Demokrasi Digital: Masalah dan Tantangan bagi Masyarakat Politik Indonesia (2017)

Tulisan ini membahas masalah dan tantangan yang muncul dalam praktek demokrasi digital. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana dan seberapa jauh praktek demokrasi digital dapat memperkuat praktek kewarganegaraan aktif dan representasi politik di Indonesia? Pembahasan dalam tulisan ini memperlihatkan bahwa digitalisasi politik memiliki masalah dan tantangan untuk memperkuat demokrasi substansial. Adapun tiga masalah utama di balik praktek demokrasi digital antara lain depolitisasi kaum muda, oportunisme oligarki, dan normalisasi konflik elit serta eskalasi politik identitas. Karena itu, diperlukan kerangka berpikir baru dan formulasi kebijakan ruang siber baru sebagai panduan untuk mengamankan agenda reformasi politik dan konsolidasi demokrasi. Argumen utamanya adalah bahwa teknologi informasi, media sosial khususnya, menjadi instrumen dan arena belajar demokrasi yang efektif sepanjang praktek tersebut berlaku sebagai kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan, penguatan kewarganegaraan yang aktif, dan mendorong pelembagaan representasi politik. Tanpa panduan epistemologi politik ini, demokrasi digital beresiko menghadirkan mobokrasi, melanggengkan oligarki, dan mempromosikan teokrasi.    

Johny Plate, Kemenkoinfo, Terpidana Korupsi BTS 2023, Jubir Pemenangan Jokowi Pilpres 2019, salah satu penggerak politik identitas di Indonesia, (Sumber Foto: Detik.com)

Pendahuluan

Demokrasi digital bukan wacana baru dalam diskusi publik kita hari ini. Yang selalu baru dalam diskusi tersebut adalah pembahasan tentang peluang dan resikonya bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam arti luas, kontribusi demokrasi digital berupa peningkatan kesadaran politik warga negara, penguatan otonomi diri dalam pengambilan keputusan politik, dan pematangan etika sosial untuk kehidupan multikultural. Dalam arti khusus, demokrasi digital meningkatkan interaksi antara masyarakat dan negara, antara warga negara dan perwakilan politiknya, atau antara kelompok kepentingan dan komunitas pembuat kebijakan di tingkat pemerintahan. Terhadap tuntutan tersebut, kita menemukan kenyataan bahwa demokrasi digital kita hari ini masih ditandai banyak masalah dan tantangan.  

Masalah dan tantangan tersebut juga mencerminkan fenomena global dari praktek demokrasi digital. Media sosial memainkan peran penting dalam proses demokrasi di berbagai negara dan kawasan di dunia. Arab Springs yang berlangsung di Timur Tengah bercerita tentang meningkatnya kesadaran politik di kalangan kaum muda dan lapisan masyarakat bawah yang sekian lama aspirasi mereka tersumbat oleh struktur politik otoritarian dan oligarkis. Kendati pada akhirnya ‘revolusi digital’ ini menemui jalan buntu seperti perang di Libya dan Syria, internet telah membuktikan dirinya sebagai ruang artikulasi politik dan penggalangan aliansi antara kelompok lintas kelas, identitas dan wilayah.

Fenomena serupa dapat kita jumpai di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden dan berhasilnya kampanye Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). Dalam dua peristiwa penting ini, media sosial menjadi ruang artikulasi politik dan perlawanan terhadap rejim neoliberal-plutokrat yang dikendalikan birokrat EU di Brussel dan rejim neoliberal-neokonservartif di Washington yang seluruhnya mendukung Hillary Clinton. Pesan pentingnya adalah perlawanan terhadap narasi rejim politik dominan berhasil dimenangkan ‘silent majority’ melalui media sosial. Lebih dari itu, media sosial berhasil menghadirkan narasi politik yang kritis terhadap industri media (televisi dan surat kabar) yang sekian lama menjadi mesin propaganda oligarki politik di Eropa dan Amerika Serikat.

Kondisi demokrasi digital dalam negeri kita patut dibahas secara kritis dan konstruktif. Belakangan ini internet, khususnya media sosial, tampil sebagai arena strategis dan taktis bagi diskusi dan debat politik berbagai kalangan termasuk kaum muda. Tidak terkecuali presiden dan mantan presiden, para politisi tua dan muda, gubernur, bupati serta pejabat daerah memanfaatkan teknologi digital ini untuk berpendapat atau membela pendapatnya. Ruang siber kita dipenuhi berbagai isu, dari soal susila, korupsi sampai isu terkini seperti penistaan agama dan kelayakan sorang non-muslim menjadi kepala negara atau pemimpin di daerah berpenduduk moyoritas Muslim. Semakin terlihat bahwa sejumlah isu politik yang pada masa lalu dianggap urusan pejabat dan politisi sekarang dibahas dan diperdebatkan berbagai kalangan tanpa ada sekat profesi, identitas agama, etnis dan ideologi politik. Pada saat bersamaan, ruang siber menunjukkan kebangkitan kesadaran kelas, afiliasi etnis, agama, dan wilayah.

Munculnya kesadaran kelas dan politik identitas tersebut sekaligus menghadirkan paradoks demokrasi. Di satu sisi, kewargaan digital (netizenship) mencerminkan bekerjanya politik pengakuan, politics of recognition, terkait adanya marjinalisasi sosial-ekonomi melalui kebijakan pembangunan dan kebijakan politik. Orang-orang minta didengar, diperhatikan suaranya, dan bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan bahkan mempengaruhi keputusan hukum. Di sisi lain, ruang siber ibarat api dalam sekam, berlangsung polarisasi identitas multikultural yang bercampur baur dengan isu marjinalisasi ekonomi dan politik. Sikap etis untuk saling mendengar dan memahami seakan tidak menjadi panduan dalam diskusi dan debat dalam ruang siber ini. Nyaris tak beda dari cara politisi, intelektual dan pemimpin berdebat di media televisi, suasana dan arah percakapan publik dalam media sosial pun tidak sepenuhnya menghasilkan pengertian bersama, yang tentu segera membatalkan kerja sama di luar dunia maya. Kuatnya politik pengakuan yang anti-demokrasi ini mendatangkan kekwatiran tersendiri mengenai seberapa jauh demokrasi digital dapat ikut memperbaiki kultur politik nasional yang narsis, asertif dan sarat dengan pencitraan diri dan kelompok.

Paradoks demokrasi digital bukanlah paradoks sederhana. Krisis etika sosial dan absennya konsolidasi kewarganegaraan demokratis dalam ruang siber mencerminkan masalah yang lebih fundamental dalam praktek demokrasi kita hari ini. Kritik terhadap demokrasi digital akan bermakna strategis jika ditempatkan dalam konteks kritik radikal terhadap kondisi dan cara kita berdemokrasi sejak Reformasi. Salah satu agenda utama Reformasi adalah mengembalikan masyarakat sebagai warga negara yang aktif dalam proses politik dan pembuatan kebijakan. Tujuan reformasi adalah menghancurkan oligarki politik dan menghidupkan kembali representasi politik yang aktif, transparan dan akuntabel. Sebagaimana kita ketahui transparansi dan akuntabilitas politik perwakilan belum menjadi kenyataan kendatipun sejumlah regulasi dan instrumen sudah diimplementasikan.

Politik elit nasional, termasuk di daerah-daerah, belum menghasilkan sebuah praktek politik hegemonik dan semakin kuat dikendalikan politik dominasi. Perbedaan antara dua jenis politik ini sangat tegas. Politik hegemoni merayakan perbedaan kelas dan identitas tapi bergerak maju untuk menghasilkan tujuan bersama sebagai demos, sebagai Indonesia. Di lain pihak, politik dominasi tampak merayakan perbedaan kelas dan identitas tetapi bergerak di tempat untuk melestarikan persaingan politik merebut dan menjatuhkan kekuasaaan, dan tidak berikhtiar membangun demos atau masyarakat politik baru. Demokrasi digital kita persis berada dalam situasi tersebut. Elit politik yang malas dan oportunis membajak isu dan peristiwa yang muncul dalam ruang siber dan menjadi juru bicara atas nama rakyat dalam perdebatan di parlemen dan ruang publik seperti seminar, televisi dan surat kabar. Alih-alih melakukan kritik terhadap polarisasi kelas dan identitas dalam ruang siber, politisi dan pejabat menjadikan sejumlah isu di media sosial sebagai senjata untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan politik.   

Karena itu, tulisan ini berargumen bahwa digital demokrasi akan bermanfaat bagi konsolidasi demokrasi jika dicarikan kontribusinya bagi penguatan pelembagaan perwakilan politik dan mendorong warga negara semakin aktif dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan, kebijakan keamanan dan kebijakan politik. Sebagaimana dibahas pada sesi-sesi berikutnya, ruang siber rentan menjadi arena polarisasi ideologis dan identitas. Kerentanan tersebut membuka pintu bagi oportunisme politik oligarki. Kita menolak pandangan yang memperlakukan ruang siber sebagai alternatif bagi kebuntuan praktek demokrasi formal. Pandangan ini melupakan relasi timbal balik antara demokrasi digital dan politik dominasi selama ini. Tulisan ini diahkiri dengan mengajukan sejumlah rekomendasi yang bersifat strategis bagi konsolidasi demokrasi hari ini dan ke depan.

Demonstrasi Mahasiswa Menentang RUU KUHP dan RUU KPK (Sumber foto: Tribunnews.com)

Demokrasi Digital dalam Perdebatan

Demokrasi digital merupakan bagian integral dari diskusi mengenai masyarakat digital (digital society). Di bawah rubrik Digital Citizenship, para penstudi mencoba memperlihatkan dilema dan peluang yang bisa ditawarkan masyarakat digital bagi konsolidasi demokrasi. Pertanyaan utamannya adalah bagaimana dan seberapa jauh artikulasi politik melalui medium digital, khususnya internet, dapat melayani tujuan ganda berikut. Pertama, bagaimana menjadikan ruang siber sebagai arena belajar berdemokrasi khususnya bagi kaum yang hari ini dikendalikan oleh neoliberalisme yang anti-politik. Kedua, bagaimana keterlibatan dalam demokrasi digital dapat mendorong dan memperkuat artikulasi politik warga negara dalam pembuatan kebijakan di dunia nyata. Dengan kata lain, para penstudi merumuskan hubungan saling pengaruh antara ‘netizenship’ dan ‘citizenship’.

Debat kritis dalam studi demokrasi digital didorong oleh kekwatiran bahwa pengarusutamaan praktek masyarakat digital hanya melayani agenda kaum globalist, yakni, kepentingan korporasi transnasional dan rejim politik internasional yang mendorong interaksi transnasional dan kosmopolitanisme baru tanpa sekat negara-bangsa. Strategi yang digunakan rejim neoliberal ini adalah dengan mempromosikan konektivitas dan memperkuat peran masyarakat sipil sebagai aktor-aktornya di setiap negara yang dijadikan target neoliberasisasi. Kritik ini bertolak dari perdekatan ekonomi politik dan poststrukturalist bahwa neokolonialisme atau penaklukan jenis baru berlangsung melalui produksi dan diseminasi pengetahuan yang secara langsung ditargetkan pada warga negara tanpa peran maksimal dari negara. Antonio Negri (2000; 2004), misalnya, berargumen bahwa agenda neoliberal membentuk suatu imperium ekonomi-politik global dilakukan dengan menciptakan fragmentasi di kalangan masyarakat di mana teknologi informasi dan ruang siber menjadi arena politiknya.

Bertolak dari kekwatiran serupa, Christian Fuchs (2014), mengajak kita mencermati kontrol dan pendisiplinan yang dilakukan oleh rejim neoliberal melalui internet. Kaum globalist membajak perlawanan warga negara dalam ruang siber untuk menggulingkan pemerintahan, kekuatan politik atau agama tertentu. Selain untuk tujuan fragmentasi sosial sebagaimana tersirat dalam proyek multikulturalisme neoliberal (Brown, 2006), kekuatan globalist menargetkan kekuatan politik atau pemerintahan yang kritis  untuk dijatuhkan melalui mobilisasi kaum muda dalam ruang siber serta melalui media massa mainstream di AS, Eropa dan cabang-cabangnya di ‘Dunia Ketiga’.  Para penstudi ini mengingatkan kita bahwa wacana global ‘regime change’, ‘humanitarian crisis’, ‘islamophobia’ dan ‘racism’ merupakan bagian dari cara menciptakan ketidakpercayaan publik untuk menjatuhkan pemerintahan atau mendiskreditkan kekuatan politik tertentu yang kritis terhadap neoliberalisme.

Kaum muda merupakan segemen masyarakat digital yang paling rentan terhadap rekayasa ideologis kaum globalist di berbagai kawasan. Arab Springs yang berujung pada krisis Timur Tengah hari ini adalah  bagian integral dari agenda globalist untuk mendestabilisasi kawasan ini. Bocoran Wikileaks menunjukkan adanya konspirasi geopolitik tersebut dan memecah belah politik sekuler Timur Tengah ke konflik Sunni dan Shia. Salah satu contoh tragis adalah konflik Syria yang berkepanjangan dan telah membunuh lebih dari empat ratus ribu jiwa. Propaganda ‘Assad Must Go’ tidak hanya dilakukan dengan mempersenjatai kaum muda tetapi juga dengan mobilisasi kaum muda dalam media sosial tanpa mengedepan resolusi politik terhadap konflik internal tersebut. ‘White Helmet’ sebagai organisasi kemanusiaan dibentuk dan dibiayai Amerika Serikat dan Inggris untuk terus menciptakan wacana publik tentang kejahatan kemanusiaan pemerintahan Syria. Opini publik tentang perang di Syria terbentuk melalui ‘framing’ berita dan peliputan organisasi ini di media sosial dan koordinasi peliputan dengan stasiun televisi globalist seperti CNN, BBC dan Al Jazeera.

Situasi serupa melanda kaum muda Amerika Serikat dan Eropa. Di dua kawasan ini, kaum muda termakan rekayasa isu yang berbiak di atas multikulturalisme neoliberal. Kaum muda penghuni dunia siber menolak terpilihnya Trump sebagai Presiden karena dicap rasis dan melakukan pelecehan seksual. Kendati tak berhasil memenangkan Hillary Clinton, setidaknya kaum globalist dan neokonservatif di Washington dan New York berhasil membentuk opini dan memobilisasi kaum muda tersebut melalui media sosial dan dukungan media televisi dan surat kabar elitis seperti CNN, MNSBC, New York Times and Washington Post.  Fenomena ini kita temui di Inggris pasca Brexit di mana sebagian besar kaum muda menolak hasil referendum tersebut dengan mengedepankan argumen-argumen tak jauh beda dari mitos integrasi politik Eropa yang dikembangkan kaum birokrat-globalist di Brussel.

Diletakkan dalam perdebatan, informasi di atas memperlihatkan kerentanan warga digital terhadap pembajakan ideologis oleh kekuatan globalist yang mengendalikan instrumen-instrumen pembentukan opini global (manufacturing consent). Kerentanan tersebut disebabkan oleh tarik menarik yang permanen antara kontrol dan kebebasan dalam ruang siber (Timothy Luke, 2010). Pada saat bersamaan, tarik menarik tersebut dapat memicu pembelajaran lebih lanjut dan memperluas spektrum pemahaman mengenai kaitan antara isu dan aktor. Ragam informasi dan sumber informasi kian mematangkan warga digital dalam membuat keputusan politik dan membangun jaringan gerakan. Wawasan menjadi lebih terbuka, memiliki spektrum pemahaman terhadap masalah yang lebih luas dan tidak terkunci oleh agitasi kepentingan atau kelompok tertentu.  Dalam 3 ilustrasi di atas, kaum muda melakukan resistensi terhadap kontrol dan dominasi wacana neoliberal dalam ruang siber dengan mengambil pilihan politik  berbeda dan terbukti berhasil ikut memenangkan Donald Trump dan Brexit.

Kendati demikian, para penstudi tetap bersikap skeptis terhadap kontribusi dunia siber bagi penguatan dan pendalaman demokrasi. Konsep tentang ‘ruang negosiasi’ dalam dunia siber dianggap terus diperdebatkan mengingat dunia baru ini dikontrol sepenuhnya oleh kekuatan globalist-neoliberal, ultra-nasionalist, dan kekuatan fundamentalis agama baik di tingkat internasional maupun dalam negeri. Philip Howard (20100, misalnya, melalui sejumlah studi di Timur Tengah, menunjukan bahwa kontrol rejim berkuasa terhadap dunia siber masih sangat kuat. Kendati pun artikulasi politik dalam dunia siber sangat tinggi tidak serentak berpengaruh terhadap kapasitas mobilisasi politik di dunia maya. Struktur politik suatu negara sangat menentukan efektivitas demokrasi digital terhadap perubahan politik dalam masyarakat. Selain konektivitas urban-rural, kelas sosial, dan afiliasi multikultural, posisi sebuah negara dalam percaturan geopolitik global ikut berpengaruh terhadap digital demokrasi dan dampaknya bagi restrukturasi politik dalam negeri (Athina, 2009). Dengan kata lain, dunia siber bukanlah dunia alternatif bagi demokrasi melainkan refleksi dari kondisi sosial-politik suatu negara. 

Pesan penting dari perdebatan terkait demokrasi digital adalah bahwa internet, khususnya media sosial, merupaka arena kontestasi yang ditandai oleh tarik menarik antara kontrol dan kebebasan. Aktivasi politik dalam dunia siber mencerminkan kemauan berpolitik yang tinggi di kalangan warga negara sekaligus merefleksikan kebuntuan perwakilan politik yang oligarkis dan birokratis di dunia nyata. Menguatnya ‘people power’ dalam dunia digital memberi informasi mengenai dominasi ‘elite power’ dalam struktur politik suatu masyarakat. Kontrol terhadap dunia digital bisa memperkuat demokrasi tapi dapat pula mengekang kebebasan berpendapat dan menggiring opini publik ke persoalan yang banal dan tak berkaitan dengan urusan publik. Ketegangan ini merupakan karakteristik masyarakat digital dan dari situ kita bisa melacak manfaatnya bagi konsolidasi demokrasi.

Demokrasi Digital & Masalah Demokrasi  Indonesia

Demokrasi digital di Indonesia mengalami dilema yang sama dengan dilema yang dialami masyarakat digital di negara-negara lain. Tantangan bersama adalah bagaimana menjadikan ruang digital sebagai bagian integral dari konsolidasi demokrasi di luar domain tersebut. Tantangan lain adalah bagaimana memastikan agar sikap and perilaku anti-politik yang disebarluaskan dalam dunia siber direspon dengan sikap kritis oleh warga digital dan diterapkan sebagai cara berpolitik dalam dunia nyata. Terlepas dari diskusi mengenai kesenjangan akses ke dunia digital, masyarakat dan relasi sosial di Indonesia kian terdigitalisasi dan ruang siber dirasa kian penting sebagai laboratorium demokrasi ke depan. 

Diletakkan dalam dinamika politik nasional sejak reformasi, kita dapat merumuskan sejumlah masalah dan tantangan strategis. Adapun sejumlah masalah krusial. Pertama, kecenderungan yang meningkat di kalangan warga masyarakat khususnya kaum muda untuk berpolitik melalui dunia maya dan bersamaan dengan itu rendahnya aktivasi politik atau pelibatan diri dan kelompok dalam politik praktis  melalui gerakan sosial-politik, kelompok kepentingan dan partai politik. Kedua, meningkatnya oportunisme politik di kalangan birokrat dan elit politik yang hanya melakukan belanja masalah publik melalui jurnalisme media sosial dan pemberitaan media massa. Ketiga, dampak dari dua masalah terdahulu, politik kita baik dalam ruang publik maupun dalam ruang digital terus menormalisasi konflik antar elit politik dan mendorong polarisasi sosial ke dalam kantong-kantong identitas. 

Budi Arief Setiadi, Menteri Kominfo, Ketua Relawan Jokowers, salah satu penggerak Politik Identitas di Indonesia, (Sumber foto: Viva)

Masalah pertama, depolitisasi kaum muda dalam politik praktis, bukanlah ikhtiar kaum muda sendiri. Ruang digital merupakan arena tak bertuan. Siapapun dapat berjejaring dan berpendapat tanpa dikendalikan oleh kekuatan politik tertentu. Nuansa aktualisasi diri dan sensasi otonomi diri merupakan barang mahal yang tidak tersedia dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Barang mahal ini tersedia secara gratis dalam dalam dunia siber melalui You Tube, Twitter, blog, dan website. Kaum muda dapat menunjukan keragaman identitas, orientasi etis-moral, dan cita rasa estetis yang digarapnya secara mandiri baik mengacu pada tradisi budaya masyarakatnya maupun diracik dengan nilai dan pola hidup baru yang dipelajarinya  dalam ruang siber tersebut.

Daya tarik dunia baru ini merupakan respon terhadap defisit politik pengakuan dan advokasi terhadap keagenan publik kaum muda dalam politik praktis. Dibesarkan dalam budaya politik warisan Orde baru, kaum muda ditindas pedagogi moral yang abstrak, hitam dan putih, dan sarat dengan prasangka agama, ras dan etnis. Kurikulum pendidikan diaanggap tidak membebaskan, didasarkan pada asumsi tersirat bahwa kaum muda adalah sumber masalah, makhluk transgresi, yang patut dikontrol dan dikendalikan akhlak dan perilakunya. Demikian juga halnya mereka selalu bertemu dengan ajakan menghayati nilai-nilai luhur ketimuran dan cinta tanah air persis dalam situasi orang tua, para guru-dosen, pejabat dan politisi merampas kesempatan mereka menjadi cerdas, multikultural dan global. Paradoks inilah yang mendorong kaum muda melakukan serangan balik berupa pelabelan, adekdot, dan sentilan kritis terhadap tokoh agama, pejabat, politisi dan intelektual publik dalam ruang siber.

Situasi tersebut tentu ada baiknya tetapi rupanya belum mendorong perlawanan dan gerakan kaum muda dalam politik praktis. Pedagogi politik kita belum diperdebatkan untuk mendorong aktualisasi diri kaum muda. Kita menyaksikan antusiasme kaum muda terhadap isu publik dalam dunia siber sementara partai politik oligarkis dan partai keluarga dari pusat sampai daerah. Demikian halnya bertambah banyak kaum muda cerdas dan berani tak sempat melayani masyarakat karena birokrasi pemerintahan penuh sesak dengan keluarga dan kerabat pejabat serta pegawai yang suka menjilat atasan. Sebagian dari mereka memilih bekerja mandiri, bekerja di perusahaan, atau menjadi aktivis NGO. Hal serupa terlihat dari kritik kaum muda terhadap organisasi keagamaan yang kian hari kian sempit dan semata-mata jalur menuju pentas politik oligarki di pusat maupun di daerah. Singkat kata, depolitisasi tersebut berarti kaum muda tidak disediakan kapabilitas dan arena dalam politik praktis.

Masalah kedua, pembajakan dunia siber oleh elit oportunis, sudah menjadi perilaku politik yang lumrah dalam beberapa tahun terakhir. Ruang siber berlaku sebagai teater akrobatik bagi para politisi dan pejabat. Alih-alih bekerja keras mencegah masalah, isu-isu publik yang dikemukan pegiat dunia siber direspon dan dibajak untuk menunjukkan kinerjanya yang responsif terhadap tuntutan publik. Terlepas dari mitos pelayanan publik secara digital, fenomena ini lebih banyak bercerita tentang sikap dan perilaku oportunis birokrasi, parlemen dan partai politik kita. Oportunisme ini juga dirasa kian penting untuk menjatuhkan rejim yang berkuasa atau sebaliknya menistakan lawan-lawan politiknya.

Normalisasi terhadap sikap dan perilaku oportunis ini tidak datang dari ruang hampa. Oportunisme dibesarkan dalam dua kondisi yang tampak bertolak belakang tetapi saling meneguhkan. Pertama, wacana digital governance termasuk pelayanan terpadu mendorong pejabat dan politisi bekerja dengan cara baru yang dianggap lebih efisien dan efektif bagi pelayanan publik. Digitalisasi pelayanan publik pun berlangsung intensif dari pusat sampai daerah. Selain memboroskan anggaran negara dan sarang korupsi, program ini bagi birokrasi dan parlemen dapat menutupi keterbatasan kompetensi dan keahlian karena digantikan oleh teknorasi baru berkat keajaiban ‘know-how’ teknologi komputer dan internet. Tentu sebagaimana kita ketahui, tata kelola secara digital rupanya tidak memperbaiki kinerja birokrasi dan parlemen tetapi lebih berlaku sebagai teknologi anti-politik yang menyembunyikan krisis kebijakan dan krisis kreativitas di kalangan pemangku kebijakan.

Kondisi kedua yang melahirkan oportunisme ini adalah krisis representasi politik. Dalam satu dekade lebih ini sejak diberlakukannya Pilkadal dan Pemilu, pejabat dan politisi menemukan rakyat dalam kotak suara. Dengan sistem dan cara berpolitik asalkan dapat suara terbanyak, pejabat dan politisi bahkan tak mengetahui secara pasti basis elektablitasnya selain basis suku, agama dan wilayah. Hal ini disebabkan juga oleh krisis ideologi dan program kerja dalam partai politik. Studi politik muthakir telah menegaskan krisis representasi politik baik di pusat maupun di daerah. Kasus korupsi yang melanda sebagian besar bupati, gubernur dan anggota DPRD di seluruh Indonesia kiranya menjadi indikator terbaik tentang krisis kerja politik untuk rakyat selama lima tahun berkuasa. Karena kasus korupsi lebih dari sekadar masalah moral dan budaya korupsi tetapi bercerita tentang tidak sinambungnya pesta demokrasi dan pelayanan publik selama lima tahun.

Dengan dua kondisi tersebut kita setidaknya dapat lebih mudah memahami mengapa demokrasi digital disambut pemerintah, parlemen dan partai politik. Rakyat rupanya ditemukan kembali dalam media sosial dan media massa. Pejabat dan politisi kian terobsesi sekaligus sensitif dengan isu publik yang berseliweran melalui media sosial dan media massa. Keaktifan pejabat dan politisi menguntit dan berkeliaran dalam dunia siber masih terbatas pada menjaga reputasi diri dan lembaga, sekaligus ikut mengeskalasi isu yang memicu skandal dan aib lawan politiknya. Hal tersebut tercermin pula pada bagaimana politisi memanfaatkan dunia siber untuk kampanye diri dan partai politiknya. Demokrasi digital lebih banyak mendatangkan manfaat bagi petualang politik ketimbang arena belajar demokrasi untuk mengubah dan sikap oportunisme politik.

Masalah ketiga, normalisasi konflik elit dan eskalasi politik identitas, belakangan ini merupakan gejala dunia siber yang mengkwatirkan bagi demokrasi Indonesia. Gejala ini tidak terlepas dari dua masalah yang disebutkan terdahulu. Alih-alih menguncang struktur politik yang oligarkis, demokrasi digital ikut memperkuat wacana politik elit dengan terus menerus membicarakan skandal aktor politik atau sengitnya konspirasi merebut dan menjatuhkan kekuasaan. Persoalan korupsi, konflik internal partai, dan pertarungan pilkadal/pemilu senantiasa dibahas dalam koridor terbatas pada sensasi amoral,  popularitas dan pencitraan elit politik. Banalitas politik diperbincangkan sedemikian rupa sampai pada titik elit merasa perlu untuk terus melakukan pencitraan baik di media sosial maupun media massa. Kontestasi pencitraan berlangsung tanpa aturan dan tim sukses termasuk simpatisan menjadikan dunia siber sebagai medan perang untuk agitasi, provokasi dan mobilisasi.

Pada saat bersamaan, kita menyaksikan eskalasi politik identitas dalam dunia siber.  Alih-alih menjadi ajang belajar membangun Indonesia baru, demokrasi digital terus saja mereproduksi manusia Orde Baru yang menjadikan suku, agama dan ras sebagai penanda politik. Terlepas dari adanya regulasi dunia siber yang memberi koridor bagi pendapat dan tutur kata, politik identitas tidak lagi sekadar meminta pengakuan tetapi bergerak lebih jauh yakni mengajukan klaim legitimasi sebagai manusia Indonesia kelas satu (first class citizens) dengan alasan mayoritas dari aspek agama, suku dan ras. Hal ini berlangsung dalam dunia siber terkait politik nasional maupun politik di daerah dalam kerangka otonomi daerah. Selain warisan Orde Baru, mentalitas politik ini juga mencerminkan arus balik mentalitas poskolonial, dari tipologi kewarganegaraan kolonial (Penjajah, kulit berwarna dan pribumi) ke tipologi pribumi menjadi nomor satu berdasarkan agama, suku dan ras. ‘Pribumi’ tampil sebagai penanda identitas yang tak stabil, dipakai sesuai keperluan politik, dan siapa pun menjadi rentan untuk disingkirkan dari ruang publik dan pemerintahan di pusat dan di daerah.

Politik identitas yang meningkat dalam dunia siber rupanya berkorelasi dengan polarisasi politik dalam politik praktis. Eskalasi politik identitas dalam dunia siber mendorong atau sebaliknya terdorong oleh polarisasi kelompok identitas dalam ruang publik dan perebutan kekuasaan. Logik dominasi dalam politik, atau penaklukan dan penundukan terhadap yang lain, tercermin dalam antusiasme merayakan perbedaan identitas dalam dunia siber. Dari waktu ke waktu, Indonesia baru dan manusia baru, yakni warga negara reformasi, bukan lagi topik yang diperbincangkan dalam dua dunia ini. Politik tampak hiperaktif sembari menyembunyikan ketidakmampuan membangun aliansi lintas-identitas. Nalar politik berputar-putar di sekitar kelamin untuk kebebasan orientasi seksual, warna kulit dan bahasa untuk ras dan suku, dan tafsir kitab suci untuk supremasi teologi politik.

Salah satu ilustrasi terkini untuk melukiskan hubungan demokrasi digital dan politik praktis tersebut dapat dilihat melalui kasus Ahok. Kasus ini lebih dari sekadar perkara penistaan agama. Kasus ini menjadi menarik karena membantu kita memahami jalan buntu atau deadlock politik dominasi yang intensif berlangsung dalam politik praktis dan dunia siber. Baik kelompok ‘liberal-progresif’ yang pro-Ahok dan kelompok ‘fundamentalist’ anti-Ahok sama-sama berbiak di dalam politik dominasi. Kedua kekuatan ini sama-sama menggunakan ruang digital dan media massa untuk memenangkan agenda masing-masing. Di balik kedua kelompok ini, berlangsung konspirasi elit nasional yang saling menjegal. Ahok menjadi sandera politik dominasi, menyingkapkan absennya kreativitas politik hegemoni di Indonesia. Kasus ini pun menunjukkan rentannya struktur dan konsolidasi elit nasional sekaligus memberi kesan sangat berkuasanya Ahok sebagai ‘antek asing dan aseng’.  Ragam isu seputar kasus ini, dalam dunia siber dan dunia nyata, memberi kesaksian tersendiri, bahwa konflik elit dan politik identitas bukanlah dua wacana yang terpisah tetapi dua artikulasi anti-demokrasi yang berbiak dalam logik politik dominasi pasca Orde Baru.

Selain sebagai proksi politik, kasus Ahok dan kasus-kasus berskala nasional lainnya  memiliki pola kuda troya, yaitu, satu kasus mengandung banyak pertarungan kepentingan politik kekuasaan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya epistemologi politik esensialisme, merayakan perbedaan sembari menanti saatnya meniadakan lawan politik. Dalam situasi tersebut, ruang siber memainkan peran krusial untuk menfasilitasi baik konsolidasi elit anti-demokrasi maupun polarisasi komunitas warga digital ke dalam sentimen publik melalui identifikasi agama, suku dan ras. Indonesia sebagai imaji kreatif sepanjang sejarah, sebagai hasil kerja politik persatuan di atas perbedaan, digantikan Indonesia yang difantasikan oligarki dan komunitas primordial.

Patut dicatat dua dampak fundamental yang dihasilkan dari tiga masalah yang telah dikemukakan di atas. Dampak pertama adalah absennya tata kelola politik (politial governance) yang berguna untuk mencegah, mengatasi dan mengelola konflik politik di luar kerangka prosedur-administrasi dan penegakan hukum. Tata kelola politik diperlukan untuk merespon isu-isu krusial yang berpengaruh terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hal ini, diperlukan tata kelola terhadap politik identitas yang dapat memperkuat kesatuan dalam keberagaman identitas. Dampak kedua adalah hukum kian dinormalisasi sebagai panglima. Penegakan hukum tentu penting untuk keadilan dan kesetaraan tetapi menjadi problematis kalau selalu menjadi pemadam kebakaran untuk masalah-masalah atau kasus yang memiliki dimensi politik. Absennya tata kelola politik membuat penegakan hukum terkesan sangat penting tetapi tak memiliki kapasitas untuk mengatasi akar-akar politis dari masalah atau isu yang terus berulang khususnya terkait konflik saling sandera antara kekuatan politik melalui kasus korupsi dan konflik sosial terkait keberagaman antara suku, agama dan ras.

Tantangan dan Peluang Strategis

Keseluruhan uraian di atas hendak memperlihatkan sentralnya posisi, peran dan tanggung jawab demokrasi digital bagi Indonesia hari ini. Secara konseptual, ruang siber merupakan arena yang strategis untuk belajar dan merealisasikan prinsip-prinsip demokrasi terutama menghargai dan mengenali perbedaan, membangun aliansi lintas-identitas dan ruang kritik terhadap oligarki politik. Pengalaman demokrasi digital dari berbagai kawasan di dunia dan Indonesia memberi sinyal yang kuat bahwa ruang siber ini berlaku sebagai ajang pertarungan kepentingan globalist neoliberal, oligarki nasional dan ideologi fundamentalis baik dari kubu liberal-progresif maupun kubu fundamentalisme identitas budaya seperti agama, suku dan ras.

Bertolak dari pengalam Indonesia sendiri, kita mencatat dua kecenderungan yang terus bertarung. Pertama, kecenderungan ruang siber sebagai arena resistensi dan aktualisasi diri warga digital khususnya kaum muda.  Pemanfaatan ruang siber ini sebagai respon terhadap ketersediaan pelbagai unsur pembentuk kapabilitas dan keahlian untuk membentuk otonomi diri, berjejaring dan pergerakan. Juga sebagai respon terhadap krisis representasi politik dalam dunia nyata yang membatalkan peluang kaum muda cerdas dan kreatif masuk dalam pemerintahan dan partai politik. Kedua, kecenderungan ruang siber menjadi arena depolitisasi. Dalam arti ruang siber berlaku sebagai alternatif bagi demokrasi formal dan membatalkan partisipasi politik aktif warga digital sebagai warga negara dalam politik praktis. Hal ini diperparah oleh oligarki politik yang membajak ruang siber dan menguatnya politik identitas dalam ruang tersebut.

Dua kecenderunga tersebut patut dijadikan awalan untuk mengembangkan kerangka pikir dan kerangka kebijakan untuk demokrasi digital. Sejumlah regulasi berkaitan dengan ruang siber tentu dapat mengelola sejumlah masalah teknis, etis-moral dan keamanan. Kendati demikian, agar ruang digital memainkan peran konsolidasi demokrasi baik dalam ruang tersebut maupun dalam politik praktis diperlukan pembaharuan diskusi dan debat publik mengenai prinsip-prinsip dasar dan arah kebijakan ruang digital. Bertolak dari diskusi multi-stakeholder dan debat publik tersebut akan mengemuka formulasi dan intervensi kebijakan yang bersifat strategis dan visioner untuk pengelolaan ruang siber bagi konsolidasi demokrasi.

Arti penting intervensi kebijakan strategis akan terbaca jika diletakkan dalam diskusi kita dalam tulisan ini. Proses digitalisasi akan terus berlangsung dalam berbagai ranah dan tentu membawa banyak manfaat positif bagi aktivitas ekonomi, interaksi budaya dan membuka horison baru sebagai warga dunia yang kian terintegrasi. Manfaat positif tersebut di masa depan bisa menjadi tak berguna jika terjadi eskalasi konflik kekerasan antar kelompok identitas dalam pertarungan politik oligarki yang disebabkan pengabaian negara dan masyarakat sipil terhadap salah satu front terpenting pembentukan opini publik dan mobilisasi kelompok, yakni, ruang siber. Pengalaman sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa Timur hari ini patut dijadikan pelajaran berharga. Kegagalan membaca gejala polarisasi dan perilaku oligarki yang oportunis dalam ruang siber dan ruang publik harus dibayar mahal dengan konflik berdarah antar anak bangsa dan ancaman disintegrasi nasional.

Dibaca dalam konteks geopolitik dunia hari ini, urgensi adanya intevensi kebijakan strategis dimaksudkan untuk mengantisipasi penetrasi kekuatan globalist neoliberal ke dalam negeri secara lebih intensif di masa datang. Sejauh ini Indonesia tidak persis berada dalam episentrum geopolitik global akan tetapi untuk beberapa tahun ke depan akan terjadi pergeseran konstelasi geopolitik ke arah Asia Selatan dan Asia Tenggara.  Untuk melakukan destabiliasi, kekuatan globalist neoliberal tidak saja beroperasi dengan kekuatan militer tetapi  juga melalui produksi dan diseminasi pengetahuan atau wacana tertentu. Kombinasi dua teknologi kuasa ini, hard power dan soft power, terbukti sangat ampuh mengguncang fundasi sosial dan budaya suatu negara-bangsa.

Lebih dari itu, dalam satu dekade terakhir produksi dan diseminasi wacana melalui ruang siber terbukti efektif sebagai teknologi ‘define dan rule’, yakni, menamai, mengklasifikasi dan melabelkan anak bangsa ke dalam oposis biner seperti mayoritas/minoritas atau moslem moderat/moslem radikal. Tujuan ideologis dari propaganda ini adalah menjauhkan masyarakat dari sikap kritis terhadap eksploitasi ekonomi dan ekologi oleh korporasi global, menghilangkan pengetahuan kritis terhadap rekam jejak intervensi unilateral-multilateral terhadap negara ‘Dunia Ketiga’, dan menjatuhkan pemerintahan yang tak patuh pada aturan dan imperatif moral yang dinarasikan atas nama ‘masyarakat internasional’. Karena itu, komunitas kebijakan dan intelektual publik perlu segera mendeteksi dan menganalisis kondisi terkini dari ruang siber dan menghubungkan dengan kondisi ruang publik demi menghasilkan arah dan prinsip-prinsip baru formulasi kebijakan ruang siber berbasis data dan antisipasi resiko serta peluang bagi konsolidasi demokrasi pada dua front tersebut. 

(Frans Djalong. Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Kemenkoinfo, Edisi Januari, 2017)

Referensi

Brown, Wendy. Regulating Aversion: Tolerance in the Age of Identity and Empire. Princenton: Princenton University Press, 2006

Edward, David. The Guardian of Power: Myth of The Liberal Media. London: Pluto Press, 2006

Fuchs, Christian. Critique, Social Media and the Information Society. New York: London, 2014

Graham, Gordon. Internet: A Philosophical Inquiry. London Routledge, 1999 

Howard, Philip.  Digital Origins of Totalitarianism and Democracy: Information Technology and Political Islam. New York: Oxford University Press, 2010

Negri, Antonio & Michael Hardt. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: Penguin Press, 2004

—————– Empire. Cambridge: Harvard University Press, 2000

Karatzogianni, Athina.   Cyber Conflict and Global Politics. New York: Routledge, 2009

Luke Timothy. “Digital Citizenship”, dalam Philip Kalanzis-Cope (ed.), Emerging Digital Space in Contemporary Society. New York: Palgrave MacMillan, 2010. 

Mouffe, Chantal. “The Importance of Enganging the State”, dalam Jonathan Pugh (ed.), What is Radical Politics Today?. New York: Palgrave MacMillan, 2009