamid. 2011. Brown Skin, White Masks. London: Pluto Press
Hadiz, Vedi. 2014. ‘A New Islamic Populism and the Contradictions of Development’, dalam Journal of Contemporary Asia, Vol 44, No, hal. 1 125-43
Hanneman, Samuel. 2002. ‘The Making of Indology’, dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat, Edisi No. 10, Tahun 2002, hal 3-32
Harris, John. 2011. Depoliticising Development: The World Bank and Social Capital. New Dehli: Leftword Books
Heryanto, Ariel. 2005. ‘Ideological Baggage and Orientation of Social Sciences in Indonesia’, dalam Vedi Hadiz & Daniel Dhakidae (ed.), Social Science and Power in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing, hal 57-89
Huntington, Samuel. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press
Kapoor, Ilan. 2008. The Postcolonial Politics of Development. London: Routledge
Laclau, Ernesto. 2005. On Populist Reason. London: Verso
Little, Douglas. 2002. American Orientalism: The United States and The Middle East since 1945. London: University of North Carolina Press
Mamdani, Mahmood. 2002. “Good Moslems, Bad Moslems: A Political Perspective on Terrorisme, dalam American Antropologist, Vol 104,No 3, September 2002, hal 766-75.
Mouffe, Chantal. 2000. Democratic Paradox. London: Verso
Mouffe, Chantal. 2009. ‘The Importance of Engaging the State’, dalam Jonathan Pugh (ed), What is Radical Politics Today?. London: Palgrave Macmillan, hal 230-37
Nordholt, Henk dan Klinken (editor). Renegotiating Boundries: Local Politics in Post Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV
Nugroho, Heru. 2005. ‘The Political Economy of Higher Education: The University as Arena for the Struggle for Power’, dalam Vedi Hadiz & Daniel Dhakidae (ed.), Social Science and Power in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing, hal 143-165
Panizza, Francisco (ed). 2005. Populism and the Mirror of Democracy. London: Verso
Philpott, Simon. 2000. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: Macmillan Press
Pitkin, Hanna Fenichel. 1967. The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press
Plehwe, Dieter, dkk (editor). 2006. Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London: Routledge
Richmond, Oliver. 2008. Peace in International Relation. New York: Routledge
Said, Edward. 1978. Orientalism. London: Penguin Books
Sayyid, Bobby. 1997. A Fundamental Fear: Eurocentrism and Emergence of Islamism. London: Zed Books
Spivak, Gayatri. 1988. ‘Can Subaltern Speak?’ dalam C. Nelson dan L. Grossberg (editor), Marxism and Interpretation of Culture. Chicago: University of Illinois Press
Tyson, Adam. 2010. Decentralization and Adat Revivalism in Indonesia. London: Routledge
World Bank. 2011. World Development Report. Conflict, Security and Development. Washington: WB Publications
World Bank. 2013. World Bank Policy Research Report. Localizing Development. Washington: WB Publications