Sudah setahun lebih, kita menjalani hidup dengan cara berpikir dan cara bertindak baru, meski pola hidup lama juga masih berlaku. Ada yang merasa dunia bergerak cepat, “the world is changing fast”. Tapi juga makin banyak orang berpikir keras, bahwa dunia dibuat bergerak serba cepat, “the world is being changed so fast”. Lalu kita berdebat satu sama lain, lebih sering berupa pertengkaran, tentang masa depan manusia, hidup dan mati kita, melalui imajinasi kehidupan yang baru dari cara berpikir kasta teratas seperti Kristalina Georgieva, Bill Gates, Elon Musk, Adhanom Tedros, Anthony Fauci, Klaus Schwab dan juga Yuval Noah Harari—new faces of global empire.
Source Q Magazine
Dunia kita, yang diubah dan berubah itu, setidaknya sebagai awalan, bisa diperiksa melalui pengertian kesehatan bagi ekonomi-politik dan keamanan dunia yang tertera dalam mukadimah WHO. Tertulis dengan jelas dua hal penting. Pertama, sehat itu tidak semata bebas dari penyakit, tetapi mencakup sehat mental, sosial dan ekonomi. Kedua, kesehatan menjadi urusan dunia, butuh kerjasama antar negara, juga warga negara dan masyarakat. Disebutkan kesehatan bisa membuat dunia damai atau sebaliknya, tidak tertib dan negara saling berperang. Dengan pengertian kesehatan tersebut, kita terhubung ke dalam kerja kekuasan yang lebih besar, atau sebaliknya kekuasaan kapan saja dapat bekerja melalui tubuh dan pikiran kita.
Dari teks badan kesehatan dunia itu, kita didorong masuk ke dalam kenyataan pandemi global ini. Bahwa pandemi adalah masalah multi-dimensi yang menimpa individu dan masyarakat, serta masalah dan tantangan semua negara. Setelah dunia berhasil dibuat sepakat dengan kedaruratan epidemi covid-19 selama setahun, akhirnya Tedros, dirjen WHO, mengusulkan perlu adanya ‘pandemics treaty’, semacam perjanjian perang semesta terhadap pandemi, sebagaimana disampaikan dalam sambutannya pada Konferensi Munich-nya NATO, Februari 2021. Rekomendasi ini, berlebihan atau tidak, bisa dimaklumi mengingat masyarakat dunia menghidupi narasi bencana mendekati akhir zaman, setelah setahun lebih percaya dengan kata-kata sang jenderal, dunia menjadi tawanan virus kecil—the world is taking hostage by small virus.
Di awal tahun lalu, ketika pandemi dimulai, terjadi pertarungan banyak kepentingan nasional dan geopolitik. Namun belakangan makin bergeser ke arah kolaborasi multi-sektor dengan slogan Solidaritas Global. Teknologi pun tampil sebagai fasilitator utama, membentuk digital-global village, sebagaimana tercermin dalam kata-kata Harari yang dipopulerkan itu, ‘pandemics separates us, but technology gets us together’. Kendati demikian, Facebook dan Youtube mendapat protes keras dari publik kritis dan sejumlah negara karena makin sewenang-wenang, membatasi kebebasan berpendapat dan memblokir informasi-berita yang tak selaras dengan arahan Bill Gates dan World Economic Forum di Davos.
Selama setahun pandemi ini, telah dipercepat dan diperkuat model kerjasama ‘public-private partnership’ yang digalakkan World Economic Forum selama lima tahun terakhir. Melalui forum ini, korporasi global dan negara-negara besar membangun kerangka-kebijakan global dan merumuskan tata kelola dunia melalui darurat kesehatan ini. Antara lain, industri farmasi (big pharma), industri informasi dan telekomunikasi (IT), korporasi transnasional (TNCs), lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank, negara-negara adidaya dan aliansi multilateral dalam G7, G20 dan G50. Termasuk kolaborasi melalui platform bilateral, trilateral dan forum regional, mengacu pada arahan WEF. Pandemi Covid-19 akhirnya menyatukan negara dan korporasi transnasional, dalam satu aliansi global, bersama-sama mengatur manusia dan masyarakat dunia, dalam skala terbesar yang belum pernah terjadi sepanjang tiga dekade globalisasi.
Berbeda dari wacana dan kebijakan global, kita mencatat sejumlah isu utama yang mencemaskan publik dan diabaikan pemangku tata-kelola baru di atas. Mulai dari protes publik terhadap ‘kedaruratan’ kesehatan, pemiskinan kelas pekerja, War against the Poor, melalui pembatasan mobilitas yang tak kunjung berakhir, masalah perubahan relasi sosial tanpa kesepakatan bersama, pembungkaman kebebasan berpendapat, khususnya kontrol wacana dalam dunia digital oleh aliansi negara dan korporasi IT. Belum terhitung protes publik terhadap agenda digitalisasi ekonomi dan keuangan, kerisauan publik mengenai kualitas vaksin dan manfaatnya dan bahkan debat pakar biomedis mengenai mutasi virus dan validitas pandemi, yang sebagian besar tidak diakomodasi dan dilabelkan konspirasi.
Dari segi yang lain, perdebatan publik sebetulnya mencerdaskan masyarakat dengan sajian informasi, pengalaman dan sudut pandang beragam, kendati selalu dibayangi pembatasan dan pelarangan. Publik, sebagai warga negara, kemudian bisa menilai kebijakan negara, apakah sanggup merespon kebutuhan sosial-ekonomi rakyat terdampak. Juga dengan itu publik dapat menilai apakah pemerintah, kekuatan politik yang berkuasa atau berkoalisi, mendukung demokrasi atau melayani agenda teknokrasi di balik pembuatan dan penerapan kebijakan tanggap darurat kesehatan ini.
Melalui tulisan ini, kita diajak menengok perihal yang lebih fundamental di balik isu-isu terkini di atas. Di dalamnya, kita bertemu dengan dua hal pokok yang belum banyak dibahas. Yaitu, Hakikat Manusia dan Politik Kehidupan, dalam tata dunia baru yang sedang terbentuk saat ini. Meski kedua topik tersebut saling berkaitan, dengan sengaja dibahas terpisah untuk memperdalam pemahaman serta konsekuensi bagi diri kita dan dunia. Sekaligus mengingatkan, bahwa konsep dasar tentang manusia dan paradigma kehidupan adalah asal-muasal ekonomi dan politik.
Topik pertama, adalah bagaimana sebaiknya kita memahami perdebatan global tentang relasi tubuh, otak dan lingkungan hidup yang mengemuka selama pandemi setahun ini. Topik ini sangat penting, karena tubuh, otak dan lingkungan hidup telah dijadikan ‘masalah utama’. Itu berarti hakikat kehidupan sedang dipersoalkan dan dipertaruhkan. Sekaligus dengan itu, kita terpanggil untuk mencermati dan mendebat ‘solusi teknologi’, yang disebarluaskan teknokrat global bagi masa depan spesies manusia dan ekosistem kehidupan.
Sementara topik kedua, tidak kalah penting, berangkat dari pertanyaan bagaimana sebetulnya pertarungan antara kekuatan modernitas dan kekuatan pasca-modernitas melalui pandemi ini. Tentu lebih dari sekadar debat filsafat di ruang kosong, tetapi seteru dua model politik kebijakan, teknokrasi dan demokrasi, dengan sejumlah konsekuensi serius bagi keadilan dan kesetaraan antar kelas ekonomi, golongan sosial dan komunitas budaya. Konsekuensi pertarungan juga akan sangat dramatis karena berdampak pada kedaulatan dan peran negara di masa datang, termasuk mengubah arsitektur geopolitik dunia.
Barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kedua topik ini mengangkat ke permukaan, ‘battle of the century’, perang ideologi terbesar abad ini, antara Modernitas dan Pasca-Modernitas. Perang dalam arti tabrakan ideologi dan teknologi politik sekaligus, yang lebih fundamental dibandingkan seteru bersejarah dan berdarah antara kapitalisme dan komunisme—dua ideologi dalam metanarasi modernitas. Lebih lanjut, hasil pertarungan modernitas versus pasca-modernitas akan ditentukan oleh dinamika dan proses tarik menarik antara teknokrasi dan demokrasi, dalam forum internasional dan di berbagai negara, selama dan sesudah pandemi berakhir.
Source Gates Notes
Tubuh, Otak dan Lingkungan Hidup
Satu godaan yang sulit ditolak manusia modern, adalah kenikmatan mengutak-atik dirinya sendiri dan lingkungan hidup, lalu tak serius mengatasi kerusakan yang telah ditimbulkan. Terobosan baru berupa teknologi selalu lahir dari eksperimentasi ilmiah dan kalkulasi untung-rugi, sekaligus meninggalkan perkara hidup dan mati bagi orang lain dan ekosistem kehidupan. Di sana, mengemuka ketegangan antara yang teknis dan yang etis, antara yang rasional dan spiritual—paradoks modernitas.
Dari seluruh ekperimentasi ilmu pengetahuan, manusia itu sendiri dijadikan obyek percobaan yang tidak pernah tuntas. Manusia dipreteli menjadi tiga komponen yang terpisah dan disambung kembali sesuai kalkulasi ekonomi dan politik. Manusia dan tubuh, manusia dan pikiran, dan manusia dan lingkungan hidupnya. Dengan komposisi ini, dimulai suatu pembagian kerja ilmu dan intervensi teknologi terhadap ketiga komponen itu.
Dalam perkembangannya, tiga komponen itu lebih dari sekadar informasi tentang manusia, tetapi berubah sebagai tiga pusat industri, yang menjamin keberlangsungan ekonomi dan politik modern. Hampir seluruh jenis ilmu dan teknologi dikerahkan untuk menggerakkan ekonomi modern berpusat pada manusia tiga dimensi. Sekaligus diberlakukan politik yang mengatur, mengontrol dan mengelola resiko dari eksperimentasi tiada henti ini. Dari situlah bisa dideteksi dua cara kerja ekonomi-politik, yaitu melayani dan memuliakan manusia dengan menjadikannya obyek eksperimentasi ilmu-teknologi dan komoditas pasar, sekaligus melanggengkan hubungan tak setara antara sesama manusia berupa kelas ekonomi dan strata sosial-politik.
Monopoli ekonomi-politik atas tubuh, otak dan lingkungan berlangsung dengan pola yang dinormalisasi secara ilmiah atau di-ilmiahkan. Yaitu, ketiganya diberi status dan peran masing-masing, seringkali tak tersambungkan. Tubuh manusia, human body, disederhanakan sebagai tubuh biologis semata, dengan rumusan hidup-mati tubuh yang terpisah dari cara kerja otak, human brain, dan ekosistem hidup, baik ekologi maupun kosmologi. Alhasil, anatomi tubuh, sebagai keseluruhan sistem kerja biologis, semakin tak tersambungkan dengan cara kerja otak dalam keseluruhan medan listrik dan neuron manusia dan sekitarnya.
Demikian sebaliknya, kerja otak manusia semata dihubungkan dengan kegiatan berpikir, thinking being. Dipastikan bahwa sebagian terbesar dari kajian tentang pikiran tidak ada kaitannya dengan tubuh, apalagi sampai pada tubuh yang berpikir, thinking body. Terbentuk pandangan umum yg khas, sel-sel tubuh bekerja dengan mekanisme sendiri, sementara otak berurusan dengan pengetahuan dan kesadaran semata. Lalu dari sana, biologi dan kedokteran menangani tubuh berdarah berdaging, sedangkan psikiatri dan psikologi berurusan dengan pikiran dan perasaan, termasuk filsafat, antropologi dan sosiologi.
Dengan diputuskannya hubungan kosmis tubuh-otak, integrasi manusia dan lingkungan hidupnya semakin sulit terbayangkan. Merusak alam atas nama pertumbuhan ekonomi bisa ditoleransi karena dianggap tidak merugikan manusia secara langsung. Itu terjadi dalam cara berpikir modern bahwa lingkungan berada di luar manusia. Tidak ada relasi kosmis keduanya terkecuali datang bencana besar, yang segera dilabelkan bencana alam atau bencana buatan manusia.
Menanggapi perilaku ilmu pengetahuan modern tersebut, pemikiran baru, lintas disiplin, digagas dan dikembangkan untuk menyatukan kembali tiga komponen manusia yang sekian lama dipisahkan. Epigenetika, salah satu cabang yang terkemuka saat ini, misalnya, menyatukan biologi molekular dan genetika, membuka pemahaman baru bahwa tubuh dan otak beroperasi dalam satu medan listrik-kimiawi di mana otak bertanggung jawab menyembuhkan, menambah umur, memperkuat daya tahan tubuh, atau sebaliknya, menurunkan kekebalan dan mematikan perkembangan tubuh. Sentuhan, tatapan dan kata-kata yang penuh perhatian, misalnya, adalah resep hidup yang sehat, memicu kerja elektron otak, meremajakan sel-sel tubuh. Termasuk terpenting, lingkungan kerja dan belajar yang mendorong imajinasi dan kepercayaan diri.
Demikian halnya hubungan langsung antara manusia dan lingkungan diperlihatkan secara meyakinkan oleh pemahaman fisika kuantum. Bahwa manusia adalah makhluk alam, bagian tak terpisahkan dari keragaman hayati, dalam satu medan kuantum yang kompleks. Intervensi genetik yang keliru terhadap tanaman pangan, misalnya, merusak biodiversitas secara langsung, memicu mutasi organisme menjadi racun melalui udara, makanan dan minuman.
Dengan dua pemahaman tersebut, sumber sakit datang dari apa yang dikonsumsi tubuh dan otak. Demikian juga gangguan ekologis disebabkan intervensi genetik dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terukur dan tak terkendali. Menyisakan pertanyaan ekonomi-politik, siapa dan kekuatan apa saja yang merusak alam dan meracuni tubuh dan otak manusia.
Persis dalam gugatan itu, promosi vaksin dan perubahan iklim disikapi dengan cara yang lebih mendasar dari kalangan biomedis dan komunitas penentang industri bahan bakar fosil. Gugatan itu sebetulnya tidak menolak pentingnya imunitas tubuh dan ketahanan lingkungan, tetapi lebih menyasar pada motif terselubung mengeruk laba dan mengalihkan perhatian publik dunia dari bisnis kematian manusia dan kerusakan lingkungan hidup.
Gugatan serupa ditujukan pada tata kelola kesehatan global dan kebijakan negara. Bahwa selama pandemi perhatian pada ekonomi khususnya ketahanan pangan tidak diprioritaskan sebagai ketahanan tubuh dan otak dari epidemi yang menyerang jiwa dan raga sekaligus. Lebih mendasar lagi, melalui pandemi ini, publik semakin dijauhkan dari arti penting hubungan kosmis-ekologis antara tubuh, otak dan lingkungan hidup, yang sekian lama dianggap tak penting agar industri tiga komponen ini terus berlangsung melalui monopoli pengetahuan, teknologi dan pasar.
Selain itu, selama setahun pandemi covid-19 ini, muncul dua paradoks. Pertama, para pelopor dan pebisnis bio-tech seperti Bill Gates dan pengembang AI seperti Elon Musk, tidak menggunakan temuan ilmiah terkini, seperti epigenetika dan fisika kuantum, untuk menyehatkan dan mencerdaskan manusia. Sebaliknya, temuan tentang cara kerja tubuh-otak dan lingkungan itu, malah dijadikan aplikasi atau model pencanggihan rekayasa genetika dan pengembangan robot cerdas.
Pesan dari taktik ekstrapolasi ilmiah di atas, adalah potensi kejeniusan manusia yang tak terbatas, diambil dan dipatenkan sebagai sampel-model untuk kepentingan bisnis dan eksperimentasi ilmiah pesanan korporasi. Manipulasi genetika, dilakukan terhadap manusia dan biodiversitas, dilakukan sedemikian rupa, sembari menarasikan kehebatan rekayasa genetika itu untuk kepentingan manusia sebagai konsumen. Di dalam proses ini, paten dan hak cipta, tidak hanya menciptakan monopoli, tetapi menghilangkan informasi penting epigenetika dari ruang publik.
Manipulasi kejeniusan manusia juga kita temukan dalam cara kerja industri robotik. Elon Musk, misalnya, menarasikan kecerdasan robot masa depan tak akan terkejar spesies manusia. Prinsip kerja epigenetika dan fisika kuantum diberlakukan untuk kerja mesin sementara manusia, sumber dan potensi yang belum tergarap itu, dijadikan konsumen dan pengagum ‘kecanggihan teknologi’ masa depan. Lalu dari sana, muncul percakapan publik tentang trans-humanisme dan manusia hasil rekayasa genetika dan komputasi algoritma.
Monopoli bisnis dan ilmu di atas, hanya bisa berlangsung dalam teknokrasi politik yang mengabaikan demokrasi. Di situ, kita bertemu dengan paradoks kedua yang lebih merisaukan. Yaitu, manusia, alam dan lingkungan dianggap tak dapat menyembuhkan dan menyehatkan dirinya sendiri. Dalam ‘aksioma ilmiah’ versi korporasi ini, manusia dan alam menjadi ‘masalah’ yang akan diatasi teknologi cerdas. Jadi, tidak hanya kalah dalam kompetisi dengan teknologi, tetapi lebih dramatis lagi, manusia dan alam adalah ancaman eksistensial dalam dunia baru mesin cerdas dan superman yang dikendalikan komputer.
Kolaborasi ilmu dan korporasi, berupa bio-tech dan AI, tentu tidak terlepas dari pergeseran fundamental dari kapitalisme industrial menuju kapitalisme finansial selama satu dekade terakhir. Sudah pasti akan muncul penolakan publik dunia, terutama karena eksperimentasi tersebut persis menabrak dan mencabut pilar-pilar utama modernitas yang merayakan manusia sebagai pusat sebagaimana akan dijelaskan pada topik kedua di bawah ini. Kecenderungan utama bilioner global adalah bisnis pelipatgandaan keuntungan dengan mengembangkan eksperimen padat-teknologi dan mengabaikan industri padat-karya yang melibatkan kecerdasan dan kehidupan kelas pekerja.
Dalam pandemi ini, kita akhirnya diingatkan bahwa tubuh, otak dan lingkungan hidup, tidak hanya dipreteli menjadi 3 komponen bagi eksploitasi ekonomi dalam kapitalisme industrial, tetapi mulai diabaikan sebagai sumber kekuatan dan potensi tak terbatas dalam kapitalisme finansial. Dalam sistem ekonomi baru ini, kesehatan dan kecerdasan menjadi barang langka, mahal dan kelak untuk mendapatkannya, kita harus siap di-robot-kan, layaknya docile body, dikendalikan komputasi alogaritma dan mutasi genetika di dalam tubuh, otak dan lingkungan hidup.
Vandana Shiva, Source In These Times
Bio-Politik Modern dan Pasca-Modern
Sudah sejak lima tahun lalu sampai hari ini (2016-2021), kekuatan global sebagai pelopor biopolitik pasca-modern menghadirkan metanarasi atau cerita besar tentang teknologi kehidupan (biotech) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Dua jenis teknologi itu, tercermin dalam rekayasa genetika dan robot super-human, dianggap sebagai konsekuensi tak terelakkan dari perkembangan teknologi modern. Biotech dan AI, disusul Fintech, harus segera diberlakukan untuk mendukung keberlanjutan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) pasca pandemi, termasuk prioritas ekonomi hijau dan perubahan iklim.
Cerita besar tentang supremasi teknologi ini rupanya menjadi perhatian publik dunia. Debat dan protes, meski belum berupa gerakan trans-nasional, muncul dan meluas di berbagai negara, di jalanan dan dalam ruang digital. Kelompok kritis mempertanyakan kata-kata kunci di balik cerita tentang supremasi teknologi, seperti ‘krisis’, ‘ketakterelakan’, ‘revolusi 4.O’. Bagi kalangan ini, manusia, ekonomi dan lingkungan hidup sedang diintegrasikan ke dalam struktur dan sistem tata-kelola baru yang dikendalikan oligarki global. Singkatnya, teknokrasi, rekayasa teknologi atas kehidupan, dikendalikan segelintir manusia kaya raya, menggantikan demokrasi, kehendak banyak orang, dari modernitas yang belum tuntas atau bahkan tak akan pernah selesai.
Tentu saja, sampai hari ini, pertarungan dua kubu berlangsung tak seimbang, dari segi mobilisasi dan konsolidasi politik dan sumber daya propaganda. Tapi setidaknya, sebelum terlambat, kita disadarkan bahwa boleh jadi inilah pertarungan terbesar abad ini, ‘battle of the century’ antara modernitas dan pasca-modernitas. Yaitu, perdebatan mengenai hakikat manusia, semesta dan sebagai konsekuensi, tentang agama dan ilmu pengetahuan. Pertarungan wacana ini semakin seru, menyinggung isu keadilan dan kesetaraan, inspirasi tertinggi demokrasi modern. Antara kekuatan global berkedok teknokrasi, yang tak mau mengatasi resiko kerusakan multidimensi dari akumulasi laba dan kekuatan demokrasi, yang menentang monopoli ekonomi-politik atas hidup dan mati populasi manusia dan sumber daya alam.
Baik modernitas tiga abad maupun pasca-modernitas lima tahun terakhir, sama-sama berlaku sebagai biopolitik, yaitu sistem berpikir dan bertindak, yang memberi hakikat dan bentuk kepada kehidupan manusia, relasi antar manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Keduanya adalah cara memerintah, mengatur dan mengontrol ekonomi, politik dan keamanan, atas nama kebaikan bersama. Lantas apa yang membedakan keduanya dalam pertarungan abad ini, selama lima tahun terakhir?
Kita adalah manusia modern, anak ideologis dari modernitas. Sebagai ideologi, modernitas dibangun di atas paradigma manusia sebagai pusat dalam semesta makna, sentral dalam ekologi dan pemeran utama dalam ekonomi. Demikian halnya agama mengusir dewa-dewa dari langit, hutan dan lautan, memberi manusia kemungkinan tak terbatas menjelajah semesta dan mengambil kandungan gas, minyak dan logam dari perut bumi untuk kebutuhan manusia yang terus berubah, khususnya selama tiga abad terakhir. Di situ teknologi diciptakan, makin canggih dan penting, sebagai hasil karya manusia, dari manusia untuk manusia, juga cerminan yang ilahi di dalam dirinya.
Kendati demikian, ekonomi-politik modern punya cerita berbeda tentang teknologi, penuh kekerasan dan memilukan, bahkan tak terbayangkan terjadi pada abad-abad sebelum masa ‘Pencerahan’. Dengan teknologi yang kian canggih, manusia mulai memiskinkan sesamanya, bumi dan kekayaan alam dikuasai segelintir orang melalui sistem ekonomi-politik modern. Monopoli ilmu dan teknologi, terstruktur dalam kendali politik kolonial dan pasca-kolonial, menghadirkan kelas sosial-ekonomi yang tak pernah tersambungkan, selain melalui manipulasi wacana dan mobilisasi yang dipaksakan dengan berbagai instrumen kekerasan.
Peristiwa-peristiwa besar dalam modernitas, seperti Perang Dunia Kedua dan ancaman perang nuklir selama periode Perang Dingin, tentu memberi kesempatan manusia merenung dan menata ulang dunia. Setidaknya tersurat dalam komitmen pasca perang, melalui perjanjian damai, lembaga ekonomi-politik internasional dan juga kendali senjata pemusnah masal. Semakin jelas, manusia modern menjadi lebih realistis dalam mencapai tujuan manusia sebagai pusat, lalu dikembangkan persekutuan politik antar negara-bangsa sebagai jaminan keberlanjutan proyek modernitas itu terutama dengan atensi khusus pada hak-hak asasi manusia.
Setelah perang terbesar, Perang Dunia Kedua, proyek biopolitik modernitas ditempuh melalui komunisme, sosialisme, dan liberalisme, membelah dunia ke dalam Barat dan Timur. Demokrasi, sebagai model kelola politik modern, ditempuh dengan banyak cara. Demikian halnya teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang pesat untuk mewujudkan manusia sebagai pusat dan memberi solusi terhadap paradoks internal dalam proyek yang tak pernah tuntas ini. Kita akhirnya sadar proyek masih ambisius dan manusia kembali berperang di mana-mana, atas nama aliran politik dan kebenaran agama, di dalam sistem ekonomi-politik yang dikendalikan aliansi internasioal dan komprador di dalam negeri.
Percobaan bersejarah menuju manusia sebagai pusat, setidaknya dua abad terakhir, akhirnya tidak saja kisah obsesi menjadi makluk paling beradab, tetapi sebaliknya, sumber kejahatan terhadap sesama dan alam, sambil membuktikan dirinya sebagai spesies yang paling kejam dan mematikan. Politik dan ekonomi yg diamanatkan untuk keadilan dan kesetaraan, dibajak kelas berkuasa dan golongan tertentu untuk keserakahan dengan sepihak menguasai dan mengontrol teknologi kehidupan dan kematian. Bersamaan dengan itu, sebagian besar kekuatan produktif, dari waktu ke waktu, dijadikan proletar dan prekariat, sampai saatnya menjadi tak berguna bagi kapitalisme teknokrasi dan dihadirkan sebagai ancaman yang harus dihilangkan melalui uji kompetensi teknis dan standar-moral neoliberal.
Upaya pemulihan manusia, menyelamatkan proyek modernitas, bertemu jalan buntu sampai pada momen pandemi tiba. Sebagian terbesar disebabkan satu paradoks politik. Yaitu, kelompok manusia yang menawarkan pemulihan martabat manusia dan penyelamatan proyek modernitas adalah mereka yang memproduksi penyakit, perang, kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup. Sekaligus memperlihatkan manipulasi kesadaran publik melalui monopoli wacana pengetahuan dan informasi publik.
Paradoks politik ini diterima begitu saja, atau tak terpikirkan lagi, persis ketika dari waktu ke waktu, masyarakat telah terkondisikan hidup dalam paradoks sosial dan ekonomi, yaitu ketakutan dan kepasrahan nasib hidup yang dihayati sebagai yang alamiah, tak perlu dipertanyakan. Paradoks ini pun dikondisikan tak berubah oleh sistem monopoli kemakmuran, pengetahuan dan teknologi.
Sekarang kita tidak saja hidup dalam situasi pandemi, tetapi terpenting lagi, mengalami darurat kesehatan tubuh melalui suatu narasi besar pasca-modern tentang hidup dan mati. Dalam narasi itu, proyek pemulihan manusia dan modernitas melakukan terobosan pasca-modern dengan membatalkan cara berpikir modern tentang martabat dan hakikat manusia, melalui tafsir baru atas tubuh, otak dan ekosistem kehidupan. Diganti dengan dua jurus berpikir yang disebarkan, diajarkan dan dipaksakan kepada masyarakat dunia melalui rantai kebijakan ekonomi dan pendisiplinan politik wacana.
Jurus pertama, kedaruratan bersifat permanen, kita selalu hidup dalam krisis dan kerentanan, sampai ke tingkat, manusia adalah sumber krisis atau bencana itu sendiri. Manusia atau masyarakat melalui pikiran, sikap serta tindakan menjadi pencipta dan penular penyakit, kemiskinan ekonomi dan kekacauan politik. Melalui jurus ini, miskin, bodoh dan tak patuh adalah sebab, bukan akibat atau resiko, dari monopoli kemakmuran, ilmu pengetahuan dan wacana publik.
Ilustrasi terkini adalah narasi global tentang mutasi virus dan perilaku manusia yang tidak taat protokol kesehatan. Virus diperlakukan seperti alien yang bergerak dan berubah tak terdeteksi, diberi status evil genius. Di lain pihak, manusia atau masyarakat selalu ditertibkan karena telah berkembang anggapan ketidakpatuhan sama jahatnya dengan si corona yang sangat cerdik. Dalam korelasi tersebut, virus dan manusia diberi status tak terkontrol, sulit diatasi dan karena itu, dibutuhkan cara berantas yang lebih canggih dan menakutkan.
Jurus kedua, teknologi dan ilmu pengetahuan adalah satu-satunya sumber atau kekuatan yang dapat menyehatkan badan, mencerdaskan otak dan menyelamatkan lingkungan hidup. Dalam jurus ini, fungsi teknologi dan ilmu secara dramatis dinaikkan ke tingkat paling atas dari piramida kebenaran, kecanggihan dan kebergunaan. Manusia, sebagai sebab krisis, tidak dapat memulihkan martabatnya sendiri, sebagai individu atau masyarakat, dan karena itu, membutuhkan intervensi teknologi tinggi dan panduan pakar serba tahu, serba bisa dan tak bisa salah.
Kendati demikian, tampaknya jurus ini dimainkan secara fleksibel, sebagaimana terlacak dalam narasi vaksin. Yaitu bahwa ilmu tidak hanya tentang pengetahuan (knowledge) dan penaklukan (containment) tetapi bisa juga tentang ketidaktahuan (unintelligibility) dan ketaktertebakan (unpredictability). Dalam arti, ‘tidak mengetahui’ dan ‘tidak terprediksi’ juga dianggap hasil kerja keilmuan dan teknologi. Bisa disebut sebagai strategi baru epistemologi keilmuan pasca-modern untuk pertama, bisa tetap melakukan kesalahan atau kekeliruan tanpa memberlakukan prosedur falsifikasi dan kedua, bisa menghadirkan legitimasi keilmuan tanpa perlu membangun kesepakatan paradigma. Membuka peluang debat ilmiah diselesaikan dengan keputusan ekonomi-politik, yang berarti ‘who pays the checks makes the rule’.
Dengan aksioma baru, aneh sekaligus merisaukan ini, makin terbuka ruang politisasi terhadap ilmu dan teknologi, ke dalam domain bertuan dan tak bertuan. Yaitu bahwa eksperimen ilmu dan teknologi dianggap tidak bisa keliru atau tidak bisa gagal, tetapi berhasil karena menemukan, bukan mengatasi, misteri yang belum terpecahkan. Demikianlah selama pandemi Covid-19, kita disuguhkan dramaturgi keilmuan, skandal hubungan ilmu dan kepentingan. Dihadirkan ke masyarakat dunia ilmu ketakutan (science of fear) dan teknologi kewaspadaan (technology of surveillance) yang dinormalkan melalui rutinisasi protokol kesehatan tanpa deliberasi publik dan propaganda media tanpa literasi pengetahuan.
Dua jurus biopolitik baru di atas, sedang berusaha secara terang-terangan dan sistematis, membentuk pikiran, sikap dan tindakan kita, melalui pandemi ini. Cara kerjanya mudah terdeteksi melalui dua taktik yang dikerahkan secara bersamaan di bawah ini.
Pertama, taktik keras, hard power, melalui penerapan arsitektur baru tata-kelola dunia, global corporate governance, bersama negara, melalui negara dan melampaui kedaulatan negara. Kedua taktik lunak, soft power, dengan cara produksi dan distribusi data, isu dan informasi melalui tentakel media global, donasi lembaga pendidikan-penelitian dan think tanks. kedua taktik ini terbukti efektif karena langsung menyasar manusia modern yang selama ini merasa berdaulat sebagai warga negara sekaligus merasa berdaulat sebagai manusia liberal yang berdikari.
Sebetulnya ada yang lebih genting di balik biopolitik pasca-modern ini. Yaitu, hakikat manusia, being human dan masa depan kemanusiaan, humanity, akhirnya ditentukan oleh kekuatan global yang lebih percaya kepada kedigdayaan teknologi daripada percaya pada kapasitas manusia, dengan segala potensi dan tradisi untuk berkembang dan memperbaharui diri dan dunia. Pilihan pun menjadi terbatas, tetap menjadi manusia modern yang rapuh dan terus belajar atau menjadi manusia pasca-modern yang siap di-robot-kan, dikendalikan manipulasi algoritma, sebagai bagian dari eksperimen pasca-modernitas.
(Frans Djalong. Center for Security and Peace Studies. 8 Maret 2021)