(Bab 3, Buku Pandemi, Konflik, Transformasi, Gama Press, September 2021, hal 53-81, (co-author Luqman-nul Hakim), Link https://ugmpress.ugm.ac.id/en/product/sosial-politik/pandemi-konflik-transformasi-tantangan-demokrasi-dan-inklusi-sosial)
Bab ini memberi perhatian khusus kepada hubungan saling pengaruh antara agenda Global Reset melalui pandemi COVID-19 dan eksperimentasi tata-kelola krisis kesehatan di Indonesia. Dengan menggunakan Analisis Governmentalitas, diperoleh gambaran mengenai terbentuknya formasi ideologis serta model teknokrasi bencana di Indonesia. Formasi ideologis dan model kebijakan tersebut, dinamakan ekonomi-politik bencana, tidak muncul dari ruang kosong melainkan telah terkondisikan secara struktural dalam dinamika ekonomi-politik nasional yang ditandai makin terlembaganya konsolidasi oligarki nasional dan fragmentasi gerakan kewarganegaraan kolektif atau aliansi demos lintas sektoral. Kondisi struktural ini pun sudah menjadi perhatian para penstudi demokrasi dan pembangunan selama dua dekade terakhir pasca Reformasi. Termasuk di dalam sudah menjadi matriks diskusi publik berkenaan dengan menguatnya developmentalisme berorientasi infrastruktur, defisit perhatian pada sektor industri produktif, terlembaganya politik identitas oleh oligarki nasional, korupsi yang tak berkesudahan, pelemahan gerakan politik demos dan rendahnya kapasitas negara mengelola sumber daya publik di pusat dan di daerah.
Bertolak dari rumusan masalah dan konteks struktural di atas, pembahasan dalam bab ini dipandu dua tujuan utama. Tujuan pertama adalah untuk mencermati dinamika konflik dan negosiasi dalam hubungan integrasi global-nasional dalam kelola pandemi mengikuti arahan Global Reset. Tujuan kedua, untuk mendapatkan peta isu konflik dalam pandemi dan proses ekonomi-politik yang menstrukturasi konflik dan transformasinya selama pandemi berlangsung serta tantangan bagi demokrasi. Bagian kedua dari tulisan ini, Kelola Pandemi Indonesia dalam Global Reset, membahas kelola pandemi Indonesia dalam skema Global Reset dengan mencermati tata-kelola sebagai eksperimentasi ekonomi-politik dari hubungan global-nasional. Hal tersebut dilakukan dengan memeriksa rasionalitas, strategi, mekanisme dan taktik tata-kelola dalam negeri dalam koordinasinya, berupa resistensi atau negosiasi, dengan eksperimentasi kelola pandemi secara global.
Bagian ketiga, Ekonomi-Politik Pandemi dan Strukturasi Konflik, melakukan analisis terhadap komplikasi isu konflik yang terstruktur sebagai ekonomi-politik pandemi Indonesia dan seberapa jauh hal itu menjadi tantangan sekaligus peluang melakukan demokratisasi terhadap teknokrasi bencana sebagai model pembangunan pasca pandemi serta peluang terbangunnya gerakan politik lintas-sektor. Tulisan ini diakhiri dengan kesimpuan yang berisi intisari hasil analisis terkait ekonomi-politik pandemi dan manajemen konflik dalam teknokrasi kedaruratan atau kebencanaan di Indonesia.
Mencermati Konteks
Pandemi Covid-19 telah menjadi wacana publik nasional dan dunia. Sejak Adhanom Tedros, Direktur Jenderal World Health Organization mendeklarasikan darurat kesehatan dunia, Maret 2020, pandemi berubah menjadi matriks diskusi ekonomi-politik internasional dan ekonomi-politik nasional. Ibarat kotak pandora yang terbuka secara tak terduga, diskusi publik dalam negeri mengikuti dinamika internasional yang tak menentu. Meski dalam perkembangan setahun pandemi terjadi konsolidasi antar-negara, ketidakpastian kapan pandemi berakhir masih menjadi perkara kebijakan yang kompleks dan membawa konsekuensi serius bagi tata kelola sektor kesehatan, ekonomi nasional, masa depan demokrasi dan arsitektur multilateralisme.
Hal tersebut semakin memperjelas hubungan saling pengaruh antara dinamika internasional dan dinamika nasional terkait orientasi kebijakan tanggap darurat kesehatan yang bersifat multi-sektor. Dinamika itu ditunjukkan dengan adanya tarik menarik orientasi kebijakan antara mendukung agenda Solidaritas Global yang diserukan WHO dan pilihan kebijakan dalam negeri dari masing-masing negara anggota. Dinamika geopolitik yang tak stabil ikut berpengaruh pada pilihan kebijakan setiap negara. Dalam mana orientasi kebijakan tanggap darurat setiap negara tidak sepenuhnya ditentukan oleh parameter epidemik tetapi juga dipengaruhi perhitungan resiko ekonomi, ketidaksabilan politik dan kalkulasi geopolitik dari kebijakan luar negeri (Zakaria, 2020; Lazarou, 2020; Guterres, 2020). Sebagaimana telah menjadi fenomena internasional dan di berbagi negara, geopolitik dan politik dalam negeri membuat pandemi COVID-19 lebih dari sekadar darurat kesehatan manusia dan dunia.
Pengalaman Indonesia mengatasi pandemi membuktikan hubungan saling pengaruh antara dinamika internasional dan dinamika di dalam negeri dengan sejumlah konsekuensi serius bagi kualitas demokrasi, pembangunan ekonomi dan keamanan. Pengalaman kelola pandemi Indonesia sangat berbeda dengan kelola pandemi Amerika Serikat menjelang Pemilihan Presiden, kelola pandemi di Brazil dengan Bolsonaro yang menjadi perhatian internasional, Venezuala yang dilanda sanksi ekonomi dan kisruh politik berdimensi internasional, atau Inggris dengan politik pasca-Brexit yang tak kunjung bersatu. Pengalaman Indonesia, sebagaimana menjadi tema tulisan ini, menunjukan karakteristik yang unik berkaitan dengan adanya koalisi politik elit nasional, ketegangan antara masyarakat sipil yang tak terkelola sebelum dan selama pandemi, absennya debat kebijakan berkaitan dengan ekonomi makro dan ketakjelasan orientasi geopolitik Indonesia sebelum dan selama pandemi berlangsung (Sparrow, 2020; Suryahadi, 2020; Laksmana, 2011).
Sebelum ke pokok pembahasan, perlu dipastikan bahwa pandemi tidak sebatas masalah kesehatan atau masalah sektoral. Kerangka kebijakan yang diberikan dan diarahkan WHO sendiri memperlihatkan pandemi sebagai masalah multi-sektoral atau berdampak multi-sektoral. Bahkan sejak awal deklarasi pandemi, badan kesehatan dunia ini menegaskan urgensi penanganan yang efektif agar pandemi cepat berakhir. Hanya saja, melihat rekam jejaknya dua dekade, badan kesehatan dunia ini sangat bermasalah, tidak konsisten dan menjadi arena pertarungan kepentingan bisnis kesehatan dan lembaga proksi bagi kekuatan korporasi transnasional (Shamasander, 2020; Gore, 2019; Peters, 2020; Collins, 2012). Dalam dua tahun terakhir, kerangka kebijakan badan dunia ini sangat menekankan aspek epidemik-medis yaitu, pendekatan mengutamakan kesehatan sektoral dan tidak menghitung resiko-resiko sosial dan ekonomi. Dunia dan negara diberi sebuah dilema, kesehatan atau ekonomi, yang akhirnya diambil kerangka kebijakan yang memprioritaskan kesehatan dan mengurbankan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan stabilitas sosial-politik.
Arahan kelola pandemi berorientasi epidemik semata tentu tidak saja datang dari pertimbangan ilmiah biomedis. Setahun pandemi ini menunjukkan kuatnya pengaruh industri kesehatan (big pharma), bio-teknologi (bio-technology), telekomunikasi (IT), pangan (big foods) dan sejumlah korporasi transnasional di balik orientasi badan dunia tersebut. Dominasi korporasi transnasional dalam kebijakan WHO makin diperjelas dengan konsolidasi yang dipercepat di antara korporasi global, lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, dan negara-negara tergabung dalam G-7 dan G-20. Konsolidasi ini lalu menghasilkan suatu rancang tata dunia baru melalui World Economic Forum, dinamakan Global Reset, yang mulai mengubah konstelasi tata-kelola internasional dan implementasinya di Indonesia serta negara-negara lain (WEF Report, 2021; Scwab, 2020; Dunford 2020). Ekonomi-politik dunia disetel ulang dengan pendekatan korporasi dan dimulai dengan kelola pandemi sebagai momentum pembukaan yang strategis.
Kecenderungan baru public-private partnership tersebut sangat berdampak kepada dipakainya model teknokrasi, corporate governance, dalam kelola pandemi di Indonesia dengan sejumlah konsekuensi bagi strukturasi konflik. Model kelola korporasi ini tidak saja menghadirkan paradoks penanganan epidemik yang tak kunjung teratasi tetapi terpenting lagi mengondisikan munculnya isu-isu konflik baru serta komplikasinya dengan isu-isu konflik lama. Model korporasi pada dasarnya tidak bertolak dari negosiasi kepentingan bersama warga negara dan memperlakukan masyarakat semata-mata sebagai konsumen atau obyek tanggap darurat (Humbert, 2019; Chandler, 2019). Tidak hanya secara konseptual melanggar preskripsi kesehatan dunia mencakup sehat ekonomi dan literasi politik, model ini dalam implementasi setahun lebih telah menciptakan dislokasi konflik sosial-politik pada sejumlah sektor pembangunan, arena pertarungan politik dan wilayah penanganan kesehatan.
Ekonomi-Politik Pandemi
Isu-isu konflik yang muncul di Indonesia akhirnya memberi gambaran mengenai apa yang disebut ekonomi-politik pandemi. Yaitu, berlangsungnya suatu proses strukturasi atau penstrukturan kepentingan ekonomi dan politik yang terkelola maupun tak terkelola sebagai konsekuensi korporatisasi terhadap sumber daya, institusi dan instrumen penanganan. Tentu ekonomi-politik pandemi dalam negeri tidak terlepas dari kelola pandemi global yang menekankan kemitraan pemerintah dan korporasi di mana publik disamakan dengan pemerintah dan privat diartikan dengan swasta atau perusahaan. Hanya saja yang membedakan adalah eksperimentasi model tersebut di dalam negeri menimbulkan kontraksi ekonomi dan politik menuju kepada terbentuknya struktur relasi antar kepentingan serta kelola relasi kepentingan yang menghadirkan komplikasi konflik atau kondisi kerentanan ekonomi-politik berkelanjutan setelah pandemi berakhir.
Sebagaimana diperjelas pada bagian selanjutnya, analisis terhadap dislokasi konflik dari proses strukturasi ekonomi-politik di Indonesia sangat terbantu dengan dipakainya pendekatan governmentalitas. Pendekatan ini sudah menjadi pilihan utama dalam mempelajari tata-kelola neoliberal sebagai model dominan dalam instrumentasi dan implementasi kebijakan global dan kebijakan nasional (Roberts, 2010; Foucault, 2003, 2008). Dengan pendekatan ini bisa diamati dan ditelusuri rasionalitas, strategi, mekanisme dan taktik yang digunakan dalam mengelola dan mengontrol populasi dan sumber daya. Dalam membedah tata-kelola pandemi, pendekatan ini juga memeriksa resistensi sebagai bagian dari negosiasi para pihak dan negosiasi isu konflik, baik yang disasar kebijakan tanggap darurat maupun isu konflik baru yang muncul dalam implementasi kebijakan (Negri, 2004, 2009). Karena itu, fokus pemeriksaan diarahkan pada kapasitas tata kelola tanggap darurat dan komplikasi isu konflik yang akhirnya terstrukturasi ke dalam relasi ekonomi-politik yang dinamis, paradoksal dan tak pernah dapat dibendung atau distabilkan.
Tata kelola pandemi di Indonesia ditandai dengan pengerahan seluruh atensi kebijakan pemerintah kepada pandemi sebagai darurat nasional. Pemerintah Joko Widodo, dengan kekuatan koalisi yang relatif stabil, menerjemahkan kedaruratan itu dalam narasi negara dalam bahaya. Atensi kebijakan nasional pada darurat kesehatan kemudian ditunjukkan dengan pengucuran anggaran 405,1 triliun tahun 2020 yang sebagian terbesar ditujukan untuk tanggap epidemi melalui kementerian kesehatan (75 triliun), sementara anggaran sektor lainnya dipangkas atas nama cegah penularan dan penanganan pasien. Sebagian lagi anggaran ditujukan untuk kebijakan fiskal seperti jaring pengaman sosial dan insentif usaha kecil-menengah dan perkreditan untuk kelompok masyarakat terdampak. Keseluruhan politik anggaran dikendalikan Sri Mulyani, Menteri Keuangan berorientasi neoliberal, bekas direktur eksekutif Bank Dunia.
Perubahan kebijakan anggaran dan mobilisasi pemerintahan untuk tanggap darurat membawa konsekuensi ekonomi dan politik di berbagai lapis pemerintahan, lintas-sektor pembangunan dan wilayah penanganan. Di tingkat pusat otorisasi dan eksperimentasi kebijakan tanggap darurat berjalan tanpa hambatan sedikit pun. Hal ini memperlihatkan kembali ketrampilan politik oligarki yang sudah lama diperagakan, bekerja sama mengelola anggaran dan sumber daya lainnya melalui kementerian, partai politik dan perusahaan pengadaan barang dan jasa dalam suatu model politics-corporate complex yang sudah terlembaga warisan ekonomi-politik Orde Baru (Hadiz, 2006; Robinson, 2009). Setelah setahun pandemi berjalan, barulah muncul isu konflik di kalangan oligarki nasional berkaitan transparansi dan akuntabilitas program dengan dijadikannya kasus korupsi atau dugaan korupsi sebagai isu proksi merebut dan membentuk opini publik terhadap kinerja partai politik.
Di lain pihak, isu konflik dan komplikasinya di tingkat daerah sangat beragam yang sebagian terbesarnya terhubung dengan tingkat penularan virus dan sektor unggulan terdampak. Pemberlakukan pembatasan berskala besar di suatu daerah, khususnya perkotaan, menimbulkan kontraksi ekonomi yang serius tidak hanya antar sektor di dalam kota tetapi juga lalu lintas perdagangan antar kota dan antara kota dan desa. Dalam kondisi itu, muncul isu-isu konflik berkaitan dengan perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas, penguatan patronase politik pembangunan, ketidakpercayaan publik kepada penanganan kesehatan, dan kriminalitas yang meningkat. Sejumlah daerah dengan sektor strategis yang terdampak antara lain Jakarta dan Makasar berdampak multi-sektor khususya perdagangan, Yogyakarta dan Bali berdampak sektor pariwisata dan kota-kota lain.
Luhut Panjaitan dan kolega oligarki nasional, WEF Davos, 2020 Source Portonews.com
Kelola Pandemi Indonesia dalam Global Reset
Tanggap darurat kesehatan dan strukturasi konflik di Indonesia berlangsung dalam kerangka kebijakan global tentang pandemi Covid-19. Karena itu menjadi sangat penting untuk memeriksa kelola pandemi Indonesia sebagai eksperimentasi dari model pendekatan korporasi yang diarahkan WHO sebagai organisasi proksi bagi agenda Global Reset yang dicetuskan dan diwacanakan World Economic Forum sejak tahun 2016, diperkenalkan secara intensif melalui narasi pandemi global tahun 2020 sampai sekarang ini. Dari pemeriksaan itu dapat terbaca strukturasi isu konflik ke dalam ekonomi-politik pandemi Indonesia. Bisa dikatakan bahwa Global Reset tidak semata variabel atau faktor eksternal tetapi model experimentasi yang secara aktual sedang diterapkan di Indonesia dengan panduan paradigma dan instrumentasi tata-kelola global yang sedang terbentuk.
Krisis, Mobilisasi dan Integrasi
Setahun pandemi berlangsung akhirnya menghadirkan rasionalitas, strategi, mekanisme dan taktik tanggap darurat yang serupa. Kesamaan model ekstrapolasi terbaca dalam tiga hal berikut. Pertama, Global Reset dan kelola pandemi Indonesia terbangun dalam paradigma bencana. Yaitu,awal dan akhir bencana kesehatan ini tidak dapat dipastikan dan diprediksi. WHO telah diberi peringatan dini oleh Pemerintah China tentang ancaman epidemi di Wuhan tetapi terhitung terlambat mengingatkan dunia. Rasionalitas bencana serupa dipakai untuk mempersoalkan lambannya kebijakan tanggap darurat Presiden Trump untuk Amerika Serikat, termasuk diterapkan kepada Pemerintahan Bolsonaro di Brazil dan Pemerintahan Boris Johnson di Inggris. Demikian halnya dengan respon kebijakan Pemerintahan Joko Widodo, dinilai publik dalam negeri terlambat menyiapkan sarana dan prasarana kebijakan tanggap darurat. Sama persis dengan kondisi global terkini, kapan dan bagaimana pandemi dapat berakhir tidak tersedia dalam narasi kebijakan Global Reset dan Pemerintah Indonesia.
Kedua, kedaruratan yang permanen itu menciptakan strategi pengerahan seluruh mekanisme dan instrumen negara serta partisipasi publik dalam penanganan dan pencegahan penularan virus. Baik WHO maupun Pemerintah Indonesia bekerja dengan doktrin perang semesta terhadap virus Corona, mengikuti testimoni Tedros, the world is taken hostage by small virus. Bahkan setelah setahun lebih pandemi, sang direktur jenderal mengusulkan dibuatnya ‘pandemics treaty’ sebagai parameter solidaritas global dan komitmen negara-negara bagi perang antiviral berkelanjutan di masa depan. Hal serupa ditemukan dalam mobilisasi dukungan publik dan pengerahan kebijakan tanggap darurat di Indonesia yang sepenuhnya diarahkan untuk tanggap darurat termasuk membangkitkan dan memelihara solidaritas nasional terhadap bencana tanpa kepastian akan berakhir.
Dalam strategi global dan nasional tersebut, virus dihadirkan sebagai antagonisme alam, non-politis, tidak mengenal batas dan identitas. ‘Depolitisasi’ terhadap pandemi terjelma dalam narasi virus adalah evil genius dan karena itu politik, dalam hal ini demokrasi termasuk ekonomi, harus dikesampingkan demi keselamatan bangsa dan negara. Proses depolitisasi ini ditopang dengan propanda ilmu dan teknologi adalah panglima, sebagaimana narasi ini telah ikut menghentikan langkah Donald Trump ke periode kedua dan menjadikan Boris Johnson atau Bolsonaro sebagai ilustrasi sikap science sceptics atau kepemimpinan politik tidak peka terhadap bencana. Sementara di Indonesia sendiri, pandemi berlangsung pasca Pilpres dan Pemilu 2019 dengan koalisi traksasional terlembaga yang sekaligus tidak menyediakan oposisi ideologis dan oposisi partai politik dalam ruang parlemen dan ruang publik.
Ketiga, experimentasi tanggap darurat global-nasional pada akhirnya melayani tujuan integrasi global dan integrasi nasional. Agenda utama Global Reset adalah akselerasi yang dipercepat dari integrasi dan konsolidasi negara-negara di dalam tata-kelola ekonomi dan politik dunia berbasis kerangka kerja korporasi. Hal serupa berlangsung di dalam negeri dalam mana persatuan nasional dinarasikan secara terus-menerus di tengah dinamika konflik politik antara publik warga negara dan pemerintahan Joko Widodo. Sebagaimana dijelaskan selanjutnya, agenda integrasi global dan integrasi nasional sesungguhnya memperlihatkan peranan atau fungsi strategis pandemi Covid-19 sebagai momentum strukturasi dan transformasi konflik di tingkat global dan nasional. Kelola krisis kesehatan telah bergeser menjadi praksis ekonomi-politik baru yang beroperasi dalam dua arena experimentasi biopolitik yang memberikan pengaruh satu terhadap yang lain.
Momentum Globalisme: Virus Goes Global
Agenda tata kelola dunia baru terbentuk dan berproses dalam konteks pergeseran geopolitik multilateralisme yang ditandai oleh ketidakstabilan model unipolar menuju model multipolar sejak tahun 2011 sampai tahun 2019. Agenda korporatisasi terhadap formasi multipolar yang sedang berbenturan, antara poros China dan poros Amerika Serikat, berjalan secara efektif dalam lima tahun terakhir. Sejak tahun 2016, World Economic Forum mulai mengambil inisiatif strategis dan mempercepat terbentuknya formasi ‘public-private partnership’ untuk merumuskan dan menerapkan kerangka-kebijakan dunia yang baru. Inisiatif yang datang dari aliansi kekuatan korporasi multi-sektor ini diterima dengan kondisi dan cara yang berbeda dari kekuatan multipolar baru. China misalnya mendukung penuh agenda ini sementara Amerika Serikat yang dilanda konflik politik dalam negeri akan terus memperlihat ketidakpastian orientasi kebijakan luar negeri meskipun Joe Biden, presiden dukungan aliansi korporasi global itu, telah duduk di Gedung Putih.
Dalam konteks kontraksi geopolitik dunia itu, krisis kesehatan melalui narasi ‘virus goes global’ terhadirkan sebagai momen strategis dan proses transformasi konflik internasional dengan dengan cara membendung kontradiksi multipolar dan berperan sebagai pusat kontrol kerangka-kebijakan dan perumusan isu utama ekonomi-politik multilateralisme. Membendung kontradiksi multipolar dalam arti kontradiksi dalam perang dagang (trade war), perlombaan senjata pemusnah masal (nuclear arms race) dan kontestasi politik kawasan (regional power contest), tidak dijadikan isu pokok yang dibahas secara terbuka dalam forum Global Reset. Akan tetapi, tiga isu konflik geopolitik terkini itu dibungkus ke dalam formulasi isu yang bersifat global-mondial melalui wacana perubahan iklim (climate change), krisis lingkungan hidup (ecological crisis) dan perpindahan penduduk (migration).
Dengan strategi wacana kebijakan global ini, tiga isu konflik multipolar, yang merupakan warisan terkini dari tata internasional liberal, ditundukkan atau masuk dalam register biopolitik baru yang menjadi penggerak utama kapitalisme keuangan (finance capitalism) pasca krisis ekonomi tahun 2008 dan resesi ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19. Dengan kata lain, isu global seperti perubahan iklim dan migrasi menghadirkan wacana semesta yang melampau negara atau antar-negara, mendatangkan kepanikan dan perhatian bersama menerobos sekat peradaban seperti ras, bangsa dan agama, dengan narasi ancaman eksistensial terhadap spesies manusia dan daya tahan bumi menopang kehidupan.
Integrasi Pusat-Daerah dan Konsolidasi Oligarki Nasional
Dalam terang transformasi ekonomi-politik global di atas, krisis kesehatan di dalam negeri juga terhadirkan sebagai momen strategis dan proses transformasi konflik warisan ekonomi-politik sebelum pandemi dan konflik baru yang muncul dalam kelola pandemi setahun lebih ini. Sebelum pandemi dideklarasikan, ekonomi-politik Indonesia ditandai sejumlah isu konflik baik di tingkat pusat maupun di daerah. Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, politik Indonesia di tingkat pusat digerakkan oleh pendulum identitas yang juga merupakan konsekuensi dari Global War on Terror, experimentasi unipolar Amerika serikat selama dua dekade (2001-2019) dalam tata dunia internasional (Djalong, 2016, 2019; Nul Hakim, 2019). Pentingnya politik identitas tidak semata terkait dengan diskusi mengenai keragaman budaya atau multikulturalisme tetapi bagian integral dari kekosongan artikulasi dan hubungan representasi politik antara oligarki dan demos. Dari sana ekonomi-politik nasional dikelola dengan wacana populisme teknokrasi dengan developmentalisme infrastrastruktur dan populisme ummah dalam demokrasi elektoral (Nul Hakim, 2020; Warburton, 2016; Hadiz, 2017; Power, 2018; Mietzner, 2019).
Sementara di daerah-daerah, konflik politik sebagian terbesarnya berpusat pada kontestasi pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati, dan konflik kebijakan pembangunan daerah pasca pemilihan dan pasca pemilu yang marak dengan praktek patronase dan klientelisme politik kelola sumber daya (Djalong, 2011, Hadiz, 2004; Bayo, 2018; Nordholt, 2007). Belum terhitung konflik politik di desa sebagai unit politik terkecil yang ditandai intensnya kontestasi pemilihan kepala desa dan pengelolaan dana desa. Sejalan dengan dinamika politik identitas sebagai konsekuensi dari experimentasi GWOT, konflik ekonomi dan politik pembangunan di tingkat kabupaten dan desa juga adalah konsekuensi dari paradigma neoliberalisme dan eksperimentasi Good Governance-Bank Dunia yang mendasari desentralisasi berlapis-lapis di Indonesia pasca Orde Baru.
Satu karakteristik mendasar dari konflik politik nasional adalah konsolidasi dan kontraksi antar elit politik yang berpusat pada perebutan, pembagian dan pengamanan sumber daya ekonomi negara (Masoed, 2003; Duile, 2017; Aspinall 2013; Hadiz 2013, 2004). Perilaku politik oligarki seperti ini sudah menjadi konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang berbasis hutang luar-negeri, bisnis impor teknologi dan jasa dan ekonomi ekspor bahan mentah termasuk industri ekstrasi alam. Partai politik kemudian dijadikan alat penguasaan institusi negara dan regulasi diberlakukan sebagai pengabsahan monopoli dan oligopoli bisnis dan perdagangan dalam sistem aktual business-politics complex yang terbentuk dan terkonsolidasi sejak Orde Baru (Pepinsky, 2013; Ford, 2013; Davidson 2009; Heiduk, 2014; Muhtadi, 2015). Dalam sistem seperti ini, isu konflik dalam oligarki nasional selalu berorientasi kongsi politik yang saling menjaga sekaligus saling menyandera. Selain politik identitas dalam konteks demokrasi, korupsi sebagai parameter teknokrasi pembangunan berubah menjadi isu konflik utama (Djalong, 2017). Wacana korupsi dipakai untuk saling menjatuhkan antar kekuatan politik sekaligus untuk menjaga keseimbangan dalam narasi nasional dan persepsi publik menuju pemilihan umum dan pemilihan presiden.
Tersituasikan dalam ekonomi-politik nasional di atas, pandemi Covid-19 diterima secara terbuka oleh kalangan oligarki baik di dalam pemerintahan koalisi maupun oposisi yang rapuh dan berserakan (Sparrow, 2020; Susan, 2020). Hal itu ditandai dengan absennya perdebatan kebijakan tanggap darurat yang berkaitan dengan resiko-resiko sosial dan ekonomi bagi masyarakat terdampak pembatasan mobilitas dan terputusnya rantai ekonomi dan perdagangan. Sekali lagi dipastikan bahwa pengabaian tersebut datang dari cara berpolitik oligarki yang sekian lama tidak berbasis gerakan politik rakyat dari bawah tetapi sekadar perjumpaan dalam kotak suara yang difasilitasi demokrasi prosedural. Deklarasi pandemi awal tahun 2020 serentak menghentikan deliberasi publik terkait sejumlah kasus korupsi berskala besar di Badan Usaha Milik Negara seperti korupsi Jiwasyara, korupsi Pertamina dan korupsi Garuda Indonesia. Patut dicatat pandemi ini akhirnya menunda dan mengalihkan perhatian publik yang sedang bergerak menentang Undang-Undang Cipta Kerja yang memfasilitasi arus masuk investasi asing, pencaplokan lahan oleh korporasi, zonasi strategis untuk oligarki atas bumi dan laut dan pengabaian tenaga kerja dalam negeri berhadapan dengan investasi asing berbasis IT dan AI di masa depan.
Strategi nasional tanggap darurat kesehatan memberikan insentif baru bagi konsolidasi oligarki yang digugat publik setahun sebelumnya. Taktik cetak surat utang dengan IMF yang dimotori Sri Mulyani tidak diperdebatkan dalam ruang kebijakan karena melalui langkah ini konsolidasi oligarki bisa dilakukan dengan pembagian dan pengelolaan anggaran tanggap darurat baik anggaran kesehatan maupun intervensi fiskal yang bervariasi. Ekonomi-politik pandemi ini kian memperjelas dan memperkuat posisi dan peran Joko Widodo tidak saja sebagai presiden tetapi peran strategisnya yang sangat menentukan sebagai simpul atau kunci interaksi dan konsolidasi oligarki lintas-partai politik. Sama halnya peran strategis korporasi transnasional membendung kontradiksi multipolar, Presiden Joko Widodo melalui kebijakan tanggap darurat tidak hanya memungkinkan penetrasi kepentingan oligarki global dalam negeri, tetapi dengan cara itu juga mengondisikan transformasi konflik politik oligarki yang berbasis pengelolaan sumber daya negara. Selama setahun tidak mengemuka debat atau evaluasi kebijakan yang fundamental mengenai resiko dilema ekonomi dan kesehatan yang ditempuh selain hanya ditandai debat teknis epidemik dan isu lumrah kasus korupsi, dan kisruh internal partai politik.
Sejalan dengan konsolidasi oligarki politik nasional, kebijakan kelola pandemi menghadirkan integrasi wacana konflik politik dan pembangunan antara pusat dan daerah. Hal tersebut bisa ditemukan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah sejak pertengahan sampai akhir tahun 2020, di 270 daerah (9 propinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten). Seluruh visi-misi politik dari seluruh kekuatan yang bertarung diwajibkan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk menyertakan program penanganan pandemi Covid-19 sebagai program prioritas. Kesehatan menjadi isu politik utama dan realisasi kebijakan daerah, baik yang terdampak atau belum terdampak penularan virus. Isu-isu konflik mengemuka berkaitan dengan perebutan dan pengelolaan anggaran dan instrumen tanggap darurat yang dengan cara itu menyatukan isu konflik bersama antara pusat dan daerah khususnya dalam parameter efektivitas teknis penanganan berupa protokol tetap (protab) dan protokol kesehatan (prokes). Dari situ bisa dipahami pentingnya isu korupsi sebagai isu proksi politik dan pembangunan dalam paradigma darurat kebencanaan. Termasuk di dalamnya korupsi dipersepsikan sebagai kejahatan kemanusian yang tidak bisa lagi ditoleransi dan pelaku harus dihukum mati terutama karena dalam wacana kedaruratan ini korupsi adalah matinya sensibilitas terhadap kehidupan yang sedang terancam.
Korupsi sebagai isu proksi yang menyatukan oligarki pusat dan patronase daerah, bergerak membentuk wacana publik, diikuti mutasi isu-isu sosial dan budaya ke dalam register darurat kesehatan yang serba mencakup. Dalam kedaruratan itu gugatan publik terhadap wacana keilmuan dan protokol kesehatan segera dinetralisir oleh teknologi kontrol dan pendisiplinan yang sudah tersedia dalam panduan industri kesehatan global melalui World Health Organization. Berita rating kematian dan norma sosial baru yang rutin dikabarkan kementerian kesehatan, kementerian komunikasi-informatika dan dan komunitas medis menjadi mekanisme kontrol dan monopoli pengetahuan yang berpengaruh pada munculnya konflik berkaitan dengan sikap dan perilaku di kalangan masyarakat luas. Demikian ditemukan banyak kasus yang menghebohkan publik berkenaan dengan bertemunya kontrol dan resistensi yang selalu diviralkan, baik sebagai hukuman sosial terhadap warga atau kelompok masyarakat yang tidak patuh maupun sebagai kritik publik terhadap teknik pendisiplinan yang tak masuk akal sehat masyarakat biasa. Dalam kaitan dengan ini, media sosial memainkan peran sangat penting sebagai arena pertarungan wacana dan perbedaan pendapat yang tidak ditemukan dalam televisi dan surat kabar nasional.
Great Reset, Integrasi Global-Nasional
Dengan keseluruhan uraian di atas, menjadi jelas bahwa rasionalitas, strategi dan mekanisme tanggap darurat kesehatan baik di tingkat global dan nasional memperlihatkan experimentasi global-nasional yang dapat disimpulkan dalam tiga proksimitas berikut. Pertama, kerangka kebijakan Global Reset melalui pandemi COVID-19 mengintegrasikan negara-negara ke dalam suatu tata kelola internasional yang dipandu kerangka-kebijakan global korporasi. Agenda tersebut berlangsung dalam akselerasi dan koordinasi berlapis-lapis merespon dan memanfaatkan kontraksi dan kontradiksi multi-sektor dari formasi multipolaritas dalam geopolitik yang berubah satu dekade terakhir. Sementara pengalaman Indonesia menunjukkan transformasi konflik kepentingan ekonomi-politik oligarki dan integrasi isu konflik pusat-daerah yang akhirnya menempatkan peran presiden Jokowi dan pemerintah pusat menjadi sangat fundamental selama dan sesudah pandemi berakhir. Darurat kesehatan ini semakin memperdalam atau merentangkan jarak antara teknokrasi ekonomi dan demokrasi politik dengan resiko-resiko sosial, ekonomi dan juga keamanan yang hanya bisa dikelola dengan dengan ketersediaan tata kelola kepemerintahan yang semakin korporatis.
Kedua, sebagai konsekuensi, cara mengelola konflik internasional dan konflik dalam negeri menghadirkan Global Reset atau Global Corporate Governance sebagai satu strategi membendung kontradiksi ekonomi-politik pada dua arena yang berbeda. Mulai menguat kecenderungan integrasi global dan integrasi nasional dalam dua cara. Pertama, negara terintegrasi ke dalam tata dunia baru yang dikendalikan kapitalisme finansial sebagai mesin ekonomi tata-kelola dunia ala korporasi, khususnya melalui krisis ekonomi (economic crisis), rejim moneter (monetary policy regime) dan kebijakan hutang abadi (perpetual debt policy). kedua, negara mengelola dan merespon isu-isu konflik dalam negeri dengan taktik peningkatan kebijakan fiskal tanpa pertimbangan lintas-sektoral, deregulasi, de-industrisialiasi dan zonasi pembangunan strategis untuk aliansi ekonomi antar oligarki global-nasional. Kontrol Global Reset yang makin serba mencakup dibungkus dengan dua cara. Pertama, produksi narasi global-mondial tentang depopulasi dan perubahan iklim sebagai strategi kontrol terhadap ekonomi-politik internasional dan kedua, produksi narasi negara korporatis untuk mengelola sumber daya dengan digitaliasi ekonomi, mengatasi kemiskinan dengan jaring pengaman sosial dan memberantas gerakan perlawanan rakyat dengan hukum kedaruratan sebagai panglima.
Ketiga, saintifikasi dunia kehidupan dalam masalah global-mondial dan netralisasi kemiskinan dalam register teknis pembangunan, menjadi dua taktik produksi wacana dalam dua arena Global Reset. Melalui pandemi Covid-19, terbaca dengan jelas perumusan masalah kesehatan sebagai persoalan medis semata dan dipisahkan dari ketahanan pangan dan ekonomi produktif. Konsekuensi lanjut dari saintifikasi terhadap krisis dan resolusi teknis-manajerial ditemukan dalam penerapan teknologi pendisiplinan dan pengawasan (technology of surveillance) terhadap keragaman cara pandang keilmuan dalam ruang akademik dan perbedaan pendapat dan aspirasi dalam ruang publik digital. Promosi bio-technology dan Artificial Intelligence dilakukan dengan cara monopoli produksi dan distribusi peristiwa, informasi dan pengetahuan sekaligus kontrol dan pembatasan wacana publik atas nama otoritas keilmuan dan validasi kebenaran (fact-checking) yang dilakukan industri IT bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian dan Think Tanks yang didanai konsorsium korporasi transnasional. Selama pandemi, mekanisme ini semakin dipertegas oleh konstruksi wacana kedaruratan yang tidak berkesudahan, dan dikunci dengan produksi konsep-konsep kunci serta teorisasi kenyataan sosial-politik dengan cara moralisasi, orientalisasi dan psikiatrisasi. Perbedaan pendapat dan pengetahuan ditertibkan sejak di dalam pikiran dan diberi hukuman sosial melalui pelabelan anti-kebenaran, berita bohong dan konspirasi.
Ekonomi-Politik Pandemi dan Strukturasi Konflik
Penjelasan pada bagian terdahulu akhirnya menghadirkan dua pertanyaan penting. Yaitu, bagaimana sebaiknya ekonomi-politik pandemi Indonesia dirumuskan dalam kapasitasnya melakukan strukturasi konflik yang muncul di dalam oligarki nasional, konflik pusat dan daerah dan konflik lintas-sektoral. Sudah tentu hal ini tidak mudah untuk dijawab tuntas. Akan tetapi isu-isu konflik selama pandemi dan komplikasinya yang telah terjabarkan sebelumnya memberi peta transformasi konflik yang dinamis dengan adanya tarik menarik antara ekonomi dan politik di dalam tata kelola pandemi. Demikian halnya strukturasi konflik memuat pengertian tentang konflik lama dan konflik baru terstrukturasi sedemikian rupa yang dapat membuka peluang bagi demokrasi untuk bernegosiasi dengan kecenderungan teknokrasi yang semakin terlembaga dalam pembuatan kebijakan dan sekuritisasi terhadap ruang publik khususnya ruang publik digital. Atau sebaliknya, strukturasi konflik tidak bergerak lebih jauh dari sekadar pengelolaan konflik yang tetap mereproduksi hubungan kekuasaan yang terkonsolidasi sebelum, selama dan sesudah pandemi berakhir.
Sejak kebijakan tanggap darurat diberlakukan bisa disimpulkan bahwa virus dan penularannya tidak secara aktual menjadi musuh bersama. Di balik retorika kedaruratan yang disebarluaskan pemerintah, pandemi lebih dimanfaatkan sebagai momentum pengalihan dari isu-isu konflik antara kekuatan publik yang berserakan dan kekuatan oligarki yang saling menyandera dalam struktur ekonomi-politik nasional. Dalam momentum baru ini, rakyat atau sebagian terbesar dari penduduk Indonesia hidup dalam narasi bencana mendekati akhir zaman. Sementara di lain pihak, politisi dan birokrat pengendali kebijakan bersibuk dengan pembagian otoritas dan pengelolaan sumber daya tanggap darurat, yang terus berlangsung di balik pintu birokrasi dan parlemen dan sesekali tersingkap sebagai skandal korupsi atau ketakbecusan penyelenggaraan program. Hampir bisa dipastikan kemunculan skandal korupsi akan segera ditutupi dengan pemberitaan lonjakan rating kematian yang makin mencemaskan rakyat atau informasi resmi lainnya dari pemerintah yang tak lain adalah koalisi kekuatan oligarki partai yang seluruhnya semakin kehilangan kepercayaan rakyat.
Pandemi sebagai momentum pengalihan sekaligus perangkap saling sandera juga berlangsung di berbagai negara. Amerika Serikat adalah ilustrasi terbaik tentang kontraksi ekonomi-politik yang semakin mempertajam kontestasi politik antara Republik dan Demokrat dengan Donald Trump sebagai proksi perbenturan bahkan sampai saat ini ketika Joe Biden telah memerintah di Washington. Sementara India memberi kesaksian tentang pandemi sebagai momen radikalisasi konflik yang sudah memanas sebelum pandemi antara nasionalisme Hindu-nya Modi dan gerakan populis dari koalisi masyarakat kelas pekerja manufaktur dan pertanian. Koalisi gerakan rakyat yang terorganisir menyulitkan Modi mengintegrasikan ekonomi India ke dalam tentakel industri makanan dan bio-teknologi. Lain hal pengalaman China dengan kebijakan Xi Jinping yang memanfaatkan pandemi untuk membuktikan persatuan nasional di bawah Partai Komunis melengkapi geo-ekonomi Belt and Road Initiative dengan diplomasi vaksin. Pengalaman India, China dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pandemi tidak sepenuhnya darurat kesehatan tetapi juga darurat demokrasi, konstestasi tiada akhir antar kekuatan politik dalam negeri dan juga sebagai proksi kebijakan luar negeri.
Bertolak dari pengalaman negara lain di atas, kelola krisis kesehatan di Indonesia lebih banyak memperlihatkan darurat kesehatan bukanlah sebagai antagonisme yang mengguncang dan mengubah konstelasi kekuatan oligarki di dalam negeri. Strategi mobilisasi tanggap darurat malah berubah menjadi teknologi politik baru yang tetap menjaga kepentingan ekonomi-politik oligarki nasional yang sudah terbentuk sebelum pandemi tiba. Di dalam strategi itu muncul taktik-taktik baru dalam perumusan program-program tanggap darurat yang tidak melibatkan deliberasi publik. Selain yang terpenting, di gedung DPR dan ruang publik kebijakan tidak mengemuka debat kebijakan yang fundamental mengenai resiko-resiko lintas sektoral yang dialami berbagai segemn masyarakat terutama kelas pekerja yang terkonsentrasi di kota-kota besar.Terhadap absennya debat kebijakan ini, muncul protes segelintir politisi populis dalam ruang kebijakan terutama karena konstituensi politiknya dirugikan dengan pemangkasan anggaran dan monopoli pengadaan barang dan jasa. Perdebatan tak seimbang dalam ruang parlemen antar politisi maupun antara politisi dan pejabat kementerian tidak diberitakan televisi dan surat kabar nasional persis ketika para politisi kritis sedang mencegah prekarisasi melalui kebijakan lintas-sektoral.
Hal serupa bisa dicermati dalam kebijakan social safety net berupa bantuan sosial yang bahkan tidak mampu menyelamatkan kelompok produktif dari kerentanan yang makin sistematis dan terlembaga. Prekarisasi berlangsung secara masal di berbagai sektor, sementara yang paling terdampak adalah prekarisasi dalam sektor pariwisata di kota-kota besar dan sejumlah propinsi dan kabupaten yang bergantung pada sektor simpul ini. Lalu-lintas manusia, barang dan jasa yang terhenti tanpa kepastian sama artinya dengan menghentikan pergerakan roda ekonomi dan menciptakan kerentanan permanen bagi pelaku industri jasa, manufaktur dan pertanian dalam rantai produksi, distribusi dan konsumsi. Resiko-resiko ekonomi tidak dihitung dalam perumusan program-program sektoral nasional dan sepenuhnya mengikuti arahan kebijakan makro tanggap darurat Global Reset di dalam negeri melalui peran simpul kementerian keuangan dan kementerian perekonomian dan perdagangan.
Selain sektor kesehatan, sektor penting lain sekian lama menjadi arena konsolidasi oligarki adalah sektor pendidikan, dari pendidikan dasar dan menengah sampai pendidikan tinggi (Rosser, 2012, 2015; Aspinall, 2014). Sektor pendidikan di bawah kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapat perhatian khusus dengan pertimbangan tanggap pandemi membawa konsekuensi serius kepada proses belajar-mengajar, kualifikasi teknis TI di kalangan tenaga pendidik, kemampuan pembiayaan orang tua dan keluarga peserta didik. Atas dasar pertimbangan tersebut, Nadiem Makarim meluncurkan program-program digitalisasi pendidikan, beasiswa, pelatihan serta pengadaan barang dan jasa pendidikan. Pandemi setahun lebih ini memberi kesaksian tentang melonjaknya aktivitas ekonomi industri pendidikan yang berorientasi pada informasi dan telekomunikasi dan bermuatan konten pembelajaran yang berorientasi inovasi dan kewirausahaan dalam skema ekonomi digital. Kebutuhan pendidikan bertambah dengan frekuensi penggunaan ponsel, komputer dan pulsa internet. Melalui pandemi ini tercipta secara cepat dan mendadak model belajar mengajar yang lebih teknis sekaligus model pembelajaran umum yang dikendalikan monopoli dan distribusi pengetahuan atau wacana pendidikan berorientasi Global Reset di dalam negeri.
Program-program dalam sektor pendidikan ini memperlihatkan terang benderang perjumpaan kepentingan antara kekuatan bisnis oligarki di sektor pendidikan, telekomunikasi dan ekonomi yang berbasis IT. Menarik untuk dicermati kenyataan bahwa industri pendidikan diarahkan semata-mata kepada pola hidup sehat secara medis seperti penggunaan sabun dan masker dan terutama pemanfaatan standar epidemik protab dan prokes seperti social-distancing dan pembatasan berskala besar. Sama sekali tidak ada perhatian pada pola hidup sehat yang berkaitan dengan biologi tubuh, otak manusia dan biodiversitas yang menuntut adanya tema belajar ketahanan pangan dan keberlanjutan ekonomi yang tidak merusak lingkungan kehidupan. Hal ini pun dapat dipahami mengingat pendidikan adalah salah satu sektor utama yang hendak ditransformasi Global Reset menuju pendidikan berorientasi kapitalisme finansial. Selama setahun lebih darurat kesehatan ini promosi bio-tech, Artifical Intelligence dan propaganda wacana knowledge economy berlangsung secara sistematis dalam ruang digital seperti Google dan Youtube yang berada di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dari situ terbaca hubungan bisnis saling memperkuat antara promosi pendidikan baru dalam kerangka kebijakan global dan kebijakan pendidikan dalam negeri.
Dislokasi Konflik dan Teknokrasi Bencana
Dengan kondisi aktual tersebutkan di atas, kelola pandemi Indonesia menghadirkan dislokasi konflik sosial dan konflik politik yang sangat mendasar. Yaitu, adanya strukturasi konflik atau perbedaan kepentingan antara oligarki nasional dan kekuatan produktif yang tersambungkan oleh ekonomi-politik teknorasi kedaruratan. Strukturasi konflik yang terbentuk selama pandemi semakin memperkuat teknokrasi politik yang dikendalikan oligarki dan melemahkan kapasitas demokrasi politik yang menjadi basis perjuangan kepentingan kekuatan produktif terutama kelas pekerja manufaktur, industri jasa, sektor informal dan kelompok petani. Tata-Kelola pandemi di Indonesia, melalui penerapan agenda Global Reset, tidak semata model kelola sumber daya untuk kedaruratan kesehatan tetapi sesungguhnya berlaku sebagai teknologi politik yang menciptakan kerentanan multi-sektoral yang berdampak langsung kepada kekuatan ekonomi produktif.. Sekaligus prekarisasi tersebut melemahkan kapasitas kekuatan produktif yang berserakan itu untuk bernegosiasi dalam ruang kebijakan tanggap darurat kesehatan saat ini maupun ruang kebijakan darurat ekonomi setelah pandemi berakhir. Di bawah ini diuraikan diperlihatkan tiga karakterisik utama dari strukturasi konflik antar oligarki bisnis-politik nasional dan kekuatan ekonomi produktif di Indonesia yang terbentuk selama setahun pandemi dan bisa dipastikan terus berlanjut setelah pandemi berakhir.
Pertama, konsolidasi kelas bisnis-politik atau oligarki nasional semakin kuat dan terstruktur secara dinamis dalam kerangka-kebijakan ekonomi kebencanaan. Dalam kerangka kebijakan darurat ini kepentingan akumulasi keuntungan dan monopoli atau oligopoli bisnis meningkat tajam dengan kapasitas merumuskan, mengarahkan dan menjalankan program-program multi-sektoral. Selain nantinya berperan sebagai kekuatan sentral dalam integrasi global-nasional pasca pandemi, konsolidasi oligarki dalam model baru teknokrasi kebencanaan menjadi prasyarat keberlanjutan kelola dan kontrol mesin partai politik dari pusat sampai daerah. Kontrol menyeluruh atas mesin politik ini untuk memastikan kontrol penuh atas proses, dinamika dan institusi politik. Biaya politik semakin mahal karena jarak tempuh menuju konstituen semakin jauh. Akumulasi laba bisnis-politik sebagiannya digunakan untuk memasarkan popularitas, menjaga loyalitas internal partai dan membangun klientelisme elektoral.
Kontrol penuh atas partai politik tidak selalu berarti tidak ada konflik antar kekuatan, baik dalam internal partai maupun antar partai politik. Hanya saja konflik tersebut tidak lebih dari sekadar perebutan posisi, adu kekuatan dukungan internal, atau saling menyerang antar aktor lintas partai. Isu-isu konflik pun tidak menyentuh ekonomi-politik oligarki sebagai kelas berkuasa dalam lingkaran bisnis-politik nasional. Justru bisa dipastikan bahwa konflik antar aktor klientelisme politik akan terus terjadi dan meramaikan ruang publik nasional terutama karena hanya dengan cara ini partai politik dan masyarakat tersambungkan dalam drama politik berisi fitnah dan skandal moral. Demikian halnya korupsi akan selalu dimunculkan sebagai isu proksi di antara kekuatan tanpa menyasar teknokrasi kebijakan yang mereproduksi kompetisi antar kekuatan bisnis-politik dalam konstelasi oligarki nasional yang tak berubah. Wacana korupsi yang terus dipropagandakan akhirnya melahirkan kerinduan masyarakat terhadap sosok teknokrat-pemimpin bersih, rajin bekerja dan datang dari lingkaran birokrasi provinsi atau kabupaten khususnya ‘best practice’ desentralisasi dan otonomi daerah.
Kedua, prekarisasi lintas-sektoral yang berlangsung secara masal dan mendadak telah menghadirkan perubahan karakter kerentanan dari ekonomi industrial menuju ekonomi finansial yang diharapkan teknokrasi Global Reset di dalam negeri. Kelas produktif yang terpapar resiko ekonomi dari tanggap darurat kesehatan berlahan diperlakukan tidak lagi sebagai pengangguran atau ketiadaan lapangan pekerjaan tetapi dikategorikan sebagai kelompok rentan, miskin dan tidak adaptif dalam teknokrasi kebijakan kedaruratan kesehatan selama pandemi dan dipastikan berlanjut dalam teknokrasi kedaruratan ekonomi setelah pandemi berakhir. Selama pandemi ini berlangsung pemutusan hubungan kerja, transfer aset termasuk lahan kelas produktif ke perbankan, dan absennya keahlian dalam ekonomi digital. Program digitalisasi ekonomi yang digalakkan pemerintah dilakukan tanpa penguatan sektor industri dan manufaktur serta tidak didukung regulasi yang mengatur monopoli produksi dan distribusi barang dan jasa. Dalam teknokrasi kedaruratan ini, prekarisasi, tahap lanjutan dari proletarisasi, dianggap sebagai konsekuensi dari ketenagakerjaan yang tidak adaptif dan bukannya sebagai konsekuensi kebijakan tata-kelola pandemi yang melemahkan ekonomi nasional.
Setahun sebelum pandemi tiba tahun 2019, publik nasional telah menunjukkan penolakan terhadap agenda prekarisasi dalam UU Cipta Kerja. Protes itu telah membuka peta soal prekarisasi yang difasilitasi oligarki nasional untuk arus masuk investasi asing. Konflik terbuka itu berakhir dengan kebijakan tanggap darurat yang dengan sendirinya melemahkan ekonomi produktif dan membuat kelas pekerja multi-sektor semakin rentan. Kebijakan jaring pengaman sosial kemudian dijadikan taktik pengelolaan kerentanan sembari membiarkan terus berlangsung proses transfer aset kekuatan produktif ke dalam tentakel kapitalisme keuangan. Dalam cara itu, pemerintah yang dikendalikan koalisi bisnis-politik memperkuat konsolidasinya dalam teknokrasi bencana bersama lembaga keuangan internasional untuk mendapatkan suntikan dana baru yang sangat penting untuk menjaga stabilitas politik melalui kebijakan fiskal dengan mengurbankan pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor ekonomi produktif. Sebagaimana diketahui, IMF adalah salah satu institusi terpenting dalam arsitektur Global Reset bersama WTO, Bank Dunia, korporasi transnasional dan khususnya Wall Streets. Situasi terkini menunjukkan konflik antara koalisi bisnis-politik oligarki dan kekuatan prekariat menjadi tidak seimbang berhadapan dengan integrasi penuh kebijakan makro nasional ke dalam kapitalisme finansial.
Ketiga, fragmentasi politik di kalangan rakyat atau kekuatan produktif semakin terlembaga ke dalam teknokrasi kedarutan kesehatan maupun kedaruratan ekonomi pasca pandemi. Kekuatan produktif lintas-sektoral yang mengalami prekarisasi semakin terkondisikan untuk senantiasa berada dalam kerentanan. Dengan itu, teknokrasi kedaruratan menjadi niscaya sebagai resolusi teknis dan responsif terhadap kerentanan yang selalu diproduksi oleh kerangka kebijakan teknokrasi itu sendiri. Fragmentasi kemudian menjadi kondisi politik yang lebih memudahkan teknokrasi kebencanaan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan melalui kebijakan multi-sektoral termasuk kebijakan keamanan untuk menertibkan gerakan resistensi sebagai ancaman nasional atau ketertiban umum. Hal ini tentu bisa dipahami karena fragmentasi politik, berupa ketidakpuasan publik atau protes terbatas isu ekonomi tertentu, memfasilitasi teknologi politik divide and rule yang baru dalam teknokrasi kedaruratan yang dikendalikan koalisi oligarki nasional-global.
Fragmentasi politik dan prekarisasi ekonomi memberi tantangan tersendiri bagi demokrasi di Indonesia. Ekonomi-politik pandemi yang diuraikan di atas akan terus mereproduksi dua karakterisitik terkini dari kekuatan ekonomi produktif. Peluang demokratisasi terhadap ekonomi-politik bencana terkunci dengan adanya kontrol oligarki yang terus menguat terhadap proses, instrumen dan institusi demokrasi khususnya partai politik. Sekaligus dipastikan bahwa setiap pergerakan demokrasi yang tidak berbasis lintas sektoral akan dengan mudah dibendung dan dilokasir sebagai soal teknis-manajerial semata. Dalam teknokrasi bencana saat ini, protes sosial akan cepat ditanggapi, memberi kesan responsif, sembari melalui manajemen sektoralisme, protes sosial tersebut dikondisikan tidak terhubungkan dengan protes-protes publik dari sektor ekonomi yang lain. Keterputusan hubungan antar sektor produktif yang diatur dalam teknokrasi darurat tentu memberi tantangan terbesar bagi demokrasi selain konsolidasi bisnis-politik melalui partai politik dan integrasi oligarki nasional-global.
Dalam situasi pandemi ini, peluang melakukan demokratisasi tidak akan efektif dilakukan melalui partai politik. Tidak saja karena pengalaman gerakan politik publik sebelumnya telah tercerai berai, tetapi lebih disebabkan makin terkonsolidasinya oligarki dan determinasi politiknya yang meningkat terhadap birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah. Kuatnya determinasi partai politik, khususnya dalam skema koalisi terkini, juga dikondisikan oleh kebutuhan stabilitas politik yang membuat partai berkuasa PDIP dan presiden akan selalu mengamankan kebijakan-kebijakan utama di parlemen. Belum terhitung peran fundamental Joko Widodo yang menjadi nodal point, figur penyimpul dalam konstelasi hubungan bisnis-politik oligarki nasional. Dari segi yang lain, peluang demokratisasi terhadap ekonomi-politik bencana bisa datang dari perubahan peran sentral sang presiden dari simpul teknokrasi bagi konsolidasi oligarki menuju simpul gerakan demokrasi lintas-sektor. Hanya saja percobaan demokrasi dengan cara jalan pintas itu sulit dilakukan karena akan bertemu dengan resiko pergolakan sosial yang tak terkendali dan terlalu cepat menghasilkan teknokrasi yang sangat otoriter.
Kesimpulan
Kelola pandemi Covid-19 sedang memantapkan integrasi ekonomi Indonesia ke dalam skema tata kelola ekonomi global terkini sebagaimana yang diarahkan Global Reset. Integrasi nasional-global yang tengah berlangsung menghadirkan suatu teknokrasi kebencanaan, tidak hanya dalam tanggap darurat kesehatan, tetapi mulai mendapatkan pola kelembagaan dalam pembangunan multi-sektoral di dalam negeri. Teknokrasi kebencanaan mencakup kerangka kebijakan pembangunan, perumusan kebijakan nasional dan mekanisme penyelenggaran dan sasaran kebijakan berbasis sektor ekonomi prioritas di dalam agenda dalam integrasi ekonomi nasional-global. Sebagaimana diketahui, melalui pandemi global ini neoliberalisasi ekonomi mulai dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan korporasi transnasional dan lembaga keuangan dunia dalam rejim moneter yang bergerak ke arah kapitalisme finansial. Teknokrasi kebencanaan di Indonesia menjadi bagian dari eksperimentasi tersebut dengan konsekuensi serius pada pemantapan ekonomi-politik bencana sebagai model baru pembangunan dalam periode ‘normalitas baru’ dan strukturasi konflik sosial dan politik yang tersambungkan secara teknis-manajerial.
Keseluruhan uraian dalam tulisan ini hendak menegaskan tiga karakterisitik mendasar yang muncul dalam ekonomi-politik pandemi di Indonesia. Yaitu, pemantapan konsolidasi bisnis-politik nasional dan integrasinya ke dalam arsitektur baru ekonomi global, prekarisasi kekuatan produktif lintas sektor dan fragmentasi gerakan kekuatan produktif tanpa kanalisasi politik. Ketiga karakteristik tersebut memperlihatkan strukturasi konflik dan manajemen konflik dalam teknokrasi kebencanaan yang besar kemungkinan menjadi model teknokrasi pembangunan pasca pandemi.
Eksperimentasi kebijakan tanggap darurat memperlihatkan isu konflik politik nasional tidak bersifat fundamental bagi perubahan konstelasi oligarki nasional. Justru sebaliknya, memperkuat konsolidasi bisnis-politik untuk memastikan kontrol penuh terhadap perumusan kebijakan dan wacana publik. Fenomena konsolidasi oligarki ini bertolak belakang dengan prekarisasi dan fragmentasi kekuatan produktif yang berserakan di berbagai sektor dan semakin sulit terkonsolidasi oleh gerakan demokrasi baru di luar koridor partai politik. Melalui kelola pandemi setahun lebih ini terbaca kecenderungan korporatisasi yang semakin kuat dan terlembaga melalui sektoralisme teknokrasi baru mengikuti arahan Global Reset khususnya IMF dan Bank Dunia melalui Kementerian Keuangan sebagai simpul integrasi global-nasional.
Manajemen konflik melalui teknokrasi bencana akhir memperlihatkan dislokasi konflik dalam hubungan antara pembangunan dan demokrasi. Pertama, konflik elit politik lebih berupa pembagian dan pengelolaan sumber daya kebijakan yang tentu akan selalu terakomodasi oleh teknokrasi kebencanaan yang membutuhkan stabilitas politik. Kedua, konflik kebijakan sektoral yang mempertemukan kekuatan prekariat-produktif dan kekuatan oligarki-parasit diselesaikan secara teknis-manajerial terutama karena proses, mekanisme dan institusi demokrasi dikontrol oligarki politik-politik termasuk kontrol ruang publik digital melalui tentakel media dan produksi wacana.
Dengan kata lain, teknokrasi pembangunan dengan model kelola bencana tidak mempertemukan kekuatan produktif dan oligarki dalam satu ruang besar pembuatan kebijakan bernama demokrasi. Dalam terang dislokasi konflik dan manajemen konflik seperti ini integrasi global-nasional dalam Global Reset akan bertumpu pada politik hutang yang permanen demi memastikan konsolidasi bisnis-politik oligarki dan stabilisasi atau netralisasi politik terhadap resiko sosial-ekonomi melalui kebijakan fiskal yang tidak berorientasi pertumbuhan ekonomi sektor-sektor riil termasuk terpenting jaring pengaman sosial. Populisme teknokrasi akhirnya akan selalu menjadi matriks politik, memisahkan urusan rakyat dan urusan elit, sebagaimana terbaca dalam ekonomi-politik bencana di Indonesia.
Referensi
Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. California: Standford University Press
Aspinall, Edward. “A Nation In Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia”, dalam Jurnal Critical Asian Studies, Vol. 45, No. 1, 2013, hal. 27-54
Aspinall, Edward. “Health Care and Democratization in Indonesia”, dalam Jurnal Democratization, Vol. 21, No. 5, 2014, hal. 803-823
Aspinall, Edward. “Popular Agency and Interests in Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation”, dalam Jurnal Indonesia, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, No. 96, October 2013, hal. 101-121
Aspinall. Edward. “When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia”,dalam Jurnal Critical Asian Studies, Vol.46, No. 4, 2014, hal. 545-570
Bayo, Longgina Novadona, Purwo Santoso dan Willy Samadhi (eds). 2018. Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Braga, Ruy. 2018. The Politics of Precariat: From Populism to Lulista Hegemony. Leiden: Brill
Chandler, David. “Resilience and the End(s) of the Politics of Adaptation”, dalam Jurnal Resilience, International Policies, Practice and Discourse, 2019, https://doi.org/10.1080/21693293.2019.1605660
Colin, McInnesa dan Adam Kamradt-Scottc. “Framing Global Health: The Governance Challenge”, dalam Jurnal Global Public Health, Vol. 7, No. 2, December 2012, hal 83-94
Davidson, Jamie S. “Dilemmas of democratic consolidation in Indonesia”, dalam Jurnal The Pacific Review, Vol. 22, No. 3, 2009, hal. 293-310
Djalong, Frans & Morgan Brigg. “Diversity, Democratization and Indonesian Leadership”, dalam Australian Journal of International Affairs, Special Edition, Vol. 70, No.4, 2016, hal. 407-421
Djalong, Frans, Hiariej Eric, Dana Hasibuan dan Diasti Rahmawati. 2017. “Post-Fundamentalist Islamism and the Politics of Citizenship in Indonesia”, dalam Eric Hiariej dan Kristian Stokke, Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Djalong, Frans, Lambang Trijono dan Najib Azca. “Dislokasi Politik dan Konflik Kebijakan: Kontestasi Politik dan Hukum dalam Penanganan Kasus Korupsi di Daerah”, dalam Jurnal Analisis CSIS, Vol 46, No. 1, 2017, hal 107-126
Djalong, Frans. “Populisme dan Demokrasi: Tantangan Politik Indonesia Pasca Pemilu-Pilres 2019”, dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik (Kemenkoinfo RI), Pemilu Berkualitas dan Penyelenggaraan Pemerintahan, Legitimasi Politik dalam Pemilu 2019, Edisi 29, Tahun 2019, hal 43-53
Djalong, Frans. Discourse of Two Subjects: The Making of the Poor and the Powerful. Study on Patronage Politics in3 Manggaraian Districts, Eastern Indonesia. Thesis Master, MA-HARD SEA, Gadjah Mada University & University of Oslo, 2011
Duffield, Mark. 2001. Global Governance and the New Wars: The Merging of Development and Security. London: Zed Books
Duile, Timo dan Jonas Bens. “Indonesia and the “Conflictual Consensus”: a Discursive Perspective on Indonesian Democracy”, dalam Jurnal Critical Asian Studies, 2017, http://dx.doi.org/10.1080/14672715.2017.1295358
Ford, Michele dan Thomas B. Pepinsky. “Beyond Oligarchy? Critical Exchanges on Political Power and Material Inequality in Indonesia”, dalam JurnalIndonesia, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, No. 96, October 2013, hal. 1-9
Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended. Lectures at the College de France. New York: Picador
Foucault, Michel. 2008. The Birth of Biopolitics. New York: Palgrave MacMillan
Furtado, Celso. ‘The Myth of Economic Development and the Future of the Third World’, dalam Jurnal Review of Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09538259.2020.1827552
Furtado, Celso. “Underdevelopment and Dependence: The Fundamental Connections”, dalam Jurnal Review of Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09538259.2020.1827549
Gore, Radhika & Richard Parker. “Analysing Power and Politics in Health Policies and Systems”, dalam Jurnal Global Public Health, Vol. 14, No .4, 2019, hal. 481-488
Hadiz, Vedi (ed). 2006. Empire and Neoliberalisme in Asia. London: Routledge
Hadiz, Vedi R . “The rise of neo-Third Worldism? the Indonesian trajectory and the consolidation of illiberal democracy”, dalam Jurnal Third World Quarterly, Vol. 25, No. 1, 2004, hal. 55-71
Hadiz, Vedi R dan Richard Robison. “The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia”, dalam Jurnal Indonesia, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, No. 96, October 2013, hal. 35-57
Hadiz, Vedi R. “Indonesian local party politics”, dalam Jurnal Critical Asian Studies, Vol. 36, No. 4, 2004, hal. 615-636
Hadiz, Vedi. “Indonesia’s Year of Democratic Setbacks: Toward a New Phase of Deepening Illiberalism”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 53, No. 3, 2017, hal. 261–78
Hakim, Nul Lukman. “Politisasi Islam, Depolitisasi Demokrasi: Islam Politik dan Multikulturalisme Pasca-Orde Baru”, dalam Jurnal Prisma, Meredam Ketegangan Agama dan Negara, Vol. 39, No. 1, 2020, hal. 3-14
Hakim, Nul Lukman. 2019. In Search of Hegemony: Islamism and the State in Indonesia. PhH Dissertation, University of Melbourne, 2019
Hefner, Robert. 2018. Routledge Handbook of Contemporary Indonesia. London: Routledge
Heiduk, Felix. “State Disintegration and Power Politics in Post-Suharto Indonesia, dalam Jurnal Third World Quarterly, Vol. 35, No. 2, 2014, hal. 300-315
Humbert, Clemence & Jonathan Joseph . “Introduction: the Politics of Resilience: Problematising Current Approaches”, dalam Jurnal Resilience, International Policies, Practice and Discourse, 2019, https://doi.org/10.1080/21693293.2019.1613738
Íñigo Errejó n and Chantal Mouffe. 2016. Podemos: In the Name of the People. London: Lawrence and Wishart Limited
Laksmana, Evan A. “The Enduring Strategic Trinity: Explaining Indonesia’s Geopolitical Architecture”, dalam Jurnal Journal of the Indian Ocean Region, Vol. 7, No.1, 2011, hal. 95-116
Langley, Paul. ‘Assets and Assetization in Financialized Capitalism’, dalam Jurnal Review of International Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09692290.2020.1830828
Masoed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yokyakarta: Pustaka Pelajar
Mavelli, Luca. ‘Resilience Beyond Neoliberalism? Mystique of Complexity, Financial Crises, and the Reproduction of Neoliberal Life’, dalam Jurnal Resilience, International Policies, Practices and Discourses, 2019, https://doi.org/10.1080/21693293.2019.1605661
Mietzner, Marcus. “Authoritarian Innovations in Indonesia: Electoral Narrowing, Identity Politics and Executive Illiberalism”, dalam Jurnal Democratization, 2019, https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1704266
Mietzner, Marcus. “Sources of Resistance to Democratic Decline: Indonesian Civil Society and Its Trials”, dalam Jurnal Democratization, 2020, https://doi.org/10.1080/13510347.2020.1796649
Mouffe, Chantal. 2005. On the Political. London: Routledge
Muhtadi, Burhanuddin. “Jokowi’s First Year: A Weak President Caught between Reform and Oligarchic Politics”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 51, No. 3, 2015, hal. 349-368
Negri, Michael and Antonio Negri. 2000. Empire. Cambridge: Harvard University Press
Negri, Michael and Antonio Negri. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: Penguin Press
Negri, Michael and Antonio Negri. 2009. Common Wealth. Cambridge: Harvard University Press
Nordholt, Schulte dan Garry van Klinken (eds). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
O’Brien, Thomas. “Populism, Protest and Democracy in the Twenty First Century”, dalam Jurnal Contemporary Social Science, Vol. 10, No. 4, 2015, hal. 337–348
Panizza, Francisco. 2005. Populism and the Mirror of Democracy. London: Verso
Parfitt, Trevor. “Are the Third World Poor Homines Sacri? Biopolitics, Sovereignty and Development”, dalam Jurnal Alternatives Vol. 34, 2009, hal. 41-58
Pariboni, Riccardo. ‘When Melius Abundare Is No Longer True: Excessive Financialization and Inequality as Drivers of Stagnation’, dalam jurnal Review of Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09538259.2020.1769282
Pepinsky, Thomas B. “Pluralism and Political Conflict in Indonesia”, dalam Jurnal Indonesia, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, No. 96, October 2013, hal. 81-100
Peters, Michael, Stephanie Hollings , Benjamin Green & Moses Oladele Ogunniran. “The WHO, The Global Governance of Health and Pandemic Politics”, dalam Jurnal Educational Philosophy and Theory, 2020, https://doi.org/10.1080/00131857.2020.1806187
Power, Thomas P.. “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 54, No. 3, 2018, hal. 307-338,
Roberts, David. 2010. Global Governance and Biopolitics: Regulating Human Security. London: Zed Books
Robinson, Richard. 2009. Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Publishing
Rosser, Andrew. “Realising Free Health Care for the Poor in Indonesia: The Politics of Illegal Fees”, dalam Jurnal Journal of Contemporary Asia, Vol. 42, No. 2,2012, hal. 255-275
Rosser, Andrew. “Neo-liberalism and the politics of higher education policy in Indonesia”, dalam Jurnal Comparative Education, 2015 http://dx.doi.org/10.1080/03050068.2015.1112566
Rosser, Andrew. “Risk Management, Neo-Liberalism and Coercion: the Asian Development Bank’s Approach to ‘fragile states’”, dalam Jurnal Australian Journal of International Affairs, Vol. 63, No. 3, 2009, hal. 376-389
Shamasunder, Sriram dan Seth M. Holmes dkk. “COVID-19 Reveals Weak Health Systems by Design: Why We Must Re-Make Global Health in This Historic Moment”, dalam Jurnal Global Public Health, 2020 https://doi.org/10.1080/17441692.2020.1760915
Sparrow, Robert, Teguh Dartanto & Renate Hartwig. “Indonesia Under the New Normal: Challenges and the Way Ahead”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 56, No. 3, 2020, hal. 269-299
Sparrow, Robert, Teguh Dartanto & Renate Hartwig. “Indonesia Under the New Normal: Challenges and the Way Ahead”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 56, No. 3, 2020, hal. 269-299
Standing, Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury Academic
Suryahadi, Asep Ridho Al Izzati & Daniel Suryadarma. “Estimating the Impact of COVID-19 Outbreak on Poverty”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, 2020, https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1779390
Susan, Olivia , John Gibson & Rus’an Nasrudin. “Indonesia in the Time of Covid-19”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 56, No. 2, 2020, hal. 143-174,
Warburton, Eve. “Jokowi and the New Developmentalism”, dalam Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 52, No.3, 2016. hal. 297-320
World Economic Forum. 2021. The Global Risks Report 2021. WEF Publication
Yasih, Diatyka W. Permata . “Jakarta’s Precarious Workers: Are they a “New Dangerous Class”?”, dalam Jurnal Journal of Contemporary Asia, 2016, http://dx.doi.org/10.1080/00472336.2016.1197959
Zakaria, Fareed. 2020. Ten Lessons for a Post-Pandemic World. New York: W.W. Norton and Company Inc.