Akar Masalah: Radikalisme dan Terorisme (2010)

Akar penyebab (root causes) merupakan tema dan perspektif yang dominan dalam wacana tentang terorisme dan radikalisme. Dalam studi terorisme, tema root cause ini mengatasi kelemahan-kelemahan dalam perspektif realis-positivis yang bersifat negara sentris. Kajian mengenai akar penyebab terorisme dan radikalisme ini memberikan pemahaman baru bagi upaya untuk mengatasi terorisme dan radikalisme melalui sebab-musabab berkembangnya terorisme.

Dalam artian ini, terorisme dan radikalisme tidak semata-mata dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan ataupun ancaman terhadap legitimasi dan kedaulatan negara, sebuah harga mati bagi negara sebagaimana dalam pandangan realis, melainkan juga sebagai refleksi dari permasalahan riil yang ada dalam masyarakat, baik dalam kaitannya dengan ekonomi, sosial maupun politik (Frank, 2006: 5). Ketertarikan pada akar penyebab terorisme dan radikalisme ini sangat dipengaruhi oleh kajian-kajian dalam bidang konflik dan perdamaian. Jason Franks, misalnya, merumuskan keterkaitan antara studi konflik dan perdamaain dengan studi terorisme melalui kajian tentang akar penyebab (2006, 4).

Esensi dari teorisasi dalam perang atau konflik dan terorisme yang baru adalah gugatan terhadap pemahaman keamanan dalam ortodoksi Perang Dingin. Dalam artian ini, konflik dan ancaman tidak lagi dilakukan melalui cara-cara yang sangat  terorganisir antara militer pemerintah dan kekerasan-kerkerasan politik yang hanya didefinisikan oleh negara. Pada masa perang dingin, seperti  halnya teorisasi tentang perang atau konflik, teorisasi terorisme pun lebih banyak berkutat pada pertanyaan-pertanyaan ‘apa yang dimaksud dengan terorisme’ dan ‘bagaimana melawannya’. Teorisasi konflik dan terorisme dengan basis negara ini berubah drastis terutama setelah Perang Dingin dan pasca serangan 11 September.

Sementara kajian konflik dan perdamaian telah lebih dahulu melakukan transisi menuju pemahaman yang lebih holistik dalam memahami akar-akar kekerasan politik pasca-perang dingin, kajian tentang terorisme berkembang ke arah ini relatif terlambat. Untuk beberapa waktu lamanya setelah berakhirnya Perang Dingin, teorisasi terorisme masih dibangun di atas persepsi-persepsi yang positivistik dan negara-sentris (Franks 2006, 3). Baru setelah serangan 11 September terjadi perubahan besar dalam  orientasi teorisasi terorisme ke arah yang lebih berorientasi pada akar penyebab terorisme. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh kajian konflik dan perdamaian sangat kuat dalam perubahan ini.

Melalui perspektif akar penyebab, kajian-kajian tentang terorisme diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar antara lain: mengapa seorang individu atau kelompok dapat menjadi teroris; kondisi-kondisi struktural apa yang menjadikan orang atau kelompok sebagai teroris; serta apa agenda politik mereka dan bagaimana agenda tersebut muncul. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dikaji lebih detail dalam bagian selanjutnya dari bab ini.

Source Prezi

Melacak Akar-akar Terorisme

Dalam studi terorisme, ada banyak sekali perdebatan tentang mengapa seorang atau kelompok orang dapat menjadi teroris. Secara khusus, para pengkaji terorisme dalam tema akar penyebab ini berangkat dari asumsi bahwa kondisi eksternal yang mengarahkan dan membentuk seseorang atau sekelompok orang menjadi teroris. Pandangan-pandangan dasar tema akar permasalahan ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pendekatan strukturalisme dalam ilmuilmu sosial.

Teroris sebagai agensi dipahami dalam konteks determinasi struktur atas persepsi, sikap dan perilaku manusia. Tetapi, perlu untuk dicatat bahwa sekalipun mereka sangat menekankan peran struktur yang membingkai tindakan, para pengkaji dari perspektif ini tidak sepenuhnya menolak definisi terorisme versi negara dan kekuatan internasional. Mereka hanya lebih mengarahkan perhatian pada sejumlah kemungkinan struktural dan ideologis yang mempengaruhi kemunculan dan perkembangan terorisme sebagai fakta sosial.

Kajian terorisme strukturalis ini sangat berpengaruh besar dalam strategi penanganan terorisme saat ini seperti ditunjukkan dengan pergeseran orientasi atau strategi penanganan terorisme dari hard approach ke arah soft approach. Tetapi, sekalipun semakin populer di antara para pengkaji dan pembuat kebijakan terkait dengan terorisme, perspektif strukturalis ini memiliki kelemahan yang sebenarnya cukup mendasar. Masih diperlukan kajian lebih jauh untuk memastikan keterkaitan faktor-faktor struktural ini dengan munculnya terorisme. Setidaknya, dua pertanyaan harus dijawab oleh mereka yang memahami terisme melalui perspektif struktural akar penyebab terorisme.

Pertama, bagaimana masalah-masalah struktural itu menyebabkan seseorang atau kelompok menjadi teroris? Dengan banyaknya faktor-faktor struktural yang ditengarai dapat memicu munculnya terorisme (dan radikalisme), tentu diperlukan kajian yang komprehensif yang dapat mengidentifikasi mana yang menjadi sebab utama dan mana yang menjadi sebab penyerta. Kedua, bagaimana proses-proses yang ditempuh seorang atau kelompok menjadi radikal dan pada akhirnya menjadi teroris? Berbagai kasus terorisme menunjukkan bahwa menjadi teroris bukanlah proses yang instan, namun menapaki jalan-jalan yang panjang dan kompleks. Pada saat yang sama, tidak ada jalan tunggal untuk menjadi seorang teroris. Penjelasan perspektif struktural ini menjelaskan terhadap variasi jalan menuju terorisme ini sangat diperlukan.

Tore Bjorgo dalam studinya Root Causes of Terrorism: Myths, Reality and Ways Forward berusaha memberikan jawaban terhadap permasalahan pertama. Seperti halnya dalam sebuah analisis konflik, pengkaji terorisme perlu membedakan berbagai penyebab terorisme ke dalam tingkatan-tingkatan penyebab yang berbeda. Menurut Bjorgo, penyebab terorisme dapat dibedakan dalam dua kategori penyebab, yang disebutnya sebagai levels of causes of terrorism (2005, 3-4): prakondisi terorisme dan pemicu terorisme.

Prakondisi adalah kondisi struktural dan dislokasi yang menjadi setting sosial dan politik terorisme dalam jangka panjang. Sementara pemicu adalah peristiwa atau insiden tertentu yang menjadi awalan atau pemicu terorisme. Selain melihat berbagai penyebab terorisme melalui dua tingkatan yang berbeda, penyebab dan pemicu, Bjorgo juga menambahkan dua penyebab lain yang penting bagi munculnya terorisme: yakni berbagai faktor yang bukan menjadi penyebab utama, tetapi dapat mempercepat proses munculnya terorisme serta faktor-faktor yang lebih berasal dari aktor, bukan dari struktur ataupun konteks. Artinya, Bjiorgo berusaha untuk membuat disklaimer bahwa sekalipun sangat penting, penjelasan struktural tidak memadai untuk menjelaskan munculnya terorisme.

Sementara itu, dengan formulasi berbeda Jason Franks membagi dua kelompok teori dalam kajian sebab-sebab terorisme. Kedua kelompok teori ini memberi penekanan khusus pada bagaimana sebab-sebab dalam terorisme itu dikonseptualisasikan (2006, 13-28, 46). Kelompok terori yang pertama disebut dengan Teori Terorisme Radikal (Radical Terrorism Theory). Teori ini menjelaskan sebab-sebab struktural dan memberi justifikasi moral terhadap kekerasan yang ditujukan untuk melawan penindasan dan eksploitasi. Literatur-literatur dalam klaster ini biasanya memahami dan menjelaskan terorisme dari perspektif kelompok teroris sendiri.

Beberapa penulis yang dimasukkan dalam kelompok ini misalnya: Franz Fanon, Jean-Paul Sartre Albert Camus, Sayyid Qutb, dan Marx dan Engles. Kelompok terori yang kedua disebutnya sebagai Teori Terorisme Moderat (Moderate Terrorism Theory). Teori ini mempelajari sebab-sebab struktural atau membenarkan perlawanan kelompok yang tertindas. Literatur-literatur dalam klaster ini biasanya menjelaskan dan memahami terorisme dengan cara menghubungkannya dengan sebab-sebab sosial-ekonomi, politik dan problem struktural lainnya. Tokoh-tokoh dalam kategori teori ini antara lain adalah Bowyer Bell, Crenshaw, Della-Porta, dan Bermen.

Penyebab Munculnya Terorisme (Bjorgo (2005))  
Sebab-sebab Struktural Mencakup ketidakseimbangan demografis, globalisasi, modernisasi serba cepat, masyarakat transisi, menguatnya individualisme berakibat pada atomisasi dan kehilangan tradisi, ‘relative deprivation’, dan struktur kelas. Sebab-sebab pada level makro ini mempengaruhi kehidupan individu dan masyarakat dalam cara-cara yang mereka pahami atau tak terpahami.
Sebab-sebab Fasilitatif dan Akseleratif Mendorong terjadi tindakan terorisme atau membuat terorisme sesuatu yang menarik dan penuh sensasi. Contohnya antara lain evolusi media massa modern, transportasi, teknologi persenjataan, dan lemahnya kontrol negara atas teritori.  
Sebab-sebab Motivasional Mencakup kekecewaan dan ketidakpuasaan yang dialami pada level individual dan kolektif yang mendorong mereka bertindak. Demagog dan para pemimpin politik mampu menerjemahkan sebab-sebab struktural ke dalam motivasimotivasi pada level individual. Peran ideologi dan retorika adalah memberi penjelasan cepat dan masuk akal yang dengan itu individu atau kelompok terdorong mengambil tindakan. Sebab-sebab motivasional dianggap simptom dari sebab-sebab struktural yang lebih fundamental.  
Sebab-Sebab Pemicu Mencakup pemicu-pemicu langsung yang mendorong tindakan teroris. Bisa berupa peristiwa, insiden atau fenomena tertentu yang dilakukan ‘musuh’ dan peristiwa tersebut diaangap perlu untuk direspon sebagai balas dendam.

Peta Jalan Menuju Terorisme

Bagaimana proses yang dialami seseorang atau kemompok orang hingga menjadi teroris merupakan sebuah pertanyaanyang sangat menggelitik bagi mereka yang menaruh perhatian pada terorisme, baik pengkaji, pembuat kebijakan maupun masayarakat umum. Berangkat dari faktor-faktor struktural yang dihadapi oleh seorang atau sekelompok orang dan kemudian meresponnya ke dalam sikap dan tindakan, Fathali Moghaddam merumuskan sebuah model yang menggambarkan peta jalan (road map) ke arah terorisme, yang menjelaskan proses-proses yang dilalui seseorang atau kelompok hingga pada akhirnya mencapai tingkat paling tinggi, terorisme. Moghaddam menggambarkan proses ini dengan metafor anak tangga (staircase) dalam sebuah gedung bertingkat (2005, 59-126).

Proses menuju terorisme dimulai dari lantai dasar. Pada tahap ini pelbagai ketidakpuasaan dan kekecewaan yang disebabkan oleh sebab-sebab struktural terus menggumpal dan mengalami akumulasi. Pada fase ini alternatif untuk artikulasi selain kekerasan masih relatif terbuka. Jika tidak ada upaya untuk merespon berbagai altikulasi ketidak-puasan ini, seseorang atau sekelompok orang akan bergerak ke lebih tinggi, lantai satu. Lantai ini menampung orang-orang yang merasa suara mereka tak didengar dan identitas mereka diabaikan oleh sistem relasi kuasa yang sedang mendominasi. Rasa malu dan murka membuat mereka tak melihat alternatif lain selain merangkak ke lantai berikutnya.

Di lantai ini, lantai dua, orang-orang yang frustrasi denga kondisi struktural mulai mencari kambing hitam. Proses identifikasi ‘musuh’ dan ‘kita’ berlangsung intensif dalam proses ini. Kebijakan-kebijakan politik mulai dikenali sebagai faktor-faktor utama dan masyarakat atau negara yang mengeluarkan kebijakan itu dianggap setan pencipta nestapa. Slogan-slogan, seperti yang digunakan Bush pasca serangan 11 September, misalnya, ‘you are either us or againts us!’ menjadi pedoman aksi dan mobilisasi.

Lantai berikutnya, lantai tiga, adalah tingkatan yang menggambarkan bagaimana moralitas terorisme mengalami pembakuan sedemikian rupa sampai pada tingkat membentuk ‘terrorist myths’. Tindakan terorist dijustifikasi dalam sistem moral ini. Pada lantai ini, peran penting dimainkan para pemimpin organisasi terorist untuk mendorong individu yang menganut moral teroris melakukan tindakan teroris. Slogannya adalah ‘ends justify the means’ — tujuan menghalalkan segala cara.

Di lantai yang lebih tinggi, lantai empat, adalah fase orang atau kelompok orang masuk ke dalam kehidupan organisasi teroris yang serba rahasia. Di sini seseorang memiliki satu keyakinan mutlak bahwa tujuan yang hendak dicapai hanya mungkin tercapai melalui tindakan kekerasan. Di sini juga justifikasi moral telah mengalami penyempurnaan sepenuhnya. Tak ada celah untuk mempertanyakan klaim moral tersebut. Lantai ini adalah tingkatan yang ditandai sebagai ‘the land of no return’.

Akhirnya, proses menuju terorisme berakhir di lantai tertinggi, lantai lima. Di lantai ini organisasi teroris muncul sebagai ‘total institution’. Tindakan teroris siap dilakukan kapan pun dan di mana pun sesuai dengan agenda strategis organisasi. Bom bunuh diri merupakan tindakan paling rasional dan taktis dalam konteks perbedaan dukungan publik, teknologi kekerasan dan sumber daya lainnya.

Apa yang digambarkan oleh Moghaddam sebenarnya bukan merupakan pemikiran yang asing dalam upaya memahami proses seseorang atau sekelompok orang menjadi teroris. Mirip dengan proses yang digambarkan oleh Moghaddam, laporan New York Police Department tentang radikalisasi, Radicalization in the West: The Homeground Threat (2007) menggambarkan proses menjadi teroris sebagai sebuah proses linear yang bertahap, yakni Pre-Radicalization, Identification, Indoctrination dan Jihadization. Seperti halnya gambarah tangga Moghaddam, proses menjadi teroris dalam laporan New York Police Department juga mengimplikasikan keterkaitan yang sangat erat antara terorisme dan radikalisme. Terorisme adalah fase tertinggi dalam sebuah proses linear melalui radikalisasi.

Variasi Perspektif dalam Root Causes

Bagian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor struktural yang seringkali diidentifikasi menjadi akar penyebab terorisme. Pertanyaan sentral yang diajukan adalah bagaimana masalah-masalah struktural tertentu dapat menjadi sebab-sebab radikalisme dan terorisme. Ada lima variasi dalam perspektif akar penyebab terorisme yang dikaji dalam penelitian awal ini yakni: Otoritarianisme dan Demokrasi, Radikalisme Islam, Dekulturasi, Ekonomi dan Globalisasi serta Deprivasi Relatif. Kita akan memahami akar penyebab terorisme melalui kelima variasi perspektif akar penyebab ini. Kata kunci-kata kunci dalam berbagai variasi perspektif ini diantaranya adalah konflik, dislokasi struktural dan relasi struktur-agensi.

Osama bin Laden, ‘The Terrorist’ & Imperialist Masters. Source Politico

Otoritarianisme dan Demokrasi

Terhadap pertanyaan apakah ada hubungan antara demokrasi (surplus dan defisit) dan terorisme, terdapat sejumlah pandangan. Pandangan pertama melihat defisit demokrasi sebagai penyebab radikalisme dan terorisme (Wintrobe, 2006, 169-195; Wilkinson 2001). Dalam kerangka ini, laporan UNDP (2002) tentang dunia Arab, Arab Human Development Report: Creating Opportunities for Future Generation, misalnya, mengidentifikasi kegagalan negara-negara Arab dalam menegakkan demokrasi merupakan sebab utama bangkitnya Islam politik dan menjadi ladang subur bagi berkembangnya radikalisme.

Bassam Tibi (2008), Islam, Islamism and Democracy: The Case of Arab World, juga mengaitkan bangkitnya Islamisme sebagai kegagalan pembangunan demokrasi dalam kajian komparatif di negara-negara Timur Tengah. Sementara Ronald Wintrobe merunut bangkitnya radikalisme dalam rejim otoritarianisme. Rejim otoritarian, menurutnya, sama sekali tidak memberi ruang bagi arus-arus ideologi yang berbeda dan tidak mentolelir bentuk-bentuk artikulasi politik kelompok tertentu yang beroposisi. Oleh karena itu, baginya, rejim otoritarian yang paling bertanggung jawab bagi berkembangnya radikalisme dan terorisme (2006, 169- 195).

Pandangan lain melihat permasalahan dengan cara yang bertentangan. Bukannya defisit, tetapi justru surplus demokrasi-lah yang dianggap sebagai penyebab struktrural terhadap terorisme (Weinberg 2008; Lutz and Lutz 2010, 63-74) Dalam karya bersama mereka, Eubank and Weinberg (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar insiden terorisme terjadi di negara-negara demokrasi dan pada umumnya korban maupun pelaku juga merupakan penduduk negara-negara demokrasi. Seperti yang mereka tulis, Sementara itu, muncul pandangan antara, yang tidak melihat adanya kaitan antara terorisme dan demokrasi.

Dengan menggunakan kajian-kajian komparatif, Gregory Gauss III (2005), misalnya, meragukan adanya hubungan langsung antara kedua variabel, bahwa semakin demokrasi dunia Arab maka radikalisme akan semakin berkurang. Juga Jessica Stern penulis Terror in the Name of God sangat tidak percaya dengan pandangan bahwa demokrasi adalah solusi bagi terorisme. Stern berargumen bahwa dalam banyak kasus transisi ke arah demokrasi cenderung merupakan masa-masa yang sangat rentan bagi sebuah negara. Kerentanan dalam kaitan ini termasuk juga terhadap munculnya ekrstremisme, yang dalam pandangannya mengacu pada ekstremisme Islam (2004, 287).

Penstudi lain memusatkan perhatian pada alasan dan tujuan terorisme dan maknanya bagi demokrasi. Miller (2008) dan Honderich (2003) berargumen bahwa terorisme bukanlah antagonisme demokrasi. Terorisme justru memperbaharui demokrasi dalam cara yang tak terbayangkan oleh pemikiran liberal. Bahkan, Honderich berargumen bahwa terorisme, sekalipun ditandai dengan kekerasan, tidak lain adalah praktek demokrasi itu sendiri.

Dalam formulasi yang lebih lunak, Fathali Moghaddam memandang instalasi demokrasi tanpa respek pada sistem nilai lokal dengan cara yang sangat skeptis. Bagi Moghaddam, demokrasi harus dikonteksualisasikan dalam lokalitas. Demokrasi harus menggunakan sistem nilai dan simbol budaya setempat sebagai cara untuk memperkuat praktik-praktik demokrasi dan mengubah negara menjadi demokratis. Tanpa upaya tersebut, demokrasi tidak hanya gagal menghasilkan oligarki yang sah, tetapi menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat (2006, 127-145).

Source Spiked

Islam dan Radikalisme

Studi terorisme kontemporer ditandai dengan bergesernya Islam dari kategori budaya menjadi kategori politik. Islam dan radikalisme menjadi tak terpisahkan. Radikalisme sebagai fakta sosial diasosiasikan langsung dengan Islam. Sebagian besar penstudi terorisme kontemporer kemudian mencurahkan perhatian pada seberapa jauh radikalisasi Islam sebagai artikulasi politik memberi basis ideologis dan struktural bagi berkembangnya terorisme gelombang keempat, yang juga dikenal sebagai terorisme agama.

Banyak pandangan yang berbeda mengenai keterkaitan antara Islam dan terorisme. Sebagian meliha bahwa agama bukanlah sebab utama terorisme. Dalam kajian  Juergensmeyer, misalnya, agama hanyalah medium yang tersedia untuk  mengartikulasikan kekecewaan dan harapan baru dalam kondisi ketertindasan dan marjinalisasi (2006, 133-144). John L. Esposito memiliki pandangan yang agak berbeda. Menurut Elposito, terdapat dua kategori Islam politik (2006:145-158). Kategori Islam politik yang pertama masuk ke dalam sistem politik, sementara yang kedua adalah kelompok ekstremist, yang menggunakan Islam sebagai dalil untuk membenarkan kekerasan dalam perjuangan politiknya. Bagi Esposito keberadaan kedua kategori ini menunjukan kerentanan Islam politik dalam kaitannya dengan terorisme.

Penulis lain, bahkan lebih langsung mengkaitkan Islam dengan terorisme. Shmuel Bar, misalnya, berpendapat bahwa terdapat ajaran-ajaran garis keras dalam Islam yang membenarkan penggunaan kekerasan (2008, 11-20). Argumen Bar ini tercermin dengan jelas melalui judul buku yang diterbitkannya, The Religious Sources of Islamic Terrorism. Penstudi lain menekankan peran agama dalam gelombang terorisme keempat ini dalam kaitannya dengan pandangan mengenai kekerasan yang transenden. Dalam artian ini, bom bunuh diri mencerminkan dimensi baru dalam memandang kekerasan. Kekerasan tidak lagi berada dalam orbit Just War, melainkan dalam orbit Holy War (Hoffman 2006, 90).

Para penstudi lain berargumen bahwa menonjolnya terorisme agama bukan hanya karena pengaruh ideologi melainkan juga dukungan komunitas basis. Komunitas radikal sebagai breeding ground membuka peluang bagi transformasi kepribadian seseorang menjadi militan dan fatalistik. Keputusan berjihad dengan kekerasan bukanlah semata-mata keputusan pribadi melainkan hasil determinasi komunitas moral tertentu. Ajaran saja tak cukup. Sikap dan perilaku individu teroris sangat dipengaruhi oleh kultur kekerasan (McGlinchey 2005: 554-566; Waldman 2008,25-27).

Dekulturasi

Perspektif ini memandang dislokasi struktural sebagai kondisi eksistensial yang mendorong seseorang atau sekelompok orang menjadi teroris. Oliver Roy, misalnya, berargumen bahwa para teroris adalah mereka yang hidup terpinggirkan. Mereka terpinggirkan oleh masyarakat asal mereka, sekaligus oleh masyarakat di mana mereka tinggal. Oleh karenanya, menjadi teroris merupakan kulminasi dari upaya eksistensial guna merumuskan identitas yang utuh ((2006:159-170).

Dalam konteks terorisme gelombang keempat atau terorisme agama, argumen Roy ini ditopang oleh bukti biografis para pelaku bunuh diri yang berasal dari kelas menengah dan berpendidikan di Eropa dan Amerika. Sekalipun tidak lagi berada dalam strata sosial adn ekonomi bawah, para teroris ini adalah orang-orang yang gagal beradaptasi sepenuhnya dengan dunia baru di Barat dan pada saat yang sama tak sepenuhnya menjadi bagian dari tradisi budaya di tempat asal mereka. Argumen Roy bergerak lebih jauh dengan menandaskan bahwa para teroris lebih merupakan produk dari ‘Westernized Islam than traditional Middle Eastern Politics’.

Dalam formulasi berbeda, Maria Pia Lara memandang dekulturasi merupakan dampak sekularisasi yang menciptakan rootlessness atau disembeddedness. Situasi ini membuka pencarian identitas melalui identifikasi simbolik atas tradisi yang tak lagi menjadi habitat seseorang (2003, 183-196) . Di sini, yang bekerja dalam pemahaman seseorang tentang identitas eksistensial adalah prinsip deprivasi yang relatif, bukan yang absolut seperti kemiskinan ekonomi dan represi politik. Proponen lain, Virginia Held menekankan bahwa faktor humiliation sebagai pendorong bagi seseorang untuk mengambil tindakan kekerasan atau terorisme.

Argumen mengenai pentingnya humiliation sebagai faktor pendorong terorisme didasarkan pada penelitian yang dilakukannya dengan mewawancarai banyak orang di Palestina dan Israel. Held menegaskan bahwa humiliation harus dibedakan dengan shame. Dalam artian ini, penelitianyang dilakukannya berujung pada kesimpulan bahwa sesorang menjadi teroris bukan karena defisiensi seperti kemiskinan, melainkan karena apa yang dimiliki dan dijunjung tinggi diremehkan dan dihancurkan pihak lain seperti tanah dan agama (2004,:59-75).

African Youths, Source Tehran Times

Ekonomi, Pembangunan dan Globalisasi

Apakah globalisasi dan pembangunan menjadi sebab fasilitatif bagi terorisme? 

Sementara pengkaji tidak melihat kaitan antara globalisasi dengan terorisme. Justru ketiadaan pembangunan serta ketertutupan terhadap demokrasi adalah sumber dari redikalisme dan terorisme (Taspinar 2009). Pandangan ini tidak cukup mendapat perhatian, karena setidaknya tidak mungkin untuk melihat masyarakat yang tidak bersentuhan dengan pembangunan dan globalisasi. Dan oleh karenanya pertanyaan apakah atau lebih tepat lagi bagaimana globalisasi mendorong terorisme menjadi tetap menarik untuk dikaji.

Setidaknya terdapat dua cara pandang berbeda mengenai hubungan antara demokrasi dan terorisme. Yang pertama menekankan dampak negatif dari globalisasi. Globalisasi menimbulkan banyak masalah yang berupa kemiskinan maupun ketertinggalan. Masalah-masalah ini terutama muncul karena keterbukaan pasar bertemu dengan klientelisme politik dan menghasilkan ketimpangan anatara minoritas yang kaya dan berkuasa dengan mayoritas  populasi yang miskin dan tertindas. Kesenjangan inilah yang sebenarnya menjadi sumber bagi radikalisme dan terorisme, dan bukan kemiskinan itu sendiri (Gotchev 2006; Mousseau 2005; Gurr 2006, 85-101).

Artikulasi-artikulasi kekecewaan rakyat terhadap rejim sekuler-otoriter mendorong kekacauan politik yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan tertentu untuk mengambil jalan terorisme. Dalam situasi ini, negara sangat lemah untuk mengatasi kesenjangan sementara aktor non-negara mengambil peran artikulasi resistensi terhadap kapitalisme neoliberal baik dalam negeri maupun tingkat global.

Pandangan lain berangkat dengan argumen yang sangat bertolak belakang. Bukannya dampak negatif yang mendorong terorisme, tetapi justru sebaliknya, yakni dampak positif globalissi. Globalisasi memfasilitasi terorisme karena kemakmuran dan semakin terbukanya ruang mobilitas yang dihasilkannya. (Gotchev 2006, 103-116). Perkembangan teknologi yang dihasilkan oleh globalisasi bukan hanya memperbesar ruang mobilitas individu serta meningkatkan perluang interaksi antar individu dan kelompok yang lebih luastetapi juga membuka ruang bagi berbagai bentuk artikulasi politik, termasuk diantaranya dari kelompok-kelompok ekstremis.

Dengan kata lain, globalisasi justru memberi ruang bagi kelompok radikal Islam untuk mengartikulasikan ketidakpuasan kelompok-kelompok masyarakat tertindas oleh rejim pasar bebas, terutama di kawasan Timur Tengah. Artinya, kendati tak berasal dari masyarakat miskin, globalisasi lebih memungkinkan para radikal untuk bertransformasi menjadi penyambung lidah rakyat. Kelompok-kelompok inilah yang menjadikan berbagai gerakan perlawanan menjadi gerakan yang mengglobal, dengan fasilitas yang dihasilkan oleh globalisasi. Singkatnya, dengan cara yang sangat kontradiktif, globalisasi telah mendorong munculnya terorisme.

Deprivasi Relatif

Hubungan kausalitas antara kemiskinan, radikalisme, dan terorisme yang dianut oleh negara-negara adidaya dan direduksi dalam politik bantuan marak dipersoalkan oleh banyak penulis. Diantaranya yang paling penting adalah kajian Kreger dan Malekova (2003), Barro (2002), Scott (2003), dan Taspinar (2009). Pendekatan deprivasi relatif merupakan kritik utama terhadap tesis bahwa radikalisme semata-mata merupakan produk dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan tesis-tesis modernisasi lainnya. Meminjam Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel, deprivasi relatif didefinisikan sebagai: “a perceived discrepancy between men’s value expectations and their value capabilities” (1970, 13).

Dan memang, secara empiris, beberapa kajian menunjukan bahwa radikalisme, kekerasan politik atau revolusi itu tidak berlangsung pada saat suatu negara yang mengalami kemiskinan akut. Sebaliknya radikalisme justru terjadi saat negara ini menikmati lonjakan harga minyak yang luar biasa namun tetap mengalami ketimpangan dan kemelaratan yang luar biasa. Ini dicontohkan dengan jelas misalnya dalam kasus revolusi Iran. Dalam kondisi itu rakyat merasa dengan kemelimpahan tersebut Iran seharusnya sudah menjadi Swiss-nya Timur Tengah. Tetapi, revolusi Iran berlangsung dalam kemelimpahan tersebut. Artinya,dalam pandangan ini, memang bukan kondisi riil yang mendorong radikalisme ataupun terorisme, melainkan kondisi riil yang dilihat dan dipahami dalam kaitannya dengan kondisi yang dimiliki orang lain dan menghasilkan perasaan terdeprivasi.

Masalah dalam Perspektif Akar Penyebab Terorisme

Meskipun terdiri dari beragam varian, semua perspektif akar penyebab terorisme dibangun dengan basis argumen yang sama (Richardson 2006; Franks 2006; Bjorgo 2005), yakni bahwa radikalisme dan terorisme berkembang dari kondisi struktural yang kondusif, dalam artian kondisi yang mendorong munculnya ketidakpuasan baik secara individu maupun kelompok. Seperti diuraikan di bagian awal, perspektif akar penyebab ini memberikan alternatif untuk melawan terorisme dengan cara yang lebih lunak, karena tidak langsung berhadapan dengan terorisme atapun tindakan-tindakan teror, melainkan dengan berbagai faktor yang ada sebelum berkembang menjadi terorisme, baik dalam aspek, sosial, ekonomi, budaya maupun politik.

Namun terdapat beberapa kelemahan penting dari perspektif ini. Sumber kelemahannya bersumber dari asumsi dasar yang digunakannya. Artinya, sekalipun di satu sisi dilihat sebagai alternatif bagi upaya pemberantasan terorisme, di sisi lain asumsi dasar yang digunakan masih sangat bisa dipertanyakan. Pemahamam tentang terorisme (dan radikalisme) dalam perspektif akar penyebab adalah karena dorongan eksternal (externally driven). Radikalisme dan terorisme semata-mata dipandang sebagai produk atau ekses dari kekuatan, faktor ataupun proses eksternal. Kekerasan, konsekuensinya, adalah respon terhadap berbagai eksternal faktor tersebut, sebagai perlawanan terhadap “musuh” yang di luar tersebut, baik berupa penindasan, eksploitasi dan lainnya.

Dalam artian ini, perspektif akar permasalahan menempatkan posisi agency dalam kaitannya dengan radikalisme atau terorisme pada posisi yang marginal. Perspektif akar penyebab tidak cukup memberikan perhatian pada proses penciptaan subyek-subyek politik. Atau, jika subyek politik harus dimunculkan, maka perspektif ini akan cenderung menampilkan subyek-subyek yang abnormal, menyimpang dan hanya residu dari proses struktural. Singkatnya, sebuah tindakan teror harus dicarikan jawabannya dari kondisi eksternal yang melatarbelakangi tindakan para pelakunya.

Marginalisasi subyek dan hilangnya dimensi politik dari proses pembentukan subyek dalam kaitannya dengan terorisme ini implikasi yang sangat besar bagi pemahaman kita tentang terorisme. Jika digunakan terlalu berlebihan tanpa sikap kritis, perspektif ini cenderung permisif dan melegitimasi bagi tindakan-tindakan teror dan terorisme. Perspektif ini membebaskan pelaku teror dari penilaian moral. Dalam bentuk yang paling ekstrim, tindakan teror justru dilihat sebagai tindakan pembebasan dan pelaku teror adalah pejuang pembebasan.