Demokrasi Kita, Mohammad Hatta, 1960

Sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme, yang bertujuan menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi yanag sebaik-baiknya, dan kemakmuran yang sebesar-besarnya. Sementara realita saat ini, pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.

Tindakan-Tindakan Presiden

Apalagi sejak dua-tiga tahun terakhir ini, terlihat benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Presiden yang menurut Undang-Undang Dasar 1950 adalah presiden konstitusional yang tidak bertanggung jawab atas pembentukan kabinet, dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatur kabinet. Dengan itu, dia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab tetapi tidak memikul tanggung jawabnya.

Pemerintahan yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh parlemen, dengan tidak menyatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden dengan dalil “keadaan darurat”. Kemudian Presiden Soekarno membubarkan Konstituante yang dipilih rakyat, sebelum pekerjaan mereka membuat Undang- 7 Undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit, Presiden menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Republik Indonesia adalah kepala eksekutif. Parlemen yang ada menurut Undang-Undang Dasar 1950 dan tersusun menurut pemilihan umum 1955 diakui sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sementara, sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat baru berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Sungguh pun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat, dia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat. Golongan minoritas menganggap perbuatan Presiden itu sebagai suatu perkosaan, tetapi mereka menyesuaikan dirinya dengan kenyataan yang baru itu. Dengan pendirian seperti itu, Dewan Perwakilan Rakyat sudah melepaskan sendiri hak kelahirannya.

Tidak lama sesudah itu, Presiden Soekarno mengambil langkah lagi. Setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan, dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separuh terdiri atas anggota-anggota partai, separuh lagi dari apa yang disebut golongan fungsional, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim ulama, cendekiawan, tentara, dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden. Anggota-anggota partai politik yang 130 orang itu sebagian besar dipilihnya sendiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bersidang sampai sekarang, dengan 8 menyingkirkan sama sekali anggota-anggota yang termasuk golongan oposisi.

 Tugas Dewan Perwakilan Rakyat

 PRESIDEN Soekarno mendasarkan segala tindakannya itu atas pendapat, bahwa revolusi Indonesia untuk mencapai Indonesia yang adil dan makmur belum selesai. Sebelum tercapai Indonesia yang adil dan makmur, revolusi masih berjalan terus dan segala susunan yang ada itu bersifat sementara. Ia, katanya, tidak menentang demokrasi, malahan menuju demokrasi yang sebenarnya, yaitu demokrasi gotong royong seperti yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang asli. Ia mencela demokrasi cara Barat yang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, yang sebegitu jauh dipraktikkan di Indonesia. Free fight democracy itu menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan jadi terlantar.

Demokrasi liberal itu hendak digantinya dengan apa yang dia sebut demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin, seperti yang dimaksudnya itu, adalah cara bekerja melaksanakan suatu program pembangunan yang direncanakan dengan suatu tindakan yang kuat di bawah suatu pimpinan. Cita-cita itu harus didukung oleh kerja sama yang baik antara empat golongan besar yang berpengaruh di masyarakat, yaitu golongan-golongan nasional, Islam, komunisme, dan tentara. Titik berat pemerintahan dan perundang-undangan tidak lagi pada parlemen, melainkan pada dua badan baru, yaitu Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional.

Dalam sistem ini, Dewan Perwakilan Rakyat tugasnya hanya memberikan dasar-dasar hukum kepada keputusan-keputusan yang ditetapkan pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tadi. Dengan cara begitu, menurut pendapat Soekarno, segala perundingan dapat berlaku dengan cepat, tidak bertele-tele seperti yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat sampai sekarang. Kedua badan tersebut, Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional, karena susunannya ditentukan sendiri oleh Presiden Soekarno, bisa menjadi pressure group atau golongan pendesak terhadap Dewan Perwakilan Rakyat.

Tetapi dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu DIKTATOR yang didukung golongan-golongan tertentu.

Krisis Demokrasi

OLEH karena itu, tidak heran kalau banyak orang menyangka, demokrasi lenyap dari Indonesia. Tetapi pendapat semacam itu tidak benar. Itu suatu pendapat yang diperoleh dari penglihatan sepintas lalu saja atas proses politik yang berlaku di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan dari beberapa negeri lain di Asia, demokrasi di sini 10 berurat akar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu, ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Apa yang terjadi sekarang adalah krisis demokrasi, atau demokrasi dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat laun akan digantikan diktator. Ini adalah hukum besi sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari krisis demokrasi itu.

Demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang pada pemimpin-pemimpin partai, seperti yang telah berkali-kali saya peringatkan.

Pada permulaan kemerdekaan, sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, orang-orang merasakan benar-benar tanggung jawabnya. Tetapi setelah kemerdekaan itu diakui seluruh dunia, sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada akhir 1949, orang-orang melupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi di dalam praktik.

Semangat ultra-demokratis yang merajalela dalam dada pemimpin-pemimpin partai mengubah sistem pemerintahan dari pemerintah presidensil yang tertanam di dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi kabinet parlementer. Sistem kabinet parlementer seperti yang berlaku di Eropa barat, di mana pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, sebagian orang anggap lebih demokratis dibanding sistem pemerintah presidensil. Mereka lupa, Indonesia dalam masa peralihan ke pemerintahan 11 nasional yang demokratis perlu suatu pemerintah yang kuat. Sejarah Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 menyatakan, pemerintah yang kuat di Indonesia adalah pemerintah presidensil di bawah dwitunggal Soekarno-Hatta. Lahirnya ide dwitunggal di waktu itu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, melainkan suatu kenyataan yang dikehendaki keadaan.

Di masa Republik Indonesia yang pertama itu, telah dicoba untuk mengubah sistem pemerintah presidensil menjadi sistem kabinet parlementer yang dipimpin seorang perdana menteri yang bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Alasan yang dikemukakan, supaya presiden dan wakil presiden tetap dan tidak terganggu gugat dalam memimpin negara. Presiden dan wakil presiden dilindungi kabinet yang bertanggung jawab politik, yang setiap waktu dapat diganti kalau perlu. Tetapi dalam praktik, ternyata bukan kabinet yang melindungi presiden dan wakil presiden, memagari mereka dengan tanggung jawabnya, melainkan sebaliknya.

Di mana-mana, presiden dan wakil presiden harus bertindak dengan menggunakan kewibawaannya untuk melindungi kabinet dari kecaman dan serangan rakyat yang tidak puas. Sampai ke dalam sidang Komite Nasional Pusat, wakil presiden terpaksa bersuara untuk mempertahankan politik pemerintah yang digugat dan dikecam sehebat-hebatnya oleh berbagai golongan di dalamnya. Dan pada saat yang genting seperti pada peristiwa 3 Juli 1946, orang berpegang kembali kepada kabinet presidensil. Demikian juga sesudah penandatanganan Perjanjian Renville, pada permulaan 1948, yang menimbulkan perpecahan besar dan 12 pertentangan politik yang hebat di tengah masyarakat, orang kembali kepada pemerintah presidensil di bawah wakil presiden. Pemerintah itulah yang stabil sampai pada pemulihan kedaulatan pada akhir tahun 1949 oleh Belanda.

Tetapi sesudah itu, semangat ultra-demokratis muncul kembali. Dalam Undang-Undang Dasar 1950 ditetapkan sistem kabinet parlementer. Dwitunggal Soekarno-Hatta dijadikan simbol negara belaka dalam kedudukan Presiden dan Wakil Presiden yang konstitusional, yang tidak dapat diganggu gugat. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Dan mulai saat itu, pada hakikatnya tamatlah sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia.

 Pelaksanaan Demokrasi

NEGARA baru yang dibentuk dari penggabungan enam belas negara bagian Republik Indonesia Serikat menurut keputusan Konferensi Meja Bundar, menjadi satu negara yang daerahnya meliputi seluruh Indonesia dengan Irian Barat sebagai daerah sengketa—negara baru ini akan menghadapi seribu satu masalah dan kesulitan. Justru pada saat itu, dua orang yang benar-benar mempunyai kewibawaan dibebaskan dari tugasnya sebagai pemimpin negara yang riil dan dijadikan simbol belaka.

Sebenarnya ada suatu pertentangan perasaan dari dalam yang sukar diatasi. Sistem dwitunggal itu sudah menjadi mitos yang memengaruhi jalan pikiran bangsa kita. Dalam alam pikir rakyat 13 banyak, segala kesulitan akan dapat diatasi selama dwitunggal itu berada di pucuk pimpinan negara.

Sebaliknya, sebagian orang ingin memiliki suatu sistem pemerintahan yang lebih demokratis, di mana pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen setiap waktu. Menurut jalan pikiran ini, di antara badan-badan yang bekerja sama dalam menjalankan pemerintahan—parlemen dan pemerintah— parlemenlah yang terkuat. Tetapi kenyataannya, sistem itu tidak berjalan terhadap dwitunggal karena kewibawaannya yang besar terhadap rakyat.

Selain itu, ada pula aliran yang berpendapat, dua figur itu akan menjadi penghalang bagi tenaga-tenaga politik baru untuk maju ke muka. Ini merugikan bagi latihan demokrasi. Sebab itu, dua figur itu perlu memberi peluang dan tempat dalam kekuasaan politik bagi pemimpin-pemimpin yang lain itu.

Segala pertimbangan itu melupakan kepentingan yang lebih besar dan mendesak di waktu itu, bahwa negara memerlukan pemerintah yang kuat, yang mempunyai kewibawaan besar untuk mengatasi berbagai kesulitan.

Salah satu dari kesulitan yang paling utama, cita-cita demokrasi memang ada di Indonesia, tetapi pelaksanaannya kurang. Selain itu, pengalaman dalam pemerintahan demokrasi sedikit sekali. Di luar daerah Republik Indonesia yang pertama— yang hanya meliputi Jawa dan Sumatera—tidak ada yang memiliki pengalaman berdemokrasi. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama kali mewakili seluruh Indonesia menurut Undang-Undang dasar 1950, tidak dipilih rakyat, melainkan 14 diangkat pemerintah negara-negara bagian lama. Lebih dari separuhnya berasal dari pegawai negeri yang di zaman Hindia Belanda tidak memiliki pengalaman politik.

Sebab itu, tidak mengherankan jika dalam Dewan Perwakilan Rakyat itu jumlah partai politik semakin lama semakin banyak. Akhirnya terdapat sembilan belas partai politik. Orang dapat mengira, betapa sulitnya membentuk suatu pemerintah yang akan memperoleh dukungan suara terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat. Tiap-tiap pemerintah mempunyai corak pemerintah koalisi, tersusun dari setidaknya tujuh atau delapan partai. Alangkah sulitnya menyusun program bersama dan menyetujui orang-orang yang akan duduk sebagai menteri. Dan kalau pemerintah sudah berjalan, kemudian di koalisi itu ada partai yang tidak puas, lalu menteri dari partai tersebut ditarik dari kabinet, maka akan terjadi krisis kabinet. Akhirnya kabinet jatuh karena kelemahan dari dalam, bukan karena mosi tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat. Berkali-kali pemerintah mengundurkan diri, tetapi belum ada yang jatuh di muka parlemen akibat mosi tidak percaya.

Dengan sendirinya pemerintah-pemerintah semacam itu, yang setiap waktu menghadapi persoalan politik di dalam dan di luar Dewan Perwakilan Rakyat, tidak cukup mempunyai kesempatan untuk memikirkan soal ekonomi dan pembangunan. Rencana yang dibuat akan telantar kalau pemerintahnya jatuh, karena pemerintah yang menggantikannya membuat lagi rencana baru.  

Sesudah pemilihan umum 1955, jumlah partai tidak berkurang, malahan bertambah sampai 28. Hal itu disebabkan sistem pemilihan yang terlalu demokratis. Sebenarnya tiga partai terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat, PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama memperoleh suara terbanyak yang mutlak. Tetapi di antara Masyumi dan dua lainnya sukar mencapai kesepahaman.

 Kalau di negara-negara yang sudah lama menjalankan demokrasi saja masih terdapat perbuatan menyalahgunakan kekuasaan, apalagi di negera yang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan, menjadi partai pemerintah berarti juga “membagi rezeki”. Golongan sendiri diutamakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri ditugaskan partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan bagi partainya. Seorang menteri perekonomian, misalnya, menjalankan tugasnya sebagai menteri dengan memberikan lisensi dengan bayaran tertentu untuk dia setorkan ke kas partainya. Atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir atau eksportir, yang didahulukan adalah orang separtai dengan dia. Keperluan uang untuk biaya pemilihan umum menjadi sebab kecurangan itu.

 Partai yang pada hakikatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar rakyat belajar bertanggung jawab sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat. Tetapi pada kenyataannya, partai dijadikan tujuan dan negara sebagai alatnya.  

Juga dalam penempatan pegawai di jabatan publik di dalam dan luar negeri, orang lupa akan dasar tanggung jawab dan toleransi dalam demokrasi. Seringkali keanggotaan partai menjadi 16 ukuran, bukan berdasarkan prinsip the right man in the right place. Pegawai yang tidak berpartai atau partainya duduk di bangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan patah hati. Hal itu merusak ketentraman bekerja, mendorong orang untuk melakukan kecurangan, dan korupsi mental. Dengan politik kepartaian itu, alih-alih untuk memperkuat budi pekerti dan karakter pegawai, malah mengasuh orang luntur karakter. Akhirnya, orang masuk partai bukan karena keyakinan, tetapi untuk memperoleh jaminan.

Suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi, memberi ruang manusia pencari keuntungan maju ke muka. Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalat mereka, partai-partai politik ditungganginya, untuk meraih kepentingan pribadi. Maka timbulah anarki dalam politik dan ekonomi. Selanjutnya, korupsi dan demoralisasi merajalela.

Demokrasi Dan Diktator

DI mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran yang dicita-citakan masih jauh saja, sedangkan nilai uang semakin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak di mana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya erosi, dan lain-lain.

Pembangunan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang adil, yang ditunggu-tunggu, 17 masih jauh saja. Pelaksanaan otonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri, yang lama sekali tertunda, menjadi sebab timbulnya pergolakan daerah.

Daerah-daerah yang begitu banyak menghasilkan devisa buat negara, tetapi tidak merasakan pembangunan di daerahnya, mulai menentang pemerintah pusat.

Sudah lebih dulu angkatan perang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai. Percekcokan politik di pusat besar pengaruhnya ke bawah. Di daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi tentara. Alih-alih menyiapkan diri untuk tugas yang sebenarnya, yaitu melatih diri dan mengadakan perlengkapan untuk menghadapi musuh dari luar, tentara malah terus menerus disuruh melakukan tugas polisi ke dalam. Pada tahun 1952, pernah pemimpin angkatan perang memohon kepada Presiden agar Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat bekerja yang selalu menimbulkan politik yang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil, sebab Presiden menunjukkan kedudukannya sebagai kepala negara konstitusional.

Akhirnya, keikutsertaan tentara dengan gerakan rakyat di beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat memaksa pemerintah pusat mengumumkan keadaan bahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan. Persengketaan tentang Irian Barat yang semakin memuncak memberi kesempatan kepada beberapa golongan pemuda untuk mengambil alih beberapa perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Untuk menghindarkan kekacauan, pemerintah memberi 18 tugas kepada angkatan perang untuk mengawasi semua itu. Dengan itu bertambah luaslah kekuasaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada tentara.

Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka, sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara. Untuk menanggalkan kekuasaan partaipartai politik dalam pemerintah, tentara menganjurkan ide: kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan sistem kabinet presidensil. Cita-cita itu disokong beberapa golongan kecil yang merasa berjasa dalam revolusi tahun 1945 tetapi tak pernah terhitung dalam politik selama itu. Sudah tentu itu semua diusulkan dengan interpretasi sendiri!

Dari kanan dan kiri Presiden didesak agar mengambil tindakan tegas untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan antikonstitusi dianjurkan!

Maka terjadilah peristiwa yang disebut pada awal buku ini. Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya: diktator.

Seperti diperingatkan di awal, ini adalah hukum besi sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula, diktator yang bergantung pada kewibawaan seseorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula, sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya itu akan rubuh dengan sendirinya, seperti rumah kartu. Tidak ada seorang 19 pun dari tim kerja samanya itu yang mempunyai kaliber dan kewibawaan untuk meneruskannya. Tidak pula ada bayangan di masyarakat, bahwa sistem itu disukai orang.

Konsepsi Soekarno

KALAU kita perhatikan, golongan-golongan dalam Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong itu, yang akan mendukung sistem Soekarno, di situ tidak ada homogenitas. Malah mereka terdiri atas berbagai aliran yang bertentangan, yang batasmembatasi, dan hambat-menghambat. Mereka dapat bekerja sama dan bermusyawarah, karena ada Soekarno yang menentukan, dan mereka mengiyakan.

Dalam keadaan semacam itu, tenaga-tenaga demokrasi dalam masyarakat terpaksa menunggu dengan sabar, apa yang akan dilahirkan oleh konsepsi Soekarno itu. Selama politiknya didukung aliran-aliran politik yang terbesar jumlahnya, dan golongan yang berkuasa—semuanya dengan semangat totaliter—aliran demokrasi tidak dapat berbuat apa-apa. Semangat totaliter sedang kuat, karena adanya pemberontakan di beberapa daerah.

Bagi saya, yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan faire chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan sukses atau gagal. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil, kira-kira dua tahun yang lalu. Ada ukuran objektif yang akan menentukan dalam hal ini. Akan tercapai atau tidak 20 kemakmuran rakyat dengan sistem itu—kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri menciptakannya dengan sepenuh-penuh fantasinya? Sanggupkah dia menahan kemerosotan taraf hidup rakyat dalam tempo yang singkat? Dapatkah dia menghentikan inflasi yang terus menerus dalam waktu yang tidak terlalu lama— inflasi yang membawa orang putus harapan?

Itulah ukuran objektif yang tepat terhadap konsepsinya itu!

Bahwa Soekarno seorang patriot yang cinta pada tanah airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas lekasnya, itu tidak dapat disangkal. Dan itulah barangkali motif utama baginya untuk melakukan tindakan yang luar biasa itu, dengan tanggung jawab sepenuhnya pada dirinya sendiri. Tetapi, berhubung dengan tabiat dan pembawaannya, dalam segala ciptaannya dia hanya memandang garis besarnya. Hal-hal mengenai detail, yang mungkin menyangkut dan menentukan dalam pelaksanaan rencana, tidak dihiraukannya. Sebab itu dia sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya itu.

Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya, kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikayat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah ein Teil jener Kräfte, die stets das Bose will und stets das Gute schafft—satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik— Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan 21 membawa dia pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.

Tadi saya katakan, demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia, yang lancar jalannya. Tetapi bahwa dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.

 Ada dua hal yang memberikan keyakinan itu kepada saya. Pertama, cita-cita demokrasi yang hidup dalam pergerakan kebangsaan di masa penjajahan dulu, yang memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan. Kedua, pergaulan hidup Indonesia yang asli berdasarkan demokrasi, yang sampai sekarang masih ada di desa-desa.

Sudah biasa dalam sejarah, cita-cita yang murni dan indah tentang pergaulan hidup manusia dan bangsa lahir dalam masa penderitaan. Rakyat Indonesia menderita berabad-abad lamanya, di bawah penjajahan Belanda. Kesengsaraan hidup, penghinaan bangsa oleh peraturan diskriminasi, perasaan nasional di bawah kekuasaan otokrasi kolonial, sifat pemerintahan jajahan sebagai suatu negara-polisi yang menindas segala cita-cita kemerdekaan— semuanya itu menghidupkan pergerakan kebangsaan, cita-cita tentang persatuan Indonesia, perikemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Semuanya itu tergaris sedalam-dalamnya di jiwa rakyat Indonesia, sekalipun mereka hanya sanggup menyatakannya secara pasif. Tetapi di dalam kalbu orang pergerakan, cita-cita itu hidup sebagai keinsafan hukum, yang harus memberi corak kepada Indonesia Merdeka.

Sejak masa penjajahan, diciptakan bahwa Indonesia Merdeka di masa datang mestilah NEGARA NASIONAL, bersatu dan tidak terpisah-pisah. Ia bebas dari penjajahan asing dalam rupa apa pun, politik maupun ideologi. Dasar-dasar perikemanusiaan harus terlaksana dalam segala segi penghidupan, dalam hubungan antara orang dan orang, antara majikan dan buruh, antara bangsa dan bangsa. Lahir dalam perjuangan menentang penjajahan, citacita perikemanusiaan tidak saja bersifat antikolonial dan antiimperialis, tetapi juga menuju kebebasan manusia dari segala penindasan. Pergaulan hidup harus diliputi suasana kekeluargaan dan persaudaraan. Literatur sosialis yang banyak dibaca, dan pergerakan kaum buruh barat yang dilihat dari jauh dan dari dekat, memperkuat cita-cita itu menjadi keyakinan.

Demokrasi Indonesia

PENGALAMAN dengan pemerintahan otokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi, menghidupkan cita-cita negara hukum yang demokratis di dalam kalbu pemimpin dan rakyat Indonesia. Negara itu haruslah berbentuk republik berdasarkan kedaulatan rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat yang dipahami dan dipropagandakan di kalangan pergerakan nasional berlainan dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia harus pula berupa perkembangan dari demokrasi Indonesia yang asli. Semangat kebangsaan yang tumbuh sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kapitalisme barat, 23 memperkuat pula keinginan untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun dalam masyarakat sendiri. Demokrasi barat á priori ditolak.

Saat mempelajari Revolusi Prancis 1789, yang terkenal sebagai sumber demokrasi barat, ternyata trilogi “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan” yang menjadi semboyannya tidak terlaksana dalam praktik. Itu tidak mengherankan, karena Revolusi Perancis meletus sebagai revolusi individual untuk kemerdekaan orang-seorang dari ikatan feodalisme. Kemerdekaan individu diutamakan. Dalam mewujudkannya orang lupa akan rangkaiannya dengan persamaan dan persaudaraan.

Selagi Revolusi Prancis tujuannya hendak melaksanakan cita-cita sama rata sama rasa—sebab itu di sebelah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan—demokrasi yang dipraktikkan hanya membawa persamaan politik. Itu pun terjadi berangsur-angsur. Dalam politik hak seseorang sama dengan yang lainnya: kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, samasama mempunyai hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan.

Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme yang dihidupkan Revolusi Perancis, kapitalisme tumbuh subur. Pertentangan kelas bertambah hebat. Di mana ada pertentangan hebat antara berbagai kepentingan, di mana ada golongan yang menindas dan ditindas, di situ sukar didapat persaudaraan.

Nyatalah bahwa demokrasi semacam itu tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia, yang hendak menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial yang terbayang di muka dijadikan program untuk dilaksanakan di dalam praktik hidup nasional di kemudian hari.

Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia waktu itu. Pertama, paham sosialis barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai mahluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Paduan semuanya itu hanya memperkuat keyakinan, bahwa bangunan demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintah Indonesia di kemudian hari haruslah suatu perkembangan dari demokrasi Indonesia asli, yang berlaku di desa-desa Indonesia.

Negara-negara Indonesia lama adalah negara feodal, yang dikuasai raja otokrat. Sungguh pun begitu, di dalam desa-desa sistem demokrasi terus berlaku, tumbuh dan hidup sebagai adat 25 istiadat. Bukti itu menanamkan keyakinan, bahwa demokrasi Indonesia yang asli kuat bertahan, liat hidupnya. Seperti kata pepatah Minangkabau, indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan (tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan).

Demokrasi asli itu diidealisasi dalam pergerakan kebangsaan dulu. Dan orang mencoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern, berdasarkan demokrasi desa yang asli itu.

Analisis sosial menunjukkan, demokrasi asli Indonesia kuat bertahan di bawah feodalisme, karena tanah sebagai faktor produksi yang terpenting adalah milik bersama kepunyaan masyarakat desa, bukan kepunyaan raja. Dan sejarah sosial di benua barat memperlihatkan, pada zaman feodalisme hak milik tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan. Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain: ia menjadi budak pekarangan tuan tanah.

Karena di Indonesia zaman dulu hak milik tanah ada pada masyarakat desa, maka demokrasi desa bisa ditindas hidupnya oleh kekuasaan feodal, tetapi tidak dapat dilenyapkan. Berdasarkan milik bersama atas tanah, tiap-tiap orang-seorang dalam menggunakan tenaga ekonominya merasa perlu mendapat persetujuan kaumnya. Kelanjutan dari itu, didapati pula, segala usaha yang berat, yang tidak bisa dikerjakan tenaga orang-seorang, dikerjakan bersama secara gotong royong. Bukan saja hal-hal yang menurut sistem yuridis barat yang dilakukan seperti itu, tetapi juga yang mengenai hal-hal privat seperti mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengantar mayat ke kuburan, dan lain-lain.

Adat hidup semacam itu membawa kebiasaan bermusyawarah. Segala hal yang mengenai kepentingan umum dibicarakan bersama, dan keputusan diambil dengan kata sepakat. Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat). Kebiasaan mengambil keputusan dengan musyawarah dan mufakat melahirkan lembaga rapat di tempat tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Semua orang dewasa di antara anggota-anggota asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu.

Ada dua anasir lagi dari demokrasi desa yang asli di Indonesia, yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap aturan-aturan raja yang dirasa tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja, apabila mereka merasa tidak senang lagi hidup di sana. Benar atau tidak, yang kemudian ini sering dianggap sebagai hak orang-seorang untuk menentukan nasib sendiri.

Hak mengadakan protes bersama itu biasa dilakukan sampai pada masa terakhir ini. Apabila rakyat merasa keberatan sekali atas peraturan yang dikeluarkan pembesar daerah, maka rakyat datang berbondong-bondong ke alun-alun, di muka rumah pembesar, dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa. Itu merupakan demokrasi damai. Tidak sering rakyat Indonesia dulu, yang sabar dan suka menurut, berbuat begitu. Akan tetapi, jika mereka sampai berbuat begitu, maka akan menjadi pertimbangan penguasa, apakah dia akan mencabut kembali atau mengubah perintahnya.

Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerintahan Indonesia Merdeka di masa datang. Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Tetapi sebagai dasar ia dipandang berguna. Bagaimanapun, orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang sedikit-banyak bersendi pada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri.

Dalam segi politik, dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya juga menjadi dasar bagi pemerintahan otonomi yang luas di daerah-daerah sebagai cerminan dari “pemerintahan yang diperintah”.

Dalam segi ekonomi, semangat gotong royong yang merupakan koperasi sosial, adalah dasar terbaik untuk membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan tertanam, bahwa hanya dengan koperasi dapat dibangun kemakmuran rakyat.

Dalam segi sosial, diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia, sejahtera, dan susila, menjadi tujuan negara.

 Filsafat Negara Kita

DEMIKIANLAH tumbuh berangsur-angsur dalam pangkuan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan dulu, cita-cita demokrasi sosial yang menjadi dasar pembentukan Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Cita-cita itu dituangkan di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Sungguh pun cukup diketahui isinya, ada baiknya dimuat juga di sini isinya untuk menyegarkan ingatan kembali.

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yagn melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Siapa yang membaca Pembukaan itu dengan teliti, ia dapat menangkap tiga buah pernyataan yang penting di dalamnya.

 Pertama, pernyataan dasar politik dan cita-cita bangsa Indonesia. Kemerdekaan diakui sebagai hak tiap-tiap bangsa, penjajahan harus lenyap di atas dunia karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pernyataan ini, yang lahir dari penderitaan sendiri, tidak saja menentukan politik ke dalam tetapi memengaruhi juga politik ke luar negeri Republik Indonesia. Dalam alinea keempat pendapat itu diperkuat dengan meletakkan kewajiban atas pemerintah untuk “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Di sinilah pula terletak dasar fundamental dari politik luar negeri Republik Indonesia yang terkenal sebagai politik bebas dan aktif.

Kedua, pernyataan tentang berhasilnya tuntutan politik bangsa Indonesia, dengan kurnia Allah. “Dengan kurnia Allah”— ini dalam artinya. Di situ terletak pengakuan, bahwa Indonesia tidak akan merdeka jika kemerdekaan itu tidak diberkati oleh Tuhan. Tuhan memberkati kemerdekaan Indonesia, karena rakyat Indonesia memperjuangkannya sungguh-sungguh, dengan korban yang tidak sedikit. Cita-cita yang menjadi pedoman bukan hanya kemerdekaan bangsa, tetapi suatu Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pelaksanaan ini menjadi kewajiban moril!

 Ketiga, pernyataan tentang Pancasila sebagai filsafat atau ideologi negara, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Dasar yang tinggi-tinggi itu diperlukan sebagai bimbingan untuk melaksanakan kewajiban moril yang berat itu.

Pengakuan di hadapan Tuhan akan berpegang pada Pancasila itu tidak mudah diabaikan. Dan di situ pula terletak jaminan, bahwa demokrasi tidak akan lenyap di Indonesia. Ia dapat ditekan sementara dengan berbagai rupa. Akan tetapi dia tidak akan lenyap. Lenyap demokrasi berarti lenyap Indonesia Merdeka.

Jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas dua fondasi. Pertama, fondasi moral, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua, fondasi politik, yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi, dan keadilan sosial.

 Dengan meletakkan dasar moral di atas, mereka yang membuat pedoman negara ini berharap supaya negara dan pemerintahnya memiliki dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berdasarkan 31 kepada moral yang tinggi, diharapkan tercapainya—seperti yang tertulis dalam Pembukaan itu—“suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat, sedangkan dasar perikemanusiaan adalah kelanjutan dengan perbuatan dari dasar yang memimpin tadi dalam praktik hidup. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu dan tidak terbagi-bagi, berdasarkan ideologi sendiri. Dasar kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil, yang mencerminkan kemauan rakyat, agar terlaksanan keadilan sosial. Dasar keadilan sosial itu adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya.

 Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintah negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia, serta persaudaraan bangsa-bangsa. Dengan bimbingan dasar-dasar yang tinggi dan murni itu, akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala tersasar suatu saat dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, senantiasa ada desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.

Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat negara dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam saat yang bersejarah, yang menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan, mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa untuk dapat melaksanakannya, tetapi sangat diperlukan sebagai pegangan untuk 32 menempuh jalan yang baik. Dasar-dasar itu menuntut manusia Indonesia, kepada pemimpin-pemimpin politik dan kepada orangorang negara yang melatih diri, agar sanggup berbuat baik dan jujur, sesuai dengan janji yang diucapkan kepada Tuhan.

Demokrasi Hilang Sementara

ATAS dasar Pancasila sebagai ideologi negara, direncanakan Undang-Undang Dasar yang menjadi sendi politik negara dan politik pemerintah, yang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipilih oleh rakyat menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tertulis, kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara. Ia memilih Presiden dan Wakil Presiden. Ia bersidang sedikitnya lima tahun sekali. Dalam peraturan ini tersimpul maksud, pemerintah Indonesia berdasar pada rencana berkala, i.c lima tahun. Peraturan tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang mempunyai kekuasaan tertinggi, menegaskan sekali lagi bahwa Republik Indonesia berdasarkan demokrasi.

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas tiga golongan utusan rakyat. Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat sebagai utusan politik, kedua, utusan-utusan daerah, yag maksudnya menjaga perimbangan antara kepentingan negara seluruhnya dan kepentingan-kepentingan bagiannya, ketiga, utusan-utusan 33 golongan dalam masyarakat, untuk menjaga supaya berbagai kepentingan ekonomi, sosial, kultur, agama, ilmu, dan lain-lain dalam masyarakat dan negara terpelihara dengan sebaik-baiknya. Semangat demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial dan kolektif. Sebab itu harus ada harmoni dalam pemeliharaan dan politik pemerintah, yang dapat dibanding setiap waktu oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih oleh rakyat menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan.

Tidak dapat disangkal, bahwa pemimpin-pemimpin partai politik kita dalam masa sepuluh tahun terakhir ini gagal dalam melaksanakan tugasnya. Mereka lebih banyak mengabaikan dasardasar Pancasila dibanding menaatinya. Dan akibatnya, Indonesia semakin jauh dari cita-citanya. Sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini seolah-olah mencerminkan apa yang dilukiskan Schiller:

Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren. Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht. Artinya: Suatu masa besar dilahirkan abad. Tetapi masa besar itu menemui manusia kecil.

Tetapi sejarah memberi harapan juga kepada manusia.  Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi baru dihargai apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar dari kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan jiwa yang murni, insya Allah, demokrasi yang tertidur sementara akan bangun kembali.

Liga Demokrasi

 SEKARANG sudah berdiri suatu gerakan baru bernama Liga Demokrasi, sebagai tantangan atas pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong oleh Presiden Soekarno. Melihat perkembangan dalam waktu singkat ini, Liga itu bakal mendapat dukungan rakyat yang berjiwa demokrasi dan dari lapisan masyarakat yang cemas melihat kedudukan PKI yang diuntungkan.

Liga Demokrasi dibangun oleh orang-orang partai, yang partainya diikutsertakan oleh Presiden Soekarno dalam Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong, dan juga yang tidak diikutsertakan. Titik pertemuan mereka adalah membela demokrasi. Jika ditilik benar-benar, persatuan hati itu baru terdapat dalam menolak pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat gotong royong yang tidak demokratis. Jadi mereka dalam pendirian negatif!

 Soal yang penting adalah sanggupkah Liga Demokrasi menggariskan pendirian bersama untuk membangun demokrasi yang sehat, yang dapat ditempatkan dalam sistem Pancasila? Demokrasi dalam sistem Pancasila bukanlah demokrasidemokrasian atau demokrasi sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi yang harus diberkati Tuhan yang Maha Esa, sila pertama yang memimpin seluruh cita-cita kenegaraan kita, seperti diuraikan tadi. Demokrasi kita harus dijalankan dengan perbuatan yang berdasarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, persaudaraan, dan perikemanusiaan. Syarat utama untuk melaksanakan ini—yang juga berlaku bagi segala demokrasi— adalah adanya keinsafan tentang tanggung jawab dan toleransi dan 35 kesediaan hati melaksanakan prinsip the right man in the right place—orang yang tepat pada tempat yang tepat.

Dalam hal yang pokok-pokok inilah demokrasi yang sehat dilaksanakan, yang kita ciptakan dalam praktik politik dan kenegaraan. Liga Demokrasi harus mencapai garis persamaan yang terang dan tegas. Jika tidak, persatuan dalam pendirian yang negatif tidak akan membuahkan haluan yang positif, seperti diperlihatkan sejarah kita di masa lampau.

Berdasarkan garis persamaan yang positif itu, dapat disusun suatu program pembangunan negara dan masyarakat, yang dasarnya putusan secara mufakat dan pelaksanaannya dipilih menurut prinsip the right man in the right place. Ini menghendaki rasa percaya dan toleransi yang sebesar-besarnya di antara golongan-golongan yang bersatu dalam Liga Demokrasi. Liga Demokrasi juga memerlukan idealisme yang umurnya lebih panjang dari umur manusia.

Apabila Liga Demokrasi dapat meletakkan fondasi dan sendi-sendi pokok ini dalam membangun kembali demokrasi Indonesia yang dalam krisis, besar harapan ia dapat menjadi pelopor dalam merintis jalan kembali ke demokrasi Indonesia yang sehat.***

PENGANTAR BUKU

Bung Hatta, Demokrasi Kita, ini ditulis pada tahun 1960 dan dimuat di majalah Islam yang saya pimpin, Pandji Masjarakat. Penilaian politik yang dikemukakan Bung Hatta ini mendapatkan perhatian penuh dari peminat-peminat, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi apa yang dibayangkan Bung Hatta dalam buku itu, bahwa demokrasi kita sejak waktu itu mulai terancam, telah membuat majalah Pandji Masjarakat dilarang terbit, dan keluar pula larangan membaca, menyiarkan, bahkan menyimpan buku itu. Satu buah pikir brilian dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dilarang keras dibaca, siapa pun yang menyimpannya diancam hukuman. Sekarang keadaan sudah berubah, angkatan ’66 yang menuntut keadilan dan menentang kezaliman telah bangkit, angin baru telah bertiup. Buku ini diterbitkan kembali dengan izin khusus dari penulisnya sendiri. Bagi saya, buku ini adalah obat penawar, karena buku ini dapat diterbitkan kembali setelah saya dibebaskan, setelah dua tahun empat bulan berada di tahanan (27 Januari 1964 sampai 26 Mei 1966) karena fitnah prolog Gestapu/PKI dan BPI. Tahanan karena fitnah, yang menjadi adat kebiasaan di zaman kepemimpinan negara masa lampau itu. Semoga dengan terbitnya buku ini, di zaman angin baru bagi negara kita telah bertiup dan semangat angkatan ‘66 telah bangkit, keadaan yang muram, suram, dan seram yang telah lalu itu tidak berulang lagi.

HAMKA Jakarta 1 Juni 1966