Kohesi Sosial di Maluku Utara Pasca Konflik

Sengketa status wilayah administrasi 6 (enam) desa mencuat semenjak Pemerintah Kabupaten Dati II Maluku Utara melaksanakan Program Transmigrasi Lokal (Translok) masyarakat Pulau Makian ke Pulau Halmahera pada tahun 1975. Sengketa status wilayah ini terus berlanjut hingga saat ini antara Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dan Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) meskipun Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penataan Beberapa Kecamatan di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kab. Halut, Kab Halsel, Kab. Kep. Sula, Kab. Haltim, Kab. Kota Tidore Kepulauan yang menegaskan bahwa status wilayah 6 (enam) desa masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Utara.

Penolakan aparat pemerintah Desa (juga Kecamatan) dan sebagian warga di enam desa untuk masuk ke dalam administrasi Kabupaten Halmahera Utara menyebabkan peraturan perundang-undangan tersebut tidak efektif diimplementasikan. Di setiap desa muncul dua pemerintahan Desa dari dua Kecamatan berbeda, yaitu Kecamatan Kao (Kabupaten Halmahera Utara) dan Kecamatan Jailolo Timur (Kabupaten Halmahera Barat). Kondisi ini mengakibatkan administrasi pemerintahan menjadi kacau. Pelayanan publik menjadi tumpang-tindih karena kedua Kabupaten sama menganggarkan dana pembangunan dan pelayanan kepada enam desa. Di tingkat masyarakat 6 (enam) desa, sengketa batas administrasi mengakibatkan perpecahan dan kohesivitas sosial menurun. Konflik kekerasan yang bersumber pada sengketa batas administrasi mudah sekali muncul dan seringkali menelan korban.

Pemerintah Pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, telah dua kali melayangkan surat tentang penegasan atas status administrasi 6 (enam) desa (Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 146/1191/SJ tanggal 7 Juni 2006 dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 146.3/111/SJ tanggal 15 Januari 2010). Namun demikian, berdasarkan pantauan dan observasi kami selama 10 bulan terakhir, di masyarakat belum ada titik terang atas status hukum dan administrasi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. Tim Provinsi yang berfungsi memfasilitasi penegasan status wilayah 6 (enam) desa dinilai oleh masyarakat 6 (enam) desa belum bekerja optimal di lapangan.

Berlarutnya pengambilan langkah-langkah fasilitasi penegasan status wilayah 6 (enam) desa justru memunculkan kembali ketidakpastian-ketidakpastian di tingkat masyarakat. Masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang keduanya sama-sama memegang klaim-klaim kebenaran atas posisi yang mereka ambil. Situasi ketidakpastian telah menyuburkan kembali benih-benih konflik kekerasan di enam desa. Kondisi ini ditambah lagi dengan persoalan ketidakadilan dalam pembagian dana community development (kemudian bernama Corporate Social Responsibility/CSR), dampak ekonomi/mata pencaharian akibat limbah pertambangan di Teluk Kao, rendahnya kualitas pelayanan dasar, dan rendahnya kesadaran warganegara demokratis.

Enam desa memiliki sejarah konflik kekerasan yang panjang jika kita menarik rentang waktu lebih mundur ke belakang. Narasi sejarah konflik kekerasan selalu menjadi ingatan kolektif dan menjadi rujukan ketika menyikapi berbagai fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka. Ingatan kolektif bisa menjadi energi positif untuk membangun perdamaian, namun juga dapat menjadi energi negatif dalam mengeskalasi konflik.

Frans Djalong: Peneliti Utama

Periode: Agustus-Oktober 2010

Lokasi: Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Halmahera Barat

Kelompok Sasaran: masyarakat 6 desa sengketa, tokoh adat, tokoh agama, pemda, dprd, lsm dan jurnalis media

Kegiatan assessment Kohesi Sosial di Maluku Utara Pasca Konflik. Kerjasama PSKP UGM dan Serasi-USAID, Agustus-Oktober 2010. Mengkaji sebab-sebab struktural dan kultural sengketa 6 desa perbatasan Kab. Halmahera Utara dan Kab. Halmahera Barat. Kegiatan berupa identifikasi konflik dan FGD rekonsiliasi para pihak termasuk pemerintah daerah 2 kabupaten.

Produk Kegiatan: laporan kegiatan, rekomendasi kebijakan, jaringan advokasi