Pandemi covid 19 mendadak mengingatkan kita tentang hubungan tak terpisahkan antara kehidupan dan kematian dalam politik dunia. Pengalaman pertarungan antar-kekuatan dunia lintas periode, tidak bisa menyembunyikan muslihat perang atas kehidupan manusia, atas nama ras, ideologi dan agama. Bahwa tubuh kita sedang dipertaruhkan di atas papan catur geopolitik dunia.
Kendati demikian, pengalaman geopolitik 10 tahun terakhir, pelan tapi pasti, mendorong pembacaan yang berbeda terhadap pandemi kali ini. Karena kita tidak mau mengulangi lagi keterlambatan kita memahami muslihat Global War on Terrorism yang telah membunuh jutaan manusia, meninggalkan luka dan dendam di antara sesama umat beragama dan membuat sebagian penduduk Timur Tengah meninggalkan rumah, tanah kelahirannya, tanpa kepastian kapan kembali dan berdamai dengan masa lalu berdarah. Dari ingatan yang telat tiba itu, kita akhirnya menjejaki kematian akibat pandemi Covid 19 sebagai persoalan kemanusiaan dalam kekejaman geopolitik.
Mata kita pun tertuju ke pandemi Amerika Serikat yang hari ini telah membunuh 62.800 jiwa (2/5). Kematian masal ini berlangsung dalam kemelut politik global yang mendera negera ini dalam tiga tahun terakhir dan melukai dunia selama lebih dari dua dekade. Kematian sudah pasti berkaitan dengan masalah penanganan covid, tetapi pandemi dan statistik angka kematian menjadi bahan seteru, isu utama pertarungan yang menentukan stabilitas politik dalam negeri dan masa depan geopolitik dunia yang multipolar, bersama China dan Rusia, di Asia dan Eropa.
Nasionalis Neoliberal dan Globalis Neoliberal AS 2020, Source Fine Art America
Pandemi covid 19 tak lain adalah duel hidup-mati antara Donald Trump dan kelompok globalis, menuju pilpres November 2020 dan masa depan dua ideologi politik dunia. Donald Trump mewakili nasionalisme ekonomi, atau kekuatan politik baru yang disebut populis, di Amerika dan Eropa seperti Spanyol, Italia dan Inggris. Sementara lawannya, kekuatan globalis, adalah kombinasi sejumlah kelompok kepentingan antara lain korporasi transnasional, bisnis keamanan, bisnis kesehatan, bisnis pangan dan teknologi-informasi, yang terbentuk sejak periode unipolar di bawah kendali Bill Clinton sampai Barack Obama.
Terpilihnya Trump tahun 2016 adalah kecelakaan sejarah bagi kekuatan globalis, panik dan tak percaya bahwa Washington tak lagi di bawah kendali mereka. Kita kembali teringat pidato pelantikan Presiden Trump dari atas podium, dikelilingi separuhnya keluarga dan politisi republikan dan separuhnya lagi perwakilan kekuatan globalis khususnya Barack Obama, Hillary yang kalah, dan Pelosi ketua senat yang murka. Salah satu bagian pidatonya berisi pernyataan yang mencekik leher globalis, “sejak hari ini dan seterusnya, rakyat Amerika kembali duduk di Gedung Putih”. Bagian ini sering terlupakan, tak sengaja atau sengaja oleh media globalis, tetapi sebetulnya sangat penting untuk memahami seteru politik dalam negeri dan geopolitik dunia, sejak hari pertarungan dua ideologi itu dimulai.
Tiga tahun menuju pandemi 2020, berisi silih berganti terobosan berani untuk menjatuhkan Trump yang keras kepala. Upaya itu semakin gencar dan terorganisir dan mudah ditebak, menyusul pengaruh populisme Trump terhadap populisme Brexit di Inggris 2017 dan sejumlah negara Eropa. Perang dagang yang makin keras dengan China secara langsung mengganggu kepentingan integrasi bisnis globalis di berbagai kawasan, mengingat China sebagai simpul terpenting dalam rantai ekonomi global.
Demikianlah kita dapat meringkas pertarungan Trump dan kekuatan globalis ke dalam 3 jenis langkah beresiko di atas papan catur geopolitik Amerika dan politik dunia, khususnya terhadap China, Rusia, Iran, Venezuela, Israel dan Inggris dan negara-negara utama Uni Eropa. Dari ketiga langkah atau jurus itu, tentu langkah ketiga, langkah terakhir, berlangsung melalui virus corona dan taruhan angka atau rating kematian, untuk memastikan siapa yang harus terkubur di bulan November, Trump atau Biden, populis atau globalis.
Langkah pertama, adalah berusaha menjatuhkan kepercayaan publik Amerika dan dunia terhadap populisme Trump dengan menyerang kabinet dan tim penasihatnya. Isu yang dimainkan adalah dugaan campur tangan rusia dalam pilpres yang menyingkirkan ratu globalis, Hillary, isteri Bill Clinton, mantan sekretaris negara Obama periode pertama sebelum digantikan John Kerry. Upaya ini dilakukan secara sistematis sejak awal pemerintah Trump. Di atas papan catur, satu per satu benteng, perwira, kuda dan bahkan perdana menteri dikunci dan dimatikan.
Russiagate, demikian skandal rekayasa ini disebut, menjatuhkan Rex Tillerson, sekretaris negara pertama Trump sebelum digantikan Mike Pompeo. Kedekatannya dengan Putin, semasa menjabat ketua CEO Exxon Mobile yang beroperasi di Rusia, dinarasikan sebagai bagian dari boneka Putin di Gedung Putih. Selain Tillerson, Jenderal Michael Flynn, penasihat keamanan Trump, dikabarkan media globalis setiap hari, sebagai jenderal yang menjual rahasia AS ke Kremlin. Pasalnya, pernah diundang media RussiaToday News, duduk berdampingan dengan Putin di Kremlin. Termasuk yang harus dikurbankan trump adalah Steve Bannon, ketua tim pemenangan yang kemudian keliling Eropa dan dunia mendukung gerakan populis.
Konsekuensi russiagate sangat serius bagi pemerintahan Trump. Untuk memastikan bahwa dirinya bukan anteknya Putin, Trump memberi sanksi ekonomi ke Rusia tapi tidak berupa ancaman kebijakan militer. Usir mengusir diplomat pernah terjadi, merespon galaknya serangan globalis melalui partai Demokrat di Kongres. Demikian juga eskalasi hubungan dengan Iran rutin dilakukan untuk mengakomodasi sentimen anti Iran dari AIPAC, kelompok globalis pragmatis, yang menjadi corong Netanyahu di Washington. Jared Kushner, anak mantu Trump yang Yahudi itu, lalu tampil untuk urusan diplomasi AS dengan Tel Aviv dan Riyadh. Trump, yang menang pilpres karena anti-perang itu, tersandera dan terpaksa membawa AS kembali ke bisnis keamanan dan militer.
Langkah kedua, berupa serangan langsung ke sang presiden dengan jurus konstitusi. Upaya pemaksulan, skak mati, terhadap Trump dimulai tahun 2019, menempuh proses berbelit-belit, dan pada akhirnya semakin menyingkap skandal Joe Biden salah gunakan jabatan sebagai wakil presiden, tahun 2015-2016. Dua tuduhan, tak sambung, tetapi tetap dipaksakan. Tuduhan pertama, tuduhan awal, Trump berkomplot dengan Putin. Pada fase ini sayap intelijen globalis di CIA dan FBI berada di garda depan, memberi kesaksian dan analisis yang tak masuk akal tetapi tetap dibahas sebaliknya di media globalis seperti CNN dan MSNBC termasuk New York Times dan Washington Post yang sudah dibeli jeff Bezos, pemilik Amazon.
Tuduhan kedua, Trump salah gunakan jabatan, datang belakangan. Trump dituduh meminta presiden Ukraina baru terpilih, Zelensky, untuk memeriksa anak Joe Biden dalam kasus korupsi di Ukraina. Ternyata tuduhan ini bohong setelah presiden merilis seluruh isi percakapan telpon dgn presiden Ukraina itu. Tetapi tak digubris Nancy Pelosi dan Chuck Schumer yang mengontrol Kongres. Proses tertunda sebulan lalu dnyatakan tak berdasar oleh keputusan akhir senat yang dikuasai partai Republik. Keputusan presiden bebas dari pemaksulan, 5 februari 2020, sebulan sebelum pandemi melanda New York dan kota-kota besar lain.
Sama seperti dilema Trump dalam menghadapi langkah pertama globalis, presiden merespon langkah globalis kedua ini dengan memobilisasi elemen globalis yang pragmatis di sayap militer dan bisnis minyak-energi. Dalam posisi yang tersudut, Trump menaikkan anggaran militer secara fantastis, 738 milyar dolar. Ancaman serangan militer ke Caracas dan Teheran diperkeras, sanksi ekonomi dikunci mati, dan bahkan aset Venezuela di Bank Internasional Inggris dibekukan. Bisnis industri militer harus diprioritaskan terutama karena dalam seteru abadi antara populis dan globalis ini, penentu nasib Trump ada di tangan netralitas militer dan kekompakan partai Republik. Bahkan dalam kesulitan kelola pandemi sejak Maret, Trump tetap membiarkan Mike Pompeo dan militer AS meningkatkan eskalasi di laut Karibia dan selat Hormuz.
Langkah Ketiga, membajak SARS-Cov-2 atau Covid 19. Langkah globalis kali ini sangat rapi dan semakin menyingkapkan pandemi sebagai skenario terakhir menuju November 2020. Setelah percobaan dengan tubuh teroris, GWOT, balik menjadi insentif populisme dalam dan luar negeri, eksperimen berskala global ini dipusatkan di rumah sendiri, sebagaimana 9/11 2001, mengorbankan 3000 jiwa, sebagian besar warga AS sendiri. Lokasi teror tetap sama, Kota New York, pusat kendali kekuatan globalis di muka bumi, sekaligus kota markas PBB termasuk WHO.
Trump yang sebulan sebelumnya berhasil menghindar dari sergapan pemaksulan, berhadapan lagi dengan ujian baru. Tapi kali ini, tidak dengan teror kudeta atau konstitusi melainkan tubuh manusia, warga negaranya sbediri, yang harus dia selamatkan. Kuncian globalis kali ini lebih sempurna, termasuk mengontrol seluruh sistem kerja dan aparatus dunia kesehatan di dalam negeri dan WHO. Demikian halnya, tentakel media globalis di seluruh dunia dengan gencarnya, setiap hari, membentuk opini publik dunia dan pemerintahan.
Donald Trump dan Anthony Fauci proksi globalis neoliberal, Source Washington Post
Skenario pandemi menghajar Trump dan populisme bisa terdeteksi dengan sejumlah cara berikut. Pertama, memasang Dr Fauci sebagai corong medis globalis di dalam satuan tugas atasi pandemi. Ditunjuk sebagai kepala satgas, pakar globalis ini terus mendorong Trump untuk memberlakukan dan memperpanjang lockdown. Angka mati karena terpapar terus meningkat tajam dan dipersepsikan sebagai resiko abai terhadap protokol pencegahan isolasi dan lockdown. Debat dan kritik dari pakar epidemologi dan biomedis lainnya dihilangkan dari ruang publik oleh media globalis secara serempak dan rutin.
Hadirnya Fauci di Gedung Putih adalah untuk mempermalukan trump yang dipersepsi tidak ilmiah dan hanya fokus pada pemilihan ekonomi dan bukan cegah pandemi. Berkali-kali pakar ini meralat Trump di depan media dan belakangan dibajak CNN dan MSNBC untuk menyerang sang Presiden. Sebagaimana diketahui, Fauci adalah orang dekat Bill Gates dan Hillary Clinton, yang dipromosikan sebagai pakar terbaik AS sejak masa Obama.
Kedua, propaganda lockdown sebagai solusi satu-satunya. Selain Fauci, pakar medis dan epidemologi, yang berafiliasi dengan Bill Gates, dikerahkan untuk membentuk persepsi publik melalui tentakel media globalis anti-Trump yang sudah tersedia. Lockdown adalah senjata politik globalis yang mematikan terhadap perhitungan ekonomi nasional dalam situasi pandemi. Tidak hanya Coumo, gubernur New York dari Demokrat itu, bertambah gubernur lain dari Republik yang akhirnya menerapkan lockdown ketat atau terbatas. Dengan dukungan protokol WHO yang sudah dibajak Bill Gates, lockdown menjadi pilihan cegah pandemi tanpa debat dan diskusi kepakaran atau evaluasi terhadap hasil lockdown dari segi epidemologi.
Ketiga, mengontrol dan mengendalikan WHO. Sebagai donor terbesar kedua setelah AS, Bill Gates memastikan Dr Tedros, Direktur WHO, memilih isolasi dan lockdown sebagai panduan global cegah pandemi Covid 19. Tujuan kontrol terhadap badan kesehatan Dunia ini bukan ke dalam negeri AS tetapi lebih diarahkan ke negara-negara dan publik dunia. Bahwasanya, vaksin dan anti-viral sedang diproduksi dan jalan terbaik atasi pandemi adalah sanitasi dan isolasi.
Untuk meyakinkan publik dunia dan publik AS, pengalaman lockdown Wuhan dijadikan rujukan atau kisah sukses atasi pandemi. China pun diseret ke dalam seteru globalis dan Trump di AS. Sang presiden terus menyerang China sebagai biang kerok pandemi karena tak jujur sampaikan ke dunia ketika gejala pandemi terdeteksi pertama kali di kota Wuhan. Dengan ini, WHO dijadikan arena seteru antara Trump dan kubu Bill Gates yang didukung China melalui diplomasi kambing hitam.
Keempat, membandingkan dua model kelembagaan kelola pandemi. Taktik ini berlangsung rutin, antara model kelola pandemi Trump yang berorientasi cegah ‘kematian ekonomi’ dan kelola pandemi Coumo beroirientasi cegah ‘kematian biologis’. Tidak hanya anti-Trump, gubernur ini dengan sengaja ditampilkan tentakel media globalis setiap hari. Youtube, misalkan, menayangkan siaran langsung keterangan harian sang gubernur dan selalu menempati urutan teratas dalam tampilan youtube dan google. Popularitas Coumo melalui pandemi ini disesuaikan dengan kebutuhan elektoral demokrat globalis mendapatkan calon wakil presiden bagi Joe Biden yang sudah menyingkirkan Bernie Sanders.
Empat taktik globalis, membajak pandemi Covid 19, menghadirkan ke publik dunia para pemeran kunci dari kekuatan globalis. Dengan kesehatan sebagai pokok perkara geopolitik, maka kita makin paham pergeseran strategi globalis membekap Trump dengan isu tata kelola kesehatan, yang sepenuhnya sudah dikendalikan Bill Gates, Tedros, Coumo dan aktor-aktor kunci di balik kekuatan globalis. Agenda globalis selama 5 tahun di Davos, berakhir dengan tema kesehatan Januari 2020, bukan rahasia lagi. Membuka kotak pandora, membutuhkan krisis kesehatan dunia, untuk mengembalikan kekuatan ini sebagai pengendali, di Gedung Putih.
Eksperimen geopolitik Covid 19 ini tentu membawa sejumlah konsekuensi di dalam negeri dan di dalam hubungan dengan kekuatan multipolar baru. Pertama, proses dan dinamika kelola pandemi ini akan menentukan orientasi politik warga AS. Terbuka kemungkinan makin konsolidasi konstiuensi berbasis parpol, demokrat atau republik, globalis atau populis. Juga terbuka celah debat publik yang rasional dan kritis terkait dua model kelola pandemi dan mengubah preferensi politik pada pilpres mendatang.Termasuk munculnya komunitas warga dengan kesadaran geopolitik dan bisa melampaui dikotomi globalis dan populis dalam wacana politik elektoral.
Kedua, proses dan hasil akhir seteru politik pandemi ini akan berpengaruh terhadap diplomasi geopolitik China, Rusia dan EU menjelang pilpres November 2020. Kerasnya reaksi China terhadap tudingan Trump boleh jadi menunjukkan koalisinya dengan kekuatan globalis demokrat atau semata mempertajam kisruh untuk menjatuhkan reputasi AS sebagai kekuatan geopolitik strategis. Sementara Putin, lagi bersibuk dengan pandemi dalam negeri, tentu mengharapkan Trump yang memenangkan politik pandemi ini karena Trump sejatinya bukan anti-Rusia dibanding kekuatan globalis yang sekian lama terpapar sindrom cold war mentality. Sekaligus memperkuat daya tawar aliansi keamanan dengan China yang rentan mengalami eskalasi konflik militer dengan AS di bawah kendali Trump.
Ketiga, terpenting dari dua sebelumnya, skenario globalis memenangkan simpati publik melampaui basis politik tradisional, akan berpengaruh kembalinya kekuatan ini ke gedung putih, bukan lagi sebagai deep state, negara di dalam negara, tetapi sebagai negara globalis seperti masa unipolar 1992-2016. Di atas semunya, kemenangan demokrat dengan Biden-Coumo akan menghadirkan kontrol penuh kekuatan globalis, membajak kebijakan luar negeri AS, di bidang kesehatan, pangan dan teknologi informasi berskala internasional.
Kendati demikian, skenario kontrol 3 bidang ini tidak mudah dalam arsitektur geopolitik multipolar 2020 dan seterusnya. Jika sebaliknya terjadi, Trump tetap berkuasa, maka populisme akan menjadi kekuatan baru di berbagai negara pasca pilpres dan kubu globalis sekali lagi menguburkan mimpi oligarki non-negara mengontrol Amerika dan dunia. Tapi tidak ditutup kemungkinan, sebanyak apa pun kurban manusia dipertaruhkan, tidak membantu salah satu kubu berkuasa penuh pasca pilpres. Sekaligus menandai akhir petualangan sebuah imperium, menjadi rongsokan sejarah, warisan PD II dan Perang Dingin, seperti Uni Soviet yang berbesar hati mengubah diri, tahun 1991.
Frans Djalong, Postingan Facebook, 3 Mei 2020)
Biden dan Jaringan globalis neoliberal (deep state) 2020-2024