Covid 19, Indonesia dan Tata Dunia Baru? (2020)

Pandemi covid-19 tidak sebatas darurat kesehatan dunia, dengan 2.670.536 kasus, 731.488 sembuh dan 186.396 meninggal dunia (23/4). Pandemi, virus goes global, dengan sendirinya berarti penularannya mengutak-atik hubungan antara bangsa dan negara. Tidak sekedar terobos batas kedaulatan, tetapi lebih dari itu, mempertanyakan keabsahan sebuah batas dan hubungan antara batas yang diabsahkan perjanjian dan perang.

Demikianlah, patogen ini telah berubah dari penyakit biomedis menjadi penyakit biopolitik dalam sistem internasional yang selama ini rentan dan tak pernah kompak. Rapuhnya sistem internasional membuka pintu penularan tak terkendali di dalam negeri, antar negara dan antar kawasan dunia.

Source The Telegraph

Serupa dengan terorisme dua dekade, virus corona mengingatkan bahwa kita warga dunia. Kita berhak tahu dan diberi informasi-pengetahuan tentang persatuan atau perpecahan dalam sistem dunia. Bahwa kita berkembang biak, mati dan hidup, dalam sebuah dunia yang bisa terlipat, terbelah dan tercabik-cabik. Sampai di mana pun dan kapan pun kita mencari suaka dalam kintal suku, agama dan negara sendiri, kita tak bisa sepenuh terbebas dari peristiwa, ideologi dan ekonomi-politik dunia.

Geopolitik memberi panduan sederhana. Kita diajak menengok tubuh kita sebagai lokasi paling dekat, sering terabaikan, yang di dalamnya politik dunia bergolak, berubah dan bergeser. Hari ini, melalui Covid-19, telah berlangsung secara dramatis perubahan fungsi tubuh kita bagi geopolitik atau tata dunia baru. Berubah dari tubuh ideologis, yaitu terorisme, radikalisme dan sekularisme sejak tahun 2001, yang membentuk pikiran, sikap dan tindakan kita selama dua dekade terakhir menuju tubuh biologis berupa kesehatan dan penyakit pada pembukaan dekade 2020-an.

Keduanya membawa teror, memisahkan jiwa dari badan dan menghadirkan batas baru antara hidup dan mati, masyarakat berpagar, dan seteru antar negara. Perhatian pada perubahan fungsi politik tubuh itu, dinamakan juga biopolitik, berpolitik melalui tubuh, mengajak kita melihat kembali apa yang sudah dan sedang terjadi selama dua puluh tahun terakhir. Dalam rangka menjawab pertanyaan kita sebagai warga dunia, bagaimana virus ini bisa menjadi pandemi. Dari situ bisa diperiksa dan dibayangkan seberapa penting pandemi Covid-19 terhadap tata dunia baru terutama pertarungan negara-negara adidaya termasuk konsekuensi ekonomi, politik dan keamanan bagi Indonesia selama dan setelah pandemi berakhir.

Karena itu ada baiknya kita mulai dengan satukan kembali serpihan-serpihan peristiwa selama dua dekade berdarah, 2001-2019. Dekade ini dimulai dengan eklarasi Global War on Terrorism, September 2001, oleh George Bush Junior, di pusat imperium dunia pasca Perang Dingin. Periode berdarah dimulai, membawa perpecahan tidak hanya di kalangan umat muslim tapi antara umat beragama, dengan binari yang dibuat tak terdamaikan, antara demokrasi dan teokrasi. Al Qaida, disusul ISIS, dijadikan ancaman tubuh kita dan keamanan dunia. Sementara kita, jauh dari medan perang geopolitik di Timur Tengah, dibuat sibuk sendiri dengan toleransi dan keberagaman, satu jenis virus politik yang hampir saja memecah belah manusia Indonesia sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 dan berakhir pada Pilpres 2019.

Serpihan-serpihan peristiwa selama dua dekade itu tampak berakhir pada tahun 2019 sebelum pandemi ini tiba. Dengan memahami peristiwa dua dekade kita terbantu memahami pandemi sebagai masalah geopolitik tahun 2020. Sebagaimana akan diuraikan, obyek pertarungan antar negara adidaya berubah dari tubuh ideologis menjadi tubuh biologis. Di balik tubuh itu, ekonomi, politik dan keamanan dunia dipertaruhkan. Terpenting, bisa terdeteksi pandemi akan berakhir atau sebaliknya sengaja dikondisikan berlarut-larut bahkan menahun untuk melayani berbagai kepentingan ekonomi-politik dunia dan dalam negeri.

Puncak Geopolitik Dunia 2019

Tak disangka pandemi covid-19 berlangsung persis pada puncak kekacauan atau momen akhir dari pertarungan geopolitik dunia (2001-2019). Dalam kalender geopolitik, tahun 2019 menuju 2020 merupakan masa jatuh tempo dari sebuah eksperimen keji dan brutal yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara utama NATO atas nama demokrasi dan pasar bebas melalui proyek raksasa bernama Global War on Terrorism. Proyek imperium Amerika ini, mengikuti resep matinya ideologi Francis Fukuyama dan resep politik papan catur Zbigniew Brzezinski dari periode Perang Dingin, berusaha mengubah peta politik Timur Tengah, Asia Tengah dan Eropa termasuk Amerika Latin.

Zbigniew Brzezinski, Source The Nation

Percobaan satu arah ini, tanpa kesepakatan Dewan Keamanan PBB selama dua puluh tahun, tidak berhasil. Sebaliknya, memberi peluang munculnya negara-negara penentu geopolitik baru terutama China, Rusia, Iran, menyusul Turki, India, dan Venezuela dalam takaran pengaruh sesuai masalah kawasan. Demikian pula Eropa, sekutu AS dua dekade, didera pertarungan politik di dalam negara masing-masing, sampai pada kemungkinan bubarnya Uni Eropa. Sementara di Amerika Serikat sendiri, sejak tahun 2016, pertarungan penuh kebencian dan caci-maki antara Republik dan Demokrat mempercepat bubarnya American Dream bagi dunia dan masyarakat multi-rasial di dalam negeri.

Untuk meringkas peristiwa dua dekade pada tahun 2019, kita bisa membaca katarsis geopolitik itu melalui tiga masalah pokok dunia. Yaitu, masalah demokrasi, pertarungan ekonomi, dan keamanan dunia. Kompilasi ini sangat penting untuk nantinya memahami pandemi Covid-19 sebagai masalah politik global tahun 2020.

Dalam spektrum demokrasi global, politik dunia tahun 2019 adalah pentas perlawanan kelas pekerja dan kelas bawah terhadap dominasi politik dinasti dan kuasa teknokrat birokrasi. Dalam kosa kata terkini, disebut gerakan populis melawan komplotan oligarki, antara yang menguasai jalan-jalan kota dan yang duduk bersibuk di parlemen dan kantor pemerintahan. Pertarungan ini sebetulnya sudah biasa di Eropa, tapi lima tahun terakhir terasa lebih dramatis, menyusul eskalasi dampak sosial-politik akibat neoliberalisasi ekonomi melalui Uni Eropa.

Ilustrasi terbaik adalah Brexit tahap kedua di Inggris melalui pemilu Desember 2019 setelah sebelumnya hasil referendum 2016 itu dipermainkan politisi dua partai utama, Partai Buruh dan Partai Konservatif, dan dipersulit para birokrat EU di Brussel. Boris Johnson dengan dukungan Nigel Farage mengakhiri petualangan politik Jeremy Corbyn dan SNP. Sebelum pandemi tiba, United Kingdom, Inggris Bersatu, terancam bubar dengan kemenangan anti-Brexit di Skotlandia.

Sementara di seberang selat Inggris, Perancis bergolak setahun dengan demonstrasi Yellow Vests menolak kebijakan neoliberal Immanuel Macron yang terjebak antara instruksi neoliberal EU atau dukungan politik kelas pekerja dan para pensiunan. Belum dihitung kekuatan nasionalis di belakang Marine Le Pen yang kesal dengan kebijakan imigrasi EU dan Merkel sejak tahun 2015 yang terlalu terbuka terhadap pendatang muslim terdampak krisis Timur Tengah dan mengancam masa depan identitas ‘Eropa Kristiani’ dan lapangan kerja penduduk pribumi. Pergolakan serupa kita temukan di hampir seluruh Eropa khususnya Spanyol, Italia dan Hungaria dengan Viktor Orban yang terkenal galak berontak terhadap Uni Eropa.

Dari pengalaman Eropa ini berkembang istilah politik populisme yang dipakai jurnalis dan ilmuwan politik neoliberal untuk melabelkan gerakan populis sebagai fasis dan rasis. Dengan datangnya pandemi Covid-19, birokrat EU akhirnya mendapatkan kesempatan merebut simpati gerakan anti-migran, dengan memblokir masuknya 3, 6 juta migran ditampung Turki dan sebagiannya tertahan di Yunani. Ancaman tubuh biologis pribumi lebih darurat ketimbang tubuh ideologis pendatang dari ras kulit berwarna.

Sementara di Amerika Serikat, bukan lagi pusat dunia, pertarungan hidup mati antara Donald Trump dan Nancy Pelosi membuat satu generasi politik ke depan tak terdamaikan. Upaya pemaksulan, impeachment, terhadap presiden ditolak Senat dan Pelosy merobek-robek kertas pidato presiden dalam State of the Union Speech, acara kenegaraan paling penting. Setelah terpilihnya Trump, kedua partai selalu gagal bersepakat, atau setidaknya butuh waktu lama kebijakan disahkan Kongres. Dari soal tembok batas Meksiko-AS cegah migran ilegal sampai pengesahan dana stimulus pandemi 2 triliun dolar dan terkini stimulus 850 miliar dolar. Kesepakatan tercapai setelah kedua kubu berbagi insentif melalui dana pandemi ini.

Masing-masing kubu dengan lembaga think thank dan media massa. CNN, MSNBC, New York Times, Foreign Affairs dan sejenisnya menjadi juru bicara anti-Trump sementara Fox News pro-Trump yang paling setia di belakang sang Presiden dan politisi konservatif. Dari pertarungan politik domestik AS ini diperkenalkan istilah fake news, hoax, post-truth dan sejenisnya, yang digunakan intelektual dan jurnalis dua kubu untuk saling menista dan tak saling mendengar. Bahwa kebenaran politik itu hitam dan putih, lawan politik selalu berbohong.

Duel saling hujat antara Trump dan Acosta, jurnalis garda depan CNN berakhir dengan tuduhan Fake President dan Fake Journalism. Lalu retorika ini dibikin seakan-akan ilmiah, tiba di Indonesia, menjadi bahasa kuasa untuk mengontrol informasi publik, seakan-akan sumber kebenaran datang dari partai berkuasa, pejabat pemerintah dan ilmuwan tanpa cakrawala berpikir.

Di balik pertarungan ini sebetulnya berlangsung konflik antara kelas pekerja pendukung Trump di kota-kota kecil dan kelas menengah industri jasa pendukung Hillary Clinton dan Nancy Pelosi di kota-kota besar. Demikian juga kita temukan di Inggris, Perancis, Jerman dan negara anggota EU. Pengalihan berita oleh media propaganda di atas termasuk BBC di Inggris, semakin gencar dengan memberitakan kekacauan di negara-negara. Menutupi kisruh dalam negeri, politik luar negeri EU dan Amerika mengalihkan perhatian publik dunia ke masalah China dan Hongkong, Rusia dan Ukraina, Maduro dan Guaido di Venezuela, Turki dan Kurdi, ancaman nuklir Khomeni Iran dan Kim Jong-un Korea Utara.

Dalam tiap kasus tersebut, Amerika Serikat dan EU menjadi pemeran utama melalui pendanaan donor internasional, ancaman agresi militer dan sanksi ekonomi multilateral termasuk melalui IMF. Beruntung kecakapan diplomasi negara-negara tersasar menentang agenda imperialis ini di Dewan Keamanan, khususnya China dan Rusia, diperkuat dengan media informasi tandingan berskala lintas negara, menggugat monopoli berita dan kebenaran, seperti RT News dari Moscow, CGTN dari Beijing dan Press TV dari Teheran.

Dalam spektrum ekonomi global, tak ada yang lebih heboh, selain menguatnya tentakel ekonomi China di Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin, termasuk Eropa, sementara ekonomi AS tak bisa jalan tanpa transaksi dagang dan investasi keuangan dengan negeri tirai bambu. Aliansi ekonomi baru, melanjutkan BRICS 2006, dikendalikan China bersama Rusia dan India. Proyek lintas benua, Belt dan Road Initiative, perlahan mengubah konstelasi ekonomi kawasan Euroasia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa.

Source Financial Times

Di seberang Atlantik, Uni Eropa terguncang dengan keluarnya Inggris dari persekutuan ekonomi kawasan ini, krisis ekonomi di Prancis dan Italia. Muncul aspirasi akar rumput seperti Frexit dan Grexit, Prancis dan Jerman keluar dari persekutuan 27 negara bentukan tahun 1957 tersebut. Belum terhitung perilaku Erdogan Turki melalui masalah migrasi pendatang terdampak perang di Suriah, Libya, dan Irak yang membawa konsekuensi ekonomi bagi Eropa yang sedang bermasalah.

Di selatan benua Amerika, Venezuela dan Bolivia membangun aliansi ekonomi dengan Rusia dan China di tengah sanksi ekonomi AS-EU dan percobaan kudeta rekayasa Gedung Putih yang tak berhasil menjatuhkan Maduro di Caracas dan sukses menyingkirkan Evo Morales di Lapas. Isu utamanya adalah minyak, gas dan litium, masa depan sumber energi dunia.

Tak kalah seru, promosi ekonomi digital, ekonomi pengetahuan dan kecerdasan buatan, yang dipromosikan oligarki global dalam World Economic Forum lima tahun terakhir di Davos itu, lebih banyak menguntungkan China dan Rusia. Dua negara ini lebih memilih jalur bilateral atau membangun aliansi alternatif dalam negosiasi ekonomi perdagangan dengan negara lain khususnya negara-negara utama Uni Eropa yang dibingungkan sepak terjang Amerika Serikat di bawah kendali nasionalisme ekonomi Donald Trump. Sentimen anti-China dan anti-Rusia menyusul perang dagang dan sanksi ekonomi malah memperkuat arsitektur ekonomi alternatif tanpa Amerika Serikat sebagai pusat kontrol. Dalam kontestasi sampai akhir tahun 2019, kekuatan AS dan EU termasuk Arab Saudi melemah, diperparah dengan kekalahan telak dalam spektrum keamanan di bawah ini.

Keamanan internasional adalah wujud paling kasar dari geopolitik. Dalam spektrum ini, AS dan NATO membuka dekade 2000-an dengan terorisme dan radikalisme sebagai ancaman keamanan global termasuk ancaman bagi demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Kontrol dan kendali atas minyak dan gas adalah tujuan utama di balik propaganda Global War on Terrorism. Sasaran utama adalah negara-negara sekuler Timur Tengah yang tak mau tunduk pada monopoli minyak dan gas dari aliansi dagang AS bersama EU dan Arab Saudi. Masih di bawah payung besar perang terhadap terorisme, proyek Global War on Drugs diluncurkan untuk menjatuhkan pemerintahan populis Maduro dan Morales, dengan tuduhan otoriter dan melegalkan narkotika untuk menghancurkan AS.

Terorisme dan counter-terorisme adalah mainan geopolitik. Dikondisikan dan diproduksi, lalu diperangi sebagai pretext, alasan untuk menghancurkan negara paling miskin di Asia Tengah Afganistan sejak 2001 sampai hari ini. Taliban sebaliknya makin berpengaruh dan di akhir 2019 AS terpaksa berunding dengan gerakan ini di Kabul sebelum pandemi tiba. Demikian juga Libya, negara paling makmur di Afrika, dihancurkan AS dan NATO, menggunakan Al-Qaida yang paling dibenci Muammar Khadafi, menyeret dan membunuh tokoh nasional pan-Arabia ini tahun 2011. Di antara periode itu, Irak dihancurkan 2003, Saddam Hussein yang sekuler dan anti-Al Qaida itu digantung lalu membuka perang sipil berkepanjangan antara Suni dan Siah sampai munculnya Al Baqdadi dan ISIS tahun 2013.

Ekperimen berdarah ini, dari periode Bush dan Obama sampai Trump, didukung penuh Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel dan Muhamad bin Salman, Raja Arab Saudi bertujuan menyasar Republik Islam Iran, setelah negara-negara penyangga dihancurkan antara lain Suriah, Irak, Yemen dan Libanon. Percobaan jahat ini, bersembunyi di balik tontonan keji ISIS ke dunia, akhirnya kandas di tengah jalan dengan masuknya Putin dan Rusia, dengan kekuatan udara terbaik di dunia, menyelamatkan Assad di Damaskus dan menyatukan Iran dan Turki di kawasan batas antara Eopa, Asia dan Afrika tersebut.

Dengan tetap tegaknya Suriah dan Bashar Al-Assad, meski berdarah-darah, Libanon yang multi-agama itu selamat dari efek bola domino. Sementara Yemen khususnya suku Huti di utara dengan dukungan Iran, terus berperang melawan agresi Bin Salman dengan asistensi militer AS dan Israel. Perang geopolitik di Suriah dan Yemen adalah terburuk setelah Perang Dunia Kedua, selain Perang Vietnam dan Bosnia, membunuh jutaan manusia, wanita dan anak-anak.

Memasuki tahun 2019, bisnis senjata dan bisnis perang berkedok counter-teroris itu setidaknya berakhir. Aliansi NATO pecah dan menyerah karena tak mungkin menang dalam perang terbuka dengan Rusia, Iran dan barisan paramiliter sipil anti-AS, anti-Israel dan anti-ISIS yang tersebar merata di Yemen, Irak, Suriah dan Libanon.

Perang terbuka dengan Rusia, berarti membuka gerbang neraka, perang nuklir yang akan meniadakan dunia dalam waktu lima menit. Juga disebabkan oposisi politik di AS dan negara-negara utama NATO di eropa mengalami kisruh politik dalam negeri. Belum terhitung kegagalan NATO dan EU didukung AS di Ukraina sejak kudeta terhadap Viktor Yanukovitch dan memasang Petro Poroshenko tahun 2014. Rusia memenangi seteru ini, merebut kembali Crimea yang strategis di Laut Hitam dan Ukraina pun terbelah antara Kiev yang pro EU dan wilayah timur khusus Lugansk dan Donetsk yang ingin bergabung ke Rusia.

Di akhir cerita kekalahan geopolitik AS dan NATO dua dekade di Timur Tengah dan Eropa Timur, dunia disuguhi cerita pembunuhan terhadap Qasem Soleimani, Jenderal Iran pembasmi ISIS di seantero Timur Tengah. Kabar ancaman Perang Dunia ke-3 akan meletus untuk mengalihkan publik dunia dari apa yang sesungguhnya telah terjadi. Trump membunuh Solemaini, tak lain peristiwa pengalihan dari terusirnya AS dan NATO tanpa Turki di kawasan itu dan kembali terpojok ke pangkalan militer di Qatar, Kuwait dan sekitarnya. Iran dan Rusia berang atas pembunuhan itu, tetapi tidak membalas, karena perang telah mereka menangkan. China pun bersibuk, bersama Rusia, mulai membangun Timur Tengah.

Dengan informasi ringkas dalam tiga spektrum geopolitik di atas, kita terbantu memahami konsekuensi geopolitik tersebut terhadap kebijakan penanggulan pandemi di tingkat global melalui WHO dan kebijakan dalam negeri masing-masing khususnya negara-negara penentu geopolitik di atas. Pandemi Covid 19 menjadi penting dan strategis bagi aliansi baru dalam ekonomi, politik dan keamanan dunia. Patogen ini hadir dalam perubahan dramatis tersebut.

Krisis Solidaritas Global: Instrumen Politik

Pertanyaan mendasar adalah, apakah pandemi ini menghentikan, mengubah atau mempertegas sengketa geopolitik. Pertanyaan ini satu arah dengan pertanyaan penting kita semua, apakah pandemi yang berdimensi global ini, tembus batas negara, bisa teratasi dengan keberhasilan tiap-tiap negara atau membutuhkan kerjasama internasional. Kedua pertanyaan sama pentingnya karena memamahi pandemi tidak bisa dilakukan tanpa memahami pertarungan politik global dan politik dalam negeri merespon krisis kesehatan dunia ini.

Pada tingkat global, terang benderang terbaca kesulitan WHO menggunakan otoritasnya karena otoritas organisasi ini sangat bergantung pada kesepakatan semua negara, khususnya Amerika Serikat, China dan Rusia, selain Inggris dan Perancis. Kondisi terkini, Dr Tedros Adhanom, direktur WHO dan koleganya dituding berpihak ke China oleh Pemerintah AS. Sampai hari ini, Donald Trump
membatalkan sumbangan 500 juta dolar untuk ke Badan Kesehatan Dunia ini.

Sejak awal kemunculan pandemi di Wuhan, Desember 2019, pandemi ini dijadikan Amerika Serikat sebagai menu kritik terhadap ‘kejahatan’ Partai Komunis yang dituding tak jujur mengabarkan gejala pandemi ke dunia. Termasuk di dalamnya narasi tentang asal muasal virus dari laboratorium Universitas Teknologi Wuhan atau berasal dari pasar hewan yang kumuh dan jorok di ibukota provinsi Hubei itu. Belum termasuk narasi tentang kontrol dan pembungkaman oleh pemerintah Cina terhadap dokter dan petugas medis yang menyampaikan bahaya virus ini melalui media sosial.

Kendati demikian pemerintah China, sembari bekerja sangat keras dan cepat, membuat tuduhan sebaliknya bahwa kontingen olahraga militer AS membawa virus jahat ini ke Wuhan dalam acara pekan olaharaga militer sedunia di Wuhan, 18-27 Oktober 2019. Selepas dari pandemi dalam negeri yang membunuh 4.642 jiwa, China mengirimkan tenaga medis ke Iran di Timur Tengah dan Italia juga Serbia di Eropa. Bersama Rusia dan Kuba, China hadir membantu negara-negara terdampak dengan dukungan WHO. Upaya China membantu negara-negara Uni Eropa lalu dinarasikan oleh media propaganda anti-China sebagai diplomasi corona, yaitu China dengan sengaja menularkan dan menyembuhkan dunia dari Covid-19.

Politisasi terhadap pandemi oleh kedua belah pihak pada akhirnya merugikan Amerika Serikat sendiri dan selanjutnya menempatkan WHO pada posisi serba salah dalam memberikan kerangka global penanggulan pandemi. Pandemi merebak di New York, Florida, New Jersey dan kota-kota besar lainnya, membuka kembali pertarungan politik dua partai dan seteru wewenang antara Presiden Trump dan Gubernur New York, Andrew Coumo, dan gubernur lainnya.

Pertarungan internal tata kelola pandemi di AS ini, merepotkan WHO karena Organisasi ini dan China dijadikan proksi politik. Kelompok anti-Trump memuja keberhasilan Presiden Xi Jinping untuk menertawai kebijakan sang presiden. Sengketa politik kedua kubu ikut membunuh 47.808 jiwa, terbanyak kelas pekerja Afro-Amerika dan kaum miskin kota. Persis di situ agenda geopolitik Trump mengalahkan China bertabrakan dengan agenda oposisi dalam negeri menurunkan sang presiden dalam pilpres November mendatang dengan memasang Joe Biden beserta Coumo sebagai wakil yang sedang dipromosikan melalui pandemi ini.

Tentusetelah elit Partai Demokrat menyingkirkan Bernie Sanders untuk kedua kalinya. Pertarungan antara Trump berhadapan dengan Xi Jinping dan Tedros hanya bisa dipahami jika kita membuka rahasia hubungan di antara WHO dan oligarki global anti-Trump di AS. Kelompok oposisi adalah kekuatan ekonomi yang sekian lama berkolaborasi dengan China dan sangat terganggu dengan kebijakan perang dagang Trump sejak duduk di gedung putih tahun 2016. Orientasi ekonomi ke dalam negeri memperkuat kelas pekerja sangat tidak disukai komplotan globalis ini termasuk di dalamnya penguasa big pharma dan IT seperti Bill Gates, Soros, Bezos dan sejenisnya. Hampir 40 persen pendanaan WHO berasal dari bisnis farmasi untuk obat-obatan dan vaksin.

Sejalan dengan itu, kelompok purnawirawan militer, intelijen khususnya CIA dan FBI, dan tentakel bisnis media seperti CNN dan MSNBC adalah komplotan anti-Putin dan anti-Rusia, yang berusaha memakzulkan Trump atas tuduhan kolaborasi dengan Rusia dan merusak reputasi Biden dengan mengangkat masalah korupsi anak mantan wakil presiden itu di perusahaan minyak AS-Ukraina. Dengan itu, Kolaborasi industri kesehatan, intelijen deep-state, teknologi informasi dan media massa korporat memasuki fase kedua menjatuhkan sang presiden. Kali ini pandemi Covid-19 digunakan, menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

Menarik, Putin dan Rusia selalu digunakan sebagai proksi baik untuk menjatuhkan sang presiden maupun utk mendorong presiden lebih agresif secara militer terhadap Rusia. Tujuannya tak lain agar pendanaan sektor keamanan meningkat demi keberlangsungan military-industrial complex, yang membiayai 800 pangkalan militer di 80 negara, modernisasi alutsista dan armada perang serta meneruskan perlombaan senjata nuklir supersonik dengan Rusia. Bisnis berdarah yang telah membiayai dan menghidupi dua dekade produksi terorisme dan counter-terorisme di berbagai negara, termasuk wacana deradikalisasi dan multikulturalisme.

Di seberang Atlantik, Eropa terpecah dan tiap-tiap negara berusaha mengurus dirinya sendiri. Dimulai dari tragedi ini di Lombardi wilayah utara Italia, Uni Eropa hanya menyaksikan dari Brussel dan tidak merespon permintaan bantuan perdana menteri Guiseppe Conte. Spanyol mengalami hal serupa. Mengundang pertanyaan mendasar masih adakah persekutuan bernama Eropa setelah pandemi usai. Baru belakangan, setelah pandemi membunuh 25.085 jiwa di Italia dan 22.157 jiwa di Spanyol (23/4), Ursula von der Leyen dan eurokrat EU mengeluarkan kebijakan triliunan euro untuk cegah dan atasi dampak pandemi. Sekaligus meminta negara anggota mencabut larangan ekspor obat dan alkes.

Inggris, bebas dari EU, terbelenggu politik internal antara Boris Johnson yang berusaha meyakinkan publik dan Jeremy Corbyn yang terus melemparkan kritik. Sementara Jerman, kekuatan utama EU selain Prancis, berbangga diri mengendalikan pandemi sambil melepaskan tanggung jawab kawasan di pundaknya. Lain halnya dengan Swedia, menggabungkan isolasi dan herd immunity, terbukti berhasil dan ekonomi negara tidak terlalu terdampak. Di atas semuanya, Italia dan Spanyol berduka dan terluka, kesedihan nasional yang boleh jadi akan menentukan masa depan Uni Eropa.

Lain cerita dari India, penduduk 1,3 milyar, terbesar kedua setelah China. Kisruh politik sebelum pandemi, yaitu masalah Kashmir dan sentimen anti-muslim dalam regulasi kewarganegaraan dan migrasi, dipertajam dengan pendekatan lockdown. Terdampak terbesar dari pendekatan ini adalah kaum miskin kota dan pekerja upahan, sebagian terbesar adalah penduduk muslim, lebih memilih berjalan kaki ke kampung halaman daripada mati kelaparan dalam kota. Pandemi di India menguak hubungan tak sedap antara rasisme, agama dan kelas ekonomi sebagaimana dialami Amerika Serikat saat ini. Masa depan politik Modi Narendra mungkin tak terganggu tetapi reputasi globalnya tercoreng dan Kashmir akan tambah berang dengan dukungan Imran Khan dan Pakistan.

Dari pengalaman terkini di atas, jelas tidak mudah membangun solidaritas global. Pertarungan geopolitik dan politik dalam negeri tidak hanya kontra produktif terhadap konsolidasi internasional tetapi terburuk lagi membajak pandemi untuk meneruskan dan memperdalam krisis ekonomi-politik dan keamanan di akhir 2019. Pandemi tampaknya membuka babak baru pertarungan AS, Rusia, China, Iran, Venezuela dan Uni Eropa yang terpecah belah. Begitu juga politik internal AS sangat berpengaruh terhadap tata kelola pandemi global.

Persis dalam situasi ini, Badan Kesehatan Dunia, WHO, kesulitan menggalang kesepakatan dan kerjasama negara-negara penentu geopolitik pandemi. Boleh jadi negara-negara lainnya masih bisa disatukan dan diarahkan di bawah garis komando tetapi tanpa persatuan negara-negara penentu sulit dibayangkan deklarasi politik global atasi pandemi. Karena bisa dipastikan, kekuatan multipolar itu memiliki pengaruh ekonomi, politik dan keamanan dunia, konsekuensi dari puncak geopolitik 2019.

WHO menyadari dirinya bukan negara tetapi organisasi yang tak melampaui kedaulatan negara. Ditambah lagi rekam jejaknya sebagai sarang lobi industri kesehatan dan mainan negara-negara adidaya sama seperti badan-badan PBB lainnya, termasuk yang paling sentral yaitu Dewan Keamanan. Terbukti tak berhasil menciptakan perdamaian dunia selama 2 dekade, menjadi ruang seteru diplomasi dua kekuatan dari 5 negara pemegang veto, China-Rusia versus AS-Inggris-Perancis.

Melalui pandemi 2020, kecakapan diplomasi dan kepemimpinan strategis menjadi ujian bagi Antonio Guterres, sekjen PBB dan Teros Adhanom, dirjen WHO.

Source SuaraPemerintah.ID

Konsekuensi bagi Indonesia 2020

Patut disyukuri, Indonesia masih memiliki persatuan politik dalam menghadapi pandemi Covid-19 sampai hari ini, dengan 7.775 kasus, 647 meninggal dunia dan 960 pasien sembuh (23/4). Bayangkan saja, jika oposisi tak ada dalam pemerintahan. Kita boleh jadi akan mengalami kekacauan seperti dialami Amerika Serikat dan negara-negara lain. Kabinet Indonesia Maju merupakan kekuatan nasional terbaik. Sukses mengatasi pandemi, bisa mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta bisa membawa Indonesia pasca krisis ke arena geopolitik baru.

Hal sebaliknya dapat saja terjadi. Pandemi dan dampaknya membawa kita pada krisis ekonomi, politik dan keamanan yang tak terbayangkan sebelumnya. Ditandai dengan pecahnya kongsi elit politik dalam negeri. Dalam situasi krisis ekonomi dan pergolakan sosial, kartu penentu politik ada di tangan oposisi. Skenario terburuk, kekuatan politik ini keluar dari pemerintahan dan membajak gerakan rakyat yang lapar, marah dan tak percaya pada negara. Karena biasanya dalam situasi krisis, persekutuan politik diuji dan memberi insentif bagi pembaharuan konsensus dan konsesi ekonomi-politik baru di antara kekuatan politik.

Karena itu, belajar dari pengalaman global terkini, kita perlu waspada terhadap 3 kecenderungan jahat yang muncul dan membajak pandemi ini. Kecenderungan ini sudah muncul di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Pertama, atensi terhadap penanganan medis yang berlebihan tidak diimbangi dengan pendekatan pola hidup sehat yang menekankan ketahanan pangan. Cara berpikir keutamaan sektor medis menyebabkan sektor-sektor strategis penunjang kesehatan tubuh dan ekonomi masyarakat menjadi terbengkalai. Belum terhitung di dalamnya korupsi dan kolusi dalam penyelenggaraan program sektor kesehatan ini.

Kekeliruan ini nantinya akan menjadi insentif bagi politisi-pengusaha dan birokrat melemahkan kedaulatan pangan dan bersibuk mengurus impor bahan makanan pokok untuk membiayai, partai politik, perusahaan dan kerabatnya sendiri. Dengan itu kebijakan tidak saja menyehatkan penderita Covid 19, tetapi secara masal, atau dalam jumlah sangat besar, menyebabkan kelaparan dan kematian di belakangnya.

Kedua, pemiskinan berlanjut terhadap kelas pekerja, petani dan sektor informal. Sudah muncul debat kebijakan global bahwa penanganan pandemi dengan isolasi dan lockdown tak terbatas atau terus diperpanjang, adalah bentuk baru dari Global War on the Poor, perang terhadap orang miskin. Sektor produktif dimatikan mendadak atau perlahan-lahan diubah agar terintegrasi ke dalam tentakel korporasi pangan, suplemen makanan, minuman dan obat-obatan yang dikuasai oligarki global dan antek-anteknya di dalam negeri.

Untuk mendeteksi kecenderungan ini, kita perlu diingatkan tentang agenda oligarki global selama 5 tahun terakhir. Dalam periode ini dipromosikan satu jenis ekonomi berkedok teknologi tinggi, berbasis data dan berbasis pengetahuan. Demikian kita mengerti urutan agenda globalis itu, dari promosi Knowledge Economy, Digital Economy, sampai dua terakhir, Revolusi 4.0 dan propaganda bahaya epidemi tahun 2019 dalam World Economic Forum, di Davos.

Dari situ bisa dibuat simulasi strategis, menggabungkan epidemi sebagai proksi, atau bencana dunia yang diperlukan untuk mengubah struktur ekonomi global. Bencana ini pun membuat Indonesia dan negara-negara berkembang tak berdaya, mencetak surat utang di IMF untuk stimulus talangi biaya sosial-ekonomi, sembari tak berdaya mengikuti instruksi ekonomi oligarki global dalam jangka waktu yang lebih lama.

Ketiga, sekuritisasi terhadap dampak sosial dan politik. Dalam debat publik dunia, pengerahan instrumen kekerasan negara mulai diterapkan. Di dalam negeri kita sendiri, kecenderungan ini mulai mengemuka. Suara rakyat yang terjebak antara kelaparan atau terpapar Covid, tidak mendapat perhatian publik dan protes sosial harus dibungkam atas nama pencegahan penularan. Sekaligus menjadi lelucon bagi kelas menengah bergaji dan tak keberatan bekerja dari rumah untuk urusan kantor dan perusahaan.

Viralitas berita dalam ruang publik menjadi keasyikan tersendiri dari kelas menengah yang tak terdampak. Kehebohan lalu memberi pekerjaan kepada jurnalis ngehe, baik media cetak maupun online. Kegaduhan ini pun menghadirkan negara sebagai pusat informasi satu-satunya, dengan cara kerja tanpa metodologi, tak bisa membedakan berita palsu, propaganda dari berita benar dan ilmiah.Terburuk dari semuanya, warga negara dan komunitas saling curiga dan membangun ketahanan diri sendiri. Mendadak terbangun komunitas berpagar. Sementara petugas medis sendiri tak bisa menjelaskan ke publik cara kerja virus, sistem imun tubuh dan pentingnya makanan bergizi, untuk menenangkan masyarakat yang miskin informasi biomedis.

Ketiga kecenderungan harus diperiksa ketika pandemi dan dampak sosial ekonomi masih terkendali saat ini. Patut dicatat, sebelum pandemi tiba, sudah muncul ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Mulai dari soal revisi UU KPK, RKUHP, korupsi triliunan BUMN seperti Jiwasraya, Pertamina, Garuda Indonesia, dan terakhir debat publik terkait Omnibus Law. Lalu tentu resiko pencegahan pandemi mematikan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran di kota dan desa. Karena disadari stimulus fiskal yang tersedia tidak bisa mencegah pemiskinan, keputusasaan dan kekecewaan rakyat. Kelola stimulus yang amburadul, tidak transparan dan berdampak, hanya memperburuk kondisi psikologis puluhan juta rakyat terdampak.

Terpenting sebagai bangsa, kita baru saja keluar dari perpecahan ideologis dalam Pilpres 2019. Kabinet Maju, berupa konsesi politik terbaik, diuji melalui kerjasama mengatasi pandemi ini. Jika tak terkendali dan gagal, kita bisa masuk kembali ke dalam antagonisme politik baru berbasis tubuh biologis, sehat dan tak sehat, kaya dan miskin. Oposisi memiliki insentif yang lebih besar untuk berbalik arah, termasuk mengunakan intelijen dan instrumen kekerasan, mengontrol keamanan atau sebaliknya, menciptakan kekacauan. Karena perjumpaan antara kelaparan dan kekerasan, kekecewaan rakyat dan kepentingan politik, sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini dan geopolitik dunia terkini.

Frans A. Djalong, Center for Security and Peace Studies, 24 April 2020