Demokrasi, Pembangunan dan Keamanan:Membaca Dunia Damai dan Inklusi Sosial (2021)

Pandemi sebagai krisis kesehatan ternyata menyingkap kontradiksi, konflik dan kekerasan yang selama ini tersembunyi atau belum dianggap sebagai persoalan. Krisis kesehatan tidak hanya cerita tentang ganasnya virus, terbatasnya obat antiviral dan terlambatnya produksi-distribusi vaksin. Tetapi di sana krisis ini membuka peta soal yang lebih kompleks dari akar-akar persoalan pembangunan ekonomi dan politik demokrasi.

Salah satu wujud kontradiksi struktural yang paling terang benderang adalah konstruksi tentang dilema kesehatan dan ekonomi yang harus diambil suatu negara dan disepakati masyarakat. Dengan mendahulukan kesehatan fisik, berupa bebas dari paparan dan sembuh dari infeksi, hal-hal fundamental penopang hidup sehat, seperti kebebasan berpendapat, berserikat dan menjalankan ekonomi perjumpaan, dibatasi, dikontrol dan diubah atas nama kerentanan biologis, krisis ekologi dan kedaruratan ekonomi nasional. Konflik dan kekerasan pun akhirnya dinetralisir sebagai ketidakpatuhan, ketidaktahuan, disinformasi dan kurangnya solidaritas sosial.

Dalam wacana dominan mengenai pandemi COVID-19, perang dan damai, baik sebagai konsep maupun penghayatan hidup, mengalami pembalikan sekaligus pemisahan yang nyaris tak tersambungkan lagi. Rasa tidak aman mulai terbentuk dalam narasi yang terus digencarkan tentang perang global terhadap patogen, sementara imajinasi tentang dunia yang damai mendadak disesaki dengan anjuran hidup berdamai dengan alam dan berjarak dengan sesama.

Perang terhadap virus corona, dengan cara bersembunyi dari penularan dan siap sedia divaksinasi, sekaligus diartikan sebagai hidup yang aman, rukun dengan sesama dan selalu percaya kepada arahan negara dan ilmu-pengetahuan. Perang semesta itu tampak terus berlanjut dan boleh jadi tak berkesudahan karena lingkungan kehidupan sudah dianggap darurat dan akan terus mengancam hidup manusia, masyarakat dan negara. Krisis lingkungan hidup, setidaknya ditunjukkan melalu mutasi virus corona, dipersepsikan sebagai sinyal atau penanda kehidupan zaman baru, dunia baru, masyarakat baru dan manusia yang baru pula, dalam perang tak berkesudahan ini.

Kecenderungan menata dunia, negara dan masyarakat dengan paradigma bencana tentu bukan hal baru. Wacana dunia dalam bahaya yang terbentuk melalui pandemi COVID-19 bisa dibandingkan dengan wacana dunia dalam ancaman terorisme dan radikalisme yang beroperasi melalui Perang Global terhadap Teror selama dua puluh tahun terakhir. Konsepsi masyarakat dunia tentang perang dan damai dibentuk dan terus dipelihara melalui eksperimetasi kebijakan tiada henti tentang pemberantasan terorisme dan pencegahan radikalisme.

Bahkan sampai hari, dalam situasi dunia menjadi tawanan patogen, terorisme dan radikalisme belum juga berakhir baik sebagai peristiwa, berita dan menu kebijakan. Sebagaimana diketahui bersama, pola penanganan terhadap terorisme-radikalisme ikut serta mengubah cara negara, masyarakat dan warga negara berinteraksi, merumuskan kawan dan lawan, dan prioritas program apa saja yang harus dilaksanakan agar ancaman ideologi radikal tertentu dan jejaring organisasi teror cepat ditangani dan diberantas. Tapi kenyataannnya terorisme-radikalisme tak akan pernah hilang karena keduanya selalu dibutuhkan kekuasaan pencipta wacana dan juga sebagai respon aktif terhadap terorisme negara dan imperialisme global berkedok komunitas internasional.

Dengan tidak tuntasnya wacana terorisme dan counter-terorisme maka dua jenis ancaman, teror ideologi dan teror ekologi, akan selalu bertukar tempat, atau jalan bersama membentuk masyarakat ketakutan dan negara keamanan, yang dari dalamnya diproduksi narasi-narasi perdamaian tanpa membincang akar-akar konflik dan kekerasan.

Francis Fukuyama and Larry Diamond, Promoting US imperialist war against ‘authoritarianism’ under the banner ‘democracy promotion’, Headquarter National Endowment for Democracy, https://www.ned.org/ https://www.youtube.com/c/NationalEndowmentforDemocracy

Memeriksa Wacana Perang dan Damai

Dalam studi konflik dan perdamaian, terdapat banyak pendekatan dan perspektif yang diturunkan dari masing-masing pendekatan, untuk memahami aktor, isu, faktor dan konteks termasuk eskalasi dan deskalasi konflik kekerasan. Hanya saja harus diakui bahwa kajian konflik dan perdamaian yang kehilangan gambar besar akan membatasi arti penting kajian itu bagi tata dunia damai dan inklusi sosial berkelanjutan. Dua karakterisitik umum dari kajian tersebut yaitu abai terhadap akar struktural dan abai terhadap konteks yang dinamis dan berlapis-lapis.

Pertama, tidak bertekun dalam pencarian akar masalah struktural yang memproduksi konflik dan kekerasan lintas generasi, lintas negara dan lintas isu. Pencarian akar masalah sangat penting untuk menghindarkan penstudi konflik sekaligus pegiat perdamaian dari kecenderungan yang terus terbenarkan dalam penelitian dan advokasi, yaitu mempertukarkan sebab dan akibat dalam kerangka berpikir dan tentu saja menuntun sikap dan tindakan. Di sini, dalam godaan untuk selalu terlihat praktis dan bermanfaat, kajian konflik dan advokasi perdamaian berpuas diri dengan terselesaikannya isu konflik dan deskalasi kekerasan.

Kedua, kajian konflik dan advokasi damai cenderung abai terhadap konteks yang dinamis dan berlapis-lapis. Dalam kaitan dengan krisis kesehatan global ini, pandemi diterima sebagai konteks yang tak bergerak, sekadar rentang waktu atau latar belakang semata. Konsekuensinya sangat serius bagi kebergunaan studi konflik sebagai kritik terhadap ideologi dominan dan rangkaian kebijakan yang berbiak di atasnya. Interaksi antar kekuatan, antar isu, dan antar arena hilang dari percakapan tentang konflik dan mimpi dunia damai.

Pengalaman kerentanan sangat mudah dikomodifikasi sebagai pengalaman ekonomi semata, atau semata persoalan akses dan kapabilitas, juga direduksi sebagai korban langsung dari keputusan politik tertentu. Dengan hilangnya konteks sebagai dinamika yang bergerak, berinteraksi dan saling membentuk, maka kajian konflik dan advokasi damai tanpa disadari sedang menerjemahkan apa yang diinginkan produsen wacana yaitu fokus pada satu isu terbatas, faktor-faktor yang masuk dalam penalaran teknis dan hasil-hasil analisis yang bisa langsung digunakan dalam kebijakan sektor tertentu.

Abai terhadap akar masalah dan hilangnya konteks di atas sudah menjadi gejala umum dalam kajian konflik dan advokasi damai. Sikap konseptual ini tidak disebabkan kesengajaan atau karena pilihan politik di balik keputusan metodologi penelitian. Sebagian terbesar dikondisikan oleh ketidaksadaran bersama, semacam collective unconsciouness, tentang betapa informasi dan pengetahuan juga adalah hasil produksi dan distribusi dari wacana dominan tentang konflik dan kekerasan, atau wacana arus utama tentang perang dan damai.

Cara berpikir, teori yang digunakan sebagai perkakas analisis dan metodologi yang dikerahkan, seringkali sudah tidak disadari lagi sebagai teknologi kekuasaan dominan yang memproduksi pemahaman dan kenyataan. Masih berlaku anggapan yang keliru itu bahwa ilmu pengetahuan sosial, ekonomi dan politik tentang perang dan damai bebas dari kepentingan dan relasi kekuasaan. Ketidaksadaran kolektif ini sangat serius karena dengan cara itu melanggengkan cara kerja kekuasaan dan melayani kepentingan dari kekuatan ekonomi-politik yang menciptakan perang dan kekerasan struktural di tempat yang pertama.

Pengetahuan, di dalamnya ada narasi dan teori, tentang perang dan damai selalu terbentuk dalam wacana dominan yang menandai suatu periode dan wilayah eksperimentasi tertentu. Dari situ terbangun narasi sejarah dan geografi peristiwa, yang akhirnya memberi nama besar atau sebutan kepada sebuah masa, masyarakat dan negara, juga predikasi utama kepada dunia.

Sebutan perang dunia II, Perang Dingin, Orde Baru dan Pasca Orde Baru, sebagai ilustrasi, akhirnya lebih dari sekadar atribusi waktu dan ruang, tetapi di dalam tiap-tiap sebutan itu terbangun cerita besar tentang pengetahuan yang benar dan salah, pelaku yang baik dan jahat, dan juga siapa atau kelompok mana saja yang dianggap korban dan lainnya sekadar terdampak. Di dalam wacana dominan itu, cara kekuasaan memproduksi teori, berita dan peristiwa tidak lagi bisa dilihat secara terpisah karena semakin jelas terbaca bahwa berita dan pemberitaan, sebagai bagian dari produksi pemahaman, tak lain dari strategi-taktik kekuasaan pencipta perang menciptakan jarak antara dirinya dan kejahatan yang sedang dikabarkan.

Dalam analisis yang serius terhadap wacana dan cara kerjanya, para penstudi konflik dan pegiat perdamaian dapat menemukan suatu mekanisme kerja produksi peristiwa dan produksi pengetahuan tentang peristiwa tersebut. Mekanisme itu lasim dinamakan self-fullfiling prophecy, yaitu suatu strategi menciptakan kenyataan dengan cara menamai kenyataan itu dan berusaha dengan segala cara, khususnya lewat perang, konflik dan kekerasan, untuk membuatnya menjadi kenyataan. Ilustrasi terbaik dapat diambil dari deklarasi GWOT tentang dunia dalam ancaman terorisme selama dua dekade terakhir. Deklarasi dunia tak damai, dengan segala produksi pengetahuan tentang radikalisme, toleransi dan multikulturalisme, akhirnya disusul dengan penciptaan perang dan kekerasan atas nama demokrasi dan penegakah HAM.

Dengan strategi itu dunia yang tak damai terbentuk, terus dibuat berkonfllik dan berdarah-darah, untuk terus membenarkan intervensi militer berskala global dan regional, baik secara langsung maupun melalui taktik perang proksi. Dari strategi ini pula studi konflik dan perdamaian diingatkan tentang pentingnya mempelajari pendekatan lunak yang disebut hegemoni dan pendekatan keras yang disamakan dengan dominasi, sebagai dua taktik berkelanjutan, yang selalu menandai cara kerja kekuasaan global atas nama universalisme kemanusiaan dan atas nama masyarakat internasional.

Dengan bekal analisis wacana sebagai pendasaran utama advokasi perdamaian, maka besar kemungkin kajian konflik, baik dalam studi ekonomi-politik maupun analisis sosial dan budaya, selalu menyertakan dua hal yang sangat dibutuhkan, yaitu kritik ideologi dan tanggapan etis terhadap peristiwa konflik dan kekerasan.

Kritik ideologi berarti suatu kajian harus dimulai dari kecurigaan bahwa di dalam setiap peristiwa konflik dan kekerasan sedang berlangsung benturan kepentingan, pemaksaan kehendak dan perlawanan. Kekerasan pun bisa dilihat sebagai bahasa kekuasaan dan dapat pula dimengerti sebagai taktik orang-orang yang kalah dan tidak mau terpinggirkan. Dengan kata lain, melalui kritik ideologi, suatu kajian konflik selalu berarti pemeriksaan terhadap rasionalitas, strategi dan taktik yang digunakan dalam wacana pengetahuan sebagai wacana kekuasaan. Perang yang dirutinisasi dan dinormalisasi, untuk membenarkan kondisi dunia yang tak damai, sudah semestinya dijadikan titik berangkat suatu kajian yang tidak berhenti bertanya, termasuk mempertanyakan rumusan pertanyaan besar yang diproduksi dalam wacana dominan tentang perang dan damai.

Lalu tanggapan etis akan selalu muncul dari kritik ideologi terhadap wacana pengetahuan dan kekuasaan. Dalam arti, seorang peneliti konflik sungguh-sungguh terlibat dalam masalah yang sedang diteliti, tidak saja karena berada langsung di wilayah konflik, tetapi sudah ada di sana dalam cara berpikirnya. Hal ini dirasa semakin penting sekarang ini terutama karena pilihan sikap berjarak dari obyek penelitian atau klaim netralitas keilmuan telah menjadi bahasa kekuasaan, bagian dari kekuasaan, yang mengharapkan temuan penelitian atau hasil analisis itu tidak membongkar akar struktural dari ketidakadilan dan ketaksetaraan yang terus memproduksi isu-isu konflik di berbagai wilayah dan tingkatan arena eksperimentasi kekuasaan.

Karena itu tanggapan etis harus terlahir dari kritik ideologi, yang didasarkan pada pengetahuan yang luas dan dalam tentang satu atau lebih peristiwa konflik sebagai bagian integral dari wacana dominan dalam dunia yang tak adil dan tak setara ini.

Kendati demikian sangat disadari bahwa kritik ideologi dan sikap etis bukanlah hal yang mudah dibentuk dan digarap jika dibenturkan dengan orientasi produksi pengetahuan global-nasional serta pembiayaan penelitian dan publikasi. Sejak GWOT dideklarasikan dua puluh tahun lalu, studi konflik dan perdamaian terbagi ke dalam dua kelompok kajian baik sebagai gerakan pemikiran maupun sebagai gerakan politik melalui produksi-distribusi pengetahuan.

Menarik untuk diperhatikan, kedua kelompok ini tidak selalu berjumpa dalam forum akademis dan forum intelektual yang sama baik di tingkat global, kawasan maupun di tingkat nasional. Seperti tersebutkan di atas, sumber pendanaan, model koordinasi kelembagaan dan produksi-distribusi pengetahuan pun melayani kepentingan yang berbeda pula. Bisa dikatakan, sebetulnya tidak terjadi perdebatan akademis dan perdebatan publik yang serius di antara kedua kelompok kajian ini, selain bisa ditemukan perdebatan tak seimbang dalam fora internasional yang bertujuan mendiskreditkan kelompok yang menentang agenda imperial.

Kelompok pertama, adalah kelompok mainstream, yang meneruskan propaganda imperial dengan matriks kajian berpusat pada politik identitas. Tidak sulit medeteksi dan memetakan jaringan kerja kelompok ini, mulai dari think tanks berlabel internasional-global di pusat-pusat imperial khususnya Amerika Serika dan kawasan Eropa, termasuk Kanada dan Australia. Dari sana terbentuk sebuah formasi kekuatan intelektual-akademis ke negara-negara lainnya khususnya di kawasan atau negara yang strategis dari segi geopolitik pengetahuan dan ekonomi-politik ketidakamanan global-internasional.

Sebagian terbesar kajian yang dipropagandakan kelompok arus utama ini adalah sub-kajian hubungan agama dan politik atau agama dan demokrasi yang mencakup studi terorisme-radikalisme, toleransi, multikulturalisme dan politik identitas dengan masuknya populisme dalam register kajian berorientasi neoliberalisme. Klasifikasi kajian dari kelompok mainstream ini bisa dengan mudah ditemukan melalui diversifikasi isu-isu tersebut dengan masing-masing jurnal dan peer-review yang semakin mengintegrasikan intelektual-akademisi imperial dengan akademisi-intelektual nasional yang sudah terbangun berlapis-lapis melalu pendanaan beasiswa dan kerjasama penelitian di lembaga pendidikan tinggi dan pusat penelitian.

Critical Scholars and Journalist, on Imperialist Peace for Unjust Liberal World Order, See Website Geopolitical-Economy Report https://geopoliticaleconomy.com/ https://www.youtube.com/@GeopoliticalEconomyReport

Kelompok kedua, adalah kelompok kritik ideologi, yang tidak memiliki audiensi yang luas tetapi memiliki fokus kajian yang jelas dan melayani tujuan liberasi dan emansipasi di tingkat internasional, regional dan tingkat nasional. Berbeda dari kelompok dominan dalam jejaring industri pengetahuan imperial, kelompok ini memusatkan perhatian pada akar-akar struktural konflik dan terpenting lagi, mewakili kepentingan masyarakat atau negara yang sedang bertarung dengan kekuatan imperial dan kekuatan transnasional.

Rumpun kajian dari kelompok ini bergerak dari tradisi kritik ekonomi-politik Marxian dalam sosiologi, tradisi realis dalam hubungan internasional dan postrukturalis dalam kajian inter-disipliner seperti studi postkolonial dan studi dekolonial. Formasi penstudi dan orientasi kajian bisa terbaca sebagai sebuah gerakan nasional dan transnasional dengan forum tersendiri, jurnal-jurnal yang dikenal bermutu, termasuk sejumlah penerbit. Kelompok ini juga tidak mencerminkan lembaga pendidikan tinggi tetapi lebih menubuh pada relasi antar penstudi sebagai sebuah gerakan organik mewakili masyarakat rentan atau negara yang sedang mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah air.

Geopolitik wacana keilmuan dan ekonomi-politik pengetahuan ini harus diperhitungkan dari setiap upaya membahas inklusi sosial dan menciptakan tata-dunia damai. Pengetahuan tentang formasi pengetahuan dan formasi gerakan advokasi tidak dapat dipisahkan karena keduanya tidak beroperasi dalam ruang dan waktu yang terpisah, tetapi sebaliknya, saling membentuk dan saling menegaskan, baik dalam membongkar cara kerja kuasa wacana maupun dalam membenarkan ideologi dan teknologi politik yang diperagakan kekuatan dominan global dari tingkat internasional, regional sampai nasional.

Pengalaman dua dekade, dari wacana perang dan damai, misalnya, terbangun dari dilema epistemologis keliru dengan konsekuensi sosial, ekonomi dan budaya yang sangat dirasakan saat ini. Yaitu dilema hubungan antara agama dan demokrasi, yang bertolak dari pertanyaan imperial yang rasis dan orientalis seperti apakah agama kompatibel atau tidak kompatibel dengan demokrasi.

Sebagaimana diketahui, perang terhadap teror akhirnya tak lain adalah kontestasi tak berkesudahan antara holy war dan just war, antara pembayangan dunia damai melalui demokrasi neoliberal dan dunia damai melalui teokrasi transnasional. Di dalam pertarungan itu, masyarakat dunia dibiasakan berpikir, bersikap dan bertindak dalam pengaturan sosial dan politik yang merayakan perbedaan, suka membedakan dan mencari rasa aman dalam komunitas identitas sendiri yang terberi dari sejarah masa lalu atau generasi sebelumnya.

Bertolak dari peta besar geopolitik wacana ini, bisa diperiksa lebih lanjut mengenai formasi pengetahuan mengenai pandemi dalam wacana krisis baru krisis kesehatan global. Produksi wacana kedaruratan tubuh tidak terlepas dari konstruksi terhadap patogen alam sebagai sumber dan pelaku teror yang utama. Meski tampak beralih dari teror ideologi menuju teror ekologi, semakin jelas terbaca bahwa kontruksi dan mekanisme produksi-distribusi ancaman tidak berubah. Malah dalam beberapa segi yang penting seperti penerapan teknologi kontrol dan produksi wacana kian gencar dilakukan dan semakin terlembaga sebagai suatu kenormalan baru dalam politik dan ekonomi.

Sebagaimana diuraikan pada bagian berikut, pandemi sedang menghadirkan komplikasi masalah dan tantangan bagi agenda tata dunia damai dan inklusi sosial. Komplikasi itu dengan mudah ditemukan dalam percakapan tentang demokrasi, pembangunan ekonomi dan keamanan. Dari masing-masing komplikasi itu terbayang peluang-peluang strategis maupun skenario taktis bagi para penstudi konflik dan pegiat perdamaian yang peka konteks dan tidak abai terhadap akar masalah konflik dan kekerasan di tingkat global-internasional, regional dan di tingkat nasional yang tentu berisikan pengalaman dislokasi konflik dan lokalisasi kekuasaan dan negosiasi.

Membaca Masalah dan Tantangan

Konflik dan kekerasan, sebagai tantangan bagi tata dunia damai dan inklusi sosial, hadir dalam berbagai isu dan arena. Konflik tidak bisa disederhanakan semata peristiwa biasa dengan adanya aktor, isu dan eskalasinya. Selama dua tahun pandemi COVID-19, konflik dan kekerasan ikut mendefenisikan krisis kesehatan ini sebagai kotak pandora krisis ekonomi, politik dan sosial-budaya.

Bagi para penstudi konflik dan pegiat perdamaian, perhatian utama diarahkan pada masalah-masalah krusial yang mengemuka dalam percakapan tentang demokrasi, pembangunan ekonomi dan keamanan manusia. Masalah dan tantangan yang sedemikian kompleks dan berkelindan membutuhkan kerangka pemeriksaan yang lebih sistematis, terukur proses dan dampaknya sekaligus bisa terbandingkan antara peristiwa satu dengan peristiwa-peristiwa lainnya.

Dalam menggunakan tiga kerangka ini, penstudi konflik dapat pula dengan cepat mencermati hubungan formatif antar peristiwa konflik dan kekerasan yang terjadi di dalam suatu negara atau kawasan dan dari sana bisa dibanding atau dicarikan hubungan formatif yang membentuk sejumlah peristiwa di negara atau kawasan yang berbeda. Dengan itu juga perbandingan peristiwa antar negara lebih dari sekadar mencari kesamaan dan perbedaan tetapi memahami formasinya sebagai bagian integral dari transformasi geopolitik dan ekonomi-politik dunia.

Tiga kerangka pemeriksaan, yaitu demokrasi, pembangunan dan keamanan, tidak dikembangkan dari ruang kosong tapi disesuaikan formulasi akademis dan orientasi intervensi dari kalangan komunitas kebijakan yang terlembaga dalam konteks integrasi global-nasional. Sejak perang terhadap terorisme digalakkan terbentuk pula tiga kerangka kebijakan dan produksi pengetahuan yang membagi masalah dan tantangan dunia damai ke dalam tiga kluster dominan tersebut.

Lalu sejak dua tahun pandemi ini berlangsung tampak bahwa ketiga kluster ini tetap digunakan oleh produsen wacana dominan maupun wacana kritis untuk berdebat sekaligus merumuskan masalah baru dan komplikasinya. Yang relatif membedakan hanyalah bahwa krisis kesehatan saat ini menjadi matriks utama perdebatan dan dari sana bisa terdeteksi tarik-menarik antara pengutamaan masalah kesehatan dan pertimbangan sosial-ekonomi dan politik yang dianggap jauh lebih penting dan dibutuhkan masyarakat dan negara.

Biden and Blinken, Imperial Version of “Summit for Democracy”, 2021, Source Arab Center Washington DC

Demokrasi : Monopoli Politik

Membaca pandemi dalam kerangka berpikir demokrasi, segera muncul sejumlah isu konflik utama yang menandai dunia dalam krisis demokrasi yang serius. Krisis itu mencakup menguatnya integrasi oligarki nasional-global, fragmentasi gerakan kewarganegaraan atau gerakan demos dari berbagai sektor. Ditambah lagi, berkurang drastis peran partai politik dalam kerja representasi politik di arena negara, dan terburuk dari semunya, terlembaganya teknokrasi bencana sebagai model orientasi kebijakan ekonomi-politik nasional.

Isu-isu di atas memberi indikasi negara menjadi maksimal, dalam arti semakin otoritarian terhadap warga negara sekaligus membuka dirinya terhadap integrasi ideologis dan integrasi ekonomi-politik dengan kekuatan global-internasional. Negara perlahan-lahan menjadi arena proksi dari pertarungan antara kekuatan kapitalisme finansial dan populasi dunia yang berserakan di setiap negara dan kawasan.

Pertama, integrasi elit nasional-global menandai sebuah proses intensif pada tata kelola dunia yang berbasis kedaruratan lingkungan hidup dan migrasi atau perpindahan penduduk antar negara. Integrasi ini memberi karakteristik tersendiri terhadap konfigurasi geopolitik internasional dari peralihan tata dunia unipolar menuju multipolar dalam sepuluh tahun terakhir.

Tanpa terasa diskusi tentang demokrasi ke depan akan terkunci dalam debat kebijakan per negara berkaitan orientasi politik luar negeri dan afiliasi strategis-taktis dalam dunia multipolar yang rentan terjerumus dalam perang terbuka antar kekuatan multipolar dan perang proksi yang berkelanjutan di berbagai kawasan. Gejolak geopolitik selama pandemi tak lain sebuah isyarat terpenting bahwa demokrasi di tingkat nasional akan semakin ditentukan oleh debat kebijakan luar negeri di antara oligarki nasional atas nama kepentingan aliansinya dan tentu saja dalam narasi patriotik tentang ancaman asing dan kedaulatan negara-bangsa.

Kedua, kekuatan warga negara melemah secara dramatis dalam negosiasi kepentingan multi-sektor di arena negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Melalui pandemi ini terjadi fragmentasi kekuatan politik demos di berbagai negara. Sumber daya publik menjadi semakin langka dengan fokus pada kebijakan kesehatan dan perdagangan khususya impor dengan konsekuensi yang sangat besar terhadap kualitas pendidikan, transportasi, produksi ekonomi nasional dan biaya hidup masyarakat yang terus meningkat dan dijaga terus menerus melalui kebijakan darurat dari negara yang berubah sebagai perusahaan yang baik hati dengan skema jaringan pengaman sosial.

Hal ini tentu akan terus menciptakan polarisasi di antara kekuatan produktif yang tanpa konsolidasi politik terlembaga dalam gerakan akan menghadirkan rangkaian konflik horisontal merebut sumber daya publik dan sumber daya alam yang dibiarkan tersisa dari politik zonasi atau kawasan strategis dalam negeri. Konflik horisontal yang berkembang luas dan tak terbendung membuat negara semakin otoriter dan mendorong berlakunya kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan daerah yang serba darurat atau selalu berubah-ubah, sekuritisasi relasi sosial dan penertiban politik terhadap isu publik penting dan di berbagai arena formulasi kebijakan.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari dua kecenderungan di atas, representasi politik dari bawah ke atas tidak berjalan efektif. Malah sebaliknya terjadi, partai politik di berbagai tingkatan semakin dikontrol dan dikendalikan sepenuhnya oleh oligarki nasional. Dalam konteks ini, konflik politik dalam negeri lebih banyak ditandai oleh pertarungan antar elit politik untuk menguasai dan mengontrol partai politik. Dalam arti serupa, partai politik menjadi sangat krusial bukan dalam rangka menghubungkan rakyat dan pemerintahan tetapi semata untuk memantapkan konsolidasi oligarki.

Aspirasi rakyat, khususnya aspirasi segmen produktif di masyarakat, tidak lagi datang dari arus bawah tetapi diinstruksikan dari atas, yang tentu membuat peran partai politik di tingkat daerah kehilangan kapasitas agregasi dan representasi sesuai kebutuhan daerah masing-masing. Dari segi ini, akan terus ternormalisasi kehadiran rakyat dalam kebijakan berhenti di bilik suara untuk model pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik berbasis statistik, regulasi pusat, asistensi pakar dan sosialisasi kebijakan.

Keempat, dalam kondisi yang tersebutkan di atas, kemungkinan tersisa dari perlawanan rakyat atau negosiasi demos dalam arena kebijakan akan mengambil jalur politik keadatan dengan klaim atas tanah dan air sebagai sumber penghidupan yang tersedia. Sekaligus di tingkat nasional semakin terbenarkan pola politik berbasis populisme teknokrasi yang dianggap dapat menyelamatkan rakyat dari segala kedaruratan baik darurat ekonomi, darurat sosial dan darurat politik.

Dalam model demokrasi yang kian terneoliberalisasi ini terbentuk dua kecenderungan imajinasi politik berwajah ganda, yaitu di tingkat pusat masyarakat politik terbentuk di sekitar populisme teknokratis yang memuja sosok pemimpin merakyat, seperti rakyat dalam segala personifikasinya. Sementara di tingkat daerah, khususnya yang ditandai defisit industrialisasi dan surplus sumber daya alam, imajinasi politik kemakmuran terbangun dalam fantasi komunal tentang alam dan lingkungan hidup yang menopang ekonomi daerah dari ketertinggalan dan hilangnya identitas kebudayaan.

Percampuran unik dari wacana politik nasional dan wacana politik di daerah memberi informasi terbaik dan terkini tentang dislokasi ekonomi-politik dari integrasi nasional-global yang berlangsung masif selama tiga dekade sebelum pandemi global tiba dan memantapkan dislokasi tersebut.

Economy of War, Collective West Version for ‘Improve the World’, Source Davos Klosters

Pembangunan: Monopoli Sumber Daya

Selama pandemi berlangsung muncul perdebatan yang kian sengit mengenai kebijakan ekonomi global dalam tata dunia baru sebagaimana dicetuskan dalam World Economic Forum. Isu-isu utama konflik ekonomi berkisar soal akses dan kontrol sumber daya kehidupan dengan tiga aktor utama yaitu korporasi transnasional, kekuatan geopolitik dominan, negara dan populasi manusia.

Kendati kategori-kategori lama dalam tradisi kapitalisme industrial masih digunakan, selama pandemi semakin terang benderang digunakan kategori-kategori baru dari khasanah kapitalisme finansial, yang bersifat mondial dan global, seperti lingkungan hidup, mobilitasi penduduk dunia dan spesies manusia. Pergeseran kategori ini sangat serius bagi formasi konflik geopolitik internasional, konflik antar negara di kawasan dan konflik antar kekuatan ekonomi di dalam negara, terutama antara pemerintah dan warga negara dalam skema pembangunan baru yang berbasis integrasi nasional-global.

Matriks isu konflik baru sedang terbentuk, tidak dengan cara meninggalkan peta konflik lama tetapi menamakan dengan cara berbeda, tampak lebih saintifik, memberi kesan kolaboratif antara negara dan perusahaan transnasional dan klaim menegakkan perdagangan yang bebas dan kompetitif.

Pertama, melalui pandemi ini, kekuatan transnasional semakin memantapkan formulasi kebijakan global-internasional untuk memastikan akses dan kontrol penuh terhadap sumber daya ekonomi dunia melalui kolaborasi di dua aras penting, yaitu kolaborasi strategis di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kolaborasi yang lebih operasional dengan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Kolaborasi ini bertujuan tak lain untuk melegitimasi model ekonomi kapitalisme finansial di dalam mana peran korporasi transnasional akan lebih berpengaruh mengelola sumber daya ekonomi dibanding negara debitor-kreditor yang telah terkorporatisasi model pembangunan ekonomi dalam negerinya.

Isu-isu konflik ekonomi dominan ke depan akan segera mengubah negara menjadi aktor komprador dari integrasi kekuatan nasional-global. Konflik antara kekuatan yang membajak negara dan kekuatan produktif dalam negara akan menjadi momentum dramatis jika terus mengalami eskalasi sampai pada tingkat menciptakan isu konflik politik serius antara nasionalisme neoliberal dan gerakan separasi.

Kedua, teknologi dan informasi menjadi matriks baru dalam percakapan kebijakan dan dan menjadi isu konflik ekonomi yang serius terkait akses, kelola dan distribusi sumber daya dalam kapitalisme finansial. Digitalisasi ekonomi yang marak diintegrasikan dalam ekonomi nasional selama pandemi merupakan ilustrasi terkini mengenai penetrasi model ekonomi kapitalisme finansial ke dalam kebijakan nasional. Digitalisasi berlangsung di seluruh sektor produktif termasuk pelayanan publik diubah menjadi lahan industri pendidikan dan industri kesehatan.

Terpenting lagi adalah informasi itu sendiri menjadi alat sekaligus bahan produksi ekonomi jasa. Dari segi ini juga terbaca kolaborasi yang semakin sistematis antara perusahaan penyedia jasa informasi-teknologi, perbankan, lembaga pendidikan, pelayanan sektor kesehatan dan perdagangan. Pada tingkat global, resistensi demos dan debat kebijakan sudah mengemuka, hanya saja masih berlangsung sporadis, atau selalu dibuat tidak tersambungkan antara negara untuk memantapkan persepsi publik dunia tentang urgensi ekonomi dunia berbasis teknologi dan informasi.

Dalam konteks ini pula, bisa dibaca manuver oligarki global untuk memperpanjang krisis kesehatan sambil terus memenangkan dukungan populasi dunia yang histeria dan melemahkan gerakan perlawanan di berbagai negara, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Narasi besar tentang mutasi virus dan vaksinasi, sekalipun saling menegasikan, akan terus digencarkan sembari memantapkan integrasi model ekonomi informasi-teknologi ke dalam kebijakan sosial-ekonomi di berbagai negara dan kawasan.

Kendati demikian, isu penting yang dapat membuka konfrontasi terbuka antara publik dunia dan korporasi transnasional tetaplah bersumber dari perdebatan pandemi sebagai masalah kesehatan. Hal ini bisa dipahami mengingat pintu masuk utama menuju tata dunia baru yang dicanangkan Global Reset adalah sektor kesehatan yang sudah dikontrol penuh selama satu dekade terakhir. Melalui sektor ini, kekuatan transnasional berikhtiar memenangkan konflik paradigma ekonomi, yaitu antara paradigma mondial dengan krisis ekologi sebagai matris dan paradigma kelas yang dalam lima tahun terakhir telah melemahkan integrasi nasional-global di berbagai negara dan kawasan.

Ketiga, pandemi dua tahun lebih ini akhirnya memperlihatkan suatu proses global yang tak terbayangkan sebelumnya, yaitu prekariasi secara sistematis terhadap kelas pekerja dan kekuatan produktif dari sektor-sektor strategis di setiap negara. Prekariasi ini yang berarti pemutusan hubungan kerja dan melonjaknya biaya hidup memfasilitasi suatu proses masif transfer aset dari kekuatan ekonomi yang rentan kepada perbankan dan korporasi. Lalu bersamaan dengan proses itu negara semakin tak berdaya saing dalam ekonomi global selain menjaga daya tahan ekonomi nasional di bawah garis batas dan mencegah instabilitas politik dengan meningkatkan utang luar negeri.

Konsekuensi sangat serius berlangsung dalam proses ini karena tidak saja menciptakan ketergantungan mutlak tetapi menghadirkan distopia ekonomi nasional dengan terus melayani prasyaratan struktural lembaga keuangan internasional termasuk harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi arus masuk investasi asing. Dari sana bisa dimengerti lebih jelas bahwa formulasi kebijakan pembangunan nasional akan menjadi arena pertarungan hidup-mati antara kekuatan ekonomi riil yang kian rentan dan kekuatan oligarki nasional yang telah terintegrasi dalam kapitalisme finansial.

Make War, Save the Planet, Baerbock, Blinken and Stoltenberg, Brussel 2023, Source NY1

Keamanan: Monopoli Biopolitik

Selama pandemi berlangsung, keamanan mengalami mutasi pengertian berlapis-lapis. Dalam arti, pengertian keamanan konvensional tidak berubah tetapi diberi matriks baru yang sifatnya melampaui negara dan tata dunia internasional.

Dengan masuknya kerentanan tubuh spesies manusia dan krisis lingkungan hidup sebagai matriks terkini, maka keamanan dunia digeser menjadi keamanan bumi dengan konsekuensi formatif yang bersifat strategis untuk kelanjutan kolaborasi antara kekuatan transnasional khususnya Informatika-Teknologi dan Artificial Intelligence dan sistem keamanan negara termasuk konsepsi keamanan internasional. Sumber ketidakamanan tidak semata datang dari aktor negara, aktor non-negara dan aktor transnasional tetapi semuanya itu dibungkus dalam sebab musabab ketidakamanan baru yang serba mencakup yaitu patogen alam dan krisis bumi menopang kehidupan spesies manusia.

Konstruksi global ini yang beroperasi melalui pandemi COVID-19 menimbulkan perlawanan dari berbagai kelompok kritis yang tersebar di berbagai negara. Isu-isu utama dalam perlawanan itu mencakup pembatasan kebebasan berpendapat dan berserikat, monopoli informasi dan berita, propaganda tiada henti tentang urgensi teknologi dan terpenting dari semuanya, kontrol atas apa itu kehidupan dan kematian atas nama ilmu pengetahuan dan kedaulatan negara.

Pertama, melalui pandemi ini terbangun sebuah wacana global tentang biopolitik baru yang menekankan supremasi teknologi dan ketidakberdayaan manusia. Sekarang ini, di dalam pandemi ini, manusia tidak bisa menjaga dirinya sendiri, tak berdaya di hadapan patogen dan perilaku alam.

Dari narasi pasca-modernitas ini teknologi seperti rekayasa genetika, rekayasa biodiversitas dan rekayasa inteligensi robotik dianggap solusi yang tak terbantahkan dan harus segera mendapatkan aplikasinya di berbagai sektor kehidupan. Vaksinasi di pembukaan tahun memberi ilustrasi menarik tentang vaksinasi sebagai paspor dan lisensi untuk mengakses atau terintegrasi dalam pola ekonomi berbasis digital.

Di sana dibayangkan, sekuritisasi atas tubuh tidak saja penting untuk mencegah kematian dari paparan patogen tetapi juga membuat ekonomi lebih efisien dan efektif. Sebagaimana diketahui, propaganda kekuatan transnasional dalam WEF ini mendapatkan perlawanan lintas-sektor yang terus meningkat di berbagai negara. Sekaligus terbit kecurigaan lain tentang mutasi virus dan eskalasi epidemik selalu saja terjadi di negara-negara yang ditandai perlawanan masyarakat terhadap agenda global ini.

Kedua, kontrol dan kendali informasi oleh kekuatan transnasional IT mendapatkan perlawanan sepadan dari berbagai gerakan kritis di berbagai negara sampai tingkat internasional. Monopoli pengetahuan mencakup pengaturan apa yang harus didengar, dilihat dan dipercakapkan dalam ruang publik. Selama pandemi, monopoli ini tampak efektif karena terintegrasi ke dalam kebijakan nasional kelola cegah pandemi yang membutuhkan kepatuhan warga negara secara keseluruhan.

Kendati demikian, kontroversi keilmuan di balik isu vaksin dan kontroversi politik di balik vaksinasi semakin membuka ruang konflik antara kekuatan oligarki parasit pemilik media dan kekuatan kelompok kritis dalam masyarakat yang semakin jenuh dan tak percaya dengan kedaruratan yang telah mengubah hidup mereka selama pandemi. Dibaca secara cepat, konstruksi pandemi dua tahun terakhir terus bertahan terutama karena konsolidasi kekuatan IT dalam pemberitaan dan konsolidasinya dengan lembaga pendidikan tinggi dan komunitas kebijakan.

Akan tetapi dengan menguatnya protes masyarakat kemungkinan lain bisa saja terjadi seperti oligarki merespon aspirasi publik dan menjadikannya isu nasional dalam kalkulasi taktis politik yang selalu berubah-ubah. Peta pertarungan politik melalui isu strategis ini tetap terbuka, dinamis dan berpotensi mengubah orientasi kebijakan global dan kebijakan nasional.

Ketiga, selama pandemi berlangsung sebetulnya terlembaga suatu cara pandang warisan momen unipolar yaitu negara dan masyarakat selalu berada dalam kondisi terancam yang permanen. Dari konstruksi ancaman tiada akhir, maka dibayangkan negara harus siap siaga, kapan saja dan di mana pun dapat membatalkan hak-hak politik dan ekonomi warga negara atas nama kedarutan tersebut.

Selama pandemi bisa disaksikan bagaimana sistem keamanan dan ketertiban negara dikerahkan untuk memastikan kepatuhan dan ketundukan pada instruksi cegah pandemi. Keterlibatan aparatus keamanan dan ketertiban ini tidak saja semakin menampakkan banalitas pandemi sebagai konstruksi politik tetapi lebih jauh memungkinkan penetrasi instrumen keamanan atas tubuh dan relasi sosial warga negara.

Terhadap kecenderungan ini telah mengemuka protes publik yang makin meluas di tengah prekariasi ekonomi kelas pekerja industrial dan sektor informal. Akan tetapi terbuka kemungkinan penolakan warga negara yang kian terorganisir dapat mengubah orientasi politik pandemi di kalangan oligarki nasional termasuk faktor menguatnya perlawanan masyarakat dunia.

Catatan Penutup

Keseluruhan uraian dalam bab akhir ini hendak menegaskan kembali pesan-pesan penting yang bisa diambil dari setiap topik yang dibahas dalam buku ini. Pandemi COVID-19 telah menghadirkan peta masalah dan tantangan yang spesifik bagi agenda dunia damai dan inklusi sosial. Dengan membuat peta soal dalam demokrasi, pembangunan ekonomi dan keamanan segera tergambar adanya konflik mendasar mulai dari persoalan kebebasan cara berpikir dan berserikat, konflik model ekonomi dan konflik biopolitik.

su-isu konflik itu bertolak dari pemahaman dasar tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, sampai pada seberapa jauh pandemi ini dapat mengubah peran negara, dari pelayanan publik kepada warga negara menjadi pelayanan ekonomi-politik bagi agenda tata dunia baru yang sedang digarap aliansi global-internasional.

Hal serupa juga bisa dibayangkan yaitu seberapa jauh pandemi ini dapat menghidupkan apirasi warga negara terkait kebijakan darurat cegah epidemi dan mengontrol orientasi kebijakan lanjutan yang bergerak dari teknorasi bencana. Boleh jadi pandemi ini sedang membuka pertarungan yang lebih jelas antara modal dan kekuatan produktif dalam ekonomi dunia dan ekonomi nasional.

Meski sejauh ini pertarungan tampak tidak berimbang, di sana melalui negara sebagai arena yang cair dan dinamis, harapan tentang pemenuhan hak politik, sosial dan ekonomi warga negara memiliki kemungkinan direalisasikan. Pemenuhan hak itu juga tidak bisa bersumber dari peran negara yang baik hati dalam teknokrasi bencana yang sedang terbentuk saat ini. Warga negara, sebagai demos, didorong masuk ke dalam arena kebijakan di tingkat nasional dan daerah.

Sembari diharapkan muncul kekuatan politik nasional yang dapat menyambungkan aspirasi daerah dan kapasitas pemerintah pusat untuk mengelola dan memulihkan ekonomi yang terbengkalai. Ada harapan, di tengah distopia politik yang dihadirkan pandemi, masyarakat yang terpapar krisis multi-sektor menyadari pentingnya menjadi warga negara yang aktif, berserikat dan berjumpa untuk membela kepentingan dasar mereka atas kehidupan yang sedang dibajak dan dikontrol kekuatan parasit di dalam negara dan melampaui negara.

Dalam pandemi COVID-19, tantangan bagi dunia damai dan inklusi sosial tiada lain adalah memahami wacana global-internasional dan eksperimentasinya dalam negara di tingkat pusat dan daerah. Penstudi konflik dan pegiat perdamaian harus tiada henti menggugat monopoli pengetahuan dan sumber daya yang telah menjadi akar konflik dan kekerasan dalam sejarah perang dan damai di muka bumi ini.

Suatu panggilan sederhana sekaligus menantang dimulai dari mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan dan kematian yang dikemas dalam penjelasan ilmiah dan instruksi kebijakan. Sungguhkah pengetahuan dan kebijakan itu berangkat dari tujuan mulia keadilan dan kesetaraan yang dikenal sebagai perkara abadi umat manusia? Atau sebaliknya, sesuatu yang lain sama sekali sedang diperkenalkan ke dalam alam pikiran manusia, sebagai warga negara dan komunitas, yaitu soal kehidupan dan kematian yang sejatinya bukanlah urusan aliansi global-internasional dan oligarki nasional.

Dua hal yang pasti, di antara banyak pilihan dan siasat yang bisa diambil, yaitu masih ada negara sebagai arena pertarungan dan masih ada demokrasi sebagai mekanisme dan instrumen kelola konflik dan transformasi. Kontribusi terbesar studi konflik dan pegiat perdamaian adalah mendorong demokrasi sebagai instrumen liberasi dan emansipasi dengan segala tantangan yang menghadang khususnya monopoli partai politik, monopoli ruang publik dan monopoli produksi pengetahuan. Dari sana juga dapat dibangun kesadaran global yang baru berupa pengembangan aliansi perubahan dengan berbagai kekuatan yang berserakan di berbagai negara dan kawasan.

Pandemi ini semakin mengingatkan pentingnya berbagi pengetahuan alternatif, berbagi cara hidup baru yang berdaya tahan terhadap krisis kapitalisme global dan krisis ekonomi-politik dalam negeri, dan berbagi harapan tentang hidup yang damai dan penuh harapan yang bersumber dari tradisi-tradisi besar dan ajaran agama yang membela martabat manusia dan menolak pemberhalaan teknologi. Dengan itu pandemi ini menjadi momentum berharga bagi refleksi dan proyeksi dunia damai dan inklusi sosial sebagai proyek kemanusian yang tak pernah selesai.

Refleksi Kritis atas Wacana Pandemi Covid-19
Frans Djalong. PSKP-UGM. 24 April 2021
Gama Press, 2021, hal 256-276, link https://ugmpress.ugm.ac.id/en/product/sosial-politik/pandemi-konflik-transformasi-tantangan-demokrasi-dan-inklusi-sosial

Referensi

Torpey, John. 2018. The Invention of the Pasport: Surveilance, Citizenship and the STate. Cambridge: Cambridge University Press

Wills, Jocelyn. 2017. The Tug of War: Surveillance Capitalisme, Military Contracting and the Rise of Security State. Chicago: McGill-Queen’s University Press

Moore, Phoebe et.al. 2018. Human and Machines at Work: Monitoring, Surveillance, and Automation in Contemporary Capitalism. London: Palgrave Macmillan

Kleinman, Daniel Lee et.al. 2014. Controversies in Science & Technology, Volume 4,
From Sustainability to Surveillance. Oxford: Oxford University Press

Bloom, Peter. Monitored: Business and Surveillance in a Time of Big Data. London: Pluto Press

Shoshana Zuboff. 2019. The Fight for Human Future at the New Frontier of Power. New York: Public Affairs

Zakaria, Fareed. 2020. Ten Lessons for a Post-Pandemic World. New York: W.W. Norton and Company Inc.

Standing, Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury Academic

World Economic Forum. 2021. The Global Risks Report 2021. WEF Publication

Vandana Shiva. 2016. Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge. North Atlantic Books

Vandana Shiva. Earch Democracy: Justice, Sustainability and Peace. North Atlantic Books

Samir Amin. 2006. Beyond US Hegemony? Assessing the Prospects for a Multipolar World. London: Zed Books

Samir Amin. 2016. The Reawakening of the Arab World. New York: Montly Review Press

Samuel P. Huntington, ‘The Clash of Civilizations?’, dalam Foreign Affairs, Summer 1993

Oliver P Richmond. 2008. Peace in International Relation. London: Routledge

Michael Chossudovsky. 2010. Globalization of Poverty and the New World Order. Quebec: Global Research

Mark Duffiel. 2001.Global Governance and the New Wars: The Merging of Development and Security. London: Zed Books

Mamdani, Mahmood. 2012. Define an d Rule: Native as Political Identity. Cambridge: Harvard University Press

Mamdani, Mahmood. 1996. Citizen Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialisme. Princenton: Princeton University Press

Judith Butle. 2009. Frame of War: When is Life Grievable. London: Verso

John Harris. 2001. Depoliticizing Development: World Bank and Social Capital. New Dehli: LeftWord

Hamid Dabashi. 2011. Brown Skin, White Mask. London: Pluto Press

Edward Said. 2003. Orientalism. London: Penguin Books

Frantz Fanon. 1967. Black Skin, White Mask. London: Pluto Press

David Roberts. 2010. Global Governance and Biopolitics: Regulating Human Security. London: Zed Books

Chantal Mouffe. 2005. On the Political. New York: Routledge

Antonio Negri dan Michael Hardt. 2004. Empire. Cambridge: Harvard University Press

Antonio Negri dan Michael Hardt. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: Penguin Press

Antonio Negri dan Michael Hardt. 2009. Common Wealth. Cambridge: Harvard University Press

Íñigo Errejó n and Chantal Mouffe. 2016. Podemos: In the Name of the People. London: Lawrence and Wishart Limited

Ul Haq Mahbub. 1995. Reflection on Human Development. New York: Oxford University Press

Lawrence, Jennifer dan Sarah Wiebe (eds.). 2018. Biopolitical Disaster. London: Routledge

Naomi Klein. 2009. The Shock Doctrine: the Rise of Disaster Capitalism. Random House of Canada

BoutrosBoutros-Ghali. An Agenda for Development, United Nations, A/48/935, 6 May 1994

Boutros Buotros-Ghali. An Agenda for Democratization, United Nations, 1996

Galtung, John. 1996. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization. London: Sage

Galtung, John. 2000. Searching for Peace: The Road to Transcend. London: Pluto Press

Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended. Lectures at the College de France. New York: Picador

Foucault, Michel. 2008. The Birth of Biopolitics. New York: Palgrave MacMillan

Panizza, Francisco. 2005. Populism and the Mirror of Democracy. London: Verso

World Economic Forum. 2021. The Global Risks Report 2021. WEF Publication

Zlavoj Zizek. 2008. Violence: Six Sideways Reflections. New York: Picador

Standing, Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury Academic