Bab ini bercerita tentang dua wacana hegemonik di Manggarai. Mengapa disebut wacana? Bagaimana kita dapat memastikan keduanya mencapai derajat hegemoni dan bukan dominasi? Uraian dalam bab ini tak lebih dari pengantar menuju ke bab-bab berikutnya. Yang disampaikan adalah konteks historis kemunculan dan dinamika artikulasi dua wacana ini yang kemudian menjadi hegemonik di Manggarai saat ini. Wacana tidak dapat berkembang tanpa institusi, aparatur, aktivitas. Wacana mensyaratkan adanya rutinisasi tindakan dan normalisasi kesadaran. Inilah yang membedakannya dari ideologi. Dalam diskusi tentang ideologi, kita membayangkannya sebagai pemikiran yang sistematis, atau ideologi sebagai sistem berpikir, semacam epistemologi tindakan. Sebaliknya, dalam diskusi tentang wacana, tentu dalam penggunaan Post-Marxist dan Post Foundasionalis, kita memahaminya sebagai semacam totalitas tindakan dan kesadaran, bahwa tindakan dan kesadaran bukan dua domain terpisah atau dapat dipisah secara epistemologis. Wacana ditemukan dalam praktek. Dalam arti, praktik sebagai peristiwa kesadaran. Karena itu, wacana bisa juga disebut praksis ideologi.
Cerita tentang konteks dan dinamika wacana memiliki arti penting dalam studi ini. Kairos dan Developmentalisme bukanlah dua wacana yang sudah ada di Manggarai sebelum kehadiran Gereja Katolik dan Pemerintahan Kabupaten. Keduanya mulai terbentuk dan tergarap bersamaan dengan aktivitas kegerejaan dan kepemerintahan. Kendati demikian, tidaklah berarti keduanya bersarang dan dikendalikan kedua lembaga ini. Sebaliknya, kita hanya bisa memahami keduanya secara retroaktif terutama karena wacana selalu ditemukan, dirumuskan dan dinamakan ketika ia berada di titik terjauh dalam kontinuum sejarah. Kairos dan Developmentalisme ditemukan oleh studi ini ketika memeriksa praktik-praktik patronase saat ini. Karena itu penceritaan kembali konteks sejarah dan dinamika keduanya berarti sekaligus menceritakan bagaimana keduanya terartikulasi melalui lembaga, aparatur, dan aktivitas. Napak tilas ini semata-mata pencarian jejak-jejak keduanya dalam aktivitas manusia Manggarai melalui lembaga dan karyanya.
(1) Manggarai: Demografi dan Geografi
Bab ini merupakan pengantar singkat tentang Manggarai: geografi dan demografi dalam mana patronase berkembang biak dalam kuasa dua wacana. Menggunakan Analisis Wacana, studi ini bertemu dengan sebuah masalah konseptual: bagaimana menceritakan Manggarai yang adalah hasil bentukan wacana? Dapatkah ia dibicarakan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri di luar politik wacana? Menghadapi dua pertanyaan dasar ini, penulis dipaksa menghadirkan Manggarai melalui problematisasi ketimbang deskripsi. Strategi ini harus ditempuh, yakni, bercerita sambil mempertanyakan cerita itu. Sebagaimana ditemukan dalam studi ini, manusia Manggarai dan konteksnya hari ini menghidupi kesadaran dan tindakan dalam spektrum patronase. Karena itu, bercerita tentang Manggarai berarti bercerita tentang dirinya sebagai konstruksi Developmentalisme dan Kairos.
‘Data Manggarai’ dalam Kerangka-Kerja Pembangunan
Mari kita tengok data pemerintah kabupaten. Data tentang ‘Manggarai’ dengan indikator budaya, ekonomi dan politik selalu saja ditulis dengan tinta tebal, disusun rapi dalam angka dan kata-kata singkat. Inilah yang dikerjakan pegawai statistik, sebuah pekerjaan yang sebetulnya amat menentukan karena bahan-bahan yang dikumpulkan dari berbagai SKPD itu dijadikan kacamata sang bupati dalam merumuskan program-program kerjanya. Apakah itu data yang obyektif? Sudah tentu sebaliknya. Manggarai dalam Angka, misalnya, menghitung populasi miskin, rumah tangga miskin (RTM), dan drop-out sekolah dasar. Atas dasar perhitungan ini, birokrasi pemerintah meluncurkan program-program untuk mengentaskan masalah ini. Pertanyaan kita adalah bukankah angka-angka itu, kalaupun akurat dan selalu berubah, disebabkan oleh pembangunan itu sendiri?
Di sini, kita sejak awal bertemu dengan totalitarianisme pembangunan dalam pendataan. Data-data yang dirumuskan pemerintah dijadikan data penelitian akademis, data untuk program-program lembaga swadaya, dan tentu saja data yang dipergunakan pemerintah kabupaten untuk mendatangkan dana Dekon, dana Stimulus dan dana-dana lain di luar APBD. Apa artinya? Pendataan adalah salah satu teknik Developmentalisme. Ia memproduksi informasi sekaligus pengetahuan yang di dalamnya obyek-obyek intervensi pembangunan dirumuskan.[1] Hal itu tentu terbaca dengan jelas dalam buku Manggarai dalam Angka.[2] Manusia Manggarai pertama-tama diandaikan sebagai populasi yang dijumlahkan dan dilokalisir dalam wilayah administratif kecamatan dan desa.
(Ilustrasi: kondisi jalan utama di Kecamatan Elar, Manggarai Timur, dokumentasi peneliti)
Pada bagian lain populasi Manggarai ini dikelompokkan ke dalam ‘sektor-sektor’: pertanian, hortikultur, perkebunan, peternakan, perikanan. Pembidangan produksi ini tentu berlaku di semua kabupaten di Indonesia. Yang justru menarik adalah kenyataan bahwa 5 sektor produksi itu dilaporkan tersendiri dan sama sekali tak dihubungkan dengan sektor perdagangan. Sektor Perdagangan diisi dengan hotel, losmen, dan bentuk-bentuk usaha dagang. Di sini kita sedang menyaksikan rumusan pembangunan yang memisahkan kerja-produksi dan distribusi. Kita tidak mendapatkan informasi memadai bagaimana hasil hasil-hasil pertanian berubah menjadi komoditas dalam pasar dan bagaimana pasar jual-beli distatistikkan sehingga kita dapat memastikan pendapatan rata-rata petani kopi, vanili, dan cengkeh.
Studi ini menemukan fakta bahwa terpisahnya informasi produksi dari informasi perdagangan bukanlah kekeliruan teknis dalam kategorisasi. Pemisahan itu adalah cerminan nalar pembangunan yang beroperasi sekian lama dalam birokrasi Manggarai.[3] Pembangunan menargetkan petani sebagai sasaran intervensi, sementara hubungan jual-beli komoditas pertanian menjadi urusan pasar yang tak lain adalah monopoli sejumlah kecil pembeli-distributor di tiga kota kabupaten. Perlakuan serupa dapat dengan mudah kita temukan dalam laporan-laporan Bappeda yang dipresentasikan dalam Musrembang maupun yang sampaikan dalam profil pembangunan tiga pemkab Manggarai. Di situ digembar-gemborkan prestasi birokrasi mengerjakan sejumlah program pemberdayaan, sementara seberapa jauh para petani menjadi kekuatan produksi dalam pasar ekonomi tidaklah tersampaikan. Prestasi kerja birokrasi sama artinya keberhasilannya menuntaskan program sebagai proyek intervensi semata.
Angka-angka barangkali dihitung dengan tepat dan cermat. Akan tetapi, tugasnya tak semata-mata memberikan informasi. Melalui pemeriksaan praktik-praktik aktual ‘pembangunan’ di wilayah ini, menjadi jelas bahwa angka-angka itu menyembunyikan kisah kematian petani sebagai kekuatan produksi. Transformasi para petani ke dalam angka bercerita tentang transformasi mereka yang rutin ke dalam domain kontrol dan intervensi. Birokrasi pembangunan membutuhkan konversi serba murah dan cepat ini terutama karena dengan cara inilah para pemangku kebijakan—para patron politisi dan patron birokrat—dapat bergegas merumuskan rancangan program dan proyek yang dituangkan dalam Rancangan APBD. Bergegas tidak saja dalam arti deadline mengajukan RAPBD, tapi terpenting lagi dalam arti karena hanya dengan cara inilah SKPD dan anggota DPRD kabupaten menemukan alasan lain untuk ‘membangun’ Manggarai.
Ketakjuban mereka dengan angka-angka adalah ketakjuban pada akrobatik politik yang mereka sendiri lakoni. Jarak antara birokrasi-parlemen dan ‘warga negara’ begitu lebarnya dan nyaris tak terisi dengan teknik-teknik perwakilan berbasis kepentingan. Dalam studi ini, ruang kosong itu diramaikan praktek-praktek patronase sebagai teknik perwakilan dalam politik dan distribusi sumber daya publik. Karena itulah angka-angka memiliki makna akrobatik politik dalam arti angka-angka menggantikan pekerjaan perwakilan anggota DPRD. Di dalam angka, para politisi dan birokrat bertemu dengan ‘warga negara’ yang harus diperjuangkan kepentingannya. Di dalam angka itu juga mereka meregistrasi kembali ‘roeng’ atau klien mereka masing-masing. Dengan kata lain, statistik memiliki arti penting dalam pembangunan yang secara konkrit dikelola dengan model patronase. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 5, data-data penduduk dan pekerjaan memberi kontribusi besar bagi keberlanjutan praktik-praktik patronase di Mangarai.
Catatan Lain
Dalam Analisis Wacana, periodisasi, peristiwa dan aktor tetap dianggap penting. Sejarah Manggarai, misalnya, mau tidak mau dibaca berdasarkan catatan dan dokumen Pemerintahan Daerah maupun Keuskupan Ruteng. Masing-masing menuliskan sejarah itu berdasarkan agenda tersendiri sesuai dengan misi kehadiran mereka di wilayah ini. Begitu pula diperhitungkan laporan-laporan penelitian yang sangat terbatas, tetapi menawarkan pembacaan yang berbeda. Misalnya, sejarah manggarai menurut Dami N Toda (1999) telah menimbulkan pro-kontra di kalangan orang-orang Manggarai, terutama para birokrat Gereja dan birokrat Pemkab. Yang berhak berbicara sejarah Manggarai adalah para birokrat dari dua lembaga ini karena dalam pandangan orang-orang Manggarai hari ini, mereka adalah tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam satu sapuan identifikasi. Tak sebanding studi-studi etnologi yang dikerjakan para misionaris Eropa di Manggarai, studi antropologi politik masih amat terbatas selain yang dikerjakan Maribeth Erbb.[4] Karya-karya para penstudi tersebut belum menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan para birokrat terutama karena ditulis dalam bahasa Inggris dan belum diterjemahkan.
Sejarah Manggarai hari ini adalah sejarah wacana, sejarah dalam wacana. Cerita tentang asal-usul orang Manggarai, bahkan cerita tentang bahasa Manggarai itu sendiri, tidak dapat dikeluarkan dari konteks politik kekuasaan yang beroperasi melalui bahasa. Di Manggarai terdapat ragam bahasa daerah berbasis klan. Dalam perkembangannya sampai hari ini bahasa yang lasim dipakai dan dipergunakan sebagian besar orang Manggarai adalah bahasa Manggarai Tengah. Hal ini tak terlepas dari operasi kuasa terutama sejak pembukaan abad ke-20 yang bergerak dari tengah menuju utara, selatan, timur dan barat Manggarai. Ruteng, sekarang ibukota kabupaten induk, dalam rentang waktu 50 tahun belakangan ini menjadi sentrum birokrasi pemerintah dan birokrasi gereja sebelum pemekaran dua kabupaten baru pada masa otonomi daerah. Dalam pengamatan penulis, dengan pemekaran dua kabupaten (Manggarai Barat dan Manggarai Timur) berlangsung pula proses aktivasi bahasa-bahasa daerah yang dipergunakan dalam dua birokrasi pemkab, suatu fenomena yang jarang ditemukan pada masa sebelum pemekaran. Hal ini juga terkait dengan fakta klanisasi birokrasi di mana yang diprioritaskan bekerja di birokrasi pemkab Manggarai Timur adalah para pegawai dan calon PNS yang berasal dari sejumlah klan di wilayah administratif ini. Demikian juga proses serupa terjadi di Kab Manggarai Barat.
Berbeda dari pandangan umum para birokrat dua lembaga di Manggarai, kaum ‘diaspora’ Manggarai di luar pulau Jawa menghidupi imaji lain tentang sejarah dan budaya Manggarai.[5] Mereka membayangkan sejarah manggarai dalam terma kebudayaan. Seakan menolak sejarah Manggarai versi negara pembangunan dan versi gereja keselamatan, sejarah Manggarai diceritakan sebagai rangkaian praktek dan norma adat yang tertib dan bebas dari intervensi wacana. Budaya Manggarai dibayangkan tetap utuh dan selesai dalam sejarah perkembangannya. Dalam frase ‘tanah kuni agu kalo’, tanah tumpah darah, golongan terpelajar ini menghidupkan kembali narasi tentang ‘lingko’, ‘tua golo’, dan ‘tua teno’. Dalam kenyataannya, sistem peradatan ini, kendatipun masih eksis sampai saat ini, mengalami pergeseran sangat fundamental, yakni, berubahnya fungsi kepemilikan tanah dari tanah komunal menjadi tanah pribadi. Selain itu, revitalisasi adat di Manggarai dalam periode otonomi daerah ini terkait erat dengan makin intensifnya praktek patronase politik pembangunan yang mendorong para patron-birokrat dan patron-politisi membangun salah satu basis formasi klien melalui jalur kekerabatan klan.
Etnisitas,Wilayah dan Ekonomi
Manggarai adalah sebuah kawasan di Pulau Flores bagian barat, sebuah wilayah dengan pembatasan yang relatif jelas dilihat dari komposisi etnis, praktek budaya dan agama. Dari catatan dan cerita tentang Manggarai masa lalu, etnis Manggarai terbagi ke dalam sejumlah klan dan otoritas peradakan dengan wilayah kekuasaan masing-masing. Meskipun masing-masing klan (Todo-Pongkor, Cibal, Lambaleda, Bajo, Pong-Welak, Kolang, Lembor, Kempo, dan lain-lain) memiliki bahasa daerah yang khas, masyarakat Manggarai hari ini berbicara dalam bahasa ‘Manggarai Tengah’ (klan Cibal dan klan Todo). Bahasa ini telah menjadi semacam bahasa pemersatu, yang membuat mereka tidak lagi merasa berbeda, terutama dalam hubungan sehari-hari mereka dengan etnis-etnis lain di daratan Flores, Sumba dan Timor. Demikian pula halnya folklor setempat relatif seragam meski ada pembedaan yang menunjukkan kekhasan masing-masing peradakan. Hal ini terlihat jelas dalam keseragaman sastra epos, legenda, silsilah, lagu rakyat, kiasan, peribahasa, teater/sendra tari, upacara adat sampai pada arsitektur rumah tinggal.
(Ilustrasi: Peneliti bersama Masyarakat Adat Colol, Rumah Gendang Adat Colol, dokumentasi peneliti)
Merujuk pada ‘Tombo Nunduk adak Tana’, semacam sejarah lisan asal-muasal etnis Manggarai, ada sejumlah versi dominan, akan tetapi versi-versi itu sepakat bahwa penduduk Manggarai merupakan campuran Etnis Minangkabau, Bima, Goa, dan penduduk ‘asli’ Manggarai. Perhitungan asal-usul ini terhitung sejak perkenalan pertama wilayah ini dengan kekuatan kolonial Goa, Bima dan Belanda pada abad ke-17. Dami Toda, misalnya, mengungkapkan bahwa sejarah etnis Manggarai berjalan bersama sejarah pertemuan wilayah ini dengan kekuatan-kekuatan luar sejak beberapa abad yang silam.[6] Begitu pula perkawinan lintas-klan, dalam suatu proses yang sporadis, telah menghadirkan Manggarai sebagai sebuah etnisitas dalam ragam manifestasi budayanya.
(Ilustrasi: Rumah Adat, Mbaru Gendang, Masyarakat Adat Colol, Dokumentasi Peneliti)
Formasi klan di Manggarai terbentuk bersamaan dengan konstruksi ruang kolonial Kerajaan Gowa dan Bima atas Manggarai yang membagi wilayah ini ke dalam sejumlah Kedaluan—unit teritorial dalam model penguasaan tak langsung (indirect rule). Pada periode kekuasaan Bima-Belanda, Manggarai dibagi ke dalam 38 kedaluan yang dikontrol Raja Manggarai yang berpusat di Ruteng. Di bawah Kedaluan terdapat Gelarang yang membawahi beberapa kampung, dan sekaligus membawahi Tua Golo dan Tua Teno—unit pengorganisasian kolektif terkecil dalam Lingko yang berbasis pada kepemilikan tanah kolektif dalam sebuah kampung. Pemimpin Kedaluan disebut Dalu, sementara yang memimpin Gelarang disebut Gelarang. Sejak terbentuknya Kabupaten Manggarai tahun 1958, Kedaluan tidak berlaku lagi. Akan tetapi, pembentukan kecamatan dan desa pada masa itu dan sesudahnya sebagian besar didasarkan pada garis bata Kedaluan kolonial tersebut.
Saat ini wilayah Manggarai telah terbagi ke dalam 3 kabupaten otonom. Kabupaten Manggarai, dengan Ruteng sebagai Ibukota, terbentuk tahun 1958 mengikuti pembentukan propinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah, dibentuklah kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2003 dengan Labuan Bajo sebagai ibukota. Sementara Kabupaten Manggarai Timur dibentuk tahun 2007 dengan Borong sebagai Ibukota.
Jumlah penduduk Manggarai di 3 kabuputen mencapai lebih dari 700,000 jiwa yang sebagian besarnya bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan Manggarai dalam Angka 2008 (Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggara Timur, minus Kabupaten Manggarai Barat), dari total jumlah penduduk 2 kabupaten tersebut sebanyak 519.868 penduduk tersebar di 12 kecamatan. Terdapat 256.135 ‘angkatan kerja’ yang bekerja menurut mata pencaharian utama seperti pertanian, kehutanan, perikanan, perkebunan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, bangunan, perdagangan besar dan eceran, rumah makan, industri pengolahan, dan sektor pelayanan publik.
Dari seluruh jenis lapangan pekerjaan tersebut, sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perkebunan) merupakan sektor dominan yang memberi penghidupan kepada masyarakat Manggarai di 2 kabupaten. Kurang lebih 201.538 atau 78.68 % dari total angkatan kerja yang mendasarkan kehidupan ekonomi mereka pada sektor pertanian. Sebagain besar dari para petani ini hidup di wilayah pedesaan di luar ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan yang masih terkendala isolasi ruang, keterbatasan transportasi dan infrastruktur jalan raya yang belum memadai untuk mendorong aktivitas pasar pertanian. Lokasi pasar umumnya berada di ibukota kecamatan dan lebih sering terjadi para petani menjual hasil pertanian mereka di Ruteng, ibukota Kab Manggarai.
Meski belum ada laporan penelitian mengenai hubungan produksi dan disribusi hasil-hasil pertanian, studi ini menemukan fakta bahwa pasar hasil bumi dan tanaman perdagangan di 3 wilayah Manggarai berada di bawah kontrol perdagangan oleh para pengusaha Cina yang berpusat di Ruteng. Para petani tanaman perdagangan seperti petani cengkeh, kopi dan fanili, misalnya, harus menempuh jarak yang amat jauh dari desa mereka menuju kota Ruteng untuk menjual komoditas tersebut kepada para pengusaha Cina yang memonopoli perdagangan komoditas unggulan Manggarai tersebut. Peran Pemda sangatlah minimalis untuk memfasilitasi hubungan jual-beli dalam pasar monopoli ini.
Para petani sendiri relatif tidak memiliki asosiasi kepentingan yang dapat membantu mereka menyuarakan kepentingan atau memastikan daya tawar mereka sebagai sebuah kelompok produksi dalam arena pasar tersebut. Dalam bahasa sejumlah staf Disperindag dan Bappeda, “harga pasar adalah bagian dari hukum pasar yang tidak bisa diintervensi birokrasi pemkab.” Persoalan kemiskinan petani Manggarai, dalam pandangan para birokrat ini, tidak ada hubungannnya dengan jual-beli komoditas pertanian. Pasar adalah pasar, dan kekalahan petani dalam transaksi pasar harus dicarikan penjelasannya pada rendahnya mutu komoditas terkait pengolahan pasca panen. Terlepas dari argumen para birokrat ini, studi ini mengamati semakin banyaknya kalangan birokrat di Kota Ruteng menjadi bagian dari monopoli ini, setidaknya keluarga besar mereka ikut ambil bagian dalam sektor ini.
Masyarakat Manggarai adalah masyarakat agraris. Meski dikelilingi lautan di bagian barat, utara dan selatan, masyarakat terus menghidupi tradisi ekonomi pertanian sebagai sumber nafkah dan kesejahteraan. Sektor perikanan lebih banyak dikelola para pendatang yang menghuni wilayah Borong dan Iteng di bagian timur-selatan, Labuan Bajo di bagian Barat dan Reok, Dampek dan Pota di bagian utara wilayah Manggarai. Ada banyak penjelasan yang bisa diberikan tentang dominasi sektor pertanian di Manggarai. Salah satu penjelasan terkait sejarah kekuasaan dan politik tidak lain adalah bahwa sejak awal masa kolonial sampai Orde Baru dan pasca desentralisasi, pertanian dilembagakan sebagai kekhasan ekonomi daerah ini. Meskipun saat ini Labuan Bajo dan Borong merupakan 2 ibukota berlokasi di pesisir pantai tidak dengan sendirinya ikut memobilisasi masyarakat Manggarai untuk menjadikan perikanan-kelautan sebagai salah satu sektor ekonomi andalan. Dalam program-program pembangunan yang digalakkan 3 pemkab Manggarai, perhatian pada sektor ini masih sangat terbatas, dan itupun berkaitan dengan kepentingan pariwisata.
Dibandingkan sektor pertanian, jumlah angkatan kerja yang bekerja di sektor pelayanan publik relatif kecil. Kurang lebih 9.797 orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, atau sekitar 3.82 % dari total angkatan kerja di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Timur. Tak terbantahkan, sektor ini dalam beberapa dekade terakhir merupakan sektor favorit yang berisikan orang-orang Manggarai terdidik, yang sebagian terbesarnya berijazah sekolah menengah atas dan semakin banyak yang berijazah perguruan tinggi dan berasal dari latar belakang keluarga birokrasi. Jumlah kecil ini tentu terkait dengan permintaan dan kebutuhan birokrasi sendiri. Tapi yang menarik adalah bahwa pilihan orang-orang Manggarai terdidik untuk menjadi birokrat tidak terlepas dari faktor diskursif berikut.
Pertama, sejarah kekuasaan di Manggarai mengungkapkan secara gamblang supremasi birokrasi untuk kontrol populasi dan sumber daya. Mulai dari pengesahan Manggarai sebagai sebuah kerajaan dalam perjanjian dengan Belanda ‘Korte Verklaring’ tahun 1929, di bawah sebuah Zelfbestuur di bawah kendali Kontrolir Colhaas pada masa Gubernur Jenderal Van Heutsz sampai pada peralihan menjadi kabupaten tahun 1958, telah berlangsung periode formasi keagenan birokrasi. Kalangan aristokrasi setempat seperti lingkaran keluarga Dalu dan Gelarang tetap mengendalikan estafet keagenan birokrasi. Mereka adalah kelompok pertama yang terdidik bersamaan dengan diperkenalkannya pendidikan modern oleh para misionaris Barat. Keturunan dan kerabat mereka selanjutnya mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan Katolik dan pendidikan nasional yang memungkinkan golongan sosial ini menjadi pegawai negara selama Orde Baru dan pasca Orde Baru.
Kedua, kuatnya cara pandang teknokrasi selama Orde Baru memperdalam kesadaran orang Manggarai tentang kehebatan birokrasi dan tingginya status sosial pegawai negeri. Muncul kecenderungan yang kuat sejak masa itu bahwa menjadi bagian dari negara, sama seperti menjadi bagian dari gereja, berarti menjadi bagian dari pengendalian modernisasi dan perubahan sosial, setidaknya pada tingkat individual dan keluarga besar. Ini pun tidak terbantahkan karena Developmentalisme yang kita kenal dengan sangat baik itu beroperasi dengan prosedur dan mekanisme ‘teknis-manajerial’ antara yang mengontrol dan dikontrol. Negara tampil sebagai pengontrol satu-satunya dan masyarakat adalah obyek yang dikontrol dan diawasi serta kepadanya hendak dikenakan perubahan. Istilah ‘roeng’, yang dalam penggunaannya berarti rakyat jelata, menunjukkan suatu pengakuan akan perbedaan itu. Sementara ‘tuang’ dalah mereka yang bekerja sebagai tukang perintah dan bekerja di kantor.
(Ilustrasi: Salah satu kantor pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, dokumentasi peneliti)
(2) Developmentalisme: Pembangunan Melalui Negara
Kehadiran yang Negara Republik Indonesia menjadi lebih nyata dan terasa dengan dibentuknya Kabupaten Manggarai pada tahun 1958. Manggarai menjadi salah satu kabupaten dalam propinsi Nusa Tenggara Timur yang juga dibentuk pada waktu bersamaan, 15 Desember 1958. Pada tahun-tahun sebelumnya, Flores dan pulau-pulau lain di sekitarnya merupakan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Kecil, yang kemudian menjadi 3 provinsi: Bali, NTT, dan NTB. Karolus Hambur ditetapkan menjadi bupati pertama Kabupaten Manggarai, dengan Ruteng sebagai ibukota. Beliau adalah bagian dari keluaga besar 2 Raja Manggarai sebelumnya, yakni Raja Baruk yang ditetapkan Belanda (1929/31-1945) dan Raja Ngambut (1945-1958). Penetapan ini memperlihatkan bahwa peralihan kekuasaan administratif dari Belanda ke Indonesia dan juga dalam pembentukan Kabupaten Manggarai 1958 tak lain adalah estafet kepemimpinan lingkaran-dalam keluarga kerajaan yang sebetulnya baru saja dibentuk dan diakui Belanda pada awal abad 20.
Pembentukan kabupaten baru ini dalam cara baca kita merupakan pembukaan contact zone di mana negara nasional terlebur bersama negara lokal yang sebelumnya mulai terlembagakan oleh Belanda kolonial. Dan dengan itu dilanjutkan periode formasi hubungan antara aristokrasi lokal dan pemerintahan nasional, semacam kombinasi antara model kekuasaan kolonial dan model kekuasaan negara modern. Pembentukan kabupaten baru ini menandai dimulainya pengartikulasian kembali Manusia Manggarai Kolonial ke dalam spektrum kehidupan negara-bangsa Indonesia. Tentu saja reartikulasi diri dalam konteks yang berubah tidak dengan sendirinya berarti manusia Manggarai menjadi sepenuhnya nasionalis atau de facto menjadi warga negara Indonesia. Tidak pula berarti negara melalui pemerintahan kabupaten sepenuhnya mengontrol dan menentukan tindakan dan kesadaran orang Manggarai tentang dirinya dan dan kesadaran sosial mereka.
Di bawah pemerintahan Karolus Hambur 1958-1967, Manggarai tergerus dalam metanarasi pembangunan negara-bangsa selama pemerintahan Soekarno. Sejak masa ini, penataan kelembagaan pemerintah kabupaten dan program-program pengindonesiaan terhadap orang-orang Manggarai berlangsung secara intensif. Sementara itu, ‘pembangunan’ baru digalakkan pada masa pemerintahan Frans Lega 1968-1978, Frans Dula Burhan 1978-1988, dan Gaspar Ehok 1988-1998. Ini tentu berlangsung dalam konteks ideologisasi pembangunan oleh rejim nasional, Orde Baru, yang mulai mendorong orang Manggarai menggarap pertanian dan perkebunan. Berbagai program diarahkan untuk modernisasi kehidupan masyarakat setempat dengan ambisi yang sangat besar mengubah cara hidup dan alam pikiran masyarakat.
Di kalangan orang-orang Manggarai yang hidup pada masa-masa awal Orde Baru, terkenang dalam ingatan mereka kedisiplinan dan ketegasan sikap kepemimpinan Frans Lega yang memberi perhatian sangat besar pada perubahan sikap dan pola hidup orang Manggarai yang ‘malas’ menjadi ‘rajin’ dan ‘bekerja keras’ untuk peningakatan taraf hidup, kesehatan dan pendidikan. Begitu pula selama masa kepemimpinan Gaspar Ehok dikenal sebagai bupati yang ‘pintar’ dan memberi ‘landasan yang kuat’ bagi pembangunan Manggarai pasca-Orde Baru.[7] Sementara kepemimpinan bupati Anton Bagul Dagur 1999-2005 mendapatkan penilaian yang beragam terkait dengan menguatnya konflik antara ‘negara’ versus ‘Masyarakat’ seperti ditunjukkan dalam kasus berdarah Maret 2004. Bagul Dagur, bupati pada masa Otonomi Daerah ini, dianggap sarat kontroversi terutama terkait tarik-ulur pemekaran kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur yang menjadikannya sebagai antagonisme ‘rakyat’ bagi elit-elit klan dari 2 wilayah yang tidak sabar lagi memiliki kabupaten otonom sendiri.[8]
Proyek besar pembangunan selama Orde Baru dan Post-Orde Baru di Manggarai tidak menggambarkan perbedaan yang substansial dalam dua hal: cara memerintah atau cara membangun di satu sisi, dan norma dan nalar memerintah, nalar membangun di sisi lain. Tak jauh beda dari daerah-daerah lain di Indonesia, dua karakteristik utama proyek pembangunan di Manggarai adalah sebagai berikut. Pertama, ia membuat negara tampak alamiah, seakan-akan niscaya, dan bahkan dibayangkan sebagai telos, gerak lurus menuju Manggarai yang makmur dan beradab. Kedua, proyek besar pembangunan membuat orang Manggarai berpikir bahwa pembangunan bekerja dalam kerangka pengetahuan-teknis dan moral universal. Pembangunan itu ditangani dan digarap oleh kalangan yang berpengetahuan dan berpendidikan karena yang berpengetahuan sama dengan orang yang bermoral. Jadi, moral dan pengetahuan, antara norma dan teknik, adalah dua sisi dari koin pembangunan. Di lain pihak, politik adalah petaka bila disandingkan dengan pembangunan. Pembangunan harus diurus oleh kepintaran dan kebaikan, bukan oleh kepentingan.[9]
Dalam prakteknya, pemerintah kabupaten, selain birokrasi Gereja Katolik, tampil sebagai pelaku utama dalam membentuk ‘Manggarai’. Birokrasi negara ini menggarap manusia di wilayah ini melalui sejumlah pembidangan dalam arti manusia Manggarai, tindakan dan kesadarannya, dinamai dan dikerangkai dalam ekonomi, pendidikan, sosial, politik dan budaya. Melalui rutinisasi keterlibatan orang Manggarai dalam cara berpikir dan cara bekerja versi pemerintah ini, berlangsung pula normalisasi dalam kesadaran bahwa yang tepat dan benar adalah norma dan teknik pembangunan versi negara. Pembangunan kemudian selalu berarti apa yang dilakukan pemerintah kabupaten Manggarai. Di sini pula, dalam rutinisasi dan normalisasi, terbentuk dan terpelihara sebuah garis batas yang selalu dipertegas antara kuasa memerintah dan kesediaan diperintah. Tidak hanya karena dipastikan dalam visi-misi, kebijakan dan program pemkab, tetapi terutama karena diobyektifikasi melalui serangkaian strategi, mekanisme dan prosedur pembangunan jenis ini.
Kemiskinan dan keterbelakangan, misalnya, haruslah dirumuskan terlebih dahulu dan rumusan lokal itu selalu saja menyesuaikan diri dengan rumusan visi-misi pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, keamanan dan ketertiban dan stabilitas politik. Ukuran-ukuran kesejahteraan dan kualitas hidup diterjemahkan dalam praktik dan beroperasi melalui program-program sektoral dan lintas sektoral, yang dari waktu ke waktu membuat masyarakatat berpikir dan menghayati kondisi aktual mereka dalam ukuran tersebut. Pada titik inilah, bisa dikatakan bahwa ‘pembangunan’ menjadi hegemonik dalam arti dia dianggap mewakili modernitas. Bersama proyek keselamatan Kristiani Gereja Katolik setempat, pembangunan berambisi mengubah masyarakat ‘tradisional’ Manggarai menjadi masyarakat modern. Tingkat Kekayaan, kecerdasan, kesehatan berlaku sebagai kategori sekaligus indikator seberapa jauh masyarakat ini bergerak ke masa depan. ‘Pembangunan’ adalah resep mujarab untuk mengubah dunia-luar dan dunia-dalam manusia Manggarai. Statistika kemiskinan dan register moral Kristiani kemudian disatu-padukan untuk menakar capaian pembangunan sekaligus pembenaran bagi sustainabilitas pembangunan itu sendiri.
Demikianlah bisa dipahami bagaimana pembangunan jenis ini tidak bisa melepaskan dirinya dari polemik kebudayaan. ‘Budaya’ ditematisasi sebagai problem pembangunan. Tak jauh beda dari perilaku pemerintah pusat, birokrat pemkab Manggarai, sejak Orde Baru sampai periode Otonomi Daerah ini, selalu saja menggarap budaya sebagai cara manjur untuk membenarkan nalar dan teknik rekayasa manusia dan dunia Manggarai. Dari dokumen pembangunan daerah dan catatan pemikiran dua bupati Manggarai terakhir, budaya didefinisikan sebagai sesuatu yang lokal dan tak berubah. Dalam pandangan dua manusia yang diangap unggul ini, budaya Manggarai adalah kosmos yang tuntas, penuh pesona magis, dan membuat manusia Manggarai hidup dengan dirinya sendiri, dalam komunalisme yang serba tertutup. Kendati demikian, ‘budaya Manggarai’ mendapat perlakuan yang ambigu. Di satu sisi, frase ini mensimbolisasi jejak-jejak keaslian yang diperlukan pemerintah kabupaten agar domain admistrasinya ini memiliki sejarah dan antropologi yang spesifik. Diperlukan sebagai kebanggaan bersama antara negara lokal dan masyarakat lokal. Di sisi lain, budaya Manggarai selalu saja diletakkan dalam posisi batas yang harus dilampaui dan ditinggalkan orang-orang Manggarai agar proses modernisasi berjalan lancar.
Anton Bagul Dagur, Bupati Manggarai (1999-2005), misalnya, merupakan contoh terbaik dari bagaimana birokrasi pemerintah terpersonalisasi ke dalam patron politik yang mendefinisikan dan memperlakukan kebudayaan. Dalam bukunya Prospek dan Strategi Pembangunan Kabupaten Manggarai,[10] sebuah buku penting yang dimiliki dan dibaca hampir semua birokrat dan para guru di Manggarai pada masanya, beliau yang dalam berbagai peristiwa budaya selalu menyebut dan menampilkan dirinya sebagai ‘landuk’[11], menguraikan budaya Manggarai sebagai khasanah lokal yang istimewa dan relatif tak berubah tapi sekaligus memandang adanya ‘degradasi’ nilai-nilai budaya yang perlu dipulihkan kembali melalui program-program pembangunan. Kemenduaan sikap dalam mengkonstruksi budaya diperjelas oleh absenya penjelasan tentang apakah degradasi itu disebabkan oleh kegagalan ‘budaya alamiah’ itu menyesuaikan diri dengan imperatif pembangunan ataukah disebabkan penetrasi ‘pembangunan’ melalui program-program rutin pemerintah daerah di wilayah ini.
Ada anggapan yang kuat di sini bahwa pembangunan berjalan di luar persinggungan dengan budaya lokal. Ia diniscayakan untuk mengoreksi budaya itu kalau tidak sejalan dengan kebutuhan pembangunan yang dikomandai pemerintah daerah. Perlakuan serupa muncul dalam alam pikir patron lain, Christian Rotok, Bupati Manggarai dua periode (2005-2015) yang menegaskan hubungan saling pengaruh antara kemiskinan dan kebudayaan Manggarai. Dalam buku yang lebih banyak bercerita tentang kehebatan dirinya dalam metafor ‘mutiara pembangunan’ Manggarai[12], budaya Manggarai dikatakan berorientasi ke masa lalu dan memelihara mental ketergantungan. Sama seperti perlakuan Anton Bagul, budaya lokal versinya ini ditematisasi dan menjadi obyek intervensi Panca Program yang dicetuskannya. Mengapa bukan politik pembangunan, melainkan kebudayaan menjadi sebab dan latar belakang kemiskinan? Alasannya jelas karena memang tidak ada perbedaan mendasar dan strategis antara ‘Panca Program’ yang dirumuskannya dan ‘Gerbang Mamis’ versi Anton Bagul. Keduanya memerlukan kebudayaan sebagai oposisi, semacam intimate enemy, musuh dari dalam, yang begitu dekat, agar pembangunan mendapatkan justifikasi politik dalam masyarakat ini. Pertarungan keduanya yang sengit dalam pilkadal 2005 bukanlah pertarungan dua jenis nalar dan cara memerintah, melainkan pertarungan dua patron birokrat. Keduanya menguras habis seluruh retorika politik pembangunan yang sama persis sembari menempatkan kemiskinan dan budaya Manggarai dalam satu kotak yang harus segera dibongkar dengan kerja keras birokrasi. Kemiskinan dan kebudayaan, dua hasil konstruksi birokrasi ini, bukan lagi dua fenomena, melainkan satu ragam wacana.
(Ilustrasi: Apel Pegawai, Kantor Bupati Manggarai, sumber foto: floresku.com)
Berbicara dalam posisi kuasa sebagai pejabat politik, dianggap dan menganggap diri sebagai orang Manggarai paling menguasai budaya Manggarai, batasan antara politik, pembangunan dan kebudayaan tercampur menjadi satu dalam wacana pembangunan. Dalam posisi kuasa ini, sang bupati tidak sedang merepresentasikan dirinya sebagai pejabat publik, tetapi menghadirkan dirinya sebagai patron pembangunan dan patron budaya pada saat bersamaan. Dia dapat leluasa mempermainkan simbol-simbol penting dalam kosmologi budaya setempat, sekaligus menistakan kebudayaan itu sebagai sumber kemiskinan. Sikap totaliter ini tak lain gejala umum dari suatu proses rutin penubuhan pembangunan ke dalam birokrasi dan penubuhan kekuasaan ke dalam para birokrat. Dalam proses itu, seorang birokrat dapat melakukan naturalisasi budaya dan de-politisasi kemiskinan.[13]
Kuasa menamai dan menjalankan metanarasi pembangunan, sebagaimana digambarkan di atas, diterjemahkan tidak hanya melalui program-program pembangunan, tetapi telah terindividualisasi ke dalam retorika dan imaji diri sang bupati dan pegawa negara di wilayah ini. Kuasa pembangunan yang mengalami otorisasi ke dalam diri manusia ini tentu telah menempuh cultural screening, suatu kompleksitas proses-proses simbolisasi dan identifikasi yang berlangsung terutama sejak masa keemasan koalisi kekuatan kolonial dan aristokrasi lokal di awal abad ke-20. Di Manggarai, jejak-jejak resistensi terhadap kekuasaan nyaris tidak terbaca dan terekam. Resistensi pasti selalu terjadi, kendati pun kekuasaan berusaha menghilangkannya dari ingatan dan catatan. Ketika pembangunan menjadi hegemonik dan kekuasaannya menjadi sangat personal, cara pembangunan meredam politik melalui dua cara. Pertama, menghasilkan konsensus dan mendisorganisir disensus. Pembangunan kemudian menampilkan suatu model politik, politik yang mendepolitisasi sampai pada tingkat di mana orang-orang Manggarai menggangap ‘tuang’ dan ‘roeng’ sebagai sesuatu yang alamiah, bukan hasil konstruksi politik.
Masyarakat Manggarai hari ini mengakui dan merayakan pembangunan melalui sekian prosedur dan mekanisme penghubungan antara kepentingan negara nasional dan kepentingan kelompok berkuasa. Interaksi rutin antara birokrasi pemerintahan, birokrasi gereja, dan masyarakat Manggarai menghasilkan suatu penegasan akan supremasi birokrasi pemerintah sekaligus pengabaian terhadap pelembagaan diskriminasi dan manipulasi fenomena pembilahan sosial dan ekonomi. Model diskriminasi dan pembilahan sosial, sejak masa Kolonial Belanda dan Kerajaan Bima memperkenalkan model penguasaan tak langsung atas wilayah ini, justru mengalami pendalaman dan normalisasi melalui proyek besar pembangunan. Penguasa lokal di Manggarai baik dalam birokrasi, bisnis dan gereja bukanlah elit tanpa massa; mereka adalah representasi simbolis bagi roeng atau lapisan-lapisan sosial di bawah golongan ‘ata mese’ (birokrat pemerintah dan agen pastoral gereja). Mereka adalah tokoh politik sekaligus tokoh budaya, dipuja-pji sebagai orang berpengaruh, terdidik dan patut diteladani.
Ketimpangan ekonomi dan diskriminasi sosial yang amat nyata antara pusat-pusat kemakmuran di ibukota kabupaten dan kantong-kantong kemiskinan di kampung-kampung terpencil tidaklah menjadi penghalang bagi roeng untuk ikut serta merayakan kuasa dan pesona birokrasi. Mereka memandang diri mereka direpresentasikan oleh sejumlah pejabat teras SKPD dan anggota DPRD yang berasal dari klan dan keluarga besar mereka. Patut dicatat bahwa latar belakang kelompok birokrat hari ini adalah kalangan aristokrat yang pada awalnya adalah penghubung antara kekuatan kolonial dan masyarakat Manggarai sebagaimana tercermin dalam model sistem pengorganisasian politik atas wilayah seperti Kedaluan dan Gelarang. Dalam model integrasi tersebut, mereka menghadirkan diri sebagai representasi masyarakat di wilayah kedaluan dan gelarang masing-masing. Periode sejak pembentukan kabupaten tahun 1958, menjadi saksi hidup reproduksi kasta sosial-politik ini melalui transformasinya ke dalam pemerintahan. Aristrokrasi lokal berubah menjadi birokrasi lokal.[14] Transformasi berlangsung lancar tanpa interupsi terutama karena absennya kekuatan-kekuatan politik alternatif baik dalam birokrasi pemerintah, birokrasi gereja, maupun dalam masyarakat.
Penggunaan konsep penguasaan tak langsung sebagaimana diperkenalkan sejumlah studi tentang relasi saling membentuk antara antara kolonialitas dan postkolonialitas politik di Afrika[15], menarik dijadikan konsep operasional dalam membaca politik Manggarai Kontemporer karena tekanannya pada relasi diskursif antara birokrasi dan wacana pembangunan. Dengan konsep penguasaan tak langsung, birokrasi, sebagai rejim pemerintah tidak sedang melayani dirinya sendiri. Ia melayani sebuah operasi kekuasaan yang lebih besar dari dirinya, yakni, pembangunan. Kalau pada masa kolonial, golongan berkuasa di Manggarai melayani politik kontrol atas teritori terutama Belanda kolonial dan Kerajaan Bima, maka dalam empat dekade terakhir yang dilayani adalah nalar dan cara kerja pembangunan. Di sini, di negeri para pegawai negeri ini, birokrasi pemerintahan sebetulnya bukanlah lembaga dan aparatur yang melayani kepentingan negara, melainkan melayani tujuan pembangunan. Negara itu sendiri telah tergovernmentalisasi oleh wacana pembangunan. Karena itu, dalam kenyataannya, aparatur negara bukan mengabdi kepada negara, melainkan mengabdi kepada pembangunan yang beroperasi melalui negara.
Ilustrasi: protes masyarakat Poco Leok menolak proyek geotermal, Kabupaten Manggarai, sumber foto: floresa.co)
Selain itu perlu dicatat bahwa resiliensi atau kekenyalan kekuatan aristokrasi yang berubah menjadi kekuatan birokrasi lokal di Manggarai menjelaskan kesulitan-kesulitan mendasar yang dihadapi ‘proyek demokratisasi’ dan ‘advokasi masyarakat’ dalam sepuluh tahun terakhir. Mari kita tengok satu kasus yang terjadi beberapa tahun lalu. Tahun 2004, dalam catatan penelitian ini, merupakan salah satu momen penting di mana masyarakat lokal bersama LSM dan sejumlah kecil pastor muda dengan semangat ‘teologi pembebasan’ mempersoalkan kembali hubungan negara dan masyarakat bertolak dari kasus sengketa antara petani kopi Colol dan Pemda di bawah kepemimpinan Anton Bagul Dagur. Substansi perkara adalah perbedaan klaim atas areal perkebunan kopi rakyat yang cukup luas di mana komunitas setempat mengklaim sebagai tanah ulayat sementara pihak Pemda mengklaim sebagai kawasan hutan lindung. Konflik yang berujung dramatis dengan tertembak mati 6 petani dan 26 lainnya luka parah di halaman Mapolres Kabupaten Manggarai, persis di samping Kantor Bupati, dengan cepat menimbulkan kontroversi. Berbagai elemen kritis dari kalangan intelektual Manggarai di dalam dan di luar Manggarai, termasuk beberapa kelompok dalam Gereja Keuskupan Ruteng, bereaksi keras dan tegas menolak sikap sewenang-wenang birokrasi lokal. Kata kunci yang dipakai kelompok penentang adalah ‘keberpihakan terhadap rakyat kecil’ dan ‘kecongkakan birokrasi lokal’ yang dikendalikan aristokrat dan plutokrat pribumi.[16]
Meski masalah ini akhirnya ditangani Komnas HAM dan dilanjutkan dengan pengadilan terhadap Kapolres dan sejumlah aparat yang terlibat dalam penembakan, satu hal yang tak terbantahkan adalah peristiwa ini tidak berhasil menjadi kasus paradigmatik bagi masyarakat Manggarai secara keseluruhan untuk mempertanyakan hegemoni negara lokal dalam hal-hal lain. Resistensi ini tetap bersifat insidental dan terlokalisir, bukan semata-mata karena pendekatan negara yang represif, tetapi terjelaskan oleh sikap publik yang lebih luas di Manggarai bahwa resistensi itu dikompori oleh ‘para provokator’. Birokrat setempat dan masyarakat banyak punya kesimpulan berbeda. Bagi mereka, peristiwa itu terjadi karena dan para petani kopi ‘tidak tahu batas tanah negara dan tanah ulayat’ atau ‘tanah ulayat itu diada-adakan saja karena memakai basis yuridsi kolonial padahal sudah mendapatkan sosialisasi dan kompensasi pada tahun 2002’. Di atas semuanya, sikap masyarakat yang diam dan tidak tergerak sedikitpun dengan peristiwa berdarah itu disebabkan kenyataan representasi politis-simbolis dalam birokrasi Manggarai, bahwa birokrasi bukanlah sesuatu yang bisa diubah sebagai kekuatan antagonis untuk mereformasi hubungan negara-masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, birokrasi Manggarai ‘merepresentasikan’ kekuatan klan dan dukungan politik patronase yang luas dalam masyarakat ini, suatu fakta yang tak mudah disandingkan dengan perlawanan komunitas ‘adat’ Colol dan sekitarnya. Sikap diam masyarakat atas kasus ini mengatakan dengan cara lain apa yang diargumentasikan para birokrat dan dipertegas sang Uskup: ‘kalau mau mati jangan masuk kandang singa’. Begitu pula sejumlah kalangan mengambil peribahasa setempat untuk mendiskreditkan perjuangan para petani dengan mengatakan:‘Siapa yang mulai angkat parang akan mati oleh parang’.[17]
Dua gejala yang sangat terang dari sikap birokrasi dan masyarakat Manggarai dalam kasus tersebut adalah naturalisasi pembangunan dan kulturalisasi politik. Pembangunan, dalam hal ini penertiban hutan negara, adalah benar pada dirinya sendiri, tidak boleh dipersoalkan lagi karena demi ‘kepentingan ekologis’ masyarakat Manggarai dan berikutnya, resistensi para petani yang merasakan dampak penertiban itu berujung pada kemenangan negara lokal dan mereka akan mendapatkan sanksi kematian sebagaimana dibenarkan dalam konsepsi budaya Manggarai tentang karma bagi yang melanggar: ‘ema agu anak neka woleng bantang, ase agu kae neka woleng tae’—ayah dan anak jangan lain sepakat, kakak dan adik jangan lain kata. Birokrat adalah sang Bapa dan masyarakat adalah sang anak. Pada titik yang paling ekstrim dari wacana pembangunan ini adalah kapasitasnya sebagai wacana moral yang dapat membenarkan kematian manusia demi tujuan yang abstrak. Selain mencari legitimasi dari dirinya sendiri, pembangunan ini telah melumatkan ke dalam dirinya moral kristiani lokal dan simbol-simbol budaya setempat. Sikap moral birokrasi pemerintah dan birokrasi gereja tak terbedakan lagi. Keduanya saling mencerminkan diri dalam dua ragam wacana dengan nalar dan teknik kuasa yang identik.[18]
Kelompok kritis yang mengadvokasi petani kopi Colol (JIPC-OFM-PAMDA Indonesia), kelompok serupa yang mengadvokasi penolakan tambang di Manggarai 2008-2011, dalam cerita tadi, bukanlah bagian integral dari lingkaran terdalam elit-elit lokal. Sebagian terbesar dari mereka terdidik dan berkarya dalam ruang-ruang sempit yang tidak digarap negara lokal, berkarya di luar Manggarai. Mereka memiliki akses yang sangat terbatas untuk masuk dan melobi ke dalam lingkaran terdalam birokrasi 3 Pemkab Manggarai yang terkonsentrasi di Ruteng, Labuan Bajo dan Borong. Dalam advokasi itu yang mereka hadapi bukan hanya bupati, pejabat teras dan anggota DPRD yang mengeluarkan izin penertiban, tetapi juga berhadap-hadapan dengan lapisan-lapisan pertahanan aktual dan simbolis birokrasi pembangunan mulai dari jantung ibukota kabupaten, kota-kota kecamatan sampai ke desa-desa. Kekuatan perlawanan berhadap-hadapan dengan semacam despotisme birokrasi yang memencar keluar. Mengkritisi kebijakan sang patron birokrat berarti mengkritisi pembangunan itu sendiri yang telah dirayakan sebagai kebenaran. Karena pembangunan telah menubuh pada pegawai negara, maka kritik pembangunan sama artinya dengan penistaan terhadap patron birokrat yang juga adalah tokoh masyarakat dan tokoh agama.
(3) Kairos: Keselamatan melalui Gereja
Semangat yang menggebu-gebu untuk mewartakan keselamatan kristiani di dunia dan akhirat, zelus pastoralis, adalah motif misiologis yang mendorong pastor-pastor Eropa kontinental mendaratkan kaki mereka di bumi Manggarai yang ‘gelap’ pada pembukaan abad ke 20. kegelapan bukan hanya metafora tetapi sebuah pelukisan generalis tentang perlunya sebuah politik keselamatan, Kairos, dengan menghadirkan ajaran Katolik universal sampai ke ujung dunia, sebagai terang kebenaran dan kehidupan, yang dalam teologi klasik disebut actus pastoralis.
(Ilustrasi: Gereja Katedral Keuskupan Ruteng, 1930, sumber foto: floresa.co)
Demikianlah luapan optimisme itu, yang terkadang jauh lebih menggetarkan dari firman Kristus dalam Injil, terbaca dalam buku Sejarah Gereja Katolik keuskupan Ruteng 1912-1973 yang ditulis seorang misionaris Barat.[19] Kalimat pembukaan dimulai dengan sebuah statetemen antropologis-etnologis yang rasis ‘Para misionaris menemukan di Manggarai suatu kebudayaan yang patrilinear dan totemistik’. Sebagaimana bisa diduga cerita selanjutnya tentang sejarah gereja di Manggarai berisikan kesuksesan para misionaris Barat dari tahun ke tahun mengkristenkan penduduk pribumi termasuk Raja Baruk, raja pertama Manggarai, hasil pengakuan Belanda dalam dokumen resmi Korte Verklaring tahun 1929. Pengalaman pertama dalam perjumpaan itu adalah ‘Di dalam kebudayaan itu [budaya Manggarai tradisional] terdapat suatu Dewa, Keadaan Tertinggi, yaitu Mori Kraeng’, dan ini mengawali proyek besar akulturasi dan asimilasi, terfasilitiasi oleh monoteisme lokal dan sangat terbantu oleh dibaptisnya Raja pertama Manggarai sebagai orang Katolik dengan efek menjalar yang sangat luar biasa cepat dan massif dalam kristenisasi orang-orang Manggarai. Dilaporkan pada tahun 1939, dua puluh tahun sejak pembaptisan pertama orang Manggarai tahun 1912, sudah terdapat 65. 592 penduduk lokal yang memeluk agama Katolik, dan terdapat 14 misionaris Barat yang berkarya di seluruh tanah Manggarai yang dibagi ke dalam teritorial gereja disebut stasi, yang pada masa itu satu stasi hampir seluas satu kecamatan di Manggarai saat ini.
Kristenisasi yang serba cepat juga disebabkan hal lain seperti belum mengakarnya pengaruh Islam. Walau sejak abad ke 16 tanah Manggarai tunduk di bawah soverenitas politik Goa-Bima [dukungan Belanda pasca perjanjian Bungaya 1667], sifat ekspansif kekuatan kolonial domestik ini lebih bersifat virtual-simbolik ketimbang suatu politik penaklukan total atas manusia dan budaya Manggarai. Politik penguasaan tak langsung yang diterapkan pada akhir dan awal abad ke 20 melalui kedaluan dan gelarang pun lebih dimaksud untuk melayani mitologi dan kosmologi kuasa kerajaan Goa dan Bima dan berpusat pada wilayah pesisir utara Manggarai di Reok dan Pota yang menjadi basis hunian dan kunjungan pembesar Bima.[20] Kehadiran misionaris Eropa dan penerimaan yang relatif terbuka dari masyarakat setempat terkondisikan juga oleh pengakuan jajaran Kerajaan Manggarai atas supremasi soverenitas Belanda dan ketakjuban-ketakjuban dalam dunia mental pribumi akan pengetahuan, teknologi dan laku sosial yang sangat berbeda dengan diri mereka sendiri maupun dengan pembesar-pembesar Goa dan Bima.
Dinamika perjuangan kemerdekaan yang bergolak di tanah Jawa hanya terdengar sayup-sayup sampai, dan hampir sama sekali tidak terekam dalam dokumentasi dan tradisi lisan setempat tentang geliat nasionalisme di Manggarai, meski beredar cerita heroik perlawanan Motang Rua [sebagai pahlawan nasional lokal] terhadap Kompeni Belanda yang sangat diragukan motif nasionalisme—melawan belanda sebagai upaya penciptaan NKRI—yang dikonstruksi selama Orde Baru. Dalam konteks ini, kehadiran pewarta ‘kabar gembira’ keselamatan tidak mengalami resistensi berarti. Belanda atau Barat bukanlah sebuah kekuatan antagonis, melainkan protagonis dalam institusionalisasi politik lokal di Manggarai bersamaan dengan pembentukan kerajaan Manggarai. Dan inipun ditandai dengan adanya hubungan yang baik dan sikap kooperatif Zelfbestuur Belanda di Ruteng pada masa itu.[21]
Peta Wilayah Keuskupan Ruteng Tahun 1990an
Konstruksi Manggarai sebagai sebuah entitas komunal-kerajaan berjalan bersama konstruksi Manggarai sebagai entitas teologis, locus theologicus, di mana misi Gereja Universal berpusat di Vatikan beroperasi melalui keagenan pastoral Misionaris Barat dan diwujudkan dalam serangkaian upaya kristenisasi baik melalui akulturasi liturgis-sakramental gereja dengan adat–istiadat setempat maupun melalui pendidikan agama katolik sebagai ajang pewartaan dan pengkaderan penduduk pribumi menjadi guru agama. Pembukaan sekolah-sekolah digalakkan di berbagai wilayah Manggarai, dan bersama pemerintah kolonial Belanda membangun jalan-jalan raya untuk membuka isolasi antar wilayah demi kepentingan kontrol Belanda kolonial dan akselerasi pewartaan katolik. Guru-guru pribumi pun dicetak dengan kepandaian berbahasa Belanda dan Latin, logika, retorika, dan dibekali teknik-teknik pastoral untuk melipatgandakan jumlah ‘domba-domba’.
Kursus-kursus pertukangan dan sekolah pertanian dibuka untuk menghasilkan kader awan yang handal di bidang ekonomi dan infrastruktur. Begitu pula sekolah-sekolah susteran untuk mendidik dan melatih wanita Manggarai terampil sebagai istri Katolik yang mampu berkarya dan membesarkan anak secara kristiani. Pada tahun 1925 terdapat 25 sekolah katolik dan menjelang pecah Perang Dunia ke-2 jumlahnya sudah mencapai 52 sekolah yang tersebar di berbagai wilayah Manggarai berdasarkan stasi. Dalam tempo yang sangat singkat, misi katolik di Manggarai telah menghasilkan awan-awam katolik yang meneruskan estafet pastoral Misionaris sekaligus sebagai kelompok orang Manggarai pertama yang mendapatkan pendidikan dan dilatih menjadi pemimpin dalam model ‘pemerintahan’ Kristiani lokal.
Sebagian terbesar dari mereka berasal dari keluarga besar Dalu dan Gelarang, kelompok yang secara sosial dan politik terhormat dan berkuasa atas wilayah, properti budaya dan tanah. Selain itu, sakramen-sakramen Katolik ditegakkan dalam memastikan tegaknya hubungan simbolis antara Allah dan Manusia dan hubungan aktual antar-manusia sebagai pribadi dan sebagai umat—communio communitatis. Sembari tetap berkompromi dengan adat-istiadat setempat berkaitan dengan tata cara dan prosedur, perkawinan dan kematian berlahan-lahan dihayati sebagai peristiwa kristiani dalam kosmologi keselamatan Katolik—Kelahiran, Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan. Dualisme yang terkesan dengan sengaja dipelihara antara Hukum Kanonik Gereja dan hukum adat barangkali juga disebabkan prinsip-prinsip komunalitas atau pengorganisasian manusia dalam kehidupan kegerejaan dan kehidupan budaya komunal yang relatif sama. Dan besar pula kemungkinan bahwa karya misi ini difasilitasi oleh kekuatan politik lokal (elit-elit pribumi) yang tentu juga tidak mau kehilangan kontrol atas basis material dan simbolis yang selama ini mendaulatkan mereka dalam posisi kuasa. Terdapat semacam logik mutualisme yang nantinya termodifikasi dalam bentuk-bentuk yang lebih banal dan telanjang pada periode Gereja Mandiri/Partikulir sejak tahun 1980-an sampai sekarang.
Yang hendak ditekankan di sini adalah fakta historis bahwa kehadiran dan kekaryaan Gereja Katolik di Manggarai sejak awal perjumpaannya dengan orang-orang Manggarai bukanlah sekedar konstruksi teologis atas populasi, tetapi lebih daripada itu, sebuah proyek politik artikulasi dan reartikulasi identitas, praktik-praktik, dan nilai-nilai yang berpusat pada Kanon Keselamatan Kekal dan Kebahagiaan di dunia menurut Doktrin Kanonik Gereja ‘Gaudeum et Spes’ dan ‘Ad Gentes’.[22] Dengan ditetapkannya gereja Katolik di Manggarai sebagai Vikariat Apostolik/Keuskupan tahun 1951 dengan P. Willem van Bekkum sebagai uskup pertama, orientasi kepada otonomi gereja lokal mulai terbentuk. Pada tahun 1955 didirikan Seminari Pius XII Kisol di Manggarai, menandai proses kaderisasi iman-iman pribumi yang dalam sejarah kehadirannya sampai hari ini tidak hanya menghasilkan para pastor yang hampir seluruhnya berkarya di Manggarai tetapi juga telah mencetak awan-awan katolik Manggarai yang berkarya di berbagai bidang dan tempat di NTT, Indonesia dan belahan dunia lain seperti Eropa dan Amerika Latin.
(Ilustrasi: Seminari Pius XII Kisol, sumber foto: Epaper Media Indonesia)
Begitu pula dengan ditahbiskannya 2 pastor pribumi pertama asal Manggarai pada tahun 1960 semakin memantapkan rencana peralihan kekuasaan dari pastor misionaris ke pastor pribumi. Barulah pada tahun 1973, kepemimpinan tertinggi Gereja Katolik di Manggarai dipegang langsung orang Manggarai sendiri, dengan ditahbiskannya P. Vitalis Jebarus SVD sebagai Uskup Ruteng. Ini tidak saja menandai pergantian pucuk pimpinan tetapi merefleksikan sebuah gerakan pribumisasi gereja Katolik baik dalam arti keagenan maupun kebijakan pastoral dalam hirarki organisatoris Gereja Katolik Manggarai. Selama periode Orde Baru ini kerjasama dengan pemerintahan daerah terus menerus dilakukan terkait bidang pelayanan pastoral seperti ekonomi umat dan pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Pada masa ini pula lembaga pendidikan tinggi STKIP Ruteng semakin diandalkan sebagai satu-satunya pendidikan tinggi di Manggarai yang dikendalikan Keuskupan Ruteng, menghasilkan para sarjana pendidikan baik untuk kepentingan gereja maupun pendidikan nasional.
Pada periode 1980-an jumlah pastor pribumi sudah jauh melampui jumlah pastor misionaris Barat dan dasar-dasar kehidupan organisatoris gereja telah menjadi bagian konstitutif dalam kesadaran dan praktik-praktik hidup orang Manggarai. Hampir 90% penduduk Manggarai memeluk agama ini, dididik dan dibesarkan dalam tradisi baru kekristenan lokal yang nantinya ikut bertanggung jawab atas terbentuknya pola-pola relasi kuasa patronase baik dalam tubuh gereja maupun dalam lapangan politik yang menghubungkan orang-orang Manggarai dengan birokrasi pemkab dan partai politik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, para pastor sebagian terbesar berasal dari keluarga-keluarga besar terhormat di kota kabupaten, kota kecamatan dan di desa-desa. Mereka adalah anak-anak guru agama, pegawai pemerintahan, dan tetua adat (Tua Golo dan Tua Teno) yang tersebar di seluruh Manggarai. Dan sudah merupakan fakta tak terbantahkan bahwa para pastor ini memiliki saudara atau kerabat dekat yang menjadi pegawai negara kantoran, guru dan tenaga kesehatan sampai hari ini.
Dalam periode ini pun pengorganisasian kontrol atas ruang atau spasialisasi Manggarai berlangsung bersamaan dengan konstruksi ruang administrasi negara lokal seperti pembukaan kecamatan dan desa-desa baru. Spasialisasi versi gereja itu antara lain diperbanyakanya jumlah Dekenat, Paroki dan Stasi terutama karena semakin meningkatnya jumlah penduduk katolik Manggarai dan meningkatnya ‘kebutuhan’ masyarakatat akan pelayanan rohani seperti sakramen dan liturgi. Periode ini menandai dimulainya suatu proses intensifikasi ‘pelayanan’ dan ‘kemandirian’ gereja lokal Keuskupan Ruteng, yang dalam tesis ini akan dibaca sebagai proses pendalaman hubungan saling membentuk antara ‘gereja’ dan ‘umat’. Proses intensifikasi hubungan ini nantinya memberi konteks diskursif bagi interseksi antara patronase politik dan patronase agama dalam mana berlangsung perpaduan yang semakin tak kasat mata antara modal politik, modal ekonomi dan modal budaya dalam diri tokoh politik, tokoh masyarakat, dan tokoh budaya.
Konsepsi Gereja Mandiri dicetuskan oleh Uskup pribumi kedua, Mgr Eduardus Sangsung SVD, yang ditahbiskan pada tahun 1985. Lahir dalam generasi pertama pendidikan seminari Kisol XII dan berasal dari keluarga ‘ata mese’ (aristokrasi setempat), beliau mengambil alih seluruh mesin operasi gereja untuk ‘pendalaman’ dan ‘lokalisasi’ pewartaan misi gereja di Manggarai. Dalam periode kepemimpinannya sampai tahun 2009 ini ada beberapa hal yang sangat menonjol atau dipertegas dalam visi misinya. Pertama, etnisisasi atau manggaraisasi keagenan pastoral di mana para pastor yang secara aktual menangani mesin kerja Keuskupan, Dekenat, dan Paroki adalah imam-imam pribumi. Ini dibangun dalam sebuah anggapan bahwa gereja Katolik Manggarai telah memasuki fase baru, bahwa umat Katolik Manggarai tidak lagi membutuhkan karya pastoral gereja yang menekankan pewartaan iman (fase awal kristenisasi oleh para Misionaris Barat]. Dalam fase baru ini, umat dinilai lebih membutuhkan ‘pendewasaan iman’ yang ditunjukkan oleh penangananan langsung proyek keselamatan- Kairos oleh imam pribumi dan umat Katolik Manggarai sendiri.[23]
Kedua, etnisisasi umat katolik keuskupan Ruteng di mana di situ ditegaskan bahwa umat katolik Manggarai adalah orang-orang Manggarai yang berada dalam yuridiksi Keuskupan Ruteng dan berada di 3 kabupaten Manggarai. Etnisisasi umat berjalan bersamaan dengan partisipasi umat dalam kehidupan organisatoris gereja. Sejak konsep gereja mandiri digalakkan dibentuklah dewan-dewan paroki yang berisikan sekelompok umat ‘terpandang’ dan patut ‘diteladani’ yang bertugas ikut membantu pengelolaan paroki baik dari segi pewartaan maupun finansial. Ini sejalan dengan konsep mandiri yang digariskan keuskupan, yaitu, mandiri dalam hal iman, mandiri dalam hal ketenagaan, dan mandiri dalam hal finansial.[24]
Kedua aspek menonjol di atas tidak sekedar penamaan terhadap pergeseran orientasi visi-misi gereja katolik di Manggarai sejak pertengahan tahun 1980-an, tetapi sebagaimana akan dijelaskan dalam bab IV Bagian kedua “Tuang Gereja-Roeng Pastoral”, juga menjelaskan pergeseran mekanisme, prosedur dan teknik pastoral pribumi yang melanggengkan dan melipatgandakan relasi dan reproduksi patronase dalam internal lembaga gereja dan lintas-lembaga di Manggarai, terutama dengan pemkab dan partai politik.
Hal terpenting dari penjelasan di atas adalah kenyataan bahwa sejak awal kehadirannya di Manggarai pada masa Kolonial Belanda, gereja katolik bukanlah kekuatan antagonis terhadap birokrasi negara. Justru yang terjadi adalah kerja sama dalam mengalakkan metanarasi modernitas, baik yang ditunjukkan dengan diperkenalkannya model-model pengorganisasian ruang kolektif, relasi-kuasa dan konstruksi kesadaran akan identitas dan kesadaran politik. Model kekuasaan dengan cara tidak langsung [indirect rule] mengalami transformasi yang berlapis-lapis dan intensif menjadi penguasaan langsung [direct rule] oleh sesama pribumi sendiri dan dengan mekanisme, teknik dan prosedur yang khas yang dianggap lokal, meskipun merupakan suatu campuran yang kompleks dan bervariasi di antara lembaga di Manggarai sampai hari ini.
Rangkuman
Metanarasi modernitas yang diperkenalkan dan dikembangkan Negara Nasional dan Gereja Katolik (universal-lokal) di Manggarai menghasilkan konsekuensi kelembagaan dan konstruksi manusia, kepentingan dan identitas. Dalam cara baca Analisis Wacana, proyek Developmentalisme dan Kairos pada prinsipnya berangkat dari logik kuasa/pengetahuan yang berbiak di atas metanarasi modernitas, dipentaskan dan beroperasi melalui dua lembaga dominan ini dengan menyelenggarakan sejumlah mekanisme, prosedur dan teknik. Dalam konteks ini, pelacakan tentang patronase di Manggarai mengharuskan suatu pemeriksaan lintas-lembaga, lintas-sektor, lintas-prosedur, lintas-mekanisme dan lintas-teknik untuk menemukan inteseksi mereka dalam praktek-praktek patronase.
Dalam wacana Developmentalisme dan Kairos di Manggarai hari ini, kemajuan, keterbelakangan, kesejahteraan, kemiskinan, otonomi, ketergantungan, kepemimpinan, keteladanan, kebodohan, keberimanan, keberdosaan, dan cinta kasih—bukanlah makna atau petanda yang bebas dari pemaknaan politik wacana. Patronase menjadi salah satu poros penting dalam penandaan ini. Sebagaimana dijelaskan pada bab berikut, praktek-praktek patronase menjadi peristiwa wacana yang rutin sekaligus menormalisasikan makna-makna tersebut dalam hubungan-kuasa.
(Frans Djalong. Disarikan dari Bab 3, Tesis Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Flores, NTT, 2008-2011)
[1] Stasistika ‘kemiskinan’ adalah cara lain memproduksi kemiskinan itu sendiri. Bagian dari kontrol atas populasi melalui kategorisasi ini. Dia menerbitkan kesan tentang akurasi dan presisi, memiliki kemampuan membatalkan pertanyaan kritis dan pengujian. Sejumlah penstudi pembangunan post-developmentalism memeriksa peran statistik terhadap keberlangsungan wacana pembangunan. Lihat, misalnya, James Ferguson. The Anti-Politics Maschine: “Development”, Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1994, hal 25-55.
[2] Untu keperluan studi ini, data-data kependudukan dan sektor-sektor pembangunan diambil dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai. Kabupaten Manggarai dalam Angka 2008. (Terbit 2009). Data yang diamati tidak lagi dibaca sebagai sumber informasi tentang demografi Manggarai, melainkan dilihat sebagai teknik pembangunan dalam menciptakan informasi dan pengetahuan.
[3] Dalam sejumlah wawancara dengan birokrat pemkab Manggarai, sektor produksi dipandang sebagai sektor penting untuk alasan sederhana, bahwa sebagian besar orang Manggarai adalah petani. Ditanya soal peran pemerintah dalam memfasilitasi dan meregulasi hubungan jual-beli dan distribusi komoditas, jawabannya adalah ‘hukum pasar’. Pemkab hanya menyediakan lokasi jual-beli yang disebut pasar itu. Sementara regulasi yang mengadvokasi petani komoditas perdagangan amat terbatas selain pungutan-pungutan kepada para pedagang/pembeli hasil-hasil pertanian seperti kopi, cengkeh, coklat dan fanili. (disarikan dari wawancara dengan Frans Salesman, mantan Kepala Bappeda kab Manggarai, di Ruteng, 29 April 2009; Livens Turuk,Staf Disperindag Kab Manggarai, di Ruteng, 29 April 2009.
[4] Di sini disebutkan sejumlah hasil studi Maribeth Erb, “Negotiating History: Myth, Power and Ethnicity in Manggarai (Flores, Eastern Indonesia)”. Paper presentasi hasil penelitian pada Asean Inter-University Seminars on Social Development, 13-15 November 1993, Kota Kinabalu-Sabah; “Contested Time and Place: Construction of History in Todo, Manggarai” Journal of Southeast Asian Studies, 28 (1), 1997, hal 47-77; “True Catholics: Religion and Identity in Western Flores”, Histoire et Anthropologie (Asies 2), 2003, hal 125-160.
[5] Pandangan umum ini disarikan dari serangkaian FGD yang penulis selenggarakan di Jakarta dan Yogyakarta pada tahun 2008-2009. Kerinduan akan Manggarai yang ‘utuh’ dan ‘murni’ dalam terma kebudayaan lebih merupakan respon mereka terhadap kasus-kasus konflik yang melibatkan birokrasi pemkab, gereja Keuskupan, dan roeng (golongan rakyat kecil) seperti kasus penembakan petani kopi Colol tahun 2004 dan kasus-kasus konflik tambang yang terjadi sejak tahun 2008 sampai sekarang. Imaji atas Manggarai dalam terma budaya juga ditemukan dalam diskusi-diskusi online dalam Forum Lonto Leok, sebuah forum yang berisikan lebih dari 500an orang-orang Manggarai ‘diaspora’, yang tersebar di kota-kota besar di Jawa, di Eropa dan Amerika, dan Amerika Latin.
[6] Lihat, Toda, Dami N. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende, Flores: Penerbit Nusa Indah, 1999, hal 47-211.
[7] Narasi tentang bupati-bupati Manggarai dan ‘litani prestasi’ mereka, lihat Kanis Lina Bana (ed) Makna Bertapak. Jejak Langkah Membangun Manggarai.Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2009. Buku ini, semacam biografi kepemimpinan bupati, menderetkan prestasi-prestasi kepemimpinan para bupati. Bagi pembaca yang tak akrab dengan Manggarai, membaca buku ini tentu mengasyikkan karena terbantu membaca dinamika pembangunan di Manggarai melalui pandangan para bupati. Meski tak jelas tujuannya, antara propaganda politik kepatronan ataukah untuk memanipulasi fakta kemiskinan yang disebabkan oleh pembangunan, buku ini berguna dalam studi ini justru karena membantu kita menemukan apa yang tidak ditulis dalam buku ini. Para penulis dalam antologi ini, yang juga adalah klien para bupati tersebut, sejalan dengan cara pikir pembangunan para bupati. Sejak masa Frans Lega, para bupati mulai memandang kepemimpinan bukan sebagai artikulasi politik, melainkan artikulasi pembangunan. Nalar governmental Orde Baru berlahan-lahan bekerja melalui para pemimpin pribumi ini. Mereka tak lain adalah aparatur garda depan dari rejim pembangunan ekonomi di Manggarai. Melalui kepemimpinan mereka orang-orang Manggarai bertemu dan berinteraksi dengan negara. Hampir tak terdengar cerita tentang resistensi terhadap kultur baru pembangunan tanpa demokrasi ini. Hampir seluruh narasi Manggarai sejak Orde Baru tak lain narasi pembangunan: membentuk mental kerja keras, mengubah cara hidup subsisten menjadi cara hidup dengan visi ke masa depan. Orang-orang manggarai diajarkan bahwa kerja bukan semata-mata untuk sandang, pangan dan papan, tetapi kerja untuk melayani kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan. Dengan pergeseran ini tentu, makna harkat dan martabat ikut terbentuk karena, sebagaimana gejala umum Orde Baru, manusia pembangunan adalah manusia berpengetahuan teknis dan berwawasan luas.
[8] Untuk penjelasan de-legitimasi negara di mata rakyat Manggarai dan melemahnya dukungan politik masyarakat Manggarai terhadap Bupati Anton Bagul, lihat Robert Mirsel, Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004; lihat juga, Maribeth Errb & Wilhemus Anggal, ‘Confilict and the Growth of Democracy in Manggarai District’, dalam Maribeth Errb & Priyambudi Sulistiyanto [eds], Deepening Democracy in Indonesia? Direct Election for Local Leaders. Singapore: ISEAS, 2007, hal 283-302
[9] Hal ini tak terpisahkan dari konteks politik nasional pasca orde lama. Orde Lama dianggap bermasalah karena membiarkan politik menjadi arena adu kepentingan yang tak berujung pada kemakmuran. Dalam Orde Baru, kemakmuran dibayangkan dapat diperjuangkan dan diperoleh secara teknis-manajerial, dengan modal dan disiplin. Hilangnya politik dari khasanah pembangunan Orde Baru tentu berpengaruh pada teknik dan nalar memerintah dan membangun yang dipergunakan birokrasi pemerintah kabupaten Manggarai sejak masa itu. Untuk keperluan kajian perbandingan, studi ini membaca dua karya penting tentang hubungan antara politik, pembangunan dan kekuasaan selama Orde Lama dan Orde Baru. Antara lain Benedict, Anderson R. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1990 dan berikutnya Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
[10] Lihat Anton Bagul Dagur. Prospek dan Strategi Pembangunan Kabupaten Manggarai dalam Perspektif Masa Depan. Jakarta: Penerbit Indomedia, 2004; lihat juga pandangannya tentang ‘kebudayaan Manggarai’, Anton Bagul Dagur. Kebudayaan Manggarai sebagai Salah Satu Khasanah. Surabaya: Uhbara Press, 1999.
[11] Landuk, nama tiang yang biasanya ditancapkan ditengah-tengah lingko [tanah garapan bersama warga satu kampung sebagai tanah ulayat]. Landuk merupakan simbol maskulinitas dan istilah ini kemudian menjadi simbolisasi pemimpin tradisional. Dalam kajian Maribeth Errb, sang bupati lebih menonjolkan dirinya sebagai pemimpin budaya traditional ketimbang administrator pemerintahan modern. Dalam berbagai kesempatan mengunjungi kampung-kampung selama menjabat bupati Manggarai, beliau memulai tatap muka dengan warga kampung dengan menyanyikan lagu-lagu tradisional dan memakai ‘goet’/peribahasa setempat untuk menunjukkan rasa cintanya dan wawasan tentang budaya Manggarai. Lihat Maribeth Errb, “Shaping a ‘New Manggarai’: Struggles over culture and tradition in an Eastern Indonesian regency”, Asia Pacific Viewpoint, Vol. 46, No. 3, December 2005, hal 326-327.
[12] Lihat, Aloysius Jondar dan Hironimus Tangi. Mutiara Pembangunan. Christian Rotok: Bupati Manggarai. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2007. Buku ini dijadikan materi muatan lokal untuk SD, SMP dan SMA di Kabupaten Manggarai. Sama seperti karya-karya lain tentang para bupati di Manggarai, buku ini ditulis orang-orang dekat dan simpatik pada sang bupati. Semacam biografi hidup dan biografi karier, buku ini berguna dalam studi ini justru karena narasi di dalamnya memperlihatkan bagaimana bupati memandang dirinya sebagai pelayan. Memandang dirinya berkembang dari ‘bawah’, sang bupati dua periode ini bekerja untuk melayani rakyat Manggarai. Sebagaimana akan dijelaskan pada bab 5, makna pelayan dan pelayanan dibaca dengan cara terbalik: melayani dalam arti mengurus semua urusan masyarakat karena sang pelayan ini serba benar, serba tahu dan serba bisa. Dia menjadi tipe-ideal dan kerja birokrasinya menjadi model-peran terbaik. Di sini pula kita menemukan eufemisme kekuasaan melalui bahasa, semacam retorika berkuasa. Tersirat di dalam retorika ini, bahwa menjadi birokrat sama artinya menjadi patron pembangunan. Pelayan adalah patron dan patronase adalah pelayanan.
[13] Teoretisasi tentang konstruksi simbolis atas dunia kehidupan atau definisi-definisi terhadap domain-domain sosial, politik dan budaya yang dilakukan seseorang dalam suatu posisi kuasa, sebagaimana dipakai dalam tesis ini juga merujuk pada konsep Bourdieu tentang kuasa simbolik. Lihat, Pierre Bourdieu, Part III ‘Symbolic Power and the Political Field’, Language and Symbolic Power, p 163-229. Cambridge: polity Press, 1991
[14] Fenomena ini, transformasi dari aristokrasi ke birokrasi, dirumuskan Nordholt dalam istilah ‘changing continuities’, kesinambungan yang berubah. Tesis pokoknya adalah bahwa dalam model kekuasaan politik di daerah-daerah pasca desentralisasi merefleksikan kembali kuatnya ikatan-ikatan patrimonial yang merupakan warisan kolonial dan postkolonial, terutama patrimonialisme Orde Baru. Hal ini dijelaskan pula sebagai konsekuensi dari hilangnya politik kelas yang berakibat pada kaburnya batasan antara negara, masyarakat dan pasar. Di sini, tesis Nordholt dipakai lebih dimaksudkan untuk memperjelas transformasi aristokrasi lokal ke dalam birokrasi. Lihat, Henk Schulte Nordholt. “Decentralization in Indonesia: Less State, More Democracy?”, dalam John Harris dkk (eds) Politicizing Democracy. Houndmills: Palgrave MacMillan, 2004, hal 29-47
[15] Dalam studinya tentang politik post-kolonial Afrika, Mahmood Mamdani melihat pengaruh pembilahan politik kolonial terhadap politik Afrika post-kolonial. Pada masa kolonial, orang-orang pribumi diberi ruang kuasa tersendiri melalui ‘customary law’ yang di dalamnya pemimpin suku dan klan melembagakan kekuasaan mereka sembari tetap mengabdi kepada otoritas kolonial di pusat-pusat kota. Kampung-kampung menjadi dunia adat berkuasa dan ditutup aksesnya ke pusat kota yang dihuni kaum kolonialis kulit putih. Sementara kota sendiri melembagakan kehidupan politik berbasis ‘civil society’ yang rasis dengan proteksi hukum positif-liberal. Kolonialisme menguasi Afrika tidak dengan menghancurkan seluruh kekuatan politik adat Afrika, sesuatu yang tak mungkin berhasil kalaupun dilakukan, melainkan dengan menciptakan penguasa-penguasa pribumi yang menindas sesamanya dalam format keadatan Afrika itu sendiri. Lihat, Mahmood Mandani. Citizen and Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialism. Princeton: Princeton University Press, 1996
[16] Rekaman advokasi atas kasus ini dibaca dalam TARM (Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai), “Mencoba (lagi) Menjadi Orang Manggarai: Rekaman Kejahatan Operasi Kehutanan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Kertas Posisi Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai. Jakarta: WALHI, (2004). Selain itu tulisan-tulisan kritis terhadap kasus ini bisa ditemukan dalam Aur, Alexander. “Dari Babat Kopi ke Babat Nyawa: Narasi Tragedi Petani Kopi Colol demi Hak-Hak dan Martabat Kemanusiaan Para Petani”, dalam Eman J Embu dan Robert Mirsel (editor) Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004. Hal 102-19; Jegalus, Nober. “Hak Perlawanan Rakyat”, dalam Eman J Embu dan Robert Mirsel (editor) Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004. Hal 224-47. Lihat juga, Forum Florete Flores. “Surat Domba: Untuk YM Uskup Ruteng Mgr Eduardus Sangsun SVD. Menantikan Kembalinya Gembala yang Hilang!”, Forum Mahasiswa dan Pemuda Flores, Jakarta, 2004.
[17] Lihat Mirsel, Robert. “Masyarakat Manggarai: Sejarah, Alam Pemikiran, Tanah dan Hutan”, dalam Eman J Embu dan Robert Mirsel (editor) Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004. Hal 3-53
[18] Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pihak berpendapat bahwa hubungan antara Keuskupan Ruteng dan 3 Pemkab Manggarai tidak harmonis lagi. Pasalnya adalah masalah tambang. Birokrasi Keuskupan bersama kelompok-kelompok advokasi menentang kebijakan tiga bupati Manggarai yang memberikan izin-izin pertambangan tanpa pertimbangan lingkungan hidup dan ekosistem budaya komunitas lingkar tambang. Studi ini memandang dengan cara berbeda bahwa sikap Keuskupan yang memberikan kesan berpihak pada rakyat kecil tidaklah bisa membatalkan pemeriksaan kritis terhadap bagaimana dalam praktiknya birokrasi gereja dan birokrasi terus saja melanggengkan patronase dalam aktivitas-aktivitas kelembagaannya. Konflik tambang, dalam studi ini, dipandang semacam konflik dua kekuatan patronase memperebutkan legitimasi dan simpatik masyarakat yang sejak lama telah kehilangan agensi politik. Tentang keberpihakan gereja pada masyarakat lingkar tambang, lihat Keuskupan Ruteng. Pernyataan Sikap Terhadap Kebijakan Industri Pertambangan di Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Dikeluarkan 2 Mei 2009, ditandatangani Administrator Keuskupan Ruteng RM Laurensius Sopang Pr. Lihat juga, JIPC-OFM Indonesia. “Mencegah Tanah Manggarai Hancur”. Kertas Posisi JIPC-OFM Indonesia. Jakarta (2008).
[19] Lihat Dr. Y Bettray SVD, Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Ruteng 1912-1973. Uraia
yang kurang lebih sama terdapat dalam Bagian Dokumentasi Penerangan-KWI, Sejarah
Gereja Katolik Indonesia Jilid III Wilayah-Wilayah Keuskupan & Majelis Agung Waligereja
Indonesia, khusus bagian Keuskupan Ruteng, hal 1253-1284. Ende: Percetakan Arnoldus
Ende-Flores, 1974
[20] Lihat, Dami Toda, 1999, op.cit, hal 47-85. Nama Manggarai sendiri merupakan gabungan dua kata dalam bahasa Bima, Mangga yang berarti sauh dan rai yang berarti hanyut/berlari, yang kemudian diartikan ‘sauh yang berlari’. Ada sejumlah narasi soal asal dan konteks penamaan ini, tapi tidaklah perlu diuraikan dalam tesis ini. Lihat Dami Toda, hal 68-71; bandingkan juga Maribeth Errb 1993, hal 3. Begitu pula sebutan Karaeng untuk menghormati atau menandai seseorang, biasanya laki-laki, memiliki pengaruh dan status sosial yang tinggi atau kebangsawanan dalam masyarakat Manggarai, berasal dari Goa, sementara sebutan Dalu dan Gelarang, yang juga berasal dari bahasa Bima, dimulai sejak model penguasaan tak langsung versi Bima memperkenalkan pengorganisasian ruang kolektif di Manggarai ke dalam Kedaluan dan Gelarang.
[21] Bagian Dokumentasi Penerangan-KWI, op.cit., hal 1227-82.
[22] Dua doktrin ini, di antara doktrin-doktrin Gereja Katolik/Kepauasan yang lain, memiliki arti sangat penting karena berlaku sebagai haluan dasar hubungan antara gereja dan dunia, antara misi keselamatan kekal dan upaya-upaya sekuler/politik formal dalam memajukan dan mengangkat harkat dan martabat manusia. Dalam Doktrin Ad Gentes tertulis dengan jelas ‘..the specific aim of this missionary activity is evangelisation and the planting of the church among the peoples and groups in which she [the church] has not yet taken root..’ karena itu evangelisasi/kristenisasi ‘harus’ mengarah kepada pembentukan gereja lokal yang mandiri, yang ‘..should borrow from the customs, traditions, wisdom, learnings, arts and sciences of their own people everything which can serve to confess the glory of the Creator, to illustrate the grace of the Saviour and rightly order of the Christian life.’ Sementara dalam Gaudeum et Spes hubungan antara kristenisasi dan pembangunan dipertegas sebagai berikut, ‘By evangelisation is meant the strictly religious activity, aimed at the preaching of God’s Kingdom, of Gospel as a revelation of the plan of salvation in Christ..’ sementara pembangunan dihubungkan dengan metanarasi modernitas dalam sebuah pelukisan yang rasis sebagai berikut ‘By development is meant the human, civil, temporal promotion of those people who, by contact with modern civilization and with the help that it provides, are becoming more conscious of themselves and are stepping out on the road to higher levels of culture and prosperity. The missionary cannot excuse himself from taking an interest in this promotion’. Hal yang sama semakin tegas dalam Ensiklik Populorum Progressio, di mana gereja bertugas untuk secara aktif memajukan pertumbuhan ekonomi, perkembangan budaya dan kemantapan spiritual, terutama di dunia ketiga sebagai target utama dari misi gereja universal yang berpusat di Vatikan. Kutipan di atas diambil dari kumpulan doktrin-doktrin Gereja Katolik, J Neuner SJ & J Dupuis SJ [eds], The Christian Faith in the Doctrinal Documents of the Catholic Church. Dublin: The Mercier Press, 1973, hal. 309-315.
[23] Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng. Garis-Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012. Ruteng, Flores: Penerbit Puspas Keuskupan Ruteng, 2008, hal 16-17.
[24] Sekretariat Pastoral Keuskupan Ruteng. Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 1988. Ruteng, Flores: Percetakan Sekpas Keuskupan Ruteng, 1992, hal 10-11