Antara Perubahan dan Keberlanjutan: Antagonisme Politik dalam Pilpres 2024 (Arie Sujito & Frans Djalong, Prisma, Vol 43, No 2, 2024)

Silahkan dipesan pada https://shopee.co.id/Jurnal-Prisma-edisi-Sejarah-Terbarukan-Korupsi-Berkelanjutan-i.107567421.26405447917

Abstrak

Tulisan ini membahas pertarungan dua artikulasi populis selama Pilpres 2023-2024: artikulasi populis-otoritarian Prabowo dan artikulasi populis-demokratis Anies Baswedan dan Mahfud MD. Menggunakan Analisis Wacana, diperlihatkan artikulasi populis Prabowo bergerak dari konstruksi negara kuat sementara artikulasi populis Anies dan Mahfud bertolak dari konstruksi politik rakyat berdaulat. Kedua artikulasi populis ini diluncurkan dari dua diskursus politik yang terbentuk selama dan pasca Pandemi Covid-19 2020 sampai Pilpres 2024. Politik populis Prabowo terkondisikan dalam hegemoni diskursus Keberlanjutan Jokowi yang dikendalikan oligarki politik nasional sementara politik populis counter-hegemoni Anies dan Mahfud terbentuk dalam diskursus Perubahan yang dikawal gerakan masyarakat sipil. Tulisan ini diharapkan membawa implikasi teoritis dan praktis bagi pegiat dan penstudi demokrasi untuk terus memperkuat gerakan counter-hegemoni yang telah terbentuk selama Pilpres 2024.       

Kata Kunci: populisme, antagonisme politik, counter-hegemoni, konsolidasi demokrasi

Pendahuluan  

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Indonesia menghadirkan tantangan baru bagi pegiat dan penstudi demokrasi khususnya politik populisme. Setidaknya tantangan itu telah terbaca oleh pernyataan dua calon presiden dari dua arus gerakan politik yang berbeda. Bagi Prabowo, demokrasi elektoral yang telah dimenangkannya itu sangat mahal dan melelahkan sementara bagi Anies Baswedan dan Mahfud MD sebaliknya pemilihan umum adalah kesempatan berdiskusi antara calon pemimpin dan pemilih serta membangun oposisi di luar pemerintahan. Berbeda dari Pilpres 2019 yang ditandai politik identitas sebagai matriks elektabilitas, penentuan presiden dan wakil presiden kali ini berlangsung dalam suasana perdebatan bermutu mengenai ideologi pembangunan, arah ekonomi nasional, politik luar negeri, dan tawaran program-program strategis. Menghilangnya identitas kultural dan mengemukanya visi kebijakan ekonomi-politik dalam pilpres kali ini tidak terlepas dari dua fakta politik terpenting. Pertama, artikulasi partai politik pengusung tidak lagi menggunakan narasi politik berlabel Islamis dan Nasionalis multikultural. Kedua, selama pilpres berlangsung rekonsolidasi berbagai segmen masyarakat sipil ke dalam gerakan menentang ‘cawe-cawe’ Presiden dan menolak keberlanjutan kebijakan yang dikendalikan kekuatan oligarki penggerak mesin politik Prabowo-Gibran.

Tentu tidak terbantahkan bahwa campur tangan Jokowi adalah preseden buruk dalam sistem pemilu dan sistem politik presidensial. Kali ini keberpihakannya tidak ditujukan untuk rakyat tetapi untuk negara, mengutip kata-katanya sendiri, “Cawe-cawe untuk negara, untuk kepentingan nasional. Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif, masa tidak boleh? Masa tidak boleh berpolitik? Tidak ada konstitusi yang dilanggar. Untuk negara ini, saya bisa cawe-cawe”.[1] Mengacu pada ucapannya di atas, ‘kedaulatan rakyat’ dalam kotak suara dihasilkan dengan dua antitesis demokrasi yaitu perilaku otoritarian dan seduksi totalitarian. Perilaku otoritarian segera terdeteksi dari pengerahan lembaga negara, aparatur pemerintahan, sampai penggunaan keuangan negara berkedok Bansos dan BLT. Sementara itu seduksi totalitarian diperagakan Jokowi sendiri sebagai simbolisasi ‘rakyat’ yang direproduksi kelompok relawan dan partai-partai politik pendukung sejak Pilpres 2014 dan 2019. Dua fenomena antitesis demokrasi di atas harus dicermati secara berimbang baik sebagai gejala otoritarianisme maupun gejala totalitarianisme yang menubuh dalam artikulasi populisme Koalisi Indonesia Maju.    

Persis dalam konteks saling pengaruh antara dua fenomena tersebut, diperlukan analisis kritis dari tradisi studi populisme. Tradisi kajian ini memiliki daya penjelas terhadap saling pengaruh antara dua gejala tersebut sebagai cara kerja hegemoni kekuasaan yang diperagakan Prabowo-Jokowi sekaligus membaca gerakan counter hegemoni Anies Baswedan dan Mahfud MD yang didukung gerakan masyarakat sipil dan partai politik yang berkomitmen sebagai oposisi. Selama Pilpres 2023-2024 telah berlangsung kontestasi dua artikulasi politik populis tersebut yang ditemukan baik dalam perdebatan capres-cawapres maupun dalam perdebatan ruang publik nasional. Tujuannya adalah mencegah jebakan analisis arus utama dalam studi demokrasi yang semata berkutat pada gejala otoritarianisme dan mengabaikan masalah representasi politik yang menjadi akar sosiologis dari kesulitan membangun gerakan counter-hegemoni. Hal ini bertolak dari satu dalil terpenting yakni perilaku kekuasaan tidak pernah absolut dan aksentuasi berlebih pada perilaku otoritarianisme justru berpotensi ikut menormalisasi supremasi elit.[2] Studi populisme kritis mendorong cara baca otoritarianisme ke arah substansi demokrasi yang menekankan tantangan dan peluang mewujudkan kedaulatan rakyat.   

Sebagai perbandingan, studi demokrasi perlu mencermati kembali transformasi politik populisme di Indonesia. Sejumlah penstudi telah mendeteksi artikulasi populis melalui Jokowi sudah muncul sejak tahun 2012 di Solo dan Pilpres 2014.[3] Sementara sebagian terbesar dari penstudi membahas fenomena politik selama Pilgub Jakarta 2016 dengan figurasi aktor populis pada Anies Baswedan dan Gerakan 212 baik ditinjau dari segi ideologi, gerakan maupun artikulasi lintas kelas sosial-ekonomi.[4] Sementara fokus selanjutnya dari studi populisme adalah Pilpres 2019 sebagai kelanjutan kontestasi Pilpres 2014 dan Pilgub Jakarta tersebut. Populisme Islam yang diproksimasi melalui figur Prabowo di satu sisi dan di sisi lain narasi tentang populisme developmentalis-multikultural yang difigurasi oleh Jokowi.[5] Studi-studi yang telah dilakukan sangat berguna terutama karena telah menghubungkan fenomena populisme sebagai bagian dari praktek berdemokrasi terlepas dari kecenderungan memperkuat atau sebaliknya melemahkan substansi demokrasi. Artikulasi populisme tentu tidak terlepas dari kontestasi diskursus politik nasional pada periode tersebut. Sebagaimana diargumentasikan Sujito[6] dan Hakim[7], kontestasi antara populisme Islam dan populisme Nasionalis pada periode 2014-2019 secara sosiologis tersituasikan dalam kontestasi dua diskursus utama dua dekade yaitu Islamisme dalam konteks ramifikasi Global War on Terror di Indonesia (2001-2019) dan Developmentalisme-Teknokratis yang berbiak di atas metanarasi tata kelola neoliberal (Good Governance) dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014).

Menggunakan analisis populisme sebagai logik politik mempertahankan hegemoni dan menggalang counter-hegemoni, Pilpres 2024 sesungguhnya menyingkap dua fenomena yang saling berkorelasi. Pertama, betapa rentannya konsolidasi elit oligarki dalam formasi politik berbasis sistem multipartai menggunakan mekanisme elektoral dan kedua, mulai terkonsolidasinya berbagai segmen gerakan masyarakat sipil. Parpol pengusung dari tiga koalisi berada dalam satu rezim pemerintahan Jokowi namun akhirnya bermutasi ke dalam dua visi kebijakan makro yang bertentangan sekaligus menyingkap disorientasi ideologis. Sementara itu, dari segi konsolidasi masyarakat sipil sebaliknya ditandai oleh semakin terintegrasinya gerakan-gerakan advokasi pembangunan dan demokrasi tingkat nasional. Gerakan ini tersebar dalam Koalisi Indonesia Perubahan dan Koalisi Indonesia Bersatu.

Gerakan masyarakat sipil tampil sebagai gerakan counter-hegemoni terhadap diskursus keberlanjutan Kebijakan Jokowi. Diskursus ini mencerminkan kepentingan oligarki garis keras dari lingkaran-dalam Istana Kepresidenan. Sekaligus sebagai kritik terhadap kecenderungan iliberalisme yang sudah terbaca sejak periode pertama Jokowi.[8] Sebagai gerakan counter-hegemoni, konsolidasi masyarakat sipil tidak lagi terbedakan antara artikulasi Koalisi Indonesia Perubahan dan Koalisi Indonesia Bersatu. Hadirnya tokoh non-parpol seperti Anies Baswedan dan Mahfud MD menjadi artikulator utama dari diskursus Perubahan. Kehadiran dua figur ini memberi otonomi relatif kepada gerakan counter-hegemoni dalam relasinya dengan perilaku pragmatis elit parpol pengusung selama dan setelah pilpres. Demikian halnya dengan konsistensi PKS sebagai parpol oposisi dua periode dan perpecahan internal antara Megawati dan Jokowi memberi kekuatan tersendiri bagi rekonsolidasi kekuatan sipil berhadapan dengan kalkulasi politik Megawati PDIP, Surya Paloh (NASDEM) dan Muhaimin Iskandar (PKB) dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.    

Studi ini berargumen bahwa gerakan masyarakat sipil yang terkristalisasi dalam diskursus Perubahan merupakan bagian integral dari artikulasi populis-demokratis membangun counter-hegemoni terhadap kebijakan ekonomi-politik Jokowi yang dilanjutkan Prabowo-Gibran. Diskursus Perubahan memperlihatkan kehadirannya yang ambigu sekaligus produktif secara politik. Di satu sisi, konsolidasi counter-hegemoni terkondisikan oleh adanya momen elektoral yang menciptakan fragmentasi parpol koalisi Pemerintahan Jokowi. Namun di sisi lain, diskursus Perubahan hadir secara organik dan memiliki otonomi relatif terhadap perilaku partai politik pengusung pasca-Pilpres. Momen Pilpres 2023-2024 menjadi momentum politik bagi terbangunnya gerakan counter-hegemoni masyarakat sipil sekaligus menjadi ancaman terbesar bagi perilaku kekuasaan Jokowi dan parpol-parpol oligarkis garis keras yang terkonsolidasi dalam Koalisi Prabowo-Gibran.

Merumuskan Masalah dan Kerangka Berpikir

Studi ini dibangun dari dua pertanyaan penting berikut. Pertama, bagaimana kontestasi antara dua artikulasi politik populis berlangsung selama proses Pilpres 2023-2024 dan kedua, seberapa jauh kontestasi tersebut memperlihatkan peluang bagi konsolidasi gerakan masyarakat sipil sebagai kekuatan counter-hegemoni pasca-Pilpres 2024. Dengan memahami populisme sebagai (1) artikulasi politik kolektif, (2) political logic membentuk antagonisme, dan (3) mode of representation[9], argumen studi ini menekankan pentingnya radikalisasi demokrasi, atau mengakarkan kembali demokrasi di tengah gempuran otoritarianisme. Studi populisme harus berkontribusi terhadap agenda strategis dan taktis dari gerakan counter-hegemoni dan sebisa mungkin tidak meneruskan obsesi konseptual pada gejala otoritarianisme semata. Hal ini juga sebagai koreksi terhadap kajian populisme arus utama yang belakangan ini melayani konstruksi neoliberal melabelkan gerakan demokrasi progresif berbasis kelas, lintas kelas dan berbasis agama sebagai populisme ‘kanan anti-liberalisme’, ‘kiri anti-globalisasi’ ‘rasis anti-keragaman budaya’ dan karena itu dianggap ‘anti-demokrasi’.[10]     

Sebagai artikulasi kolektif mendefinisikan rakyat (People) dan musuh negara (Enemy of the People/State), politik populisme bergerak dari dalil pertama yaitu representasi tidak pernah stabil dan pusat kekuasaan selalu kosong, sebagai penanda kosong (empty signifier), yang selalu terbuka untuk digugat dan diperebutkan melalui antagonisme politik sebagai prasyarat bekerjanya demokrasi.[11] Karena itu, Arditi,[12] misalnya, mendeteksi dua kecenderungan permanen dari artikulasi politik populis. Pertama artikulasi populis-otoritarian meneguhkan hegemoni oligarki yang membatalkan representasi politik antara rakyat dan pemimpin dengan menghadirkan slogan kedaulatan negara (state sovereignty) sebagai matriks terpenting. Artikulasi ini berusaha mengakhiri politik dengan mereproduksi narasi negara terancam dari dalam dan luar negeri. ‘Negara’ adalah satu-satunya agensi politik utama sementara ‘warga negara’ adalah sasaran kebijakan ekonomi dan keamanan. Kedua, artikulasi populis-demokratis menghidupkan kembali politik kewarganegaraan kolektif. Artikulasi ini dikarakterisasi dengan politik representasi antara pemimpin dan yang dipimpin. Konstruksi rakyat dipahami sebagai kumpulan keragaman kepentingan yang diikat dalam wacana kolektif tertentu dan musuh dipahami sebagai manifestasi kekuatan yang berusaha menghilangkan keragaman melalui totalisasi identitas, teknokratisasi pembangunan dan sekuritisasi politik.  

Selain artikulasi politik, pendekatan populisme menekankan pentingnya wacana atau diskursus (discourse) sebagai suatu keseluruhan dari artikulasi politik, baik itu diskursus hegemoni maupun diskursus counter-hegemomi.[13] Dalil kedua yang dirumuskan adalah tidak ada artikulasi populis tanpa diskursus tertentu. Suatu artikulasi politik kolektif selalu dimungkinkan dan diluncurkan dari dalam diskursus politik tertentu. Mengutip Laclau dan Mouffe, “we will call articulation any practice establishing a relation among elements such that their identity is modified as a result of articulation practice. the structured totality resulting from the articulatory practice, we will call discourse’.[14] Lebih dari sekadar ideologi, diskursus menggambarkan ragam tindakan, sikap dan pikiran yang terbentuk pada suatu periode dan ruang politik tertentu, sebagai respon atau perlawanan terhadap diskursus lain. Baik artikulasi hegemoni maupun artikulasi counter-hegemoni selalu berlangsung dalam kontestasi wacana. Prasyarat adanya analisis wacana ini sekaligus sebagai koreksi fundamental terhadap studi populisme arus utama yang terbiasa menyederhanakan fenomena populisme sebatas ideologi atau gerakan politik tertentu tanpa memperlihatkan wacana dan kontestasinya. Resiko terburuk dari simplifikasi tersebut adalah membenarkan pandangan (neo)liberalisme politik bahwa populisme itu adalah fenomena politik abnormal dalam demokrasi liberal.[15] Kembali diringkas, hubungan antara artikulasi populis dan diskursus bersifat saling menegaskan, tidak terkunci pada keutamaan aktor, gerakan dan ideologi semata tetapi kombinasi ketiganya membentuk diskursus dan menghadirkan artikulasi politik.      

Dua sesi berikut membahas konstruksi wacana Keberlanjutan dan wacana perubahan lalu diteruskan dengan uraian tentang dua artikulasi tersebut selama proses Pilpres 2023-2024 melalui artikulator utama Prabowo-Jokowi dan Anies Baswedan serta Mahfud MD. Sesi Konstruksi Dua Populisme: Perubahan dan Keberlanjutan memaparkan genealogi kedua wacana sebagai kulminasi dari antagonisme politik nasional pasca-Pilpres 2019 khususnya selama dan setelah Pandemi Covid-19. Konstruksi dua wacana ini ditandai oleh konsolidasi oligarki dalam tata kelola kebijakan strategis nasional berbasis kedaruratan dan maraknya protes sosial yang digerakkan berbagai elemen masyarakat sipil. Sesi Artikulasi Populis: Kedaulatan Negara versus Kedaulatan Rakyat menguraikan bekerjanya artikulasi populis Prabowo-Jokowi dari diskursus Keberlanjutan dan artikulasi Anies dan Mahfud MD dari diskursus Perubahan. Sekaligus diperlihatkan arti penting Jokowi sebagai simbolisasi ‘rakyat’ yang sangat dibutuhkan kekuatan oligarki untuk memenangkan Pilpres. Studi ini ditutup dengan meringkaskan kembali argumen utama dan menegaskan perlunya agenda programatik dari kajian demokrasi khususnya studi populisme sebagai bagian dari konsolidasi gerakan demokrasi.  

Konstruksi Dua Populisme: Perubahan dan Keberlanjutan

Pertarungan dua artikulasi populis selama Pilpres 2023-2024 tidak terpisahkan dari Pandemi Covid 19. Dideklarasikan sebagai krisis kesehatan nasional sejak Maret 2020 Pandemi secara politik dijadikan momentum bagi konsolidasi oligarki nasional dalam Kabinet Indonesia Maju. Berbagai kebijakan dirancang serba cepat dan menghadirkan suatu tata kelola pembangunan berbasis krisis atau kedaruratan.[16] Diawali dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja pada November 2020 yang kemudian berlaku sebagai basis legal-politik bagi proyek strategis nasional di sektor industri ekstraksi, sektor teknologi dan informasi dan industri pangan selain prioritas sektor kesehatan. Tidak kalah penting agenda relokasi ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang kemudian direalisasikan sejak tahun 2022 dengan dikeluarkannya UU IKN 3/2022.[17] Menggunakan krisis kesehatan sebagai isu proksi, maka berlangsunglah reorientasi kebijakan makro dengan paradigma kebencanaan yang kemudian menjadi parameter kunci dalam merumuskan masalah pembangunan dari kedaulatan tubuh bangsa kepada kedaulatan negara.

Oligarki kebijakan menarasikan keberhasilan kelola pandemi sebagai preseden terbaik sekaligus peluang menuju tercapainya impian Jokowi menuju Indonesia Emas 2045. Peraturan Pemerintah 14/2021 tentang Vaksinasi, misalnya, melegalisasi perilaku pemerintah yang kapan saja dapat membatalkan hak konstitusional warga negara atas tubuh, hak ekonomi dan politiknya. Dikemukakan pandangan bahwa kegentingan biologis yang telah disamakan dengan ancaman daya tahan negara tidak boleh diganggu oleh keriuhan demokrasi. Protes publik disamakan dengan ketidakstabilan politik. ‘Covid-19’ bermutasi sebagai musuh bangsa dan warga negara yang mempertanyakan tata kelola pandemi dianggap lebih berbahaya dibanding Virus Corona.[18] Berlangsung normalisasi terhadap Jokowi dan oligarki kebijakan sebagai agensi politik terpenting, menyelamatkan bangsa, sekaligus menetralisir akar pemiskinan pada kejahatan virus dan para koruptor dana pandemi. Mengikuti arahan WHO, tata kelola pandemi memungkinkan konsolidasi kebijakan oligarki melalui UU Cipta kerja sambil membatalkan debat kebijakan dengan pengerahan UU ITE secara maksimal. Satu pesan utama dari transformasi ideologi kebijakan ini adalah negara harus maksimal dan demokrasi harus minimal agar pandemi teratasi dan proyek strategis negara berjalan lancar dan tepat waktu.

Krisis geopolitik dipicu konflik Ukraina-Rusia semakin meneguhkan tata kelola pembangunan berbasis kedaruratan. Isu kedaulatan negara beralih dari ketahanan tubuh menuju ketahanan ekonomi merespon disrupsi rantai-pasok dan investasi nasional-global. Bagi oligarki pengendali kementerian ekonomi strategis, kritik terhadap akselerasi PSN dan IKN dianggap sebagai gangguan serius bagi penguatan kedaulatan ekonomi. Label infiltrasi asing mulai disebarluaskan atau dalam kata-kata Luhut sendiri: “Orang yang enggak di pemerintahan itu enggak usah banyak omong. Tidak gampang kerja kan … Omong ngritik gampang aja. Lu masuk di dalam baru tahu lu”.[19] Sementara protes masyarakat terdampak PSN dibungkam dengan pendekatan keamanan atau dikooptasi ke dalam program-program tersebut. Sebagaimana sudah terdeteksi sejak periode pertama Jokowi.[20] Pemerintahan Jokowi kian memperlihatkan perilaku kapitalisme negara yang otoritarian serta memanjakan birokrasi yang korup dan tambun. Sejalan dengan narasi disrupsi ekonomi global, isu kedaulatan teritorial dikalibrasi sedemikian rupa yang membuat Prabowo Menteri Pertahanan menjadi tokoh kunci selain Luhut Menko Marves dan Moeldoko Kepala KSP dalam lingkaran terdalam Istana Negara.

Kombinasi Luhut GOLKAR dan Prabowo GERINDRA memperjelas arti penting geo-sekuriti dan geo-ekonomi dalam konstruksi nasionalisme ekonomi Jokowi pasca Pandemi. Pencitraan Jokowi dari people president menjadi global player kemudian diselaraskan dengan narasi pentingnya peran Prabowo sebagai bakal calon presiden berwawasan geopolitik. Rebranding Jokowi sebagai aktor global dan narasi kedaulatan ekonomi negara terbentuk melalui rangkaian peristiwa, diawali dari ‘misi perdamaian’ ke Kiev dan Moskow Bulan Juni 2022, penyelenggaraan G20 November 2022 di Bali, penyelenggaraan KTT ASEAN September 2023 sampai pada menghadiri KTT G7 di Jepang Desember 2023. Blusukan ke berbagai negara untuk lobi investasi asing didampingi Luhut dan Bahlil, narasi keberlanjutan kebijakan pasca Jokowi mengemuka dengan penegasannya sendiri tentang pemimpin yang kuat dan berani.[21] Narasi Jokowi menentang ‘neokolonialisme’ ekonomi disajikan dengan cerita yang diulang-ulang tentang keberaniannya melawan WTO dan Uni Eropa dalam sengketa sawit dan nikel. Jokowi berpindah dari domain kejelataan rakyat pada periode pertama ke dalam domain kenegaraan yang kuat pada periode kedua.

Transformasi diskursif ini sangat fundamental terutama karena mengubah perilaku politiknya. Jokowi, simbolisasi rakyat yang lugu dan polos itu, telah bertransformasi menjadi Prabowo, negara yang gagah perkasa. Dalam konteks transformasi tersebut, Luhut, Bahlil dan komplotannya mempengaruhi Megawati untuk mengusulkan Jokowi sebagai presiden tiga periode namun ditentang Megawati dan menuai protes keras dari masyarakat sipil.[22] Upaya inkonstitusional dicoba lagi dengan usulan perpanjangan masa jabatan presiden sampai sejumlah proyek strategis selesai yang lagi-lagi ditentang keras PDIP dan masyarakat sipil. Lalu berujung pada upaya inkonstitusional menjadikan Gibran putera sulung Jokowi, Walikota Solo, sebagai Cawapres Prabowo. Ini kemudian menjadi momen krusial memisahkan Jokowi dan Megawati. Sekaligus menandai agenda keberlanjutan diasosiasikan dengan Prabowo-Jokowi dengan deklarasi duet Prabowo-Gibran pada 22 Oktober 2023 yang dalam kata-kata Prabowo sendiri: ”Jadi bisa dikatakan, kalau klub sepak bola, kita adalah klubnya Pak Joko Widodo”.[23]

Sepanjang periode terbentuknya diskursus Keberlanjutan di atas, terbentuk pula diskursus Perubahan yang sejak awal difigurasi Anies Baswedan. Anies mendapat dukungan luas kelas menengah Muslim perkotaan, gerakan mahasiswa, dan ragam elemen masyarakat sipil. Dukungan partai politik datang dari NASDEM dan dua partai oposisi, PKS dan Demokrat dalam deklarasi koalisi pada 24 Maret 2023. Kendati demikian koalisi parpol pengusung ini sempat terguncang dengan masuknya PKB Muhaimin Iskandar dan beralihnya AHY-SBY Demokrat ke koalisi Indonesia Keberlanjutan. Isu utama dalam diskursus ini adalah isu keadilan dan kesetaraan yang sebagiannya datang dari warisan Pilpres 2019 dan sebagiannya lagi dari ragam isu sebagai respon terhadap konsolidasi oligarki selama pandemi dan pasca pandemi. Duet Anies-Muhaimin terbentuk dalam negosiasi politik antara Anies yang diidentikkan dengan gerakan perubahan dan Muhaimin yang masih merupakan bagian dari rezim pemerintahan. Bagi Anies, nama ‘Perubahan’ itu adalah aspirasi masyarakat yang ingin menginginkan perubahan, sementara kubu Muhaimin berupaya mencari jalan tengah dengan mengusulkan nama baru ‘Koalisi Pembaruan Keberlanjutan”.[24] Tetap digunakannya satu kata perubahan setidaknya menggambarkan lebih kuatnya kebutuhan membuat garis batas yang tegas dalam antagonisme politik berhadapan dengan diskursus Keberlanjutan yang didukung penuh tentakel oligarki dan Istana Jokowi.    

Aspek penting dari kombinasi Anies-Muhaimin adalah terjadinya transformasi baru dalam narasi Islam Politik. PKS yang dikonotasikan dengan ‘Islam Transnasional’ dan PKB ‘Islam Nusantara” dalam seteru politik elektoral satu dekade terakhir berkolaborasi dalam satu koalisi. Konsekuensi elektoral bisa menguntungkan sebagai insentif elektabilitas atau sebaliknya merugikan sebagai liabilitas politik. Sebagai pelajaran penting berdemokrasi, persekutuan ini perlahan menghancurkan esensialisasi terhadap dua ‘identitas’ Islam politik Indonesia. Terlepas dari kalkulasi politik PKB dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran, aliansi elektoral ini serta kesediaan PKB untuk masuk dalam gerakan perubahan memberi sinyal kuat bahwa negosiasi identitas dan kepentingan bisa dilakukan untuk perubahan kebijakan dan relasi sosial kemasyarakatan. Sebagaimana ditunjukkan melalui artikulasi Muhaimin menggugat sejumlah kebijakan dan program strategis yang sebelumnya didukung oleh dirinya dan partai warisan Gus Dur tersebut. Selama Pilpres persekutuan ini telah mendorong kalangan elit partai merumuskan kembali hubungan antara Nahdatul Ulama (NU) sebagai gerakan sosial-kultural dan PKB sebagai partai politik. Sementara dalam PKS sendiri soliditas sebagai oposisi sudah terbangun pasca konflik ideologi internal antara ‘faksi keadilan’ yang dilabel konservatif dan ‘faksi sejahtera’ yang diidentikkan dengan liberal yang kemudian melahirkan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (GELORA)  pada Oktober 2019.[25]    

Artikulasi masyarakat sipil dalam diskursus Perubahan terpusat pada isu utama korupsi dan  kolusi, pembatasan kebebasan berpendapat, prekariasi buruh dan petani, kerusakan lingkungan hidup dan marjinalisasi masyarakat lokal. Isu-isu publik tersebut secara langsung terkait dengan penerapan UU Cipta Kerja, UU ITE, dan turunan kebijakan oligarki multisektor disertai kriminalisasi dan kekerasan polisi serta militer. Formasi aktor dan kelompok kelas menengah dalam gerakan perubahan terbaca melalui keterlibatan kelompok akademisi, jurnalis, gerakan mahasiswa, intelektual publik, mantan pejabat dari menteri sampai purnawirawan TNI dan POLRI. Keterlibatan aktif mantan pejabat negara, seperti Sudirman Said mantan Menteri ESDM, Thomas Lembong mantan Menteri Perdagangan dan Said Didu mantan Sekretaris BUMN, menyita perhatian publik terutama karena dianggap mencerahkan publik.[26] Informasi para tokoh ini membenarkan kembali kecurigaan masyarakat sipil tentang cara kerja oligarki membajak kebijakan dan merampok sumber daya negara. Kendati menjelang Pilpres mulai terbangun interaksi antara elemen masyarakat sipil dalam Koalisi Ganjar-Mahfud dan Koalisi Anies-Muhaimin, fokus utama dari gerakan counter-hegemoni masyarakat sipil dari koalisi Indonesia Bersatu lebih didasarkan rasa kecewa pada pengkhianatan Jokowi terhadap Megawati dan PDIP, Keputusan 90 MK, dan dukungan terbuka petugas partai Banteng ini pada Prabowo.       

Tentu saja terdapat komplikasi dalam genealogi diskursus Perubahan mengingat formasi gerakan masyarakat sipil tidak sepenuhnya berjalan bersama formasi parpol pengusung kedua koalisi. Hal ini terdeteksi melalui pensikapan yang tak sejalan terhadap isu krusial seperti ‘Presidential Threshold’, isu ‘parliamentary threshold’ dan juga isu penggunaan ‘sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup’ selain isu ‘Pelemahan KPK’.[27] Komplikasi ini mengindikasikan bahwa kendali atas produksi dan diseminasi diskursus Perubahan tetap berada dalam artikulasi masyarakat sipil yang semakin terorganisir. Diskursus Perubahan sepenuhnya dibentuk dan dikendalikan jaringan masyarakat sipil dan PKS sementara Nasdem  bersama PDIP dan PKB mengemukakan dalil pragmatisme politik yang serupa bahwa tetap berada dalam pemerintahan Jokowi adalah wujud tanggung jawab politik kepada rakyat. Selama proses parpol pengusung mengelola ketegangan permanen antara oportunisme elektoral dan pragmatisme kekuasaan bersama Jokowi, faksi-faksi masyarakat sipil semakin terkonsolidasi dan membuat peran Anies semakin strategis bersama literasi hukum Mahfud MD. Terhitung sejak duet Prabowo-Gibran dideklarasikan 25 Oktober 2023, konsolidasi isu antara elemen masyarakat sipil dari dua koalisi mulai terbangun dalam ruang publik. Diskursus Perubahan kemudian ditandai dua arus besar counter-hegemoni yaitu pertama perlawanan terhadap kebijakan makro yang dikendalikan oligarki dan kedua perlawanan terhadap ‘Cawe-Cawe’ Presiden.          

Artikulasi Populis: Rakyat Berdaulat versus Negara Kuat

Terkondisikan oleh antagonisme diskursus di atas, maka lebih mudah dipahami perubahan artikulasi populis pada Prabowo dan Anies Baswedan. Artikulasi politik Anies bergeser secara fundamental dari identifikasi bermuatan identitas komunitarian Islam menjadi lebih terbuka kepada identifikasi lainnya disertai narasi kecakapan teknokrasi menerjemahkan demokrasi ke dalam tata kelola kebijakan publik. Perluasan medan identifikasi politik Anies merupakan manifestasi diskursif dari pertama, konsolidasi masyarakat sipil menentang diskursus Keberlanjutan dan kedua, adanya kerentanan dalam konfigurasi parpol Kabinet Indonesia Maju yang terkondisikan oleh peluang kemenangan Pilpres. Artikulasi Prabowo sebaliknya menunjukkan pengerasan sekaligus reduksi identifikasi politik ke dalam negara. Prabowo adalah negara, simbolisasi agensi politik, yang membutuhkan suara rakyat semata sebagai validasi prosedural dan visibilitas statistik untuk meneruskan kebijakan pembangunan Jokowi. Diuraikan secara bergantian di bawah ini, dua artikulasi populis ini merumuskan rakyat, musuh, dan negara dalam formulasi yang sangat berbeda sekaligus memperlihatkan wujud antagonisme politik yang sesungguhnya dalam Pilpres 2024.        

Anies Baswedan, kemudian diikuti Mahfud MD, menggerakkan seluruh artikulasi populisme-nya dengan menekankan pentingnya paradigma atau pendasaran nilai dari kepemimpinan nasional, produksi kebijakan dan partisipasi publik. Basis nilai utama adalah keadilan yang mengelola persatuan, mengutip kata-kata Anies sendiri: “Kita ingin keadilan menjadi nilai utama. Kenapa? Karena Republik ini didirikan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi begitu kata keadilan itu ada, ini pegangannya”.[28] Baik dalam serial dialog publik  ‘Desak Anies’ maupun tiga kali debat Capres, aksentuasi keadilan berdasarkan konstitusi dimaksudkan untuk melayani dua tujuan identifikasi populis. Pertama untuk memberi kerangka nilai bagi kepemimpinan politik nasional dan kedua, untuk membedakan agenda ideologis Perubahan yang menghidupkan kedaulatan rakyat dari paradigma Keberlanjutan yang berbasis kedaruratan mengabsahkan kedaulatan negara atau kepemimpinan oligarkis. Dua tujuan tersebut mempertegas antagonisme, bahwa diskursus Perubahan merepresentasikan rakyat yang dirampas hak ekonomi dan politiknya sementara musuh rakyat adalah oligarki nasional yang mengubah republik menjadi negara kekuasaan. Menyasar cara Jokowi mengelola kekuasaan dengan judisialisasi politik, Anies mempertegas garis batas itu:  “Dalam negara hukum, penguasa diatur hukum. Dalam negara kekuasaan, penguasa mengatur hukum…Kita tidak ingin negara ini diatur seperti keluarga. Ini bukan negeri milik seseorang, ini bukan negeri milik satu keluarga, ini adalah negeri milik seluruh rakyat Indonesia”.[29]

Aksentuasi tentang keadilan juga terbaca pada artikulasi Mahfud MD tentang penegakan hukum. Hukum berkeadilan diarusutamakan selama Pilpres 2023-2024 sebagai koreksi terhadap perampokan sistematis oleh oligarki kebijakan terhadap sumber daya negara. Mahfud MD dalam berbagai forum diskusi publik khususnya melalui ‘Tabrak Prof’ memperkenalkan paradigma hukum berkeadilan yang dipopulerkannya dengan istilah ‘nomokrasi’. Mahfud memperjelas artikulasi populisnya dalam kata-kata berikut: “Ada dua masalah utama yang kami lihat menjadi kegelisahan orang banyak di Indonesia ini, yaitu tabir gelap demokrasi dan hilangnya keadilan ekonomi..Sungguh demokrasi Indonesia menuju ke arah kegelapan karena korupsi semakin marak terjadi. Hukum disalahgunakan dan terakhir konstitusi dipermainkan”.[30] Pesannya serupa dengan artikulasi Anies bahwa dibayangkannya apabila hukum ditegakkan secara adil dan merata maka demokrasi dapat memproduksi kesejahteraan. Bagi keduanya, Cawe-Cawe Jokowi dan oligarki kebijakan adalah musuh rakyat yang memperalat hukum semata senjata peredam demokrasi dan mengabsahkan perampokan sumber daya negara. Artikulasi Anies mengajak pemilih mendasarkan kembali hak politik dan ekonominya pada konstitusi sedangkan artikulasi Mahfud berusaha memulihkan hak-hak tersebut melalui reformasi hukum berdasarkan perintah konstitusi.

Artikulasi populis Anies dan Mahfud MD kembali menegaskan hubungan antara konstitusi, demokrasi dan pembangunan ekonomi sebagai cara pertama mendefinisikan rakyat dan negara. Dengan aksentuasi nilai keadilan dan kesetaraan, diskursus Perubahan menjadikan Jokowi dan oligarki sebagai sebab dari kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan. Narasi keadilan kali ini diaplikasikan ke seluruh sektor yg dikendalikan oleh kartel oligarki Jokowi-Prabowo-Luhut serta tak kalah penting diarahkan ke masyarakat di luar Jawa sebagai kawasan yang sekadar dikuras sumber daya alamnya berkedok PSN sambil dengan sengaja mengabaikan pembangunan manusia dan masyarakatnya. Bagi Anies-Muhaimin, orientasi kebijakan dalam diskursus Keberlanjutan semata berfokus pada ‘selesaikan proyek pemerintah’ sementara orientasi yang ditawarkan diskursus Perubahan adalah ‘selesaikan masalah warga’.[31] Menentang orientasi kebijakan industri ekstraktif dan ‘hilirisasi’ Jokowi-Luhut-Prabowo, Anies menekankan pentingnya reindustrialisasi untuk distribusi pertumbuhan ekonomi berbasis sektor dan kawasan. Sementara itu Muhaimin Iskandar menyingkapkan gagalnya ‘revolusi mental’ sebagaimana tersurat dalam kata-kata sendiri: “Kata revolusi agak kacau sejak revolusi mental gagal dijalankan dengan baik, jadi terpaksa kasih istilah lebih mudah dan kemudian tidak mengganggu yaitu slepet“.[32]

Sebaliknya, bagi Prabowo, demokrasi, yang direduksi sebagai Pilpres/Pemilu, adalah momen penyerahan kedaulatan rakyat ke tangan negara. Tersurat dalam kata-kata sang Jenderal sendiri dalam acara konsolidasi Partai Gerindra: “Kita berkuasa dengan meminta kekuasaan diwakilkan kepada kita. Kita minta kedaulatan rakyat untuk diwakilkan kepada kita, kita minta mandat dari rakyat Indonesia, saudara-saudara“.[33] Tidak peduli pada proses dan dialog sebagai prasyarat relasi saling membentuk antara pemimpin dan rakyat, warga negara bagi Prabowo adalah jumlah suara yang harus diperbanyak dan pemimpin adalah tokoh heroik atau penyelamat bangsa dan negara. Tentang hal ini dikutip kembali kata-katanya dari pidatonya pada Acara Reuni Akbar Rabu Biru di Jakarta berikut: “Kita berbuat ini, hanya semata-mata untuk kalian dan bangsa Indonesia. Negara kita, bangsa kita membutuhkan keberlanjutan pembangunan. Masa depan kita gemilang, masa depan kita cerah. Masa depan kita hebat. Indonesia akan menjadi negara hebat“.[34] Tanpa sekalipun menyebutkan satu-dua kegagalan kebijakan dari Kabinet Indonesia Maju, Prabowo berkomitmen melanjutkan kebijakan makro Jokowi di mana dirinya sendiri adalah pelaku utama bersama kekuatan oligarki politik pasca pandemi. 

Dalam artikulasi populis Anies pemilih lebih dari sekadar suara yang hendak didulang dan dapat dimanipulasi. Mereka adalah warga negara, suatu identitas kolektif yang terbentuk melalui deliberasi publik dan dialog antara pemimpin dan yang dipimpin. Sebagai pemilih mereka adalah demos lintas-identitas, lintas-generasi dan lintas-kelas sosial-ekonomi. Dalam Acara Desak Anies yang diramaikan generasi muda di Yogyakarta, Anies menekankan arti penting dialog untuk menghasilkan kesepahaman, menyitir ucapannya sendiri: ”Pilih pasangan pemimpin yang memiliki pemikiran atau gagasan yang paling mirip dengan pemikiran Anda. Kepada pasangan itulah Indonesia nantinya Anda titipkan.Dengan semakin banyak orang memilih secara rasional, maka secara otomatis akan meningkatkan kualitas pelaksanaan demokrasi di Indonesia”.[35] Anies bersama Mahfud MD menggarisbawahi kebangkitan warga negara adalah kebangkitan bangsa dan bukan sebaliknya seperti yang dibayangkan Prabowo, kebangkitan bangsa adalah hasil kerja pemimpin semata. Berbeda dari narasi populis Pilgub Jakarta 2016-2017, dalam Pilpres kali ini, Anies memperluas horizon keadilan dan agensi sebagai perang terbuka terhadap kecenderungan supremasi negara dan persatuan oligarki politik sebagai satu-satunya penjamin kemakmuran rakyat.

Dalam artikulasi populis Anies maupun Mahfud Md, diskusi publik tentang hubungan antara teknokrasi dan demokrasi selalu dibahas untuk memperjelas terputusnya hubungan rakyat dan negara dalam perilaku birokrasi pemerintahan. Sebagai pembeda dari artikulasi Prabowo-Jokowi yang semata memusatkan pada IKN, PSN dan Desa—insentif elektabilitas—Anies dan pendukung utamanya mengarustutamakan tata-kelola pemerintahan Provinsi dan Kabupaten sebagai isu publik terpenting di balik maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme. Mengandalkan rekam jejaknya menata Ibukota Negara Jakarta, Anies menemukan birokrasi sebagai masalah karena janji politik hasil pilkada tidak tersambungkan ke dalam kultur kerja birokrasi yang tersandera patronase menahun. Tidak ada sambungan teknokratis antara cara birokrasi bekerja dan cara demokrasi menghasilkan pemimpin daerah, menghasilkan iklim usaha yang sarat pungli, program pemda yang sekadar habiskan anggaran dan tak berkelanjutan.[36] Karena itu bagi Anies-Muhaimin dan juga Ganjar-Mahfud, isu reformasi birokrasi sangat mendesak sebagai respon terhadap tekanan demokrasi di tingkat provinsi dan kabupaten. Hal serupa ditemukan dalam perdebatan tentang peran strategis BUMN yang dianggap hanya berorientasi cari untung dan merugikan swasta. Anies dengan sengaja mengangkat isu BUMN untuk mempertegas perbedaan model tata kelola BUMN antara diskursus Perubahan dan diskursus Keberlanjutan.

Alih-alih mengubah tampilan fisik dan cara bicara, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud justru semakin menegaskan otentisitas diri masing-masing dalam ruang publik dan debat capres-cawapres. Hal ini kontras dengan Prabowo yang mengubah tampilan publiknya. Sebagaimana diakuinya sendiri, Prabowo harus meniru tidak hanya gaya kepemimpinan Jokowi tapi juga cara berkomunikasi dengan rakyat. Disitir dari kata-katanya sendiri:  “Ya ini alamiah saja. Saya enggak malu-malu bahwa saya banyak belajar dari Pak Jokowi, enggak malu.. Saya patriot, Pak Jokowi patriot dan saya belajar dari yang bagus kenapa malu?”.[37] Sembari mengakui dirinya kaku dan formal, tapi perubahan gaya ini jadi bahan tertawaan publik karena ketidakotentikan gestural dan verbal yang dihasilkan oleh kontras yang dipaksakan tersebut untuk menarik simpati generasi milenial. Paradoks gestural ini juga menyita perhatian publik internasional yang sudah sangat mengenal sosok Prabowo yang tegas, keras dan Jenderal pelanggar HAM yang diberhentikan pada tahun 1998.[38] Upaya Prabowo meniru Jokowi ditujukan untuk menegaskan bahwa Prabowo, inkarnasi kedaulatan negara itu, juga adalah penegak kedaulatan rakyat yang diframing selama satu dekade ke dalam sosok Jokowi. Sang presiden terpilih kemudian lebih sering menggunakan penegasan verbal tentang ‘keberhasilan’ Jokowi memimpin negara sekaligus sebagai ‘pemersatu’ bangsa untuk ‘kepentingan rakyat’.[39] Sebaliknya, Ganjar dan Mahfud tetap menjaga otentisitas diri sebagai penanda bahwa mereka menentang gaya berkomunikasi sang Presiden yang terbukti sarat muslihat terhadap partai, orang dekatnya dan terhadap rakyat sendiri.

Artikulasi politik dari diskursus Perubahan dalam prakteknya lebih memperlihatkan apa yang disebut Pitkin sebagai acting for  the audience as active citizens.[40] Acara ‘Desak Anies’ adalah eksperimentasi demokrasi yang mengundang keterlibatan banyak kalangan khususnya generasi muda di kota-kota besar. Dalam format ini, relasi-representasi berusaha dibangun di mana Anies tidak saja menyampaikan gagasannya tapi mendengar pendapat dan harapan mereka.[41] Sama seperti yang kemudian diikuti Mahfud MD dengan ‘Tabrak Prof’ sejak 14 Januari 2024, Desak Anies mengaktifkan kembali politik kewarganegaraan sebagai aktivisme warga yang terorganisir dan literasi politik. Desak Anies mencakup ragam isu demokrasi dan pembangunan yang tersambungkan dengan perintah konstitusi untuk keadilan dan kesetaraan Sementara itu, Tabrak Prof difokuskan pada penegakan hukum berkeadilan untuk membebaskan kembali hukum dari kontrol oligarki.[42] Makin menguatnya kritik masyarakat sipil terhadap Cawe-Cawe Presiden untuk memenangkan Prabowo dan putera sulungnya, Desak Anies dan Tabrak Prof, selain Slepet Imin, makin terintegrasi sebagai eksperimentasi demokrasi yang spontan dan sukarela.

Selain keadilan ekonomi dalam negeri, artikulasi rakyat sebagai warga negara aktif dipertegas Anies dengan mengarusutamakan politik luar negeri berbasis-nilai. Kerap tak selaras dengan aksi diplomasi Retno Marsudi, manuver geo-ekonomi dan geo-sekuriti Jokowi di bawah kendali Luhut-Prabowo dinilai bersifat transaksional semata, tidak cerdas dan tidak strategis.[43] Tidak saja hanya menguntungkan kartel oligarki investasi dan bisnis pertahanan, diplomasi transaksional itu, sarat retorika kedaulatan negara berlabel anti-neokolonialisme, membuat warga negara sekadar penonton yang superaktif tanpa diajak ikut serta mengetahui dan berdebat tentang proyeksi geopolitik oligarki ini. Bagi Anies dan proponen perubahan, warga Indonesia harus kembali menjadi warga dunia karena kemerdekaan Indonesia tidak terpisah dari peristiwa geopolitik dunia. Mengutip kata-kata Anies di hadapan komunitas kebijakan luar negeri di CSIS, November 2023: “Soekarno dan generasinya, menempatkan Indonesia sebagai warga dunia, bukan sekedar sebuah entitas terlepas dari dunia, bagian dari komunitas dunia”.[44] Dengan mendasarkan kembali paradigma geopolitik Indonesia pada nilai keadilan dan kesetaraan antarbangsa, Anies menolak monopoli segelintir oligarki atas nasib Indonesia dalam tata dunia multipolar. Rakyat harus ikut serta dalam deliberasi geopolitik Indonesia karena perdagangan, investasi dan kebijakan pertahanan oligarki secara langsung berdampak pada perekonomian rakyat.  

Mengabaikan koreksi Anies tentang beresikonya diplomasi transaksional terhadap ekonomi dan demokrasi dalam negeri, Prabowo mereduksi isu geopolitik sebatas perang teknologi dan perang dagang yang mensyaratkan pertahanan negara sebagai model proyeksi geopolitik.[45] Sambil membandingkan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur yang dilanda perang dan konflik berlarut, artikulasi Prabowo menegaskan betapa hebatnya Indonesia yang memiliki daya tahan kebangsaan sehingga tetap rukun dan damai. Bagi Prabowo, musuh negara tidak hanya warga negara yang menentang kebijakan pemerintah tetapi juga bersumber dari luar negeri. Mengutip perkataannya di hadapan pimpinan dan purnawirawan TNI, November 2023:“Peristiwa-peristiwa seperti di Rempang sudah mulai masuk campur tangan intel-intel asing..Dan kita banyak juga mengalami di Aceh, di Ambon kita mengalami, di Timor-Timur, dan kita mengalami di Papua terus-menerus, bagaimana campur tangan asing sangat memengaruhi kondisi kita”.[46] Terkandung makna yang kuat bahwa stabilitas politik sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan dan resiliensi terhadap infiltrasi asing. Dalam proyeksi geopolitik Keberlanjutan, negara harus maksimal sebagai pengatur dan pelaku sekaligus.  

Merespon makin terkonsolidasinya gerakan counter-hegemoni masyarakat sipil, Prabowo-Jokowi semakin terang-terangan menciptakan kebijakan dadakan dan mengerahkan aparatur negara untuk menaikkan elektabilitas Prabowo-Gibran dari segmen populasi ‘miskin’ dan ‘nyaris miskin’. Fokus utama adalah basis PDIP di Jawa Tengah dan basis PKB di Jawa Timur. Dimulai dari penempatan pejabat gubernur, pengerahan ASN, kepala desa, polisi dan militer sampai menaikkan tunjangan KPU dan Bawaslu. Sementara Bansos menargetkan puluhan juta warga miskin dengan mengubah jadwal distribusi dan total dana untuk kepala keluarga miskin. Jokowi, simbolisasi rakyat ini, harus turun ke jalan membagi beras di depan Istana dan berkunjung ke daerah-daerah yang telah didatangi Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, bersalaman sambil membagi ‘bantuan negara’, yang adalah ‘bantuan Jokowi’, kepada rakyat yang telah dimiskinkannya selama satu dekade. Presiden yang berbangga diri sebagai global player ini bermutasi kembali sebagai people presiden, membagi beras dan melempar kaos hitam dari mobil Mercedes-Benz di Wonosobo dan Yogyakarta, atau baju bergambar wajahnya sendiri di Konawe, Sulawesi Tenggara.

Bagi Jokowi sendiri, bertarung dalam antagonisme yang tak terdamaikan ini, nasib dirinya dan dinasti keluarga berada dalam kemenangan koalisi Indonesia Maju yang telah didisainnya sendiri bersama Luhut, Prabowo, Bahlil dan komplotan oligarki. Merespon kemarahan masyarakat sipil khususnya gerakan mahasiswa dan deklarasi para guru besar, Luhut, misalnya, balik menuduh gerakan ini sarat kepentingan politik dan memastikan rakyat yang menentukan di kotak suara sembari membela Presiden dengan kata-katanya sendiri: “presiden ini sangat sederhana, yang bekerja untuk rakyat, datang dari keluarga yang sangat sederhana, turun ke kampung-kampung, langsung melihat keadaan, membangun infrastruktur, musti gimana lagi?”.[47] Artikulasi Luhut selaras dengan Prabowo yaitu demokrasi itu adalah semata-mata ‘suara rakyat’ di kotak suara. Sedangkan Bahlil menggurui gerakan mahasiswa dengan pernyataannya berikut:“Saya mau menyampaikan kepada kalian, jangan coba-coba bilang kalau kita-kita oligarki, tunggu kalian semua tunggu. Begitu kalian jadi pejabat, jadi orang kaya, mungkin kelakuan kalian akan lebih jahat dari pada saya”.[48] Sambil mengakui kejahatannya sebagai oligarki, Bahlil hendak menegaskan bahwa gerakan mahasiswa selalu ditunggangi kontestan politik tertentu.      

Prabowo sebagai artikulator utama diskursus Keberlanjutan menampilkan dirinya seutuhnya sebagai pusat agensi politik. Terlacak dari setiap pidatonya, persatuan oligarki sebagai pelaku pembangunan dan dukungan rakyat sebagai sasaran pembangunan adalah dua modalitas terbesar dari proyeksi Indonesia maju dan berdaya saing dalam disrupsi global. Sambil menghindari dialog publik, model kampanyenya lebih berupa pidato pengarahan dan kunjungan ke tokoh-tokoh akar rumput baik berafiliasi ke komunitas keagamaan maupun kelompok bisnis, termasuk konsolidasi dukungan kades yang didukung penuh Jokowi. Menyiasati blunder Gibran seperti ‘Asam Sulfat’ yang makin meragukan publik akan kompetensinya, Prabowo harus tampil sebagai pusat perhatian agar ‘anak haram konstitusi’ tidak jadi liabilitas elektoral. Prabowo sebagai pusat agensi politik ditunjukkan oleh dua hal utama yaitu pertama, mengumbar enam janji program ‘negara baik hati’ dan kedua, menegaskan ancaman dan peluang geopolitik yang diklaimnya telah dipahami dan dapat diatasi demi kedaulatan negara. Yang pertama meniru Jokowi 2014-2019 sementara karakteristik kedua adalah kekhasannya sendiri sejak Pilpres 2014 dan 2019.   

Dalam artikulasi populis-otoritarian Prabowo terbentuk suatu imaji politik berwajah ganda yaitu negara yang kuat sebagai konsep geopolitik harus didukung oleh rakyat yang sehat dan sejahtera di dalam negeri. Persis pada titik ini terjadi persambungan antara program pertahanan negara dan janji kesejahteraan dan kesehatan rakyat. Negara yang baik hati terbaca dalam enam program andalan Prabowo-Gibran. Dimulai dari (1) peningkatan produktivitas pertanian, (2) kartu kesejahteraan, (3) kenaikan gaji ASN, (4) Pembangunan desa dan pemberian BLT, sampai pada (5) Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan (6) Makan Siang dan Susu Gratis. Janji terakhir mengundang debat publik terkait sumber anggaran untuk 82,9 juta orang miskin terkategori 74,2 juta anak sekolah, 4,3 juta santri dan 4,4 juta ibu hamil. Alih-alih fokus pada peningkatan kapasitas produktif keluarga miskin, bagi Prabowo-Gibran, strategi pengentasan kemiskinan lintas generasi adalah memberi makan siang kepada seluruh anak Indonesia dan ibu hamil. Dalam pidatonya pada Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, 8 November 2023, Prabowo meyakinkan rakyat Indonesia: “Kita bisa bayangkan Rp 400 triliun-Rp 450 triliun, kira-kira US$ 30 miliar, bukan kita kirim ke luar negeri tapi beredar di desa-desa di kecamatan, kabupaten, bisa hitung multiplier effectnya seperti apa“.[49]       

Bagi Prabowo dan koalisi oligarkisnya, keberpihakan Jokowi adalah keniscayaan politik. Yakni memastikan tampilan elektoralnya menghadirkan suatu spektakel politik antara figurasi simbolik Jokowi standing for the people dan figurasi dirinya Prabowo sebagai place of authority. Rakyat dikonstruksi sebagai communitarian identity, mengkristal pada diri Jokowi yang juga berusaha divisualisasi melalui kehadiran Gibran sebagai cawapres. Sementara Cawe-Cawe Jokowi menjelaskan teknik otoritarian yang diperlukan dan dilakukan dengan kalkulasi matang atas kerentanan dan kekuatan sistem multipartai tanpa orientasi ideologi kepartaian yang berakar dalam basis sosial-ekonomi kemasyarakatan. Berbeda dari artikulasi populis-demokratis Anies dan Mahfud, antagonisme politik yang dibayangkan Prabowo dialamatkan pada dua figurasi musuh yaitu pertama kekuatan asing yg berusaha menjajah ekonomi nasional dan kedua kelompok warga negara yang tidak mendukung keberlanjutan proyek-proyek strategis nasional. Senada dengan pandangan Luhut, Bahlil dan komplotan oligarkisnya, Prabowo menilai protes rakyat terdampak sebagai ‘antek-antek asing’. Mengutip perkataannya sendiri: “saya curiga mereka yg menentang PSN adalah antek-antek asing”.[50] Singkatnya, diskursus Keberlanjutan diartikulasikan melalui kombinasi Jokowi sebagai simbolisasi ‘rakyat’ dan Prabowo sebagai ‘otorisasi negara’, hadir sebagai antitesis demokrasi, dalam formulasi ekstrim dari negara, oleh negara dan untuk negara.

Penutup

Pembahasan tentang dua artikulasi populis di atas sejatinya menyingkapkan kontestasi dua logik politik populis selama Pilpres 2023-2024. Kontestasi ini membawa konsekuensi serius terhadap demokrasi dan tata-kelola pembangunan ekonomi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran 2024-2029. Artikulasi populis Anies dan Mahfud dalam diskursus Perubahan adalah penyimpul dari representasi antara warga negara kolektif dan perwakilan politiknya—capres dan cawapres. Mengikuti Laclau dan Mouffe, konstruksi rakyat dan pemimpin terbentuk dalam relasi yang ambigu, saling koreksi dan saling meneguhkan dalam ruang kekuasaan yang harus selalu diandaikan kosong dan tak pernah stabil. Arus gerakan perubahan terbukti mempengaruhi perilaku partai politik dan menimbulkan kerentanan dalam konsolidasi oligarki berpusat pada kabinet presidensial. Sementara itu, politik populis Prabowo-Jokowi terbukti tergelincir ke dalam otoritarianisme dan totalitarianisme. Relasi-representasi antara Prabowo dan rakyat dipersingkat menjadi relasi antara Prabowo dan Jokowi semata. Ketidakstabilan relasi antara Prabowo dan rakyat yang membuatnya hadir dalam panggung politik Pilpres satu dekade harus distabilkan dengan transaksi simbolis dan perilaku otoritarian Jokowi.

Pernyataan Prabowo bahwa demokrasi itu mahal melelahkan meringkaskan artikulasi populis-otoritarian dari diskursus Keberlanjutan. Mengutip kata-kata calon presiden terpilih: “Izinkan saya membuktikan, bersaksi bahwa demokrasi itu sungguh sangat-sangat melelahkan. Demokrasi itu sangat-sangat berantakan, demokrasi itu sangat-sangat memakan biaya”.[51] Demokrasi menjadi mahal tidak saja karena pencurian uang negara dengan berbagai cara untuk membiaya teknik otoritarian tetapi juga suatu pengakuan tersurat tentang keterpaksaan Jokowi-Prabowo-Luhut merusak sistem bernegara khususnya infrastruktur dan mekanisme Trias Politica untuk melanjutkan agenda oligarki nasional. Sebaliknya,  refleksi Anies Baswedan menjadi salah satu tolok ukur menilai kemenangan demokrasi substansial dalam Pilpres kali ini. Bahwa demokrasi tidak semata hasil akhir atau jumlah suara yang bisa dimanipulasi tetapi terpenting suatu proses belajar kembali sebagai warga negara yang sungguh-sungguh menghendaki perubahan kebijakan. Menyitir kata-katanya sendiri tentang Forum Desak Anies: “Saya bangga betul, saya terharu betul, semua rebutan mau menyampaikan sesuatu, saya akan berusaha meneruskan (forum ini)..karena itu bagian dari usaha kita membangun iklim dialog, iklim demokrasi di Indonesia.. Sepanjang usia republik sepanjang itu pula perjuangan kita membuat indonesia lebih baik”.[52] Senada dengan pesan politik Mahfud MD, Anies dan gerakan masyarakat sipil berkomitmen mengawal praktek berdemokrasi melalui tiga isu penting yaitu (1) ruang oposisi (2) trias politica dan (3) kebebasan berpendapat.

Studi ini kemudian membawa konsekuensi keilmuan tersendiri. Yakni diperlukan kajian demokrasi dan studi populisme yang lebih memberi perhatian pada peluang dan tantangan gerakan counter-hegemoni untuk periode 2024-2029. Studi demokrasi diharapkan memeriksa dan membahas kontradiksi struktural, kerentanan institusional dan paradoks supremasi elit yang diintegrasikan ke dalam perumusan masalah, strategi dan taktik bagi konsolidasi gerakan counter hegemoni masyarakat sipil. Studi populisme dapat dihubungkan kembali dengan tradisi studi politik transformasi (transformative politics) dalam wacana negara kesejahteraan[53] dan tradisi studi politik kelas (labor politics)[54] yang sudah muncul selama satu dekade terakhir dalam khasanah kajian demokrasi Indonesia bersamaan dengan refleksi atas tarik menarik antara demokrasi dan oligarki.[55] Reorientasi kajian sangat penting agar terjadi perimbangan antara orientasi studi pada gejala politik hegemoni atau otoritarianisme-totalitarianisme dan orientasi studi pada politik counter-hegemoni atau gerakan perubahan khususnya blok-blok gerakan perubahan yang terkonsolidasi ke dalam masyarakat sipil terkonsolidasi dan terorganisir. Dengan itu pula kajian tentang politik kewarganegaraan terhubungkan dengan kajian tentang gerakan masyarakat sipil dan kajian reformasi partai politik yang sangat dibutuhkan demokrasi Indonesia pasca Pilpres 2024.


[1]Titi Rosmasari, “Jokowi Cawe-cawe Politik Demi Negara: Masa Tidak Boleh?” dalam cnnindonesia.com, 30 Mei 2023, atau https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230530063731-617-955543/jokowi-cawe-cawe-politik-demi-negara-masa-tidak-boleh (diakses 2 Februari 2024).

[2]Pierre Ostiguy, F. Panizza, dan B. Moffitt (eds.), Populism in Global Perspective: A Performative and Discursive Approach (New York: Routledge, 2021); juga Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000). 

[3]Cornelis Lay dan Pratikno, “From Populism to Democratic Politic: Problems and Challenges in Solo, Indonesia” dalam Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Democratization in the Global South (London: Palgrave Macmillan, 2013), hal. 254-276.

[4]Vedi R. Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (Cambridge: Cambridge University Press, 2016). Vedi R. Hadiz 2018. “Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism for Right-Wing Politics in Indonesia”, dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 48, No.4, 2018: 566-583

[5] Lihat, Frans Djalong 2019, “Populisme dan Demokrasi: Tantangan Politik Indonesia Pasca Pemilu 2019”, dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Edisi 29, 2019, hal. 43-53; Luqman-nul Hakim, Islamism and the Question for Hegemony in Indonesia (Singapore: Palgrave MacMillan, 2023); Hasnan Bachtiar, “Indonesian Islamist Populism and Anies Baswedan”, dalam Populism & Politics (P&P). European Center for Populism Studies (ECPS). October 9, 2023 atau https://doi.org/10.55271/pp0025; lihat juga, Marcus Mietzner, “Sources off Resistance to Democratic Decline: Indonesian Civil Society and Its Trials”, dalam Democratization, Vol. 28, No.1, 2020, hal. 161-178; David M. Bourchier, “Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia: From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism”, dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 49, No. 5, 2019, hal. 713-733; Michael Hatherell dan Alistair Welsh, “Populism and the Risks of Conceptual Overreach: A Case Study from Indonesia”, dalam Representation, Vol. 56, No. 1, 2019, hal. 53-69.  

[6]Arie Sujito, “Pancasila dan Politik Emansipasi: Problematisasi Politik Identitas Menuju Pemilu 2024”, dalam Jurnal Pancasila, Vol.3, No.2, 2022, hal. 13 – 32.

[7]Luqman-nul Hakim, “Politisasi Islam, Depolitisasi Demokrasi: Islam Politik dan Multikulturalisme Pasca-Orde Baru”, dalam Prisma, Vol. 39, No.1, 2020, hal. 3-14.

[8]Rachael Diprose, Dace McRae dan Vedi Hadiz, “Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn”, dalam  Journal of Contemporary Asia, Vol. 49, No.5, 2019, hal. 691-712; juga, Marcus Mietzner, “Sources of Resistance to Democratic Decline: Indonesian Civil Society And Its Trials”, dalam Democratization, Vol. 28 No.1, 2020;  Marcus Mietzner, “Authoritarian Innovations in Indonesia: Electoral Narrowing, Identity Politics and Executive Illiberalism”, dalam Democratization, Vol. 27, No.6, 2019; juga Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (London: Cornell University Press, 2019); Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 54, No. 3, 2018, hal. 307-338.

[9]Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005) hal. 117-124; Chantal Mouffe, For A Left Populism (London: Verso, 2018).

[10]Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and The Politics of Resentment (New York: Farrar, Straus and Giroux Publishing, 2018); Ivor Crewe dan David Sanders (eds.), Authoritarian Populism and Liberal Democracy (Switzerland: Palgrave MacMillan, 2020).

[11]Ernesto Laclau, On Populist Reason, op.cit., 83-116.

[12]Benyamin Arditi, “Populism as an Integral Periphery of Democratic Politics”, Panizza Francisco, dalam Populism and the Mirror of Democracy (London: Verso, 2005), hal. 72-98.

[13]Ernesto Laclau, “Discourse”, dalam David Howard (ed.), Ernesto Laclau: Post-Marxism, Populism and Critique (London: Routledge, 2007), hal. 541-546; juga Francisco Pianizza dan Yannis Stavrakakis, “Populism, Hegemony….”, dalam Pierre Ostiguy, Francisco Panizza, dan B. Moffitt (eds.), Loc.cit; 21-70.

[14]Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy (London: Verso, 1985), hal. 105.

[15]Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), hal 5-16; Chantal Mouffe, For A Left Populism. London: Verso, 2018).

[16]Frans Djalong dan Luqman-nul Hakim, “Ekonomi-Politik Pandemi di Indonesia: Teknokrasi Bencana dan Dislokasi Konflik Politik”, dalam Luqman-nul Hakim, Frans Djalong, dan Mohtar Masoed (eds.), Pandemi, Konflik, Transformasi Sosial: Tantangan Demokrasi dan Inklusi Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2022), hal. 53-81.

[17] Nadia Gissma Kusumawardhani, “Reproduksi Eksklusi Lahan: Kesepakatan Lahan Megaproyek Ibu Kota Negara”, dalam Prisma, Vol. 42, No. 2, 2023, hal 113-124.

[18]Frans Djalong dan Luqman-nul Hakim, 2022, Loc.cit; hal. 234-255.

[19]“Luhut Minta Orang di Luar Pemerintah Jangan Banyak Omong”, dalam cnnindonesia.com, 25 Maret 2023 atau https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230326125553-20-929461/luhut-minta-orang-di-luar-pemerintah-jangan-banyak-omong (diakses 4 Februari 2024).

[20]Paul K. Gellert, “Neoliberalism and Altered State Developmentalism In the Twenty-First Century Extractive Regime of Indonesia”, dalam Globalizations, Vol 16, No. 6, 2019, hal. 894-918, atau https://doi.org/10.1080/14747731.2018.1560189; juga Eve Warburton, “A New Developmentalism in Indonesia?”, dalam Journal of Southeast Asian Economies, Vol. 35, No.3, 2018, hal. 355-368. Doi:10.1355/ae35-3c.

[21]Nina Susilo, “Presiden Jokowi Kembali Tekankan Keberlanjutan dan Kepemimpinan Kuat”, dalam Kompas.id, 15 Juni 2023, atau https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/06/15/presiden-jokowi-kembali-tekankan-keberlanjutan-dan-kepemimpinan-kuat (diakses 8 Februari 2024).

[22]Eko Ari Wibowo, “Bahlil Lahadalia soal Wacana Presiden 3 Periode: Itu Salah Saya”, dalam Tempo.co, 28 Oktober 2023, atau https://nasional.tempo.co/read/1789823/bahlil-lahadalia-soal-wacana-presiden-3-periode-itu-salah-saya (diakses 9 Februari 2024).

[23]Firda Cynthia Anggrainy, “Prabowo Ungkap Alasan Nama Koalisi Indonesia Maju: Kita Klubnya Jokowi”, dalam detik.com, 17 Desember 2023, atau https://news.detik.com/pemilu/d-7094808/prabowo-ungkap-alasan-nama-koalisi-indonesia-maju-kita-klubnya-jokowi (diakses 2 Februari 2024).

[24]“Anies soal Usul Ganti Nama Koalisi: Perubahan itu Aspirasi Masyarakat”, dalam cnnindonesia.com, 9 September 2023, atau https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230909194429-617-996952/anies-soal-usul-ganti-nama-koalisi-perubahan-itu-aspirasi-masyarakat (diakses 20 Januari 2024).

[25]“Anis Matta Akui Gelora Lahir karena Konflik Internal PKS”, dalam cnnindonesia.com, 10 November 2019, atau https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191110171314-32-447092/anis-matta-akui-gelora-lahir-karena-konflik-internal-pks  (akses 25 April 2024)

[26]Rosseno Aji Nugroho, “Sederet Kritik Keras Tom Lembong ke Jokowi: IKN Sampai Nikel!”, dalam cnbcindonesia.com, 23 Januari 2024, atau https://www.cnbcindonesia.com/news/20240123114748-4-508238/sederet-kritik-keras-tom-lembong-ke-jokowi-ikn-sampai-nikel (diakses 27 Januari 2024).

[27]“Delapan parpol DPR minta MK tetap terapkan sistem proporsional terbuka”, dalam Antaranews.com, 30 Mei 2023, atau https://www.antaranews.com/berita/3564210/delapan-parpol-dpr-minta-mk-tetap-terapkan-sistem-proporsional-terbuka (diakses 7 Januari 2024).

[28]Surya D. A. Siamnjuntak, “Anies Baswedan Ingin Ubah 3 Paradigma Kepemimpinan Era Jokowi”, dalam, Solopos.com, 9 November 2023, atau https://news.solopos.com/anies-baswedan-ingin-ubah-3-paradigma-kepemimpinan-era-jokowi-1790404 (diakses 1 Januari 2024).

[29]Mohamad F. Daeng, “Anies Baswedan: Indonesia Jangan Sampai Jadi Negara Kekuasaan”, dalam Kompas.id, 23 Januari 2024, atau https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/23/anies-baswedan-indonesia-jangan-sampai-jadi-negara-kekuasaan (diakses 27 Januari 2024).

[30]Nicholas R. Aditya, “Mahfud: Kita Tabrak dan Seruduk Semua Penghalang yang Sebabkan Kegelapan Demokrasi”, dalam Kompas.com, 10 Februari 2024, atau https://nasional.kompas.com/read/2024/02/10/20104331/mahfud-kita-tabrak-dan-seruduk-semua-penghalang-yang-sebabkan-kegelapan (diakses 20 Februari 2024).

[31]Kurniawan Eka Mulyana, “Anies: Geser Paradigma, dari Selesaikan Proyek Pemerintah jadi Selesaikan Masalah Warga”, dalam Kompas.tv, 9 November 2023, atau https://www.kompas.tv/nasional/459325/anies-geser-paradigma-dari-selesaikan-proyek-pemerintah-jadi-selesaikan-masalah-warga (diakses 8 Februari 2024).

[32]Singgih Wiryono, “Cak Imin: Revolusi Mental Gagal, Kami Kasih Istilah Lebih Mudah, Slepet!”, dalam Kompas.com, 24 Desember 2023, atau https://nasional.kompas.com/read/2023/12/24/20383531/cak-imin-revolusi-mental-gagal-kami-kasih-istilah-lebih-mudah-slepet (diakses 8 Februari 2024).

[33]Irfan Kamil dan Bagus Santosa, “Prabowo: Kita Mau Berkuasa, tapi Seizin Rakyat Indonesia”, dalam Kompas.com, 9 Juli 2023, atau https://nasional.kompas.com/read/2023/07/09/19405751/prabowo-kita-mau-berkuasa-tapi-seizin-rakyat-indonesia (diakses 8 Februari 2024).

[34]“Prabowo Dorong Indonesia Lakukan Pembangunan yang Berkelanjutan”, dalam cnnindonesia.com, 1 Februari 2024, atau https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240201150111-633-1057232/prabowo-dorong-indonesia-lakukan-pembangunan-yang-berkelanjutan (diakses 8 Februari 2024).

[35]Regina Rukmorini, “Anies Baswedan: Jadilah Pemilih Rasional”, dalam Kompas.id, 23 Januari 2024, atau https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/01/23/anies-baswedan-jadilah-pemimpin-rasional?open_from=Search_Result_Page (diakses 8 Februari 2024).

[36]“Dialog Anies Baswedan Bersama KADIN: Menuju Indonesia Emas 2045”, dalam TV One, 11 Januari 2024, atau https://www.youtube.com/watch?v=3ps4K3o-woQ (diakses 8 Februari 2024).

[37]“Prabowo: Saya Enggak Malu Banyak Belajar dari Pak Jokowi”, dalam cnnindonesia.com, 8 Agustus 2023, atau https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230808001044-617-983152/prabowo-saya-enggak-malu-banyak-belajar-dari-pak-jokowi (diakses 8 Februari 2024).

[38]Rebecca Ratcliffe, “From military leader to ‘harmless grandpa’: the rebranding of Indonesia’s Prabowo”, dalam Theguardian.com, 9 Januari 2024, atau https://www.theguardian.com/world/2024/jan/09/indonesia-election-prabowo-subianto-rebranding-kidnapping-accusations (diakses 8 Februari 2024).

[39]Fitria C. Farisa, “Prabowo: Saya Menyatu dengan Pak Jokowi Bukan karena Bekas Saingan, tapi Satu Visi”, dalam Kompas.com, 5 Januari 2024, atau https://nasional.kompas.com/read/2024/01/05/12235191/prabowo-saya-menyatu-dengan-pak-jokowi-bukan-karena-bekas-saingan-tapi-satu (diakses 8 Februari 2024).

[40]Hanna Fenichel Pitkin, The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967), hal. 109; Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), hal. 157-160.

[41]Ervan Tou, “Desak Anies Membumikan Demokrasi”, dalam Mediaindonesia.com, 15 Januari 2024, atau https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/644284/desak-anies-membumikan-demokrasi (diakses 20 Maret 2024).

[42]Denty Piawai Nastite, “Tabrak, Prof!”, Forum Buka-bukaan Politik dan Hukum yang Riuh dan Apa Adanya”, dalam Kompas.id, 15 Januari 2024, atau https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/15/tabrak-prof-forum-buka-bukaan-politik-dan-hukum-yang-riuh-dan-apa-adanya (diakses 8 Februari 2024).

[43]Fachri Audhia Hafiez, “Anies akan Ubah Paradigma Geopolitik”, dalam Mediaindonesia.com, 2 Januari 2024, atau https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/641351/anies-akan-ubah-paradigma-geopolitik (diakses 8 Februari 2024).

[44]“Anies Ingin Kesadaran Kolektif Warga Indonesia sebagai Warga Dunia”, dalam Antaranews.com, 8 November 2023, atau https://www.antaranews.com/berita/3813888/anies-ingin-kesadaran-kolektif-warga-indonesia-sebagai-warga-dunia (diakses 8 Februari 2024).

[45]“Prabowo Subianto Talks about Foreign Policy Strategy at the CSIS Forum”, dalam Kompas TV, 13 November 2023, atau https://www.youtube.com/watch?v=sfweg9os_GI (diakses 8 Februari 2024).

[46]“Prabowo Kumpulkan Para Pemimpin dan Purnawirawan TNI, Bahas Geopolitik Global”, dalam Kompas.com, 2 November 2023, atau https://nasional.kompas.com/read/2023/11/02/16070501/prabowo-kumpulkan-para-pemimpin-dan-purnawirawan-tni-bahas-geopolitik-global?page=a (diakses 8 Februari 2024).

[47]Lisa Sixmansyah, “Luhut Binsar Pandjaitan: Saya Berharap Guru Besar Lebih Arif”, dalam Kompas.tv, 10 Februari 2024, atau https://www.kompas.tv/talkshow/484279/luhut-binsar-pandjaitan-saya-berharap-guru-besar-lebih-arif-rosi  (diakses 14 Februari 2024).

[48]Ardito Ramadhan dan Krisiandi, “Di Depan Mahasiswa, Bahlil: Begitu Kalian jadi Pejabat, Mungkin Lebih Jahat dari Saya”, dalam Kompas.com, 23 Desember 2023, atau https://nasional.kompas.com/read/2023/12/23/18222281/di-depan-mahasiswa-bahlil-begitu-kalian-jadi-pejabat-mungkin-lebih-jahat (diakses 8 Februari 2024).

[49]Tasya Natalia, “Prabowo Janjikan Makan Siang Gratis, Begini Hitungan Biayanya”, dalam Cnbcindonesia.com, 10 November 2023, atau  https://www.cnbcindonesia.com/research/20231110145914-128-488093/prabowo-janjikan-makan-siang-gratis-begini-hitungan-biayanya (diakses 8 Februari 2024).

[50]“Prabowo Sebut Orang yang Tolak Food Estate Antek-antek Asing”, dalam Kompas TV, 30 Januari 2024, atau https://www.youtube.com/watch?v=W0fd7SAm_xw&t=23s (diakses 8 Februari 2024).

[51]“Prabowo Sebut Demokrasi Sangat Melelahkan, Disorot Lagi oleh Media Asing”, dalam Tempo.co, 5 Maret 2024, atau https://dunia.tempo.co/read/1841202/prabowo-sebut-demokrasi-sangat-melelahkan-disorot-lagi-oleh-media-asing (diakses 10 Maret 2024).

[52]“Special Dialogue-Anies Belum Habis”, dalam Metro TV, 27 April 2024, atau https://www.youtube.com/watch?v=-JA9Id2PfKo (diakses 8 Mei 2024).

[53]Lihat, “Negara, Kesejahteraan & Demokrasi”, dalam Prisma, Vol. 36, No.1, 2017. Lihat juga, Christian Stokke and Olle Tornquist (eds.), Democratization in Global South: The Importance of Transformative Politics (London: Palgrave MacMillan, 2013)

[54]Lihat, “Negara & Kapital dalam Konflik Agraria”, dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019; Lihat juga, Teri L. Caraway dan Michele Ford, Labor and Politics in Indonesia (Cambridge: Cambridge Unversity Press, 2020).

[55]Lihat, “Dua Puluh Lima Tahun Reformasi: Oligarki dalam Demokrasi”, dalam Prisma, Vol. 42, No. 2, 2023.