“Mengeluarkan kekerasan dan intoleransi dari rahim demokrasi adalah tabiat liberalisme politik. Aliran ini membuat kita tak sanggup lagi berpikir waras dan kritis. Dalam situasi kebutaan yang nyaris total, kita terjerumus melawan radikalisme dengan radikalisme atas nama demokrasi”.
Bukannya menyelenggarakan politik humanisasi, kita menyalahgunakan prinsip-prinsip demokrasi untuk mendehumanisasi sesama yang tak masuk register moral liberalisme. Alhasil, demokrasi tak lagi berurusan dengan pertanyaan fundamental bagaimana kita mengelola perbedaan seradikal apapun intoleransi itu, melainkan bagaimana kita menumpas perbedaan yang kita anggap intoleran. Di ujung dari semua ini, hukum dijadikan panglima sementara politik dibatalkan karena dianggap tak bisa mengelola kegentingan.
Inilah gejala sakitnya kebangsaan kita ketika bertemu dengan perkara-perkara mendasar dalam kehidupan bernegara. Dalam fantasi kita, bangsa dan negara sudah selesai dengan kesepakatan di kalangan pendiri NKRI. Begitu pula identitas keindonesiaan diterima sebagai anugerah sejarah. Barangsiapa mempertanyakan, menentang dan melawan dua konstruksi sejarah ini dianggap bukan warga negara, bukan demos. Tentang hal ini, kita cukup membuka lembaran sejarah Orde Baru.
Melalui paradigma hukum dan kedaulatan, yang tak taat asas ditawarkan dua jalan buntu. Pertama, dikejar, ditangkap, diadili dan ditumpas kelompoknya sementara jalan kedua, dibiarkan hidup tanpa hak-hak kewarganegaraan. Dalam konteks Indonesia hari ini, yang pertama rute maut para teroris dan komunitas Islam radikal sedangkan berikutnya jalan bergelimang darah kelompok Ahmadiyah. Dua jalan buntu ini mencerminkan surplus hukum dan defisit hukum sekaligus. Preseden matinya politik kebangsaan di tengah akrobatik hukum yang mengubah masalah kebangsaan menjadi ancaman kedaulatan negara.
Sesat Pikir
Konsekuensi mempertukarkan masalah kebangsaan menjadi ancaman kedaulatan memerosokkan akal sehat kita ke dalam nalar liberalisme politik versi Donny Gahral Adian dalam artikelnya “Reradikalisasi Demokrasi” (Kompas 4/5/2011). Berniat mempersoalkan nalar politik liberal dan mengoreksi konsepsi demokrasi radikal, argumen dan ajakannya untuk menggunakan ‘intoleransi terhadap intoleran’ justru memperlihatkan fundamentalisme liberal yang menghalalkan kekerasan untuk menegakkan ketertiban. Kekeliruan yang menyesatkan muncul dalam kegalauannya membaca radikalitas demokrasi sebagai penjamin pluralitas tanpa syarat.
Berbeda dari pembacaannya, pengusung demokrasi radikal mengartikan keradikalan demokrasi sebagai kerentanan dan keterbukaan politik (Mouffe 2000). Apa artinya? Kewarganegaraan bukanlah produk etis-legal, melainkan kreasi etis-politis. Menjadi warga negara karena didikte dan diawasi hukum tidak sama basis formatifnya dengan menjadi warga negara sebagai hasil artikulasi politik. Etis-politis adalah landasan permanen bagi aktivasi terus menerus kewargaan dalam negara atau demos dalam komunitas politik. Sementara etis-legal bersibuk dengan batasan-batasan hak dan kewajiban dalam hubungan antara warga negara dan negara. Yang terahkir ini selalu bisa diamandemen sepanjang muncul persoalan-persoalan mendasar dari wilayah etis-politis.
Di sinilah persoalannya. Donny Galran, berkompromi dengan pragmatisme aparat hukum dan para politisi kita, menafsir intoleransi sebagai masalah etis-legal tetapi jalan keluar yang ditawarkan adalah etis-politis yang bersifat memaksa dalam slogan demos atau non-demos. Ketika baginya republik menjadi taruhan, tercium aroma mesiu dan amis darah dalam semangat ultra-nasionalisme ini. Jalan menuju Orde Baru jilid II kian terbuka.
Abai terhadap yang etis-politis membawa pesan tunggal bahwa kita belum benar-benar keluar dari sejarah berkubang darah. Kita tidak belajar mengajukan pertanyaan etis-politis yang sederhana. Mengapa dan bagaimana intoleransi dan kekerasan itu muncul dan berkembang berlapis-lapis? Sungguhkah demikian bahwa politik kita adalah politik percakapan antar anak-bangsa dalam segala perbedaannya? Bukankah kekerasan berbalas kekerasan adalah kegagalan negara modern mengelola dilema hukum dan politik, dilema soverenitas negara dan emansipasi demos?
Bagi demokrasi radikal, totalitarianisme negara, intoleransi komunitas agama, dan ideologi terorisme beroperasi dalam nalar yang serupa. Semuanya tak bisa hidup tanpa membayangkan dirinya terancam. Fundamen eksistensial ketiganya adalah menolak kerentanan dan tak mau mengoreksi diri. Negara totaliter membutuhkan ancaman agar selalu bisa membuktikan kesaktian ideologinya. Di pihak lain, kelompok puritan dan teroris memimpikan bahaya kontaminasi sekuler untuk memelihara fantasi kemurnian moral. Dalam frase yang padat, entitas anti-politik ini tak bisa hidup tanpa ‘effacement of vulnerability’ (Zizek 1989).
Urgensi Politik
Keluar dari jalan sesat “Reradikaliasi Demokrasi’, kita perlu menengok kembali hubungan radikalisme-terorisme dan politik kebangsaan kita yang tercemar teknokratisme elit, korupsi dan gagal menghadirkan kesejahteraan. Hanya dalam arena politik yang menghargai argumentasi, khayalan republik kiamat diganti kerja nyata menyelamatkan republik melalui pelembagaan konflik.
Selain polisi dan aparat peradilan untuk urusan kekerasan dan pencegahan, pesan kekerasan dan suara intoleransi itu seharusnya bergema di parlemen. Semua suara diperdengarkan termasuk yang dianggap hukum melanggar soverenitas negara dan HAM. Di sana politik kita diuji mencarikan jawaban efektif dan visioner. Selama ini, tugas demokrasi radikal ini rupanya belum pernah digelar. Alasannya politisi mewakili yang etis-legal layaknya perilaku eksekutif dalam slogan bombastis menyelamatkan negara.
Demokrasi dalam politik lebih keras dari sekedar penegakan hukum. Tidak semata-mata memastikan siapa yang demos dan non-demos. Di tangan politisi kita, demokrasi membentuk demos, mengoptimalkan negara untuk kebaikan bersama, dan memastikan kita bukan bangsa yang gagal hidup bersama. Di luar skenario ini, demokrasi dan politik hanyalah lingkaran setan kekerasan.