Ekonomi-Politik Keamanan: Korporasi, Negara dan Aceh Pasca-Konflik

Gangguan keamanan terhadap kegiatan korporasi migas di Aceh secara aktual dan potensial terjadi karena investasi di tengah kondisi ketertinggalan daerah menjadi insentif bagi tindak kriminal dan premanisme baik oleh kelompok mantan kombatan yang terpolarisasi maupun kelompok warga yang didera kemiskinan akut di sekitar wilayah investasi.

Gangguan keamanan terhadap dunia investasi di Aceh tidak terlepas dari adanya dinamika ekonomi dan politik Aceh pasca diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh Tahun 2006. Aceh hari ini dikarakterisasi oleh (1) tingginya eskalasi konflik politik antar mantan GAM (PA/KPA dan PNA), (2) relasi-Aceh dan Pemerintah Pusat yang tidak harmonis terkait implementasi sejumlah ketentuan MoU Helsinki 2005, (3) ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan birokrasi mantan kombatan yang dinilai gagal menghasilkan pemerataan pembangunan (pemberdayaan ekonomi dan penyediaan infrastruktur), dan (4) meningkatnya tindakan kriminal yang didorong oleh keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi.

Geliat investasi, khususnya perusahaan minyak dan gas, tersandera oleh dinamika konteks makro tersebut. Manifestasinya dapat terbaca melalui persepsi negatif dan aksi tuntutan kelompok warga yang bernuansa kekerasan di sejumlah lokasi perusahaan beroperasi. Terpenting juga adanya tuntutan dari kelompok politik tertentu agar perusahaan mempekerjakan anggota mereka sebagai tenaga keamanan, pekerja, dan menyediakan biaya untuk proteksi terselubung dalam istilah populer ‘Pajak Nanggroe’. Kondisi ini bisa disimpulkan sebagai kondisi abnormal bagi perusahaan: Investasi dalam Perang (Invest in War). Kondisi terkini Aceh mencerminkan iklim investasi yang ekstrim dan dibutuhkan pendekatan dan intervensi perusahaan yang tidak baku.

Ibarat jalan tak ada ujung, perusahaan bekerja dalam ketidakpastian. Perusahaan seakan-akan bekerja di medan perang. Dalam negosiasi, perusahaan menjadi pihak yang selalu dirugikan karena keterbatasan legitimasi sosial, dukungan masyarakat, dan kekuatan proksi. Mengandalkan uang dan peraturan, rupanya tak menjamin keberlangsungan produksi. Dua instrumen terakhir akhirnya menjerumuskan perusahaan ke dalam ekonomi biaya tinggi dan kerap menjadi faktor penting yang melanggengkan ketidakamanan itu sendiri. Dengan kata lain, program Invest in Poor seperti CSR maupun pendasaran pada supremasi hukum seperti legalitas perusahaan harus disempurnakan dengan kerangka pikir strategis dan agenda aksi yang taktis.

Penelitian lapangan ini dilakukan untuk mempelajari dan memberi jawaban terhadap pertanyaan mengapa Aceh tidak aman bagi investasi dan apa saja langkah strategis yang diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan keamanan terhadap Medco.

Source AcehSatu

Isu-Isu Keamanan

Berdasarkan hasil riset lapangan (khususnya informasi dan persepsi 32 stakeholder), diperoleh gambaran sejumlah isu terkait keamanan antara lain:
a. Adanya kelompok yang tidak sepakat dengan perjanjian damai dan kelompok yang tidak puas dengan realisasi poin-poin MoU Helsinki 2005
b. Konflik horisontal antar KPA dan non-KPA
c. Gangguan keamanan terhadap investasi menyebabkan biaya tinggi
d. Investasi memicu munculnya tindakan kriminal dan premanisme
e. Kurangnya akses terhadap sumber daya ekonomi dialami oleh kelompok eks-kombatan khususnya di tingkat akar rumput (Mukim dan Gampong) mendorong tindakan kriminal
f. Perilaku perusahaan yang tidak responsif dan tidak proaktif; frekuensi tindak kriminal yang sangat tinggi
g. Lemahnya kinerja aparat penegak hukum; dan peredaran senpi

Analisis terhadap isu-isu yang disampaikan responden di atas menghasilkan 5 spektrum isu keamanan. Kelima spektrum isu berkaitan secara langsung maupun tak langsung dengan keberadaan perusahaan migas. Kelima spekrum isu keamanan antara lain:

1) Keberadaan dan aktivitas kelompok politik yang tidak setuju dengan perjanjian damai, adanya kelompok yang tidak puas dengan implementasi MoU oleh Pemerintah Pusat dan adanya fragmentasi elit mantan GAM di tingkat provinsi, kabupaten sampai tingkat gampong

2) Adanya konflik antar kelompok masyarakat karena kebijakan pembangunan yang diskriminatif, kerangka regulasi kelola SDA

3) Investasi menghasilkan insentif bagi tindakan kriminal yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi perusahaan/investor

4) Kriminalitas tinggi disebabkan oleh keterbatasan akses masyarakat terhadap livelihood, lemahnya kinerja aparat & masih adanya peredaran senpi

5) Perilaku investor yang tidak tepat memunculkan reaksi gangguan keamanan dari masyarakat sekitar

Politik Mantan Kombatan

Terdapat 12 responden (37.5%) yang khusus membahas gangguan keamanan terhadap dunia investasi dalam spektrum ini. Dari 12 narasumber, 7 responden (21.875%) menyebutkan kaitan langsung antara politik mantan kombatan dan dunia investasi di tingkat provinsi, kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Utara. Informasi tentang kaitan tersebut terbanyak diperoleh dari pengalaman industri ekstraktif beberapa tahun terakhir seperti PT Arun dan PT PIM. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan berskala besar yang sudah lama beroperasi di Aceh, khususnya Aceh Utara dan Aceh Timur, belum juga terbebas dari cengkeraman dinamika politik Aceh pasca konflik.

Lima responden (15.625) di antaranya menyebutkan kaitan langsung antara spektrum isu politik dan gangguan keamanan terhadap korporasi. Kelima narasumber tersebut berasal dari 5 kategori responden (Geuchik, pelaku usaha, TNI, NGO, dan akademisi) dan berasal dari lokasi berbeda yakni desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi. Bisa disimpulkan bahwa gangguan keamanan terhadap perusahaan oleh sepak terjang politik mantan GAM telah menjadi isu publik di Aceh.

Sebagai ilustrasi, narasumber akademisi memberi informasi berharga mengenai kasus penculikan Malcom Primerose, staf survei Medco di Aceh Timur. Penculikan ini tidak terlepas dari perebutan jatah pengamanan perusahaan antara kubu Partai Aceh yang dipimpin Mualim (Wakil Gubernur Aceh) dan kubu Partai Nasional Aceh Kabupaten Aceh Timur yang dipimpin Ridwan Abu Bakar (Ketua PNA Aceh Timur).

Ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, masih berlaku struktur komando mantan kombatan dari tingkat provinsi sampai akar rumput dan kedua, struktur komando terbelah ke dalam dua kubu berdasarkan afiliasi partai politik lokal. Terpenting juga adalah pesan di balik kasus tersebut, bahwa di masa datang dunia investasi termasuk korporasi negara dan swasta akan dijadikan arena perang secara simbolis untuk menentukan kelompok politik apakah yang paling berpengaruh di Kabupaten Aceh Timur.

Demikian halnya dengan pemungutan liar yang populer disebut ‘Pajak Nanggroe’. Sebagian besar narasumber menyebutkan bahwa praktek ilegal yang lumrah pada masa konflik sebelumnya masih terus berlangsung pada masa pasca konflik. Praktek ini dapat berupa pengajuan proposal dengan daya paksa yang rendah atau tanpa ancaman riil sampai berupa ancaman bersenjata, ancaman verbal dan ancaman via pesan pendek (SMS). Praktek Pajak Nanggroe umumnya dilakukan dengan argumen warisan masa konflik bahwa Aceh belum aman karena itu perusahaan membutuhkan proteksi non-legal, atau digunakan argumen kekhasan budaya, bahwa Aceh itu istimewa karena itu di mana bumi dipijak langit dijunjung. Praktek ini pun dilakukan tidak saja oleh mantan GAM tapi juga warga desa tanpa afiliasi politik.

Spektrum ini memberi informasi penting terkait 3 hal krusial. Pertama, masih ada segmen tertentu dalam kelompok GAM yang tidak menerima MoU dan tetap bertekad untuk kemerdekaan Aceh. Kedua, muncul kelompok baru dengan menggunakan nama lama GAM yakni, ASNLF (Aceh-Sumatra National Liberation Front). Kelompok kedua mulai menguat dengan basis jaringan di Aceh khususnya di tingkat akar rumput dan di tingkat internasional yang tersebar di sejumlah negara seperti Denmark, Jerman, Australia dan Malaysia. Alasan kelompok kedua muncul juga karena krisis implementasi UU PA. Ketiga, fragmentasi dan perseteruan politik antar mantan GAM (PA/KPA dan PNA) di tingkat provinsi dan kabupaten terus merebak sampai tingkat akar (kecamatan, mukim dan gampong).

Kebijakan Pembangunan yang Diskriminatif

Terdapat 17 responden (53.125%) yang secara langsung menyebutkan konflik horisontal antar kelompok masyarakat terkait spektrum isu kebijakan pembangunan ini. Poin pentingnya adalah bahwa kepemimpinan birokrasi daerah ditandai praktek patronase yang kuat sampai tingkat akar rumput. Kebijakan pembangunan dianggap diskriminatif terhadap kelompok oposisi, dalam hal ini kubu PNA. Kubu oposisi dipersulit mendapatkan akses ekonomi seperti jatah proyek pembangunan dan akses ke dalam jajaran birokrasi. Konflik horisontal pun belum berwujud kekerasan fisik tetapi telah menjadi bagian dari persepsi dan perilaku konfliktual antara kelompok.
Poin pentingya adalah bahwa gangguan keamanan terhadap perusahaan secara aktual dan potensial berkaitan secara tak langsung dengan kondisi ekonomi-politik di Aceh terkini pasca konflik terhitung sejak mulai diberlakukannya UU PA tahun 2006. Undang-undang ini, sebagai tindak lanjut kesepakatan Helsinki, membawa dampak signifikan pada aras bidang pembangunan ekonomi yang digalakkan pemerintah daerah dan pada bidang politik berkaitan dengan eskalasi konflik internal mantan GAM maupun sikap tidak percaya masyarakat terhadap kepemimpinan politik lokal yang dikendalikan mantan para pejuang Aceh merdeka ini.

Terkait tata kelola pemerintah, terjadi diskriminasi dalam kebijakan pembangunan yang disinyalir hanya menguntungkan kelompok mantan yang berkuasa khususnya PA/KPA baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara. Mulai terbentuk kroni dan patronase yang saling menguntungkan antar elit PA/KPA dan kelompok masyarakat sebagai klien baik di tingkat provinsi dan kabupaten maupun antar level pemerintahan (kabupaten sampai tingkat desa/gampong). Sementara di bidang politik, konflik internal antar kelompok mantan kombatan (khususnya PA versus PNA) terkait dengan ketidakpuasan kelompok PNA terhadap kepemimpinan PA/KPA dan dibatasinya akses kelompok ini ke dalam lingkaran pembuatan kebijakan dan tidak diberi jatah menjalankan program atau proyek pembangunan.

Investasi sebagai Insentif

Sebagian besar narasumber menyebutkan kehadiran dunia investasi memicu munculnya tindakan kriminal dan perilaku premanisme yang mengganggu kegiatan perusahaan. Tindakan ini dilakukan baik oleh warga desa, paramilisi, kelompok bersenjata, dan kelompok politik PA dan PNA di tingkat akar rumput. Kehadiran perusahaan dilihat sebagai faktor penyebab tersendiri (pulling factor) dalam arti jika tak ada perusahaan yang beroperasi maka tak akan terjadi tindakan kriminal. Investasi dipersepsikan sebagai peluang akses ekonomi seperti lapangan pekerjaan dan praktek Pajak Nanggroe. Tindakan kriminal dan premanisme dilakukan jika tuntutan tidak dipenuhi perusahaan.

Terdapat 7 narasumber (21.875%) menyebutkan secara langsung kehadiran Medco sudah dan akan akan terus memicu tindakan kriminal dan aksi premanisme. Narasumber tersebut berasal dari beragam kategori yang terkait langsung seperti pelaku usaha (narasumber Medco dan PT PIM sebagai pembanding) maupun narasumber yang mengikuti rekam jejak Medco selama ini seperti TNI, geuchik, NGO, bisnis, dan polisi. Para Narasumber berlokasi di tingkat desa-gampong sampai tingkat kabupaten. Hal ini memberi informasi meyakinkan bahwa selain pengalaman langsung dari pihak perusahaan, para pihak yang berurusan dengan masalah keamanan seperti polisi, tentara, tokoh masyarakat dan NGO telah mengetahui dan membincangkan isu ini dari tingkat gampong, mukim dan kabupaten.

Ilustrasi kasus yang dialami perusahaan dikisahkan Akhyar, staf Medco di Aceh Timur. Menurutnya, gangguan keamanan terhadap Medco bergantung pada ada tidaknya kegiatan perusahaan. Selama periode eksplorasi 2008-20010 tidak ada gangguan yang signifikan. Gangguan keamanan baru muncul pada tahun 2011 dan memaksa perusahaan mengurangi aktivitas. Ancaman berupa SMS kepada petugas pada malam hari dan juga pembakaran alat berat. Tujuan ancaman adalah memeras atau meminta uang.

Pengalaman serupa juga dialami PT PIM di Aceh Utara sebagaimana dikisahkan Mustafa Thair, Deputi Humas perusahaan tersebut. Kendati kondisi keamanan saat ini relatif lebih kondusif, praktek Pajak Nanggroe masih seringkali dilakukan oleh elemen terendah dari struktur komando PA/KPA di tingkat gampong. Merespon gangguan tersebut, pihak perusahaan berkoordinasi dengan bupati yang juga adalah elit PA/KPA di Aceh Utara tetapi tidak ada imbasnya di akar rumput. Hal ini karena gerakan politik PA/KPA bukanlah gerakan solid dan terkoordinasi. Yang dihadapi perusahaan adalah elemen partai terbawah yang bergerak sporadis tanpa garis komando dari tingkat yang lebih tinggi.

Kemiskinan & Kapasitas Polisi

Kemiskinan sebagai penyebab tingginya angka kriminalitas telah menjadi wacana publik di tingkat Provinsi Aceh maupun di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Pandangan tersebut terbaca dalam informasi separuh narasumber dalam spektrum ini. Terdapat 16 narasumber (50%) dari seluruh kategori menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai penyebab utama di balik gangguan keamanan terhadap kegiatan Medco dan terdapat 4 responden (12.5%) yang secara khusus menilai keterbatasan kapasitas polisi sebagai penyebab meningkatnya kriminalitas. Kemiskinan dan kapasitas respons polisi yang terbatas merupakan indikator praktis untuk mendeteksi kegagalan negara dan pemerintah daerah menyediakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga termasuk dunia investasi.

Berbagai gangguan terhadap kegiatan Medco mulai dari penghadangan dan penembakan terhadap Mess dan peralatan tak terlepas dari tuntutan tuntutan warga atau kelompok tertentu untuk dilibatkan dalam aktivitas perusahaan. Tindakan kriminal ini, khususnya kepemilikan senjata api, tidak ditangani polisi secara serius dan akhirnya dianggap lumrah. Di sisi lain, responden polisi menilai lemahnya respon kepolisian lebih disebabkan oleh keterbatasan personil dan jarak tempuh yang makan waktu dari kantor polisi menuju lokasi kejadian. Juga kurangnya koordinasi antara pihak perusahaan dan aparat keamanan untuk mengantisipasi adanya gangguan keamanan.

Responden polisi dan bisnis lainnya (9.375%) menilai bahwa selama masa pasca konflik banyak sekali mantan kombatan di lokasi operasi perusahaan tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Kelompok ini secara faktual menjadi minoritas ganda, pertama, tidak diperhatikan secara kontinu dalam program reintegrasi pasca konflik dan kedua, tidak diperhatikan dalam kebijakan pembangunan daerah yang dikendalikan kubu tertentu, dalam kasus Kabupaten Aceh Timur misalnya dikendalikan PA/KPA.

Marjinalisasi ganda tersebut menghasilkan kerentanan sekaligus menjadi alasan yang mendorong mantan kombatan mengganggu kegiatan perusahaan. Mereka mudah dimobilisasi elit kabupaten (PA atau PNA) yang menjadi patron. Kasus penculikan staf Medco yang telah disampaikan dalam Spektrum I merupakan ilustrasi mengenai perubahan kekuatan mantan kombatan dari kerentanan menjadi sangat menggangu kegiatan perusahaan termasuk terbentuk imaji publik bahwa perusahaan tidak berdaya mencegah dan menangani ancaman fisik.

Perusahaan Tidak Responsif

Sebagian besar narasumber memandang bahwa hubungan tidak harmonis antara perusahaan dan warga sekitar lokasi perusahaan disebabkan oleh sikap perusahaan yang tidak responsif dan proaktif. Mengingat para narasumber berlokasi di propinsi sampai desa dan dari ragam kategori responden, isu ini sudah menjadi persepsi umum di Aceh. Perusahaan dianggap mengabaikan permintaan warga untuk dijadikan tenaga kerja, mengatasi masalah pencemaran, dan membantu kegiatan warga di tingkat desa-gampong atau kecamatan. Perusahaan lebih berpihak kepada kepentingan kelompok KPA dan rekomendasi dari pihak pemerintah yang memang dikendalikan kelompok politik tersebut.

Terkait korporasi swasta, terdapat 5 responden (15.625%) menilai gangguan warga dan kelompok tertentu terhadap korporasi pada tahap eksplorasi ini disebabkan oleh sikap perusahaan (CPM) yang tidak responsif. Kelima responden tersebut berlokasi di kecataman dan desa seperti anggota TNI, geucik dan kepala dusun yang sangat mengetahui masalah gangguan keamanan perusahaan. Salah satu contoh adalah peristiwa penghadangan dan boikot pemasangan pipa oleh CPM. Menurut Geuchik Idris Samanaf (narasumber penelitian), warga tidak puas dengan kinerja CPM karena mempekerjakan tenaga labor dari luar desa. CPM dinilai hanya mengikuti tuntutan kelompok mantan kombatan (KPA) dan hanya mendengar rekomendasi dari pemerintah.

Kasus lain juga muncul di Desa Lebok Pusaka, Aceh Utara, yang diutarakan oleh Razali, Kepala Dusun, Tanah Merah, lokasi aliran pipa migas. Warga dan kelompok pemuda di lokasi mulai tidak menyukai kehadiran Medco karena CPM ingkar janji membayar kompensasi penggunaan jalan Exxon. Alasan adanya kompensasi per bulan terkait penggunaan jalan yang rutin oleh CPM mengakibatkan polusi debu yang dihirup warga sekitar maupun warga pengguna jalan. Sekali saja kompensasi dibayarkan untuk bulan pertama setelah itu tidak ada lagi pembayaran. Untuk kasus ini, persepsi negatif warga terhadap Medco (CPM) tidak terlepas juga dari pengalaman positif warga dengan perusahaan lain seperti Triangle Pase yang beroperasi di sekitar lokasi desa. Sementara kehadiran Exxon dinilai sangat merugikan masyarakat dan kerap ingkar janji dengan berbagai alasan.

Penyebab Isu: Proyek dan Non-Proyek

Informasi responden dan data yang tersedia menunjukkan bahwa penyebab isu keamanan bersumber dari proyek, non-proyek dan dalam praktiknya juga merupakan kombinasi antar kedua sumber penyebab tersebut. Penyebab non-proyek tergambar dalam spektrum I (politik), spektrum II (kebijakan pembangunan), dan spektrum IV (kemiskinan dan kapasitas lembaga penegak hukum). Sementara penyebab bersumber dari proyek berasal dari spektrum III (Insentif) dan spektrum V (kapasitas respon perusahaan). Dengan kata lain, penyebab non-proyek bersifat struktural dan eksternal terhadap proyek sementara penyebab bersumber dari proyek bersifat non-struktural dan internal terhadap proyek.

Penyebab Non-Proyek

Dari 32 responden, terdapat 18 narasumber (56.25%) yang menyebutkan penyebab gangguan keamanan terhadap perusahaan berasal dari luar proyek seperti persoalan perpecahan politik mantan GAM (PA/KPA versus PNA) berimbas sampai tingkat desa, persoalan kemiskinan yang menciptakan persepsi perusahaan harus mengentaskan kemiskinan warga, dan terbatasnya kapasitas kepolisian khususnya POLSEK untuk menangani kriminalitas di desa terpencil di mana perusahaan beroperasi.

Terdapat 8 responden (25%) menyebutkan secara khusus kapasitas polisi terbatas untuk mencegah dan menangani gangguan keamanan terhadap perusahaan di tingkat desa. Kategori responden adalah 2 TNI (KODIM dan KORAMIL) di Aceh Utara dan 6 Polisi (POLRES dan POLSEK) di Aceh Utara dan Aceh Timur. Keterbatasa polisi mencakup jumlah personil, fasilitas, dan biaya untuk menangani masalah kriminalitas dalam cakupan wilayah yang luas, jarak tempuh yang jauh, dan infrastruktur jalan yang buruk. Selain itu, peredaran senjata api di tangan warga sipil memberi insentif tersendiri bagi penggunaan kekerasan terhadap perusahaan.

Terkait penyebab gangguan terkait fragmentasi elit mantan GAM, disebutkan secara khusus oleh 12 responden (37.5%) yang berasal dari semua kategori dan berlokasi di tingkat provinsi sampai desa. Terdapat 17 responden (53.125%) secara khusus menyebutkan kemiskinan dan keterbatasan akses ekonomi yang diakibatkan oleh diskriminasi kebijakan pembangunan daerah di Aceh Utara dan Aceh Timur sebagai penyebab gangguan terhadap perusahaan. Kemiskinan dialami baik oleh warga biasa maupun warga mantan kombatan GAM di tingkat kecamatan dan desa. Penyebab ini juga disebutkan oleh sebagian besar kategori responden meski dipandang sebagai konteks makro.

Penyebab Proyek

Penyebab gangguan terhadap perusahaan bersumber dari kehadiran perusahaan yang menimbulkan insentif karena berlokasi di wilayah tertinggal dari segi akses ekonomi dan karena perilaku perusahaan yang tidak responsif terhadap tuntutan warga dan lebih mengutamakan kepentingan kelompok politik tertentu. Terdapat 7 narasumber (21.875%) menyebutkan secara khusus penyebab gangguan karena kehadiran perusahaan di wilayah tertinggal dan 5 responden (15.625%) menilai penyebab gangguan karena kinerja proyek (CPM) buruk terkait ganti rugi lahan, rekruitmen dan kontrak kerja tenaga lokal, dampak lingkungan.

Hal ini disampaikan responden di tingkat desa dan kecamatan seperti geuchik, kepala dusun, polisi (Polsek), TNI (Koramil), PAP, dan pelaku usaha (CPM). Sementara lebih khusus lagi, penyebab gangguan karena keberadaan perusahaan di tengah kemiskinan disampaikan oleh semua responden di tingkat provinsi sampai desa dan berasal dari semua kategori responden. Patut dicatat juga bahwa berkembang luas di masyarakat persepsi umum bahwa SDA Aceh telah sekian lama diekploitasi oleh pemerintah pusat dan perusahaan swasta dan dalam periode pasca konflik, perusahaan dan pemerintah bertanggung jawab untuk memberdayakan ekonomi warga termasuk perbaikan infrastruktur dan akses pasar. Ekspektasi atau tuntutan warga yang tinggi terhadap kehadiran Medco juga terkondisikan oleh akumulasi pengalaman negatif warga dengan kinerja perusahaan-perusahaan terdahulu di lokasi. Tidak adanya pola baku atau corporate governance di Aceh berkontribusi pada tidak ada standarisasi berdasarkan lesson learned mengenai kerangka kerja kemitraan dunia investasi, masyarakat dan pemerintah di Aceh.

Rangkuman

Hubungan antar isu gangguan keamanan terhadap perusahaan dan penyebabnya terbaca melalui 5 spektrum isu. Penyebab non-proyek bersifat eksternal terhadap perusahaan seperti politik lokal (spektrum I) dan kebijakan, kapasitas polisi serta kemiskinan (spektrum II dan IV). Di lain pihak, penyebab yang bersumber dari proyek bersifat internal terhadap proyek (spektrum III dan V).

Terdapat hubungan antara Isu, penyebab isu dan lokasi narasumber. Untuk isu yang disebabkan oleh faktor eksternal disebutkan sebagian besar narasumber dari tingkat provinsi sampai desa dan dari berbagai kategori responden. Hal ini menunjukkan bahwa konflik politik antar PA/KPA vs PNA, kebijakan pembangunan yang diskriminatif dan kemiskinan merupakan fenomena pasca konflik yang menandai transisi panjang Aceh Lama ke Aceh Baru. Transformasi aktor konflik (mantan elit kombatan GAM) ke dalam format kepemimpinan lokal dan reintegrasi kombatan GAM akar rumput ke dalam kehidupan masyarakat masih membutuhkan waktu dan proses yang panjang.

Konflik elit tersebut berpengaruh pada politik kebijakan pembangunan daerah yang lebih menguntungkan kelompok sendiri dan menimbulkan oposisi garis keras dari kelompok yang merasa dirugikan, baik kelompok PNA mupun warga biasa khususnya di desa-desa wilayah operasi perusahaan. Tuntutan warga maupun kelompok politik tertentu kepada perusahaan didorong oleh persepsi umum bahwa dunia investasi wajib menyejahterakan masyarakat dan perusahaan telah terlibat dalam konspirasi bersama pemerintah daerah yang didominasi kelompok PA/KPA.

Isu yang disebabkan faktor internal perusahaan (Spektrum III & V) secara faktual juga tidak berdiri sendiri. Eksistensi Perusahaan memicu lahirnya tuntutan warga dan kelompok tertentu dikondisikan oleh faktor eksternal. Kendati demikian, analisis dalam penelitian ini menggarisbawahi pentingnya insentif sebagai pulling factor. Yang ditekankan adalah keinginan dan tuntutan warga atau kelompok terhadap perusahaan dipicu oleh kehadiran perusahaan. Jika perusahaan tidak beroperasi, kemungkinan besar tuntutan tidak akan mengemuka. Demikian halnya dengan tindakan perusahaan yang ingkar janji dan mengabaikan dampak lingkungan terhadap kehidupan warga. Hal ini sungguh dirasakan oleh warga terdampak dan juga menjadi kepedulian para pihak yang mewakili dan menyaksikan tindakan perusahaan seperti aparat desa, Koramil, tokoh masyarakat seperti imum mukim dan aparat kecamatan.

Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan dua hal yang saling terkait. Pertama, gangguan keamanan terhadap dunia investasi khususnya Medco di Aceh Timur dan Aceh Utara hari ini dan di masa datang berada dalam spektrum makro ekonomi politik Aceh. Kedua, perilaku dan tindakan perusahaan yang tidak peka konteks Aceh cenderung memantik amarah warga dan kelompok yang merasa dirugikan baik secara material maupun secara simbolis (pengakuan akan identitas kelompok dan martabat sebagai tuan rumah). Gangguan keamanan terus akan terus berlangsung sejalan dengan saling pengaruh antara kondisi makro atau faktor eksternal dan kinerja perusahaan atau faktor internal. Pilihan untuk mengubah struktur makro tentu tidak realistik. Tersedia pilihan yang lebih masuk akal yakni perusahaan merumuskan dan menerapkan intervensi strategis dan taktis untuk meminimalisir pengaruh eksternal terhadap kelancaran kegiatan perusahaan.

(Frans Djalong. Cuplikan Risalah Hasil Penelitian, Analisis Perenceanan & Resiko Sosial, Blok A-Aceh, PSKP-UGM, 2015)