Etika-Moral Terorisme: Just War versus Holy War (2010)

Benjamin Netanyahu, Mr. State Security and Children Killer, Source The New Arab

Perspektif atau pendekatan terkini yang membahas hubungan radikalisme, terorisme dan kekerasan adalah sudut pandang etika dan moral. Tesis utama dalam perspektif ini adalah bahwa terorisme adalah sebuah kategori ideologi baik yang dikaitkan dengan radikalisme maupun dengan kekerasan. Terorisme dipandang sebagai konsep politik dan propaganda politik.

Dengan menggunakan perspektif kritik ideologi dan Analisis Wacana, terorisme sebagai wacana mengandung di dalam dirinya konstruksi politik dan paradoks moral. Para pendukung kajian berbasis konstruksi politik atau politik wacana berargumentasi bahwa terorisme terbentuk dan beroperasi sebagai object of epistemological and practical surveillance dalam wacana liberal tentang subyek politik—manusia dan masyarakat.

Di lain pihak, paradoks moral juga memberi perhatian pada dilema etis terutama kelemahan-kelemahan mendasar dari konsepsi kekerasan, kehidupan dan kematian dalam perdebatan Just War dan humanisme yang lebih luas. Perspektif  etis-moral ini menjawab beberapa isu penting yang menyangkut bagaimana hubungan antara radikalisme dan terorisme dipahami dalam ideologi liberal; mengapa kekerasan bermasalah secara moral dalam terorisme dan counter-terorisme; serta apa perbedaan makna kekerasan dalam terorisme dan counter-terorisme. Penelitian awal ini kemudian mencatat dua topik penting yang muncul dalam diskusi etis-moral dan ideologi tersebut yaitu tentang subyek dan sah dan tidaknya kekerasan.

Illiberal Subject dan Islam Radikal

Dalam karyanya, On Suicide Bombing, Talal Asad berargumen bahwa pelaku bom bunuh diri menghadirkan subyektifitas lain yang berbeda dari subyektifitas liberal (2007,17). Respon Barat terhadap terorisme secara jelas merepresentasikan subyektifas liberal tentang agensi politik manusia. Radikalisme merupakan objek epistemologis dan bersifat konstitutif terhadap subjektivitas liberal dalam kaitannya dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Keberadaannya selalu diperlukan agar dapat secara tegas dipisahkan mana yang esensi liberal dan mana yang bukan dalam perdebatan intelektual dan moral kekuasaan (Asad 2007. 14; Chomsky 2003). Seperti pada masa Perang Dingin, ketika negara-negara Barat mengkonstruksikan komunis sebagai peneguhan atas dirinya: apapun yang dianggap “mengganggu” tatanan politik kekuasaannya akan segera dikarantina sebagai komunis. Dalam konteks age of terror, radikalisme dan terorisme pun secara diametral dikonstruksi sebagai ancaman bagi tatanan liberal saat ini.

Radikalisme akan dihidupkan terus-menerus oleh subjektivitas liberal dengan cara menegaskan esensi fear-nya. Dalam tesis clash of civilization, radikalisme tidak lain merupakan esensi dari budaya yang pre-modern dan non-liberal yang dipandang selalu bertentangan dan mengancam tatanan liberal (Huntington 1993). Dalam konteks politik pasca-Perang Dingin, Islam dipandang sebagai ancaman paling potensial bagi tegaknya demokrasi liberal (Fukuyama 1992). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kenapa Islam? Mengapa radikalisme dan kekerasan yang dilancarkan kelompok-kelompok lain, misalnya nasionalis atau Marxis, dianggap dapat dipahami sebagai bagian dari sejarah Barat, sementara Islam tidak?

Pandangan liberal memandang bahwa kekerasan yang dilancarkan kelompok radikal Islam tidak dapat diterima karena ia tidak melekat dalam narasi sejarah formatif negara-negara Barat, namun dalam akar-akar agama. Oleh karena kekerasan yang berasal dari tradisi totalitarian agama ini kerap memusuhi demokrasi, maka kekerasan ini pun selalu dianggap irasional dan menjadi ancaman internasional (Asad 2007, 8; Perry and Negrin 2008).

Demi kepentingan untuk menjamin tegaknya subjektivitas liberal, tatanan yang berbasis liberal menempatkan radikalisme Islam sebagai “the embodiment of evil”. Bukan hanya perilaku kekerasan saja yang dianggap sebagai ancaman, dalam pandangan mereka radikalisme Islam juga sudah menjadi ideologi—a way of life—yang bisa diidentifikasi kelompok dan karakter-karakternya yang spesifik.

Akibatnya, pelbagai atribut ancaman dan kekerasan sesungguhnya dianggap melekat dalam radikalisme. Manifestasi destruktifnya hanya tinggal menunggu waktu (Zizek 2008). Juga, seperti yang dikemukakan oleh Mahmood Mamdami, pasca serangan 11 September ada transformasi besar dari Islam sebagai kategori budaya menjadi kategori politikyang secara semena-mena dan hierarkis didefinisikan sebagai barbar, terbelakang, dan irasional. Dengan kata lain, radikalisme Islam kini telah menjadi subjek politik yang iliberal. Dalam artian inilah proyek membersihkan Islam dari unsur-unsur jahatnya kemudian dilakukan, dengan tujuan memisahkan dan menyingkirkan ‘bad Moslems’ dari ‘good Moslem’. Seperti ditulis Mamdani,

When Islam turns into political category to address the question of whether it is radical in nature and practical excess, it is no longer found the neeed to distingusih terrorist from non-terrorist, but good muslims and bad moslems. Current result is that Islam must be ‘quarantined’ and ‘devil’ in it must be‘exorcised’ (2002, 775).

Dengan demikian, ‘terorisme’ dan War on Terrorism’ bukanlah ‘clash of  civilizations’ melainkan ‘clash of subjectivities’ dalam konteks hubungan kekuasaan global. Dalam epistemologi liberal tindakan teroris itu tak berdimensi politik karena kekerasan dan politik adalah dua hal terpisah. Peristiwa itu dipandang sepenuhnya sebagai kekerasan, manifestasi banalitas dari kejahatan.

Kekerasan kemudian dipandang sebagai esensi terorisme. Menghadapi terorisme tak ada cara lain selain perang total karena yang dihadapi bukanlah the other yang bisa ditoleransi. Dia adalah ancaman kemanusiaan universal dan barang siapa bekerja sama atau hidup bersamanya adalah bagian dari kejahatan itu sendiri, seperti yang diekspresikan oleh Presiden Bush, ‘if you harbor terrorist, you are a terrorist; if you aid and abet terrorist, you are terrorist—and you will be treated like one! ‘.

Dalam karyanya, Slavoj Zizek (2002) berargumen bahwa Islam adalah obyek fantasi yang sangat menakutkan bagi liberalisme karena liberalisme yang digambarkan dengan subyek-subyek yang ‘utuh’ dan ‘otonom’ itu selalu hidup dalam bayang-bayang ancaman yang datang dari luar dirinya. Oleh karenanya, ancaman ini, yang muncul dalam bentuk terorisme, harus dicari dan dikeluarkan dari dalam Islam, bukan terutama karena teroris mengincar darah dan kematian manusia lain, melainkan karena kekerasan teroris itu adalah simbolisasi pembangkangan dan perusakan terhadap ‘ius humanus’ liberal yang digambarkan dengan segala kesempurnaannya.

Argumen yang disampaikan oleh Zizek tidak jauh berbeda dari argumen yang diajukan oleh penulis lain. Zubaika misalnya berargumen bahwa pesan ideologis dalam retorika war on terrorism dan de-radikalisasi pada dasarnya bukanlah  penegakan keadilan dan keamanan dalam artian konvensional, melainkan pemastian dengan segala cara bahwa subyektifitas liberal adalah ‘what other should desire’ dan bahwa identitasnya selalu menjadi “object of other’s desire’ (Zubaika 2009). Untuk memastikan supremasi ideologis itu, terorisme harus selalu ada, menjadi penanda terbuka bagi apapun subyektivitas yang resisten terhadap orde simbolik liberalisme.

Dengan cara yang agak berbeda, tetapi dengan argumen yang sama, penulis-penulis lain mengatkan bahwa terorisme adalah cermin dari ketakutan yang selalu menghantui liberalisme. Artinya, menurut Sayyid, apa yang disebut radikalisme Islam tidak lain adalah proyek ideologis liberal untuk mengatasi kerentanan  subyektifitas dan identitasnya sendiri (Butler 2004; Sayyid 1997)). Sama seperti halnya komunisme menjadi hantu bagi liebaralisme dalam masa Perang Dingin (Chomsky 2003; 1991; Negri 2000), Islam politik dengan tatanan simbolik yang berbeda berpotensi menampilkan kerapuhan fundamental dalam liberalisme yang tidak mungkin bertahan tanpa ditopang oleh obsesi sebagai obyek hasrat pihak lain.  Islam yang yang telah dikendalikan dan dimurnikan itu, yang diberi label good / true Moslem, tak boleh dibiarkan menjadi dirinya sendiri. Mental dan perilaku good Moslem harus meniru biografi kesuksesan dan kebebasan subyek dan masyarakat liberal.

Kekerasan:  Just War dan Holy War

Argumen yang disampaikan para pendukung kajian terorisme dengan perspektif ini bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung terorisme homisida. Mereka berusaha untuk secara memahami fenomena terorisme dengan cara yang lebih kritis. Terutama dalam kaitannya dengan esensi kekerasan, mereka melihat bahwa terorisme dan kebanyakan respon terhadap terorisme berangkat dari logika yang sama. Menurut mereka, kekerasan yang dipertontonkan keduanya adalah simptom dari dua ideologi yang berbeda, tetapi sama-sama obsesional—yang menginginkan subyektivitasnya menjadi obyek keinginan bagi yang lain. Mereka sama-sama tidak mengakui simbolik mereka dan berusaha mencari-cari sebab ketakutan fundamental yang mereka miliki di luar diri mereka sendiri. Semakin kuat obsesi dengan ‘kesempurnaan’ identitasnya, semakin lama dan intensif dua subyektivitas ini terpenjara dalam perasaan rentan yang terus menerus.

Pada saat yang sama, image tentang kedaulatan diri dipelihara hanya dengan melakukan tindakan-tindakan peniadaan terhadap yang lain. Dalam kaitannya dengan liberalisme, peniadaan terhadap Islam radikal (counterterrorism), atau dalam kasus para pelaku terorisme, peniadaan terhadap masyarakat liberalisme. Kajian kritis tentang terorisme berusaha menunjukkan adanya ‘divide violence’, yakni kekerasan yang dilakukan karena yang lain dianggap bersalah dan harus dienyahkan (Zizek,2008, 198-199).

Kategori ‘lain’ yang telah dipersepsikan sebagai sebab kerentanan tak lagi diterima sebagai manusia dalam orde moralnya. Kategori ‘lain’ itu adalah setan dan oleh karenanya membunuh manusia semacam ini bukanlah kejahatan dalam Just War. Mereka bukanlah kurban (sacrifice) dalam Jihadisme teroris karena jiwanya tak berkenan bagi Allah (Agamben 1998, 57). Dalam pemikiran yang berbasis analisis wacana ini, Just War yang melegitimasi ‘war on terrorism’ dipandang sebagai versi sekuler dari Holy War. Begitu pula sebaliknya Holy War yang diusung para teroris adalah versi puritan dari Just War.

Bagi pengkaji terorisme dari perspektif kritis, landasan ideologis, dan moral, yang kuat bagi proyek ideologis counter-terorisme ditunjukkan misalnya oleh argumen yang dibuat oleh proponen utama Just War pasca serangan 11 September, Michael Walzer, yang mengatakan bahwa semua teroris adalah pembunih, tetapi tidak semua pembunuh adalah teroris (2002, 5-10; 2006, 3-12). Menurut mereka, argumen  Walzer dianggap menyembunyikan ‘moral permissibility’ bagi penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan negara terhadap warga negara karena dijustifikasi sebagai collateral damage. Penangkapan, interogasi, penyiksaan dan pembunuhan terhadap ‘Muslim Radikal’ juga dibenarkan karena tindakan itu memenuhi kriteria-kriteria dalam Jus in Bello dan Jus ad Bellum (Held 1991; Valls 2006).

Ruins and Deaths in Gaza, Source Progressive International

Para pengkaji dengan perspektif kritis melihat bahwa baik Just War counter-terrorisme maupun Holy War terrorisme tidak lain adalah artikulasi dari dua ideologi yang sma-sama membenarkan pembunuhan untuk tujuan ideologis masing-masing. Dua ideologi ini membenarkan homisida demi untuk tetap bisa mempertahankan keutuhan identitas mereka: sebagai pelayan bagi kemuliaan Allah (slogan yang ditampilkan teroris) maupun untuk menjunjung tinggi Humanisme (slogan yang ditampilkan oleh war on terrorism), kekerasan diperlakukan sebagai instrumen dan korban kekerasan tak lebih dari ‘homo sacer’—makhluk hidup semata.

Melalui argumen-argumennya, para pengkaji dengan perpektif kritis, berusaha memberikan jawaban terhadap pertanyaan mengapa war on terorisme gagal dan sebaliknya justru muncul spiral kekerasan. Menurut mereka, berdasarkan kajian terhadap cara berpikir kedua belah pihak, teroris dan para ahli strategi counter-terorisme, sama-sama cenderung mereproduksi kekerasan dengan cara menciptakan imaji tentang kebenaran kelompok yang semakin mutlak dan dengan menjadikan ‘the others’ sebagai musuh yang harus dieliminasi.

Oleh karenanya, berbeda dengan kajian-kajian dengan perspektif yang lain, dalam kajian yang didasarkan pada perspektif kritis ini, kekerasan bukan semata-mata bersifat instrumental untuk melayani tujuan yang lebih besar dan juga bukan hanya menjadi pilihan artikulasi di antara pilihan lainnya. Kekerasan dilakukan karena kelompok radikal terjebak dalam infinite paranoia dan karenanya akan selalu mereproduksi infinite enemy.

Mereka terus menciptakan hantu-hantunya sendiri. Dan, ironisnya, hantu-hantu ini harus dipelihara karena diperlukan keberadanya dan sekaligus harus dieliminasi karena hanya dengan cara ini kelompok-kelompok radikal bisa menganggap diri sebagai kelompok yang paling “benar” dan paling “baik” (Zizek 2008; Butler 2004; 2005). Dalam konteks ini kekerasaan menjadi keniscayaan karena tanpa kekerasan mereka tidak bisa membasmi hantuhantu yang terus direproduksi melalui proses-proses “effacement of vulnerability”. Tanpa kekerasan homisida, seluruh dasar imajinasi dan praktik supremasi kolektif akan ambruk karena mereka tidak mungkin bernegosiasi dengan hantu-hantu yang ada dalam persepsi mereka sendiri.

Derealisasi dan Homisida: Dua Wajah Kekerasan

Berusaha untuk tidak terjebak dalam atau melampaui debat Just War versus Holy War, penstudi terorisme berbasiskan perspektif kritis berusaha memberi kontribusi bagi upaya untuk memahami terorisme dan kekerasan melalui dua hal. Pertama, mereka berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya kekerasan. Kedua, mereka berusaha membuat klasifikasi tentang kekerasan. Dalam kajian mereka, faktor utama bagi terjadinya kekerasan adalah terbangunnya rasa rentan, ‘effacement of vulnerability.’ Tumbuhnya rasa rentan inilah sebenarnya dasar dari semua kekerasan yang terjadi, karena dari rasa rentan ini muncul formasi identitas yang dibangun di atas logika perbedaan (kita dan mereka) yang bermusuhan.

Proses yang dimulai dengan munculnya kerentanan dan diakhiri dengan menguatnya identitas diri, berhadapan dengan identitas musuh ini memunculkan dua bentuk kekerasan yang berbeda, tetpi sangat terkait erat dalam arti keberadaan bentuk kekerasan yang satu memungkinkan terjadinya bentuk kekerasan yang lain: de-realisasi dan homisida.De-realisasi adalah upaya ideologis yang menjadikan identitas lain (the other) itu bukan manusia dan, konsekuensinya, kehidupannya tak bermakna dan kematiannya tak pantas mendapat perkabungan publik. Sedangkan homisida berarti penghilangan nyawa manusia secara instrumental. 

Melalui penjelasan kritis terhadap kekerasan tersebut pegkaji terorisme dalam perspektif ini berargumen bahwa pada dasarnya kekerasan terrorisme dan kekerasan yang dilakukan sebagai respon terhadap terorisme (counter-terrorism) menggambarkan simpom yang sama, yakni totalitarianisme dan imperialisme ideologi puritan di satu sisi dan totalitarianisme imperialisme ideologi sekuler di sisi lain. Keduanya bermain dengan logika yang sama, tetapi bukan dengan logika kebersamaan, yang dibangun berdasar etika ko-eksistensial.

Para pengkaji terorisme dengan perspektif kritis menunjukkan kepada kita bagaimana memahami kekerasan dengan cara mengkaji arena normatif di mana suatu tindakan dipahami sebagai kekerasan. Di sini etika menjadi isu pokok. Tesis utamanya adalah bahwa etika ‘esensialist’—just war dan holy war—bukan saja gagal meniadakan kekerasan, tetapi justru melanggengkan kekerasan, karena mereka memerlukan kekerasan agar etika tersebut menjadi riil, bukan semata mata dogma melainkan juga terwujud dalam tindakan.

Masalahnya adalah ambiguitas ini tak diakui oleh masing-masing rejim moral. Akibatnya, tindakan mencabut nyawa orang lain tidak memiliki status kekerasan yang universal karena bergantung pada yang dibunuh itu disebut korban tindakan moral yang sah atau tidak sah. Legitimasi moral pun menjadi bervariasi karena ternyata tindakan tersebut dijadikan instrumen untuk memenuhi preskripsi moral yang dianggap lebih ‘mulia’. Ilustrasi klasik your terrorist, my freedom fighter adalah contoh paradigmatik dari pertarungan semacam ini. Kasus terbunuhnya Osama yang dirayakan dengan gegap gempita di dunia Barat dan dikabungi oleh para simpatisannya—meskipun bukan jaringannya—juga menunjukkan paradoks tindakan moral tersebut.