Jurnal Analisis CSIS, Vol 46, No 1, 2017, hal 107-126, link https://www.tokopedia.com/csis/analisis-csis-vol-46-no-1
Abstrak
Sebuah paradoks politik dan hukum sepertinya sedang berlangsung di Indonesia. Demokrasi sedang berkembang, tetapi kasus korupsi menimpa politisi dan pejabat publik yang terpilih dalam pilkada di daerah begitu banyak. Tinjauan kritis diperlukan atas permasalahan ini: bagaimana praktik penggunaan wewenang KPK dijalankan di tengah bekerjanya kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam praktik demokrasi. Tinjaun kritis ini sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya terdapat berbagai pandangan dalam penanganan korupsi di Indonesia. Pandangan dominan melihat korupsi secara normatif, dalam register moral, kurang dilihat sebagai masalah terkait kehidupan publik nyata. Sebagian lain melihatnya sebagai masalah politik dan karena itu diperlukan peningkatan standar etika politik dalam menanganinya. sebagian lain lagi melihatnya sebagai masalah hukum, khususnya ketika hakim memutus perkara, pada umumnya hakim secara normatif memahaminya sebagai masalah pidana, padahal secara verdiktif sebagian besar lebih sebagai masalah perdata. Memperhatikan kontestasi ini, tinjauan ulang atas gerakan reformasi dan anti-korupsi diperlukan. Korupsi yang dimaksud dalam gerakan reformasi sesungguhnya bukan korupsi uang, tetapi korupsi kekuasaan, dalam arti kekuasaan perlu dibatas, atau bahwa kekuasaan bukanlah tak terbatas. Menuju pemerintahan yang baik di masa depan, maka diperlukan pandangan yang luas dan mendalam dalam hal melihat praktik hukum dan kekuasaan, dan bagaimana pemisahan dan pembagian kekuasaan; legislatif dan eksekutif, yudikatif dan komisitif sebaiknya dilakukan demi terwujudnya pemerintahan yang baik berdasarkan konstitusi atau UUD 1945.
(Ilustrasi: OTT Bupati Probolinggo dan Suaminya, sumber foto: Kompas.com)