Great Reset dan Biopolitik Bencana:Tantangan Tata Dunia Damai dan Inklusi Sosial (2021)

Tulisan ini membahas pandemi Covid-19 sebagai krisis kesehatan global yang membuka kotak pandora geopolitik internasional, kapitalisme finansial dan biopolitik neoliberalisme. Dengan menguatnya wacana pandemi sebagai matriks utama ketidakamanan dunia, maka mendesak untuk diperiksa hubungan antara isu ketidakamanan biopolitik yang dinarasikan Great Reset ini dan isu konflik ekonomi-politik yang mengemuka dalam dua dekade 2001-2019. Dengan itu krisis kesehatan global, virus goes global, tidak hadir begitu saja tetapi berjejalin secara sistematis dengan dinamika konflik internasional, regional dan nasional.

Pandemi menghadirkan kembali tubuh dan lingkungan hidup sebagai arena pertarungan ekonomi-politik antara monopoli korporasi transnasional yang ditopang teknologi pendisiplinan negara dan gerakan perlawanan arus bawah dari berbagai isu, sektor dan komunitas budaya. Karena itu, tulisan ini lebih berupa sebuah awalan, semacam pembukaan analisis, untuk memperlihatkan arti penting pandemi dalam diskusi tentang tata-dunia damai dan inklusi sosial.

Dalam konteks arti penting pandemi tersebut, krisis kesehatan sedang memasuki medan geopolitik yang dinamis, sekaligus menghadirkan proses dan interaksi ekonomi-politik antar negara dan integrasi global-internasional yang tak seluruhnya bisa diprediksi dengan sejumlah konsekuensi bagi tata-dunia yang damai. Demikian halnya, narasi besar patogen sebagai ancaman global tidak bisa lepas dari ekonomi-politik tubuh, lingkungan hidup dan bisnis kesehatan dan kematian. Sebelum pandemi tiba, sudah berlangsung konflik besar dan kecil, berpusat pada tubuh dan lingkungan hidup, berserakan di berbagi negara dan kawasan di Asia, Afrika, Amerika Latin, Australia dan Eropa termasuk Amerika Serikat.

Sebagaimana akan dibahas, pandemi Covid-19 menjadi ruang pemeriksaan terhadap komplikasi isu-isu utama konflik dunia yang mempertemukan wacana keamanan, pembangunan dan demokrasi. Dari sana muncul dua pertanyaan penting. Pertama, sepenting apakah narasi darurat kesehatan ini dalam diskusi tata-kelola konflik yang dikendalikan arsitektur internasional selama dua dekade terakhir. Kedua, apa saja implikasi agenda Great Reset di balik pandemi ini bagi tata-kelola dunia yang damai dan inklusi sosial berdasarkan hubungan saling pengaruh antara demokrasi, pembangunan dan keamanan.

Argumen utama dari tulisan adalah bahwa wacana darurat kesehatan global melalui pandemi Covid-19 terbentuk dalam transformasi tata kelola keamanan dunia yang ditandai oleh tiga kondisi yang saling berkaitan berikut.

Pertama, pandemi berlangsung dalam kontradiksi geopolitik yang tak terkelola dari rejim unipolar ke arsitektur multipolar yang sarat konflik dan tidak stabil. Alih-alih mengatasi kontradiksi geopolitik internasional, tata dunia baru yang digarap melalui pandemi ini melakukan globalisasi-mondialisasi ketidakamanan yang bersumber pada kerentanan lingkungan, perubahan iklim dan migrasi.

Kedua, wacana krisis kesehatan ini lahir dari kontradiksi kapitalisme finansial yang tidak mengatasi konflik-konflik utama ekonomi-politik melalui globalisasi ekonomi neoliberal tetapi sebaliknya, semakin memantapkan teknokrasi pembangunan berparadigma kedaruratan lingkungan hidup dan migrasi sebagaimana sudah terlembaga dalam Sustainable Development Goals dan Private-Private Partnership.

Ketiga, wacana kerentanan tubuh terhadap patogen berlangsung dalam transformasi paradigma biopolitik neoliberal yang memusatkan perhatian pada bio-ekonomi dan bio-sekuriti. Dalam paradigma ini tubuh dan lingkungan hidup khususnya biodiversitas berada dalam kerentanan permanen dan kesehatan menjadi barang langka yang dijamin ketersediannya oleh ilmu pengetahuan dan teknologi kehidupan.

Pemeriksaan terhadap tiga kondisi tersebut akhirnya memberikan informasi yang lebih jelas bahwa wacana darurat kesehatan global beserta tata kelola dunia baru, Great Reset, merupakan manifestasi terkini dari paradigma planetarisme dalam kerangka-kebijakan internasional yang didominasi jejaring korporasi transnasional dan lembaga keuangan internasional.

Tedros AG, Global War on Pathogen, Source UN News-The United Nations

Perang terhadap Patogen dan Tata Dunia Global

Sejak dideklarasikan sebagai pandemi covid 19 oleh World Health Organization Maret 2020, dunia secara serempak masuk dalam situasi tanggap darurat. Adhanom Tedros meluncurkan retorika yang mencekam, the world is taken hostage by a small virus, dan solidaritas global pun mulai digalakkan dengan berbagai strategi dan mekanisme yang tersedia dalam tata-kelola kesehatan dan komunitas internasional.

Akan tetapi, bersamaan dengan seruan itu, muncul konflik politik di berbagai negara yang sebagian terbesarnya berkaitan dengan dilema kesehatan atau ekonomi. Debat pilihan kebijakan akhirnya meramaikan konflik politik antara Demokrat dan Republikan di Amerika Serikat, menambah kisruh di ruang parlemen Uni Eropa pasca Brexit, juga di India yang sedang dilanda protes publik terhadap kebijakan kewarganegaraan pemerintahan Narendra Modi.

Di lain pihak, pemerintah China dan Xi Jinping menjadi model kepemimpinan dan tata kelola darutat yang dirujuk badan kesehatan dunia itu, sekaligus membuka konflik terbuka antara Donald Trump dan Tedros serta menimbulkan disorientasi kebijakan tanggap darurat global pada fase awal pandemi sampai akhir tahun sebelum Pilpres AS berakhir. Iran, juga Venezuela, yang membutuhkan bantuan IMF diboikot AS, sementara Italia dan Spanyol yang terpapar, diabaikan Jerman dan Perancis yang mengendalikan Uni Eropa.

Dilema antara ekonomi atau kesehatan kemudian perlahan disiasati dengan pilihan tanggap epidemik yang dilonggarkan WHO dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Hanya saja pilihan kebijakan tanggap darurat tidak bisa mengabaikan konstelasi politik dalam negeri antara pemerintah dan oposisi menghadirkan arena baru pertarungan politik. Dalam perkembangannya, konflik politik elit tersebut meresahkan publik yang panik akan penularan virus dan terdampak secara ekonomi.

Protes sosial dari kelas pekerja perkotaan muncul di berbagai negara khususnya di kawasan Eropa seperti Jerman dan Belanda dan sejumlah negara di Amerika Latin. Satu pesan utama dari protes publik terhadap kebijakan epidemik berlabel ‘New Normal’ adalah perlawanan terhadap dua kerentanan, rentan virus dan pengangguran, yang terhadirkan dari dilema kesehatan atau ekonomi yang dipropagandakan WHO melalui tentakel media korporasi global dan IT seperti youtube, twitter dan Facebook.

Kendati selalu berusaha dihilangkan dari informasi publik, protes-protes sosial terus berlangsung dan mulai berubah menjadi gerakan terorganisir dan berjejering nasional dan transnasional. Kerentanan ganda, double precarity, sesungguhnya mengemuka sebagai konsekuensi serius dari tata kelola pandemi di berbagai negara dan dengan itu membentuk kerentanan global–global precarity, khususnya memperparah kerentanan kelas pekerja yang berlangsung masif satu dekade terakhir.

Sejak pandemi tiba, masyarakat dunia hidup dalam narasi besar bencana global. Pendasaran tekstual dari narasi bencana bisa dicermati dalam preambul WHO yang memberikan pengertian yang luas kepada kesehatan. Di sana disebutkan, sehat tidak saja dari penyakit, tapi juga sehat ekonomi dan sehat sosial (WHO). Dari pengertian yang dikenakan pada individu atau masyarakat itu, kesehatan diperluas menjadi persoalan keamananan dan perdamaian dunia.

Di dalam medan pengertian yang serba mencakup itu, dari keamanan manusia sampai pada keamanan dunia, bisa dilihat paradoks standar, antara teks dan peristiwa, yang di dalamnya kepentingan ekonomi-politik korporasi transnasional, geopolitik multilateralisme dan kepentingan nasional berjejalin membentuk narasi besar kebencanaan dan seperti diuraikan sebelumnya menciptakan kerentanan kesehatan dan kerentanan ekonomi pada kelas pekerja dan masyarakat terdampak.

Setahun lebih pandemi berlangsung, badan kesehatan dunia tidak bergeser dari prioritas bebas dari penyakit semata, mengeluarkan arahan kebijakan medis khususnya informasi vaksin dan epidemik yang sering tidak konsisten, dan mengundang protes publik yang makin keras dan membuat pemerintah terus dikritik sebagai perpanjangan tangan WHO dan tentakel industri kesehatan global.

Dari waktu ke waktu, semakin jelas terbaca bahwa narasi besar bencana global ini terbentuk dalam suatu konstruksi pengetahuan dan praktik ekonomi-politik kedaruratan dunia yang tergarap dalam agenda tata ulang dunia—Great Reset—yang sudah dipersiapkan secara bertahap dalam World Economic Forum di Davos sejak tahun 2016. Mengemukanya agenda ini setelah setahun pandemi membuat pandemi menjadi isu geopolitik dan multilateralisme yang lebih serius dari sekadar darurat kesehatan global.

Klaus Schwab, direktur World Economic Forum, menegaskan pandemi Covid-19 sebagai momentum menata ulang ekonomi dunia yang peka terhadap krisis berkelanjutan (Schwab, 2021; WEF Report 2021; ref. Global Research Report 2021). Krisis kesehatan kemudian dilihat sebagai refleksi global, melalui dan melampui negara, untuk memastikan diselenggarakan tata kelola ekonomi-politik dunia berbasis kedaruratan atau kerentanan yang permanen.

Pandangan ini tentu bukanlah hal baru, tetapi kelanjutan dari kerangka berpikir neoliberal tentang kerentanan yang sudah diperkenalkan World Bank melalui paradigma pembangunan security-development complex (World Development Report, 2011). Dengan ditempatkannya pandemi sebagai momentum strategis, hubungan agenda tata ulang dunia dan kedaruratan sebagai paradigma pembangunan menjadi isu sangat penting bagi geopolitik dan arsitektur multilateralisme.

Dalam nada serupa, tata kelola ekonomi baru berbasis kerentanan rutin dikampanyekan Bill Gates, pendonor terbesar kedua setelah AS bagi WHO. Berbeda dari Schwab, bilioner tentakel bisnis lintas-sektor ini meletakkan arti penting pandemi Covid-19 dalam kedaruratan global-mondial yaitu climate change, environmental crisis dan migration sebagai tiga masalah global yang harus segera diperhatikan masyarakat internasional (Gates; 2020, 2021; Global Research Report; CorbettReport). Dalam narasi ini, kedaruratan tidak saja bersifat permanen, bencana lingkungan termasuk patogen alam tidak dapat diprediksi secara pasti, tetapi juga hanya bisa diatasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Diperiksa lebih lanjut, paradigma baru ketidakamanan dunia tersebut sebetulnya sudah diformulasikan sebagai pendasaran ideologi di balik agenda global SDGs yang memfasilitasi biopiracy dan ekonomi bencana (Shiva, 2016, 2015; Klein, 2009). Karena itu dalam Great Reset, baik yang ditegaskan Schwab maupun Gates, pandemi Covid-19 hanyalah pembawa pesan terakhir dari krisis ekologis dan persoalan populasi yang berkelanjutan dan berdampak kepada masa depan spesies manusia dan daya tahan bumi menopang kehidupan. Lingkungan dan tubuh kemudian tidak semata rentan tapi menjadi sumber persoalan ketidakamanan dunia, stagnasi ekonomi dan instabilitas politik.

Tubuh dan lingkungan kehidupan sebagai sumber konflik atau terpenting lagi, ancaman eksistensial spesies manusia dan bumi, dipertegas dengan usulan Tedros agar segera dibuatkan pandemics treaty, semacam traktat perang semesta terhadap patogen alam. Hal ini disampaikan dalam Munich Conference, NATO, pada Februari 2021, dengan tema besar pandemi sebagai masalah ketidakamanan dunia (Tedros, 2021, ref. Global Research Report).

Pandangan ini tentu memberi signifikansi serius terhadap tubuh dan biodiversitas sebagai evil agent, berpotensi meneror ekonomi dan politik dunia. Dunia dibayangkan harus selalu waspada dan cepat tanggap terhadap antagonisme baru yang terus bermutasi, sulit dideteksi atau dikontrol ilmu pengetahuan dan hanya bisa diatasi dengan kolaborasi multilateral dan aplikasi strategi-taktik perang.

Pesan penting dari militarisasi pandemi ini adalah sekuritisasi menyeluruh atas tubuh, pikiran dan lingkungan. Tentu jika ditelusuri lagi, sekuritisasi multi-dimensi memiliki preseden yang kuat dalam strategi-taktik penanganan dan pencegahan terorisme selama dua dekade periode Global War on Terror (Chossudovsky; 2005; Kindervater, 2016). Terhitung di dalamya preseden terkini dari aplikasi Artificial Intelligence sebagai bagian dari technology of surveillance seperti drone yang dipercanggih, gene editing dan biometriks.

Mondialiasi, saintifikasi dan sekuritisasi terhadap antagonisme kehidupan spesies dan bumi di atas, menjadi penting sekali untuk dikontekskan pada dinamika internasional dan tantangan dunia damai sebelum dan selama pandemi berlangsung. Tujuannya tak lain adalah untuk memeriksa sejauh mana konstruksi bencana global atau ancaman global, melalui pandemi Covid-19, memperjelas isu-isu konflik yang lahir dari kontradiksi tata-kelola ekonomi dan politik dunia. Atau sebaliknya, konstruksi wacana kedaruratan baru ini adalah jalan pintas membendung kontradiksi sistemik dari struktur ekonomi-politik terkini.

Karena itu, pada bagian berikutnya diperjelas terlebih dahulu peta konflik dunia yang dibaca melalui tiga sudut pandang utama, yaitu pertama, konflik utama dalam tata dunia bersinggungan dengan geopolitik atau arsitektur internasional, kedua, konflik utama dalam transformasi kapitalisme sebagai sistem ekonomi-politik dan ketiga, konflik utama dalam kaitan dengan kontestasi dan transformasi ideologi dominan.

Pembahasan ketiga cara baca ini tak berarti ketiganya sama sekali berbeda, justru sebaliknya saling menjelaskan hubungan antar isu konflik, aktor, arena dan dinamikanya. Dalam peta konflik tersebut kemudian bisa terbaca jejak atau preseden kunci yang meloloskan konstruksi pandemi covid-19, sebagai darurat global, ancaman global, dan teknokrasi resiko, melalui dan melampaui kesehatan.

Antonio Guterres, United Nations General Secretary, Source CGTN

Tata Dunia Internasional: Tiga konflik utama

Patut dicatat bahwa sejak awal pandemi telah muncul upaya mengangkat kedigdayaan krisis kesehatan ini ke tingkat yang setara dengan peristiwa-peristiwa besar yang membentuk sejarah dunia. Tidak cukup hanya disetarakan dengan Black Death, pandemi kutu mematikan lewat tikus yang membunuh 50 juta manusia di Eropa 1346-1353, atau pandemi Spanish Flu yang ikut mengakhiri Perang Dunia I dan membunuh 20-50 juta jiwa.

Pandemi Covid-19 disamakan dengan Perang Dunia II dengan korban 56 juta jiwa di Eropa dan Asia, mengakhiri fasisme dan menata dunia baru pasca perang dan juga dianggap lebih mendasar dari akhir Perang Dingin yang menghancurkan blok komunis Uni Soviet dan meloloskan Amerika serikat sebagai pusat tata dunia unipolar. Analogi dan asosiasi historis ini datang dari diskusi berkala WEF dan sambutan petinggi negara seperti presiden Perancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel.

Kendati demikian, asosiasi historis itu tentu tidak sekadar penggambaran luar biasanya pandemi sebagai ancaman global, tetapi sebaiknya dibaca sebagai politik wacana yaitu ajakan menata dunia lama yang sarat kontradiksi internasional dan di dalam negeri ke dalam dunia baru ‘new normality’. Normalitas baru ini harus ditata dengan paradigma internasional berbeda, prinsip kesetaraan dalam kemitraan multilateral dan tentu saja perlunya kontrol sistematis terhadap menguatnya gerakan demokrasi arus bawah menentang neoliberalisasi dan konsolidasi oligarki global-internasional. Kebutuhan akan tata dunia baru itu sangat mendesak mengingat tak terbendungnya tiga kontradiksi atau isu konflik utama, yaitu konflik geopolitik, konflik transformasi kapitalisme dan konflik ideologi, yang mengemuka sejak pasca Perang Dingin atau periode Unipolar (1990-2019).

Kontradiksi Pertama: Benturan Geopolitik

Kontradiksi pertama adalah ketegangan geopolitik dalam arsitektur internasional berbasis unipolar Amerika Serikat menuju konstelasi multipolar yang belum terstruktur dan sangat dinamis bersama China, Rusia dan Uni Eropa. Bagi para penstudi dalam perspektif ini, konflik dan ketegangan geopolitik seluruhnya berkaitan dengan pengaturan tata dunia internasional baru yang berpusat pada perilaku Amerika Serika sebagai polisi dunia bersama aliansinya di berbagai kawasan khususnya Uni Eropa dan Nato (Kagan, 2003; Munro, 2014).

Amerika Serikat, mengikuti kombinasi paradigma geopolitik lama Brzezinski dan paradigma hegemoni liberalisme Francis Fukuyama, dibutuhkan untuk mengatur, menertibkan dan menggulingkan pemeritahan yang dilabel tidak demokratis, menegakkan hak-hak asasi manusia dan menegakkan hukum internasional (Brzezinski, 1997; Fukayama, 1992).

Dalam rejim internasional baru tersebut berlangsung intervensi unilateral dalam narasi besar seperti Responsibilty to Protect dan Humanitarian Intervention khususnya pada fase awal berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dua konflik utama (Hachigian, 2013; Rotmann, 2014; Brockmeier, 2014). Yaitu, konflik berdarah antar etnis di negara-negara Afrika dan konflik berdarah lima tahun di Eropa Timur yang membagi Yogusalavia menjadi lima negara. Dari eksperimentasi ‘internasional’ di dua kawasan ini, muncul dan berkembang kebijakan keamanan yang dalam kluster human security berbasis HAM dan peacebuilding yang berpijak skema state-building liberal (Boas, 2005).

Kendati demikian, bagi sebagian besar pensudi kritis, Global War on Terror yang dideklarasikan George Bush November 2001, dan dilanjutkan Obama 2008-2014, adalah terobosan geopolitik Amerika Serikat membentuk Empire, kontrol total atas wilayah, sumber daya dan populasi dunia (Dalby, 2003). Dengan propaganda berantas terorisme Islam dan disepakati Rusia dan China, Amerika Serikat melancarkan agenda regime change di sejumlah negara Timur Tengah, dimulai dari menumbangkan Taliban di Afganistan 2001, Saddam Hussein di Irak 2003, Muamar Qaddafi di Libya 2011 dan perang proxi ‘Assad Must Go’ di Suriah 2013.

Belum terhitung proyek regime change yang berlarut-larut di Iran dan Venezuela serta perang proksi terhadap Rusia di Ukraina sejak 2014 (Desai, 2016; Thakur, 2013, 2014). Alih-alih menggulingkan apa yang dicap ’failed state’, aksi imperial Amerika Serikat dan NATO selama dua dekade menciptakan kondisi negara gagal pasca intervensi, hancurnya kohesi sosial dalam negara dan terutama menimbulkan kekacauan global, global disorder (Chossudovsky, 2005; Chomsky, 2018).

Agenda regime change, membunuh jutaan manusia itu, ditolak masayarakat Amerika Serikat dan Eropa melalui gerakan anti-perang terutama karena paradoks demokrasi yang terang benderang dan memperkuat konsolidasi militer, politik dan bisnis bahan bakar minyak. Dengan itu perang dalam momen unipolar lebih menyerupai sebuah bisnis jaringan, network entreprise, yang menghubungkan pembangunan-kapitalisme dan keamanan-militer (Duffield, 2002; Hampe, 2015).

Dua isu penting yang mengemuka di paruh akhir dari periode berdarah ini.
Pertama, kekuatan unipolar Amerika Serikat melemah karena kegagalan eksperimen regime change yang dibarengi meningkatnya konsolidasi BRICS terutama pengaruh geopolitik China dan Rusia dalam aliansi ekonomi dan keamanan di sejumlah kawasan strategis seperti Euroasia dan Amerika Latin. Sebelum pandemi Covid-19, American Empire dan konstruksi the West mengalami kontradiksi internal dan disorientasi geopolitik sebagaimana ditunjukkan dengan Brexit terhadap EU, orientasi keamanan Turki dan sejumlah negara utama yang bergeser di dalam NATO, dan kisruh politik dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Kontradiksi geopolitik antara AS dan China akhirnya berpengaruh pada dijadikannya pandemi sebagai isu proksi konflik geopolitik dalam tata kelola tanggap darurat pada fase awal penggalakan solidaritas global.

Kedua, kendati kekuatan unipolar melemah secara dramatis, Global War on Terror telah menghadirkan teknologi sekuritisasi yang semakin terintegrasi dalam sistem tata kelola ekonomi-politik, perbatasan dan mobilitas-migrasi (Duffield, 2010; Amoore, 2017, 2012; Kessler, 2008; Salter, 2006). Bio-teknologi, kecerdasan buatan dan informatika berkembang pesat dan dijadikan teknologi rekayasa tubuh, rekayasa lingkungan dan rekayasa sosial-politik. Selama pandemi ketiga instrumen biopolitik ini diwacanakan dan diterapkan melalui eksperimentasi vaksin serba cepat, biometriks, tracking-tracing melalui ponsel dan komputer.

Clash of Titans, Proxy Wars, Source New York Post

Kontradiksi kedua: Kontestasi Ekonomi-Politik

Kontradiksi kedua adalah ketegangan ekonomi dan politik yang muncul dalam transisi kapitalisme industrial menuju kapitalisme finansial. Konsep kunci dalam sudut pandang ini tak lain adalah globalisasi, struktur dan transformasinya, yang dikendalikan kekuatan korporasi transnasional dan lembaga kekuangan internasional. Globalisasi yang dimaksudkan di sini berupa promosi dan penerapan model pembangunan ekonomi global ke dalam paradigma dan strategi pembangunan nasional yang mengutamakan arus masuk investasi asing, deregulasi dan privatisasi pelayanan publik (Pieterse, 2012; Chossudovsk, 2003).

Peran negara sebagai penyedia pelayanan publik diperlemah secara fundamental dengan prasayarat kebijakan hutang yang merupakan kelanjutan dari structural adjustment yang dikendalikan IMF dan Bank Dunia (Cammack, 2004; Ioannou, 2019). Dari sana terbentuk model dan orientasi pembangunan nasional yang tidak bertumpu sektor industri yang menyerap tenaga kerja khususntya di kawasan Eropa dan Amerika Serikat, tetapi penguatan sektor ekonomi jasa dan keuangan. Sementara di negara-negara dunia ketiga digalakkan industri estraksi sumber daya alam bersamaan dengan deregulasi dan arus masuk investasi asing.

Globalisasi kemudian menjadi suatu operasi internasional yang sistematis dan terkendali dengan konsekuensi serius terhadap peningkatan penggangguran dan kerentanan kelas pekerja lintas negara dan lintas benua (White, 1996; Harris, 2001, Merino, 2019, Langley, 2020). Sekaligus dengan itu menghadirkan glokalisasi yang memberi kondisi dan peluang beragam bagi gerakan demokrasi, multiverse of resistance, membuka ruang kesadaran kelas dan perlawanan multi-sektor termasuk resistensi rakyat melalui politik indigenitas (Vij, 2019; Ferrando, 2020).

Kontradiksi dalam transformasi kapitalisme ini memperlihatkan rapuhnya konstruksi ekonomi-politik atas Barat dan Timur. Prekarisasi ekonomi dialami kelas pekerja di Eropa, Asia dan Amerika Latin. Kendati gerakan protes buruh masih berskala nasional, informasi tentang kerentanan mulai mendorong terbangunnya kesadaran buruh transnasional (Samir Amin, 2016; Patel, 2004; Falk, 1997; Dunford, 2015, 2020; Carroll, 2015). Ditandai Occupy Wall Street Movement pasca krisis ekonomi 2008, gerakan perlawanan terhadap kebijakan lembaga keuangan internasional dan tentakel korporasi keuangan menguat di berbagai negara.

Selain Occupy Wall Street, gerakan demokrasi transnasional sudah ditunjukkan melalui World Social Forum sebagai alternatif terhadap World Economic Forum yang sangat terorganisir dan mengendalikan ekonomi-politik dunia (Lovera-Bilderbeek, 2020). Pesan pentingnya, globalisasi ekonomi pada akhirnya adalah globalisasi kemiskinan, pengerukan sumber daya tak terkendali oleh korporasi internasional termasuk terpenting Bio-Tech dan Big-Foods yang menguasai kebijakan agraria negara dan monopoli komoditas pertanian dan hasil bumi lainnya (Brooks, 2016). Kontradiksi sistem kapitalisme semakin tajam yang ditandai monopoli ekonomi dunia oleh koalisi globalis (TNCs, IMF, WB, WTO, Wall Street) dan prekarisasi kekuatan produktif lintas-negara (Castel, 2016; Carroll, 2020, Pariboni, 2020 ).

Dalam kontradiksi struktural tersebut, mengemuka isu-isu konflik utama seperti reformasi agraria, fokus pada industri produktif, monopoli hak cipta-paten dan penghapusan deregulasi-privatisasi sektor publik. Periode pasca krisis ekonomi, 2008-2019, ekperimentasi globalisasi melalui negara memperluas arena konfrontasi antara kepentingan kelas pekerja dan monopoli kekuatan transnasional di dalam arena negara. Kontradiksi sistem itu tampil secara kasat mata dalam kontraksi politik dalam negeri di kawasan ekonomi Uni Eropa dengan determinasi tinggi dan reorientasi politik kelas pekerja melalui Brexit di Inggris dan demonstrasi Yellow Vest tanpa aliansi partai politik di Perancis sejak 2018 sampai pandemi tiba awal 2020.

Gerakan kelas buruh Eropa, dilabelkan populisme kanan oleh tentakel industri media-think tanks neoliberal, terhubungkan dengan gerakan gerakan ’America First’ di bawah kendali Trump di Gedung Putih, membuat agenda globalisasi menemui jalan buntu persis di pusat-pusat tentakel imperium finansial. Bersamaan dengan itu, kapitalisme finansial meneruskan agenda Sustainable Development Goals di negara-negara debitor dengan paradigma utama climate change, environmental crisis dan population control, terutama melalui agenda kebijakan green economy (Fletcher, 2014; Wanner, 2015).

SDGs menampilkan suatu wujud baru kapitalisme finansial, berupa philantrophy-capitalism dengan produksi pengetahuan, NGOs global, dan proyeksi Humanitarian Aid dalam skema baru pasca krisis globalisasi yaitu private-public partnership (Wilson, 2014, 2012; Abrahamsen, 2004, Morvaridi, 2012; Sondarjee, 2020). Dalam skema tersebut, korporasi transnasional menundukkan kelas pekerja multi-sektor dan sumber daya produktif negara melalui integrasi bisnis nasional-global.

Yellow Vest Protest, French, Source Deutche Welle

Kontradiksi ketiga: Kontestasi Ideologi-Wacana

Mengemuka dalam kontestasi ideologi ekonomi atau wacana politik pembangunan. Kapitalisme finansial dan geopolitik imperial tidak bisa berjalan tanpa legitimasi wacana yang diproduksi dan disebarkan secara sistematis ke berbagai negara. Bagi para pentudi dari sudut pandang ini, neoliberalisme adalah ideologi penaklukan yang melakukan totatalisasi tidak saja terhadap ekonomi dan politik tetapi terpenting melalui paradigma identitas, yaitu totalisasi terhadap tubuh, pikiran dan lingkungan–terhadap kehidupan itu sendiri.

Neoliberalisme pada mulanya menopang imperialisme melalui konstruksi ekonomi-politik berbasis ras, menjadi fundasi nilai bagi kolonialisme dan kontruksi Barat dan Timur sebagai kategori supremasi rasial (Foucault, 2004, 1997). Kolonisasi Asia, Afrika dan Amerika Selatan pada dasarnya adalah kolonisasi atas tubuh dan pikiran menghasilkan subyek oriental-timur, subyek negro-hitam dan subyek pribum-native (Said, 2003; Fanon, 1986).

Karena itu, nasionalisme pascakolonial dalam narasi ini merupakan aspirasi kolektif perlawanan terhadap konstruksi identitas dalam orde kolonial dan selanjutnya berpengaruh pada kostruksi politik damai dan berdarah dalam masyarakat postkolonial, seperti konstruksi pribumi-pendatang di Afrika dan konstruksi muslim sekuler dan teokratik di Timur Tengah (Mamdani, 1996; Wolfe, 2006; Dabashi, 2011). Kendati demikian neoliberalisme terus mengalami transformasi sejalan dengan perubahan geopolitik seperti rejim internasional Perang Dingin dan Pasca Perang Dingin dan juga secara inheren melekat pada transformasi ekonomi-politik kapitalism industrial menuju kapitalisme finansial (Carrol, 2019, Bhambra, 2020).

Politik neoliberal bekerja melalui identifikasi rasial, etnis dan agama sebagai strategi divide and rule yang terus berlangsung sampai periode Global War on Terror (Mamdani, 2012; Little 2002). Penetrasi neoliberalisme sebagai ideologi dominan mengarahkan kebijakan ekonomi dan poliltik di berbagai kawasan termasuk Eropa dan Amerika sendiri. Sejak tahun 1970an khususnya memasuki periode finansialisasi ekonomi melalui globalisasi, berlangsung neoliberalisasi ekonomi nasional yang secara sistematis diintegrasikan ke dalam tentatel moneter-fiskal internasional dan perdagangan di bawah kendali penuh IMF, Bank Dunia dan WTO. Proses ini tidak hanya integrasi ekonomi-politik tetapi terpenting lagi integrasi sosial dan budaya ke dalam metanarasi modernitas yang di dalamnya masyarakat, negara dan kawasan dikonsepkan atau diproduksi secara ideologis, dalam hirarki nilai dan binari (Sayyid, 1997; Ahluwalia, 2007; Patel, 2004, Andreasson, 2005).

Produksi wacana atau produksi identitas tersebut menopang proyek modernisasi selama Perang Dingin dan terus bertransformasi melalui konstruksi pembangunan ekonomi dunia yang kemudian memberi peran sentral kepada korporasi transnasional dalam rekayasa sosial-kultural di berbagai kawasan. Good governance, SDGs, dan public-private partnership, adalah tiga eksperimentasi kerangka kebijakan pembangunan global-internasional merujuk pada model bisnis dan kelola resiko korporasi transnasional( Wilson, 2013).

Melalui ketiga model itu neoliberalisasi semakin mengalami pendalaman ideologis, perluasan aplikasi dan terpenting, mereproduksi identitas negara, kawasan, kekuatan produktif termasuk menamai yang lain, othering, mengkonstruksi ancaman, bahaya dan resiko yang disematkan pada gerakan sosial-kultural dan kekuatan politik yang menentang penerapan kebijakan neoliberal dan menolak monopoli wacana kesejahteraan di dalamnya.

Satu dasar utama dari kontradiksi neoliberalisme pasca Perang Dingin adalah munculnya perlawanan transnasional terhadap konstruksi tata internasional baru berparadigma Clash of Civilization (Huntington, 1993). Wujud paling banal dari benturan peradaban tertampilkan dalam Global War on Terror selama dua dekade berdarah 2001-2019. Bagi para penstudi postkolonial dan dekolonial, perang terhadap teror adalah kamuflase dari neoliberalisme bersenjata atau mempersenjatai neoliberalisme dengan instrumen kebijakan yang sewenang-wenang dan instrumen kekerasan atas nama darurat internasional dan diterapkan dalam negeri sebagai pembenaran terhadap kontrol atau penertiban gerakan politik.

Islam, diperhalus dengan Islam radikal menggantikan komunisme, dijadikan matriks politik neoliberal untuk mengelola seluruh aspek ekonomi-politik (Djalong, 2011-JSP), 2019; Hakim, 2020-Prisma: Zoellick, 2008) Dalam prakteknya, GWOT tidak sekadar isu keamanan tetapi mencakup regime change, promosi demokrasi liberal, state building atau rekayasa baru negara-bangsa pasca perang, dan integrasi negara gagal ke dalam rejim ekonomi global-internasional. Dalam periode ini, melalui propaganda sistematis perang terhadap teror, neoliberalisme beroperasi dengan teknologi politik baru yaitu politik identitas, mengubah konstelasi sosial-budaya dan ekonomi politik di Timur Tengah, Amerika Selatan, Afrika Tengah-Utara, dan di Eropa melalui migrasi masyarakat terdampak perang ke negara-negara anggota EU.

Dengan wacana besar politik identitas, mengemuka sejumlah isu yang saling berkaitan antara lain, toleransi, radikalisme, multikulturalisme dan belakangan populisme. Patut dicatat, intervensi berdarah rejim internasional unipolar ditopang oleh propaganda media dan produksi pengetahuan ilmiah mengenai Islam dan demokrasi, Barat dan Timur, termasuk demokrasi dan gerakan populisme demokratik di Amerika Selatan (Mamdani, 2002; Sayyid, 1997; Arat-Koç, 2014; Amin-Khan, 2012; Vieten, 2016).

Sebelum pandemi tiba 2020, dunia menyaksikan eskalasi perlawanan terhadap neoliberalisasi bersenjata di berbagai kawasan. Perlawanan itu berupa politik luar negeri dari negara-negara berdaulat, perlawanan atau negosiasi alot yang ditunjukkan oleh kelas pekerja, gerakan politik lintas- kelas dan juga perlawanan arus bawah yang makin menguat dari masayarakat politik berbasis keadatan atau indigenitas (Lees, 2019; Falk, 2016; Stahler-Sholk, 2001; Brass, 2002, Ferrando, 2020; Matute, 2020.

Di Timur Tengah pasca Arab Springs 2011, konflik Suriah dan Yemen memperlihatkan perlawanan berdarah-darah terhadap inflitrasi geopolitik neoliberal melalui AS dan NATO, sementara Iran tetap menunjukkan ketangguhan politik demokrasi berbasis teokrasi terhadap kekuatan imperial yang bekerja melalui sanksi ekonomi dan propaganda regime change. Amerika Latin menghadirkan perlawanan kekuatan rakyat melalui negara seperti di Venezuela, Bolivia, Ekuador dan kontraksi politik dalam negeri di Brazil, Argentina, Kolombia dan Chili. Yang paling menonjol adalah perlawanan mengambil bentuk politik indigenitas terhadap kolonisasi bisnis korporasi terhadap hutan dan sumber daya di kawasan Amazon.

Sementara di kawasan Uni Eropa, migrasi besar-besaran satu dekade terakhir akibat perang proksi AS-NATO di Timur Tengah, menghadirkan populisme kelas pekerja menentang kebijakan neoliberal EU yang bersembunyi di balik pewacanaan dan pelabelan politik identitas terhadap krisis ekonomi dan politik di internal negara-negara anggota. Di Amerika Serikat, sama seperti di India, perlawanan kekuatan produktif khususnya kelas pekerja, pekerja sektor jasa informal dan gerakan petani, semakin gencar dan terorganisir, sebelum akhirnya diredakan oleh wacana darurat kesehatan dunia.

Ketiga kontradiksi tata dunia internasional di atas, menghadirkan hubungan antara globalisasi model kekuasaan ekonomi politik neoliberal dan perlawanan sejumlah negara serta masyarakat yang juga semakin berdimensi transnasional. Diperiksa lebih dalam lagi, maka menjadi jelas bahwa konflik-konflik utama, berupa perang bersenjata dan negosiasi politik, berkisar pada pertarungan mengelola populasi, lahan produksi, sumber daya alam, teknologi dan terpenting konstruksi tentang kemakmuran, keamanan dan komunitas politik.

Salah satu yang sangat menonjol adalah strategi penundukan neoliberal melalui model pembangunan public-private partnership dan penekanan baru dalam kerangka kebijakan global mengenai resiliensi sebagai kelanjutan dari konsep social capital (Lindroth, 2019; Kaufmann, 2019; Mavelli, 2019; bdk. White, 1996; Harris, 2001). Wacana resiliensi mengundang kecurigaan kekuatan produktif karena dianggap membajak praktek sosial-ekonomi berbasis kosmologi lokal. Yang terakhir sebetulnya adalah model ekonomi dan wacana alternatif, multitude of resistance, terhadap neoliberasi ekonomi korporasi yang berkerja melalui rejim negara terjerat hutang khususnya berkaitan dengan kolonisasi terhadap lahan dan hutan.

Para aktor dan institusi utama di balik Great Reset tak lain adalah kekuatan utama yang mengarusutamakan konsep resiliensi neoliberal yang terkonsentrasi dalam agenda SDGs. Isu-isu utama sosial-ekonomi selama pandemi, antara lain lingkungan hidup, perubahan iklim dan migrasi, merupakan kelanjutan dan akselerasi dari wacana resiliensi kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan satu dekade terakhir. Sebagaimana dibahas pada bagian berikut, isu-isu konflik utama dari tiga kontradiksi geopolitik, kapitalisme dan neoliberalisme memberi konteks dan pemahaman baru mengenai transformasi ekonomi-politik neoliberal Great Reset dan implikasinya bagi masa depan demokrasi dan tata dunia damai pasca pandemi.

Indigenity Politics, Latin America, Source BBC

Krisis kesehatan, Ancaman Global: Matriks Konflik Baru?

Solidaritas global untuk mengatasi pandemi Covid-19 tidak dapat menghilangkan kehadirannya sebagai bagian integral dari transformasi geopolitik, kapitalisme dan neoliberalisme. Hal tersebut diperjelas dengan sendirinya melalui propaganda sistematis tentang kedaruratan kesehatan yang disusul publikasi agenda baru Great Reset tentang tata dunia baru.

Sebagaimana diketahui, dalam kerangka kebijakan baru ini, sama sekali tidak ditemukan pembahasan mengenai apa yang salah dan keliru dari tata dunia internasional sebelumnya selain percakapan tak henti mengenai bahaya laten mutasi patogen, pentingnya peran korporasi transnasional, supremasi teknologi dan kecerdasan buatan serta terpenting diperlukan kepatuhan total masyarakat dunia kepada kerja ilmu dan arahan oligarki global yang bekerja melalui negara.

Alih-alih membahas krisis ekonomi yang dikendalikan kekuatan global-internasional dan prekarisasi kelas pekerja sebelum dan selama pandemi, perhatian publik termasuk dunia akademik diarahkan ke dalam suatu metanarasi raksasa tentang krisis lingkungan hidup, perubahan iklim dan migrasi penduduk. Ketiga isu utama Great Reset itu sudah mengemuka dalam SDGs dan platform global-internasional lainnya dan selama periode darurat kesehatan ini mendapatkan alasan saintifik untuk diterima publik dunia dan diintegrasikan sebagai haluan ideologis kebijakan ekonomi-politik negara-negara tanpa batas dunia pertama, kedua dan ketiga.

Dengan menempatkan pandemi dalam tiga kontradiksi dan konflik-konflik utama, maka kerangka logis transformasi sistem kapitalisme dan ideologi neoliberal menghadirkan pertanyaan mendasar mengenai krisis, kerentanan dan kelola resiko dalam tata dunia baru yang sedang dipropagandakan.

Pertanyaan fundamentalnya, bagaimana ekonomi-politik kapitalisme finansial dan neoliberalisme membayangkan ekonomi kehidupan (Bio-Economy) dan sekuritisasi kehidupan (Bio-Security). Persis melalui pertanyaan ini mengemuka suatu kemungkinan radikal, atau sebuah manuver strategis, berupa pergeseran epistemologis dalam ekonomi-politik internasional dan biopolitik neoliberal yang berdampak pada konsep besar mengenai perdamaian dan keamanan.

Di bawah ini akan diuraikan tiga skenario yang sedang dilakukan Great Reset melalui pandemi yang dikaitkan dengan tiga kontradiksi utama yang dijelaskan sebelumnya. Yaitu, pertama, hubungan pandemi, Great Reset dan transformasi geopolitik internasional, kedua, hubungan pandemi, Great Reset dan transformasi kapitalisme finansial, dan ketiga, hubungan antara pandemi, Great Reset dan biopolitik neoliberalisme. Dengan sengaja ketiganya dibahas terpisah meski secara aktual saling terkait dan saling menjelaskan.

Great Reset dan Internasionalisme

Krisis kesehatan global menandai suatu lompatan tak terduga dalam percakapan geopolitik dan tata dunia internasional dengan membawa narasi besar korporasi transnasional dalam pengaturan kehidupan masyarakat internasional. Hal itu ditandai dengan tidak adanya pembahasan mengenai kontradiksi dan isu-isu konflik geopolitik dari arsitektur uniporal ke arsitektur multipolar yang tak stabil, sarat konflik bersenjata melalui perang proksi di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara, Eropa Timur dan Amerika Selatan.

Dari segi geopolitik terbaca upaya Great Reset menghilangkan isu konflik trade war, ancaman nuclear war, perang berkelanjutan untuk perebutan bahan bahar fosil, dan isu penting migrasi akibat perang proksi geopolitik yang berlarut-larut di tiga kawasan utama kontraksi geopolitik satu dekade terakhir. Konsekuensi berkelanjutan dari pertarungan geopolitik yang melibatkan AS, Eropa, NATO, China, Rusia, Iran dan Venezuela tidak dibahas khusus dengan suatu anggapan bahwa jika tata dunia baru berjalan maka kontradiksi dan konflik di dalamya akan berakhir dengan sendirinya. Atau sebaliknya, konflik geopolitik tetap berlangsung tanpa kepastian dan hal itu menjadi urusan terpisah yang dipecahkan sendiri oleh rejim internasional dalam Dewan Keamnan PBB atau arsitektur keamanan internasional lainnya.

Lebih dari itu, hilangnya percakapan mengenai kontradiksi geopolitik berdarah boleh jadi melayani dua tujuan yang saling terkait di mana para pencetus tata dunia baru terlibat aktif dalam kontraksi tersebut.

Pertama, menghadirkan wacana pembangunan mondial berbasis ekonomi bumi sebagai strategi menyeluruh mengontrol dan memonopoli sumber daya kehidupan–populasi, alam dan teknologi. Dengan strategi ini, isu utama geopolitik internasional seperti trade war, nuclear war dan perang proksi ditundukkan atau dibendung sekadar sebagai persoalan internasional semata. Mondialisasi masalah ekonomi dunia baru kemudian dirumuskan, diarahkan dan dikendalikan konsorsium global-internasional yang sepenuhnya mengikuti panduan tata kelola korporasi yang sudah dikembangkan sebelumnya melalui SDGs.

Kedua, dengan mondialisasi ini sekaligus berlangsung netralisasi terhadap teknologi perang, teknologi pengawasan dan teknologi propaganda yang telah dikembangkan korporasi transnasional dan diterapkan negara-negara adidaya khususnya Amerika Serikat dan NATO. Sebagaimana diketahui, selama dua dekade GWOT, terbentuk integrasi ekonomi pembangunan dan keamanan, development-security nexus, dengan dikembangkannya bio-security, teknologi kontrol dan kekerasan atas nama menjaga kehidupan orde politik liberal. Tidak mengherankan, dalam Great Reset, teknologi perang khususnya cyber-security dan bio-security kemudian dijadikan infrastruktur penting bagi tata dunia baru yang dibangun dalam paradigma ancaman permanen, resiko tak terduga dan ketidakpastian.

Bertolak dari dua konsekuensi dari strategi Great Reset tersebut, tantangan geopolitik tidak saja semakin kompleks tetapi sekaligus menghadirkan kemungkinan baru yaitu bio-technology dan bio-security digunakan sebagai isu proksi dalam kontradiksi geopolitik berkelanjutan pasca pandemi.

Great Reset dan Neoliberalisme

Pandemi Covid-19 menjadi pembukaan strategis bagi Great Reset untuk memantapkan paradigma ekonomi neoliberal yang terselenggara dalam kapitalisme finansial. Alih-alih mengatasi kontradiksi dari kapitalisme finansial selama dua dekade neoliberalisasi ekonomi, tata dunia baru menghilangkan percakapan mengenai isu-isu konflik utama yang memuncak di berbagai kawasan sebelum pandemi tiba. Intisari perlawanan kelas pekerja lintas-sektor adalah penolakan terhadap monopoli produksi dan distribusi sumber daya ekonomi, penolakan terhadap deregulasi dan privatisasi sektor publik yang berdampak pada tingginya biaya hidup dan prekarisasi tenaga kerja termasuk sektor pertanian.

Terbaca dengan jelas, para pelopor Great Reset tak lain adalah jejaring korporasi transnasional dan lembaga keuangan internasional yang telah menyebabkan pemiskinan struktural dan penguasaan aset dan sumber daya negara melalui politik hutang internasional. Melalui tata dunia baru terbuka peluang yang lebih besar lagi bagi oligarki ekonomi global-internasional untuk memantapkan monopoli sumber daya ekonomi publik dan teknologi kehidupan yang sebetulnya sangat diperlukan negara untuk mengatasi kemiskinan, mengelola distribusi kesejahteraan dan prioritas pembangunan berkelanjutan dengan perhatian utama pada pembangunan manusia.

Dari segi itu menjadi jelas bahwa tata dunia baru tak lebih dari propaganda false flags yaitu, menghadirkan rumusan masalah global dan kerangka kebijakan model korporasi untuk persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan yang diciptakan oligarki global-internasional dua dekade terakhir. Krisis lingkungan hidup dan kelaparan merupakan dua contoh paradigmatik untuk melihat kontradiksi yang disembunyikan agenda tata dunia baru. Dalam satu dekade terakhir memuncak perlawanan kelas pekerja, gerakan petani dan komunitas adat terhadap monopoli biotek dalam produksi dan distribusi bibit, makanan dan teknologi pertanian yang menyebabkan kelangkaan pangan dan kerusakan biodiversitas (Brooks, 2016; Villadsen, 2015).

Juga terpenting monopoli kesehatan global melalui paten, produksi dan distribusi obat dan teknologi kesehatan yang sebagian terbesar menghasilkan kematian atau kerusakan permanen pada tubuh dan otak manusia (Rusthton, 2012; Roemer-Mahler, 2016; Ferhani, 2020). Pandemi ini kemudian menyingkap tabir cara kerja kekuasaaan bio-medis dan bio-teknologi yang semakin diintegrasikan ke dalam kebijakan kesehatan negara melalui infrastruktur bio-sekuriti dengan biometrik, rekayasa genetika dan industri informatika (Kitchin, 2020; Wahlberg 2015; Sparke 2019; Kamradt-Scott, 2016; Hester, 2019).

Kombinasi bio-teknologi, bio-medis dan bio-diversitas dalam percakapan Great Reset meloloskan suatu model ekonomi hijau yang dihubungkan dengan kontrol atas lingkungan kehidupan dan ekonomi genetika yang akan menguasai bisnis atas tubuh dan otak spesies manusia. Terlepas nantinya bisa direalisasikan atau bertemu dengan resistensi global, wacana pembangunan ekonomi selama pandemi membangun suatu sistematika berpikir dan bertindak melalui kebijakan global yang menyatukan ‘revolusi hijau’ dan ‘revolusi genetika’ di dalam paradigma pertumbuhan berbasis ekonomi Hijau, green economy ( Newell, 2020; Hickel, 2019).

Bill Gates, Global Oligarch, Source New Internationalist

Great Reset dan Planetarisme

Krisis kesehatan dunia kali ini dibangun di atas suatu imajinasi neoliberal tentang krisis permanen, ketidakpastian dan resiko tak terduga dari biodiversitas dan perubahan iklim. Konstruksi tentang ancaman global tentu bertolak belakang dengan perlawanan gerakan transnasional dan gerakan glokalisasi dua dekade terakhir yang menolak konstruksi neoliberal tersebut.

Bagi gerakan perlawanan kelas pekerja, gerakan petani dan masyarakat adat, ancaman global yang sesungguhnya adalah monopoli sumber daya ekonomi, kerusakan lingkungan yang disebabkan kerakusan korporasi transnasional dan kerentanan tubuh manusia yang disebabkan rekayasa genetika dan pestisida yang merusak biodiversitas khususnya makanan dan air bersih (Sell, 2019; Wanner, 2015, Dunford, 2020). Melalui monopoli sumber daya dan eksternalitasnya, timbul kelangkaan dan penyakit serta terpenting hancurnya kosmologi budaya yang berbasis tanah dan lingkungan hidup.

Di balik propaganda Great Reset tentang kesehatan planet bumi, kesehatan manusia dan lingkungan hidup justru menjadi barang langka yang secara langsung berpengaruh terhadap keberlanjutan ekonomi tradisional dan sistem sosial-budaya lokal (Kumbamu, 2020; Stevenson 2020; Gill 2019; Matute, 2020). Alih-alih melakukan introspeksi fundamental terhadap neoliberalisme, agenda tata dunia baru menawarkan rumusan masalah dan kunci jawaban yang menyembunyikan peran utamanya dalam kerentanana tubuh manusia dan lingkungan kehidupan.

Pandemi Covid-19 akhirnya dihadirkan sebagai peristiwa yang tak lagi terselubung tetapi sebagai pesan terbuka tentang krisis lingkungan dan masalah kependudukan yang dibayangkan mengganggu ketahanan bumi menopang kehidupan. Bahwa, Covid 19 is messenger, the message is world under siege, will be forever in permanent crisis. Karena itu, dalam Great Reset, disebutkan masyarakat dunia dan negara harus beradaptasi dengan kerentanan permanen yang dinarasikan itu.

Persis dalam konstruksi ideologis ini berlangsung tabrakan kepentingan, antara kepentingan menjaga lingkungan hidup dengan mengoreksi kejahatan korporasi transnasional dan kepentingan mempropagandakan kesehatan planet bumi untuk monopoli sumber daya dan eksperimentasi bio-teknologi dan rekayasa genetika terhadap manusia dan biodiversitas. Kerangka kebijakan global, pertumbuhan ditopang ekonomi hijau, sedang dijadikan agenda utama oligarki global membajak arsitektur internasional khusunya PBB, dan tentu akan mendapatkan perlawanan masyarakat dunia yang sebelumnya telah terkonsolidasi dalam gerakan transnasional maupun gerakan lintas sektoral di dalam negeri.

Konstruksi bumi dalam bahaya justru semakin memperlihatkan ironi terbesar abad ini yaitu dunia dan manusia dalam bahaya permanen yang disebabkan oleh eksperimentasi bioteknologi dan biosekuriti demi akumulasi keuntungan ekonomi dari jejaring kekuatan transnasional di balik agenda tata dunia baru.

Tiga skenario paradoksal yang muncul dalam agenda Great Reset di atas patut dipertimbangkan jika pemeriksaan diteruskan terhadap teknokrasi kebencanaan sebagai model pembangunan pasca pandemi. Dalam teknokrasi baru ini konflik-konflik dinetralisasi sebagai problem teknis dan dibereskan melalui manajemen konflik berbasis sektoral, diregistrasi secara ilmiah dan dipecahkan melalui produksi kebijakan yang bersifat parsial dan darurat. Setidaknya hal itu terdeteksi dalam diskusi kerangka kebijakan yang disebarluaskan korporasi transnasional dan lembaga keuangan internasional dalam World Economi Forum lima tahun terakhir dan semakin sistematis dalam dua tahun pandemi ini.

Jawaban terhadap pertanyaan apakah sungguh telah terjadi pergeseran epistemologis dalam tata kelola dunia baru dari tata kelola dunia internasional masih menanti untuk dikembangkan sejalan dengan dinamika dan integrasi global-internasional selama dan sesudah pandemi berakhir. Sebagaimana dibahas pada bagian berikut, tata dunia baru yang sedang digarap melalui pandemi Covid 19 tidak terlepas dari transformasi tata dunia damai yang berpusat pada pertanyaan tentang keamanan dunia dan kelola konflik dunia dalam rejim internasional selama dua dekade terakhir.

Biopolitik & Tata Dunia Damai: Komplikasi Terkini

Krisis kesehatan sebagai ancaman global bukanlah wacana baru dalam percakapan mengenai keamanan dunia. Kebaruan dari pandemi covid 19 adalah komplikasi fundamental yang dihadirkan krisis ini ke dalam kebijakan global-internasional berkenaan dengan kelola keamanan dan perdamaian dunia. Penjelasan pada dua bagian terdahulu telah memberikan peta permasalahan terkait kontradiksi dan isu-isu konflik utama yang secara langsung memperlihatkan dinamika kelola konflik yang tidak saja tidak efektif tetapi lebih mendasar lagi yaitu sarat kontradiksi dan paradoksal.

Terdapat dua kondisi utama dari situasi paradoksal tersebut, yaitu pertama, dinamika realisme politik, gerak cepat kapitalisme finansial dan kontraksi geopolitik berlarut-larut membuat proyek perdamaian dunia tidak mudah dicapai dan kedua, biopolitik neoliberal yang dikendalikan korporasi transnasional memanfaatkan krisis geopolitik atau disorientasi rejim keamanan internasional untuk meloloskan kerangka kebijakan ekonomi baru yang semakin hegemonik dalam arsitektur ekonomi-politik terkini dari integrasi global-internasional.

Dalam situasi paradoksal tersebut, kelola pandemi akhirnya memperlihatkan secara terbuka manuver jejaring korporasi transnasional dalam mendefinisikan dan mewacanakan ancaman global terbaru yaitu krisis kesehatan sebagai isu kerentanan bumi, lingkungan dan populasi atau spesies manusia, melampaui ancaman eksistensial yang sebelumnya dirumuskan dalam tata dunia internasional.

Di antara tata kelola keamanan internasional dan tata kelola global terkini terdapat jarak tempuh dua dekade yang mengondisikan transformasi jenis ancaman internasional menjadi jenis ancaman global terkini. Transformasi jenis ancaman menunjukan perubahan dramatis dari ancaman terhadap negara, tatanan internasional dan manusia liberal menuju ancaman mondial-global dan spesies manusia. Selain tercermin dalam dinamika kapitalisme finansial menuju ekonomi-kehidupan, perubahan atau lompatan ini tentu bisa dideteksi melalui perubahan dan dinamika tata kelola dunia damai dalam rejim keamanan internasional pasca Perang Dingin.

Di sana ditemukan kenyataan paradoksal itu bahwa penegak dan penjamin perdamaian dunia adalah pelaku utama atau faktor terpenting dalam produksi ketidakamanan melalui kesewenangan geopolitik, geo-ekonomi dan geo-sekuriti. Perang antar negara dan perang sipil dalam negara di berbagai kawasan sebagian terbesar adalah manifestasi konflik internasional yang teregionalisasi dan ternasionalisasi. Demikian halnya dengan gerakan perlawanan aktor non-negara yang tersebar di Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Latin tersituasikan oleh penetrasi kapitalisme finansial yang bekerja melalui geopolitik Amerika Serikat dan tentakel negara-negara yang membuka diri terhadap eksperimentasi ekonomi neoliberal dan keamanan imperial.

Karena itu, signifikansi darurat kesehatan sebagai ancaman global harus diperlihatkan melalui perubahan agenda perdamaian dan keamanan sejak dimulainya momen unipolar sampai momen multipolar saat ini. Agenda perdamaian dalam transisi geopolitik itu bergerak dari dari paradigma internasionalisme, paradigma kosmopolitanisme menuju paradigma planetarisme.

Pertama, paradigma internasionalisme memfasilitasi perilaku imperial Amerika Serikat dan aliansinya di berbagai kawasan khususnya Timur Tengah, Eropa Timur dan Amerika Selatan. Dalam paradigma ini, demokrasi, keamanan dan pembangunan ekonomi disatukan ke dalam agenda regime change, humanitarian intervention, good governance dan development-security nexus (Zoellick, 2008; World Bank, 2011, Zanotti, 2005; Kochi, 2020, Duffield, 2001). Ketiga agenda tersebut berangkat dari ambisi mengamankan orde internasional liberal dan manusia liberal dari pengaruh dan koalisi negara-negara yang dicap ‘rogue states’ atau ‘failed states’ (Holzgrefe, 2003).

GWOT kemudian menjadi pintu masuk untuk melancarkan intervensi perubahan rejim baik secara langsung melalui operasi militer maupun melalui pembiayaan perang proksi. Bersama dengan itu, digalakkan proyek state-building melalui peace-keeping, peace-building, dan rekonstruksi ekonomi dalam narasi hegemonik perdamaian liberal–liberal peace (Richmond, 2010; Jabri, 2010). Proyek internasionalisme liberal terbukti gagal total di Afganistan, Suriah, Irak, dan Libya sekaligus memperlemah pengaruh geopolitik Amerika Serikat dan menciptakan kontraksi geopolitik serius bagi Uni Eropa dan kemunculan kekuatan baru ekonomi-keamanan melalui kolaborasi China, Rusia, Iran, Venezuela and juga Turki.

Kedua, paradigma kosmopolitanisme, sebagai paradigma perdamaian, lahir dari dalam paradigma internasionalisme yang bermasalah di atas. Narasi perdamaian berbasis menang-kalah dalam perang itu mengabaikan manusia sebagai entitas liberal yang kosmopolitan. Manusia tak pernah aman dari struktur ekonomi-politik, menjadi tawanan geopolitik yang brutal dan nasionalisme neoliberal yang cenderung otoritarian. Ekperimentasi internasional melalui sekuritisasi pembangunan ekonomi, dalam security-development nexus, terbukti memproduksi kerentanan bagi manusia atau kelompok masyarakat terdampak (Roberts, 2010; Smith, 2016).

Matriks utama dalam human security ini adalah isu perbatasan dan migrasi khususnya pengungsi dalam negeri (internally displaced people), pengungsi lintas negara (refugees) dan migrasi permanen akibat perang berlarut-larut (Richmond, 2015; 2007; Berger, 2019; de Vreis, 2020). Melalui paradigma ini, wacana moral tentang Hak Asasi Manusia diintegrasikan ke dalam kosmopolitanisme tanpa secara fundamental mempersoalkan akar kerentanan atau sebab utama ketidakamanan manusia sekaligus menghilangkan dimensi politik yang menstrukturasi kekerasan dan resistensi terhadap dominasi (Mouffe, 2005; Zizek, 2008).

Yaitu negara dianggap gagal menjamin keamanan manusia dan tidak digugat sebagai pencipta kerentanan melalui perang dan sekuritisasi pembangunan. Ironi dari kosmopolitanisme terbaca dalam intervensi kemanusiaan dalam situasi perang, mendorong gencatan senjata dan peace zone atas nama darurat kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, paradigma ini tidak menyelesaikan persoalan ekonomi-politik perang dan terbukti berlaku sebagai propaganda kemanusiaan dari masyarakat internasional khususnya NGOs yang dibiayai kekuatan geopolitik yang sedang kalah atau berkurang pengaruhnya dalam pertarungan berdarah merebut kawasan dan sumber daya ekonomi khususnya minyak dan gas.

Ketiga, paradigma planetarisme, bergerak lebih jauh dibanding dua paradigma sebelumnya yaitu, memandang ketidakamanan manusia, negara dan masyarakat disebabkan perubahan iklim, kerusakan lingkungan hidup dan perpindahan penduduk (Pedersen, 2020). Paradigma ini menghindari percakapan tentang perang dan konflik yang disebabkan geopolitik dan ekonomi politik kapitalisme finansial. Melalui paradigma keamanan ini terjadi lompatan keluar dari kontradiksi internasionalisme dan paradoks kosmopolitanisme dalam pembahasan mengenai perdamaian dunia. Sekaligus terbaca upaya korporasi transnasional, sebagai pelopor planetarisme, melepaskan diri dari tanggung jawab menghentikan perang dan konflik yang telah menjadi lahan bisnis dan eksperimentasi teknologi persenjataan, pengawasan dan teknologi informatika.

Di balik retorika penyelamatan bumi dari kerusakan, persoalan darurat kemanusiaan dan gagalnya diplomasi damai yang sedang berlangsung diabaikan begitu saja terutama ketika kepentingan ekonomi-politik transnasional melalui perang geopolitik imperial tidak lagi dapat terjamin sekarang dan di masa datang. Dengan kata lain, planetarisme meninggalkan internasionalisme dan kosmopolitanisme sebagai proyek internasional yang terus dibiayai dan digunakan bilamana diperlukan tetapi tidak diperbaiki dan dibahas dalam kerangka kebijakan paradigma keamanan dunia terbaru ini.

Source Politico

Pesan penting dari transformasi tiga paradigma di atas adalah peran sentral yang dimainkan jejaring kekuatan transnasional dalam kapitalisme finansial pada tiap-tiap tahap transformasi paradigma keamanan dan perdamaian. Konflik geopolitik, intervensi darurat kemanusiaan dalam perang dan darurat lingkungan kehidupan memperlihatkan tiga mutasi ideologi keamanan kekuatan transnasional beroperasi dalam struktur dan sistem internasional pasca Perang Dingin. Yaitu, dari humanisasi negara, humanisasi keamanan sampai mutasi terkini sekuritisasi manusia melalui paradigma planetarisme. Mutasi ideologi neoliberal ini terjadi sejalan dengan dinamika ekonomi-politik transnasional terkini yaitu akselerasi bio-ekonomi dan bio-sekuriti sebagai strategi pembendungan kontradiksi geopolitik internasional, pengalihan sistematis dari konfrontasi dan konflik terbuka dengan berbagai kekuatan perlawanan transnasional dan di dalam negeri.

Konsekuensinya negara mengalami transnasionalisasi melalui integrasi ekonomi nasional-global. Kemungkinan terbesar dari eksperimentasi Great Reset adalah negara menjadi arena terpenting dari konsolidasi dan ekspansi kapitalisme finansial sekaligus menjadi arena pertarungan terbuka antara transnasionalisasi ekonomi negara dan gerakan perlawanan kelas pekerja sebagai respon terhadap prekarisasi dalam teknokrasi pembangunan berbasis kebencanaan atau kedaruratan lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa Great Reset membawa komplikasi baru bagi arsitektur keamanan dan perdamaian dunia di dalam rejim internasional yang dibayangkan masih solid dan berpengaruh. Satu hal fundamental yang tak boleh dilupakan yaitu jejaring kekuatan transnasional berada di belakang konstruksi ketidakaamanan global yang baru yaitu krisis permanen berkaitan dengan perubahan iklim, lingkungan hidup dan migrasi.

Pertanyaan apakah rejim internasional masih bisa diandalkan sebagai artikulasi demokrasi melalui negara di dalam rejim tata kelola ekonomi transnasional terkini masih membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Demikian halnya dengan pertanyaan terdekat, seberapa jauh negara masih dapat diandalkan sebagai kelola kontradiksi ekonomi-politik transnasional baru dan katalisator konflik atau arena negosiasi antara monopoli ekonomi-politik dan kekuatan perlawanan lintas-sektor di dalam negeri. Yang jelas paradigma kedaruratan yang tergarap tata kelola pandemi Covid-19 akan dijadikan model pembangunan berkelanjutan dengan berbagai skenario masalah dan tantangan bagi politik demokrasi, pembangunan berorientasi manusia dan keamanan yang diatribusi oleh kesetaraan dan keadilan, sebagaimana dibayangkan Boutros Ghali dalam Agenda for Peace dan dirumuskan UNDP dalam Governance for Peace (Ghali, 1992; UNDP, 2013).

Penutup

Keseluruhan penjelasan dalam tulisan ini menegaskan adanya hubungan integral antara darurat kesehatan melalui pandemi covid-19 dan transformasi tata kelola keamanan dan perdamaian dunia selama dua dekade terakhir. Darurat kesehatan sebagai matriks keamanan global baru tersituasikan dalam tiga kontradiksi dan konflik utama yaitu kontraksi geopolitik internasional dari unipolar menuju multipolar, transisi kapitalisme industrial menuju kapitalisme finansial dan kontestasi dalam biopolitik neoliberalisme.

Tiga kontradiksi menghadirkan tiga skenario paradoksal yang ditemukan dalam hubungan antara agenda Great Reset dan kontradiksi geopolitik, hubungan antara Great Reset dan Kapitalisme finansial dan hubungan antara Gobal Reset dan biopolitik neoliberalisme. Dari tiga skenario paradoksal tersebut terbaca dengan jelas bahwa tata dunia baru berparadigma krisis permanen telah terbentuk atau terformulasi dalam kerangka kebijakan pembangunan pasca Perang Dingin.

Bersamaan dengan itu, paradigma planetarisme yang lahir dari transformasi agenda perdamaian internasional tidak terpisah dari agenda Great Reset sebagai tata kelola ekonomi global berbasis kerentanan bumi. Preseden ekonomi dan politik dari hubungan Great Reset dan planetarisme terdeteksi dalam transformasi matriks keamanan dan perdamaian yaitu negara dalam internasionalisme, keamanan manusia dalam kosmopolitanisme dan keamanan bumi dalam planetarisme. Ketiga paradigma dengan matriks keamanan masing-masing membawa konsekuensi kebijakan bagi keamanan dan perdamaian dunia. Persis di situ pandemi covid 19 yang dideklarasikan sebagai krisis kesehatan dunia tahun 2020 dibaca sebagai pemantapan planetarisme di bawah kontrol penuh jejaring kekuatan transnasional yang mendominasi arsitektur global-internasional.

Dengan demikian, konsekuensi bagi keamanan dan perdamain dunia bisa dipastikan yaitu terjadi komplikasi antara isu-isu konflik lama dari tiga kontradiksi sebelumnya dan isu-isu konflik baru yang lahir dari kerangka kebijakan tata dunia baru yang mengedepankan bio-ekonomi dan bio-sekuriti. Besar kemungkinan ekonomi-politik kedaruratan kesehatan menjadi model pembangunan baru dengan pengerahan infrastruktur pengawasan, pengendalian dan penertiban sosial-politik. Tentu saja dalam teknokrasi kedaruratan sebagai model pembangunan ini, fragmentasi politik dan prekarisasi kekuatan produktif dalam ekonomi terus berlangsung yang pada gilirannya bertemu jalan buntu bagi demokrasi. Kemungkinan terburuknya adalah menguatnya populisme neoliberal yang ditandai politik eksklusi, mobilisasi dan konsolidasi oligarki nasional berbasis politik identitas dan kerentanan inklusi sosial dan perdamaian berkelanjutan.

Bab 2 Buku Pandemi, Konflik dan Transformasi, 2021, Gama Press, hal 17-52 , (co-author Luqman-nul Hakim) link https://ugmpress.ugm.ac.id/en/product/sosial-politik/pandemi-konflik-transformasi-tantangan-demokrasi-dan-inklusi-sosial

Referensi
Adam Ferhani dan Simon Rushton, ‘The International Health Regulations, COVID-19, and Bordering Practices: Who Gets In, What Gets Out, and Who Gets Rescued?’, dalam Jurnal Contemporary Security Policy, 2020, https://doi.org/10.1080/13523260.2020.1771955
Adam Kamradt-Scott, ‘WHO’s to blame? The World Health Organization and the 2014 Ebola outbreak in West Africa’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2016, 37:3, 401-418
Anne Roemer-Mahler dan Stefan Elbe, ‘The Race for Ebola Drugs: Pharmaceuticals, Security and Global Health Governance, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2016, 37:3, 487-506
Antonio Negri dan Michael Hardt. 2004. Empire. Cambridge: Harvard University Press
Antonio Negri dan Michael Hardt. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: Penguin Press
Antonio Negri dan Michael Hardt. 2009. Common Wealth. Cambridge: Harvard University Press
Arturo Escobar, ‘Latin America at a Crossroads’, dalam Jurnal Cultural Studies, January 2010, Vol. 24, No. 1
Ashok Kumbamu, ‘The Philanthropic-Corporate-State Complex: Imperial Strategies of Dispossession from the ‘Green Revolution’ to the ‘Gene Revolution’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1727132
Ayo Wahlberg dan Nikolas Rose, ‘The Governmentalization of Living: Calculating Global Health’, dalam Jurnal Economy and Society, 2015, 44:1, 60-90,
Barry Gills dan Jamie Morgan, ‘Global Climate Emergency: after COP24, Climate Science, Urgency, and the Threat to Humanity’, dalam Jurnal Globalizations, 2019, https://doi.org/10.1080/14747731.2019.1669915
Behrooz Morvaridi, ‘Capitalist Philanthropy and Hegemonic Partnerships’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2012, 33:7, 1191-1210,
Chantal Mouffe. 2005. On the Political. New York: Routledge, lihat Chapter 5, ‘Which World Order: Cosmopolitan or Multipolar’, hal. 90-118
David Roberts. 2010. Global Governance and Biopolitics: Regulating Human Security. London: Zed Books
Edward Said. 2003. Orientalism. London: Penguin Books
Frantz Fanon. 1967. Black Skin, White Mask. London: Pluto Press
Gurminder Bhambra, ‘Colonial Global Economy: Towards a Theoretical Reorientation of Political Economy’, dalam Jurnal Review of International Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09692290.2020.1830831
Gustavo de L. T. Oliveira , Ben M. McKay dan Juan Liu, ‘Beyond Land Grabs: New Insights on Land Struggles and Global Agrarian Change’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1843842
Hamid Dabashi. 2011. Brown Skin, White Mask. London: Pluto Press
Hayley Stevenson (2020): Reforming global climate governance in an age of bullshit, Globalizations, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1774315
Inés Durán Matute (2020): Indigeneity as a transnational battlefield: disputes over meanings, spaces and peoples, Globalizations, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1771962
J. Holzgrefe dan Robert Keohane.2003 (ed). 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal and Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press, lihat Part I, ‘The Humanitarian Intervention Debate’, hal. 1-52
Jan Nederveen Pieterse, ’Twenty-First Century Globalization: A New Development Era’, dalam Jurnal Forum for Development Studies, November 2012, Vol. 39, No. 3, 367 –385
Japhy Wilson, ‘Fantasy Machine: Philanthro-Capitalism as an Ideological Formation’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2014 Vol. 35, No. 7, 1144–1161
Japhy Wilson, ‘Model Villages in the Neoliberal era: the Millennium Development Goals and the Colonization of Everyday Life’, dalam Jurnal The Journal of Peasant Studies, 2013, http://dx.doi.org/10.1080/03066150.2013.821651
Jason Hickel & Giorgos Kallis, ‘Is Green Growth Possible?’, dalam Jurnal New Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/13563467.2019.1598964
John Harris. 2001. Depoliticizing Development: World Bank and Social Capital. New Dehli: LeftWord
John Munro, ‘US Foreign Policy, Intersectional Totality and the Structure of Empire’ dalam Jurnal Third World Quarterly, 2014, 35:9, 1566-1581,
Judith Butle. 2009. Frame of War: When is Life Grievable. London: Verso, lihat ‘Introduction: Precarious Life, Grievable Life’, hal 1-32
Karl Adalbert Hampe, ‘The dark(er) Side of ‘State Failure’: State Formation and Socio-Political Variation’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2015, http://dx.doi.org/10.1080/01436597.2015.1045862
Kaspar Villadsen dan Ayo Wahlberg, ‘The Government of Life: Managing Populations, Health and Scarcity, dalam Jurnal Economy and Society, 2015 http://dx.doi.org/10.1080/03085147.2014.983831
Katharine Hall Kindervater, ‘The Emergence of Lethal Surveillance: Watching and Killing in the History of Drone Technology’, dalam Jurnal Security Dialogue, 2016, 1–16
Laura Zanotti, ‘Governmentalizing the Post–Cold War International Regime: The UN Debate on Democratization and Good Governance’, dalam Jurnal Alternatives, 2005, 30 ,461–487
Leonie Ansems de Vries & Katharine T. Weatherhead, ‘Politics of Knowledge Production in the Global Compact for Migration, dalam Jurnal Interventions, 2020, https://doi.org/10.1080/1369801X.2020.1854106
Looise Amoore dan Marieke de Goede, ‘Introduction: Data and the war by other means’ , dalam Jurnal Journal of Cultural Economy, February 2012 Vol. 5, No. 1
Looise Amoore, ‘Securing with Algorithms: Knowledge, Decision, Sovereignty, dalam Jurnal Security Dialogue, 2017, Vol. 48(1) 3–10
Luca Mavelli, ‘Resilience Beyond Neoliberalism? Mystique of Complexity, Financial Crises, and the Reproduction of Neoliberal Life’, dalam Jurnal Resilience, 2019, https://doi.org/10.1080/21693293.2019.1605661
Mahmood Mamdani, ‘Good Muslim, Bad Muslim: A Political Perspective on Culture and Terrorism’, dalam Jurnal American Anthropologist, Sept. 2002, New Series, Vol. 104, No. 3, pp. 766-775
Maïka Sondarjee, ‘Change and Stability at the World Bank: Inclusive Practices and Neoliberal Technocratic Rationality, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2020, https://doi.org/10.1080/01436597.2020.1838893
Mamdani, Mahmood. 1996. Citizen Subject: Contemporary Africa and the Legacy of Late Colonialisme. Princenton: Princeton University Press
Mamdani, Mahmood. 2012. Define an d Rule: Native as Political Identity. Cambridge: Harvard University Press
Mareile Kaufmann, ‘Exercising Emergencies: Resilience, Affect and Acting Out Security, dalam Jurnal Security Dialogue, dalam Jurnal Security Dialogue, 2015, 1–18
Marjo Lindroth & Heidi Sinevaara-Niskanen, ‘Colonialism Invigorated? The Manufacture of Resilient Indigeneity’ dalam Jurnal Resilience, 2019, https://doi.org/10.1080/21693293.2019.1601860
Mark B. Salter,’The Global Visa Regime and the Political Technologies of the International Self: Borders, Bodies, Biopolitics’, dalam Jurnal Alternatives 31, 2006, 167–189
Mark Duffield, ‘The Liberal Way of Development and the Development–Security Impasse: Exploring the Global Life-Chance Divide’, dalam Jurnal Security Dialogue, February 2010, Vol. 41, no. 1, 53-76
Mark Duffield, ‘War as a Network Enterprise: The New Security Terrain and its Implications’, dalam Jurnal Cultural Values, Vol. 6, Nos. 1 & 2, 2002, 153-165
Mark Duffifield, ’Getting savages to fifight barbarians: development, security and the colonial present’, dalam Jurnal Conflflict, Security & Development, August 2005, 5:2141-159
Mark Duffiel. 2001.Global Governance and the New Wars: The Merging of Development and Security. London: Zed Books
Mark T Berger & Heloise Weber (2009) War, Peace and Progress: conflict, development, (in)security and violence in the 21st century, Third World Quarterly, 30:1, 1-16
Matthew Sparke, ‘Neoliberal Regime Change and the Remaking of Global Health: From Rollback Disinvestment to Rollout Reinvestment and Reterritorialization’, dalam Jurnal Review of International Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/09692290.2019.1624382
Michael Chossudovsky. 2010. Globalization of Poverty and the New World Order. Quebec: Global Research
Mitchell Dean, ‘The Malthus Effect: Population and the Liberal Government of Life’, dalam Jurnal Economy and Society, 2015, http://dx.doi.org/10.1080/03085147.2014.983832
Morten Boas dan Kathleen Jennings, ‘Insecurity and Development: The Rhetoric of the ‘Failed State’, dalam Jurnal The European Journal of Development Research, 2005, 17:3, 385-395
Kaspar Villadsen dan Ayo Wahlberg, ‘The Government of Life: Managing Populations, Health and Scarcity, dalam Jurnal Economy and Society, 2015 http://dx.doi.org/10.1080/03085147.2014.983831
Nicholas Lees, ‘Conflict and the Separateness of Peoples: Investigating the Relationship between Multiplicity, Inequality and War, dalam Jurnal Globalizations, 2019, https://doi.org/10.1080/14747731.2019.1668185
Nina Hachigian & David Shorr, ‘The Responsibility Doctrine’, dalam The Washington Quarterly, 2013, 36:1, 73-91,
Oliver Kessler dan Christopher Daase, ‘From Insecurity to Uncertainty: Risk and the Paradox of Security Politics’, dalam Jurnal Alternatives, 2008, 33, 211–232
Oliver P Richmond (ed). 2010. Peacebuilding: Critical Developments and Approaches. New York: Palgrave MacMillan
Oliver P Richmond and Roger Mac Ginty, ‘Where now for the Critique of the Liberal Peace?’, dalam Jurnal Cooperation and Conflict, 2015, Vol. 50(2) 171–189
Oliver P Richmond. 2008. Peace in International Relation. London: Routledge
Oliver P. Richmond Human, ‘Security and Its Subject’, dalam Jurnal International Journal, Winter 2012-13, 205-225|
Oliver P. Richmond, ‘Emancipatory Forms of Human Security and Liberal Peacebuiling’, dalam Jurnal International Journal, Summer 2007, 459-477
Pal Ahluwalia, ‘Afterlives of Post-Colonialism: Reflections on Theory Post-9/11’, dalam Jurnal Postcolonial Studies, 2007, Vol. 10, No. 3, pp. 257-270
Patrick Wolfe, ‘ Settler Colonialism and the Elimination of the Native’, dalam Jurnal Genocide Research, 2006, 8:4, 387-409, http://dx.doi.org/10.1080/14623520601056240
Paul Cammack, ‘What the World Bank Means by Poverty Reduction, and Why It Matters, dalam Jurnal New Political Economy, 2004, 9:2, 189-211
Paul Langley, ‘Assets and Assetization in Financialized Capitalism’, dalam Jurnal Review of International Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09692290.2020.1830828
Peter Newell & Olivia Taylor, ‘Fiddling While the Planet Burns? COP25 in Perspective’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1726127
Philipp Rotmann, Gerrit Kurtz & Sarah Brockmeier, ‘Major powers and the contested evolution of a responsibility to protect’, dalam Jurnal Conflict, Security & Development, 2014, 14:4, 355-377,
Radhika Desai, Alan Freeman & Boris Kagarlitsky, ‘The Conflict in Ukraine and Contemporary Imperialism’, dalam Jurnal International Critical Thought, 2016, 6:4, 489-512
Rajeev Patel & Philip McMichael, ‘Third Worldism and the Lineages of Global Fascism: the Regrouping of the Global South in the Neoliberal Era’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2004, 25:1, 231-254
Ramesh Thakur, ‘How Representative are BRICS?’, dalam Jurnal Third World Quarterly, (2014), 35:10, 1791-1808
Ramesh Thakur, ‘R2P after Libya and Syria: Engaging Emerging Powers’, dalam Jurnal The Washington Quarterly, 2013, 336:2, 61-76,
Rebecca J. Hester & Owain David Williams, ‘The Somatic-Security Industrial Complex: Theorizing the Political Economy of Informationalized Biology, dalam Jurnal Review of International Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/09692290.2019.1625801
Riccardo Pariboni , Walter Paternesi Meloni & Pasquale Tridico, ‘When MeliusAbundare Is No Longer True: Excessive Financialization and Inequality as Drivers of Stagnation’, dalam Jurnal Review of Political Economy, 2020, https://doi.org/10.1080/09538259.2020.1769282
Richard Falk, ‘Resisting ‘Globalisation FromAbove’ Through ‘Globalisation From Below’, dalam Jurnal New Political Economy, 1997, 2:1, 17-24
Richard Falk, ‘Rethinking the Arab Spring: Uprisings, Counterrevolution, Chaos and Global Reverberations’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2016, http://dx.doi.org/10.1080/01436597.2016.1218757
Richard Stahler-Sholk, ‘Globalization and Social Movement Resistance: The Zapatista Rebellion in Chiapas, Mexico’, dalam Jurnal New Political Science, 2001, 23:4, 493-516
Rita Abrahamsen, ‘The Power of Partnerships in Global Governance’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2004,25:8, 1453-1467
Ritu Vij, ‘The Global Subject of Precarity’, dalam Jurnal Globalizations, 2019, https://doi.org/10.1080/14747731.2019.1600287
Rob Kitchin, ‘Civil Liberties or Public Health, or Civil Liberties and Public Health? Using Surveillance Technologies to Tackle the Spread of COVID-19’, dalam Juarnal Space and Polity, 2020, https://doi.org/10.1080/13562576.2020.1770587
Robert B. Zoellick, ‘Fragile States: Securing Development, dalam jurnal Survival: Global Politics and Strategy, 2008, 50:6, 67-84
Robert Castel, ‘The Rise of Uncertainties 1933–2013’, dalam Jurnal Critical Horizons, 2016, 17:2, 160-167
Robert Fletcher, Jan Breitling & Valerie Puleo, ‘Barbarian Hordes: the Overpopulation Scapegoat in International Development Discourse’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2014, 35:7, 1195-1215,
Robert Kagan. 2003. America and Europe in the New World Order. New York: Vintage Books
Robin Dunford, ‘Autonomous Peasant Struggles and Left Arts of Government’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2015, 36:8, 1453-1471,
Robin Dunford, ‘Converging on Food Sovereignty: Transnational Peasant Activism, Pluriversality and Counter-Hegemony’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1722494
Roger Merino, ‘The cynical state: forging extractivism, neoliberalism and development in governmental spaces’, Third World Quarterly, 2019, https://doi.org/10.1080/01436597.2019.1668264
Sally Brooks, ‘Inducing Food Insecurity: Financialisation and Development in the Post-2015 Era’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2016, http://dx.doi.org/10.1080/01436597.2015.1110014
Samuel P. Huntington, ‘The Clash of Civilizations?’, dalam Foreign Affairs, Summer 1993
Samir Amin. 2016. The Reawakening of the Arab World. New York: Montly Review Press
Samir Amin. 2006. Beyond US Hegemony? Assessing the Prospects for a Multipolar World. London: Zed Books
Sara Holiday Nelson, ‘Resilience and the neoliberal counter-revolution: from ecologies of control to production of the common, dalam jurnal Resilience: International Policies, Practices and Discourses, 2014, 2:1, 1-17
Sarah Brockmeier, Gerrit Kurtz & Julian Junk, Emerging norm and rhetorical tool: Europe and a responsibility to protect, Conflict, Security & Development, 2014, 14:4, 429-460,
Sarah C White, ‘Depoliticising development: The uses and abuses of participation’, dalam Jurnal Development in Practice, 1996, 6:1, 6-15
Savas Michael-Matsas (2008) The New-Old Imperialism, Critique: Journal of Socialist Theory, 36:1, 45-61
Sedef Arat-Koç (2014) Dance of Orientalisms and waves of catastrophes: culturalism and pragmatism in imperial approaches to Islam and the Middle East, Third World Quarterly, 35:9, 1656-1671
Shaun Breslin & George Christou (2015) Has the human security agenda come of age? Definitions, discourses and debates, Contemporary Politics, 21:1, 1-10
Silke Weinlich (2014) Emerging powers at the UN: ducking for cover?, Third World Quarterly, 35:10, 1829-1844
Simon Dalby, ‘Calling 911: geopolitics, security and America’s new war, dalam Jurnal Geopolitics’, 2003, 8:3, 61-86,
Simon Dalby, ‘Security, Modernity, Ecology: The Dilemmas of Post-Cold War Security Discourse’, dalam Jurnal Altrrnatiws, 17 (1992). 95-134
Simon Dalby, ’Environmental Geopolitics in the Twenty-first Century’, dalam Jurnal Alternatives: Global, Local, Political, 2014, Vol. 39(1) 3-16
Simon Rusthton dan David Williams, ‘Frames, Paradigms and Power: Global Health Policy-Making under Neoliberalism’, dalam Jurnal Global Society, Vol. 26, No. 2, April, 2012
Simone Lovera-Bilderbeek, ‘The World Social Forum between politics and NGOs’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, 17:2, 237-244,
Stefan Andreasson, ‘Orientalism and African Development Studies: the ‘reductive repetition’ Motif in theories of African underdevelopment’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2005, 26:6, 971-986,
Stefan Pedersen, ‘Planetarism: a paradigmatic alternative to internationalism’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1741901
Stefanos Ioannou, Dariusz Wójcik & Gary Dymski, ‘Too-Big-To-Fail: Why Megabanks Have Not Become Smaller Since the Global Financial Crisis?’, dalam Review of Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/09538259.2019.1674001
Stephen R. Gill & Solomon R. Benatar, ‘Reflections on the Political Economy of Planetary Health’, dalam Review of International Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/09692290.2019.1607769
Susan K. Sell & Owain D. Williams, ‘Health under capitalism: a global political economy of structural pathogenesis’, dalam Review of International Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/09692290.2019.1659842
Tara McCormack, ‘Human Security and the Separation of Security and Development’, dalam Jurnal Conflict, Security & Development 2011, 11:02, 235-260,
Tara McCormack, ‘Power and Agency in the Human Security Framework’, dalam Jurnal Cambridge Review of International Affairs,2008. 21:1, 113-128,
Tariq Amin-Khan, ‘New Orientalism, Securitisation and the Western Media’s Incendiary Racism’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2012, 33:9, 1595-1610
Thomas Wanner, The New ‘Passive Revolution’ of the Green Economy and Growth Discourse: Maintaining the ‘Sustainable Development’ of Neoliberal Capitalism, dalam Jurnal New Political Economy, 2015, 20:1, 21-41
Toby Carroll & Darryl S.L. Jarvis, ‘The New Politics of Development: Citizens, Civil Society, and the Evolution of Neoliberal Development Policy’, dalam Jurnal Globalizations, 2015, 12:3, 281-304,
Toby Carroll, Ruben Gonzalez-Vicente & Darryl S.L Jarvis, ‘Capital, Conflict and Convergence: A Political Understanding of Neoliberalism and Its Relationship to Capitalist Transformation’, dalam Jurnal Globalizations, 2018, https://doi.org/10.1080/14747731.2018.1560183
Tom Brass, ‘On Which Side of What Barricade? Subaltern Resistance in Latin America and Elsewhere, dalam The Journal of Peasant Studies, 2002, 29:3-4, 336-399
Tomaso Ferrando, ‘Land, territory and commons: voices and visions from the struggles’, dalam Jurnal Globalizations, 2020 https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1783819
Ulrike M. Vieten & Scott Poynting, ‘Contemporary FarRight Racist Populism in Europe’, dalam Journal of Intercultural Studies, 2016, 37:6, 533-540
Vandana Shiva. 2016. Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge. North Atlantic Books
Vandana Shiva. Earch Democracy: Justice, Sustainability and Peace. North Atlantic Books
Vivienne Jabri. 2010. ‘War, Government, Politics: A Critical Response to the Hegemony of the Liberal Peace’, dalam Oliver P Richmond (ed), Peacebuilding: Critical Developments and Approaches. New York: Palgrave MacMillan, hal. 41-57
World Economic Forum. 2021. The Global Risks Report 2021. WEF Publication
William Smith, ‘Law and (Global) Order: Towards a Theory of Cosmopolitan Policing’, dalam Jurnal Critical Horizons, 2016, 17:1, 135-148
Zlavoj Zizek. 2008. Violence: Six Sideways Reflections. New York: Picador, lihat Part I, ‘Violence: Subjective and Objective’, hal. 9-30
Zakaria, Fareed. 2020. Ten Lessons for a Post-Pandemic World. New York: W.W. Norton and Company Inc.
Standing, Guy. 2011. The Precariat: The New Dangerous Class. London: Bloomsbury Academic