Taiwan, dulu dikenal dengan Formosa atau pulau yang indah, berubah menjadi titik seteru antara China dan Amerika Serikat di Asia Timur dan dunia. Krisis Taiwan hari ini bisa saja bercerita tentang perang saudara yang tak pernah tuntas antara Mao Zedong dan Chiang Kai Sek sejak pemimpin partai nasional itu bersama pendukungnya mendatangi dan menghuni Taiwan tahun 1949.
Tetapi sekarang, dalam benturan superpower, krisis Taiwan menyingkap dua hal penting.
Pertama, Taiwan ingin berdaulat sepenuhnya dan menolak prinsip Beijing Satu Negara Dua Sistem Pemerintahan. Presiden terpilih Tsai Ing-Wen dan pendukungnya lebih berpihak pada saudara ideologis dari seberang Pasifik ketimbang saudara biologis yang bersikeras mengembalikan Taiwan ke China daratan yang komunis. Terpilihnya Tsai yang anti-Beijing menandai generasi baru Taiwan tidak kenal kompromi dan bersedia diarahkan dan diatur Washington dan Brussel.
Kedua, yang terpenting, krisis Taiwan adalah sumbu api yang memanaskan ekonomi dan politik Indo-Pasifik, sekaligus episentrum yang membenturkan dua bangunan geopolitik dunia. Negeri kecil ini menjadi proksi, semacam aset negosiasi, yang dibajak Trump dan Biden untuk mengganggu ekspansi geopolitik Belt & Road Initiative. Sekaligus menjaga aliansi pertahanan SEATO, warisan Perang Dingin di Asia Tenggara, dengan dukungan penuh Jepang, Korsel dan dua keluarga besar Anglo-Saxon, Australia dan Selandia Baru.
Bagi Xi Jinping dan Partai Komunis China, taiwan adalah harga mati yang melayani dua tujuan eksistensial China. Pertama, mewujudkan agenda Satu China setelah periode Abad Kehinaan dan perang sipil antara Komunis dan Nasionalis. Sekarang China dan Taiwan sudah sejahtera, tiba saatnya berada dalam rumah kemakmuran bersama, sebagaimana semboyan Jinping—Great Rejuvenation, Chinese Dream.
Tujuan kedua bagi China adalah Taiwan tidak boleh menjadi ancaman ekonomi dan keamanan bagi bekerjanya strategi sirkulasi ganda—dual circulation strategy. Strategi ini sangat penting untuk memastikan daya tahan dan daya dorong pertumbuhan ekonomi di dalam dan di luar negeri melalui blok perdagangan. Jika tidak segera bersatu, Krisis Taiwan akan berlarut-larut, yang berisiko menjadi titik lemah bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan gangguan keamanan perdagangan kawasan dan internasional.
Eskalasi konflik selama tahun 2021 jauh lebih serius dibanding masalah Hongkong dan Laut Cina Selatan. Krisis mereda tak lain karena Amerika Serikat mengalihkan provokasi geopolitik ke Ukraina. Bagi Washington, agitasi militer di dua front secara serempak bukanlah langkah taktis yang tepat sebab akan menyatukan China dan Rusia dalam konfrontasi terbuka dengan kekuatan unipolar AS yang kian tak berdaya. Kepentingan geopolitik Washington dalam krisis Taiwan sangat terang-benderang. Dinyatakan melalui diplomasi dan terpenting melalui perang dagang. Kedua taktik ini dilakukan dengan mengerahkan seluruh perkakas ideologis dan instrumen ekonomi-politik yang tersedia.
Propaganda anti-China dibungkus rapi dalam label komunisme itu berarti anti-demokrasi dan bertindak otoriter. Konstruksi lama dari propaganda anti-komunis selama Perang Dingin di Asia Tenggara. Terbaru adalah sisipan narasi hak asasi manusia dengan membesar-besarkan diskriminasi Uighur di bagian barat dan eksploitasi tenaga kerja dalam industri manufaktur.
Narasi HAM dan hak menentukan nasib sendiri dialamatkan pada gerakan pemisahan diri Taiwan. PRC dianggap mementingkan ekonomi dan menolak demokrasi. Seteru terbuka memuncak dalam Alaska Summit Maret 2021 ketika Menlu Wang Ji dan diplomat senior Yang Jiechie menghardik keras Sekretaris Negara Anthony Blinken dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan. Pesannya sangat jelas, Amerika Serikat sendiri adalah negara perusak demokrasi dan pelanggar HAM di Timur Tengah dan Amerika Latin.
Sejalan dengan diplomasi tudingan dan propaganda ideologis, Washington melancarkan perang dagang sejak masa Trump dan ditingkatkan lagi pada masa pemerintahan Biden. Target utama perang dagang adalah sektor teknologi informasi (IT) dan kecerdasan buatan (AI). AI dan IT adalah sektor strategis bagi kedua superpower yang berpacu dalam pengembangan robotik, komputasi kuantum dan biotek.
Ilustrasi terbaik adalah pelarangan aplikasi sistem komunikasi 5G di Amerika Serikat. Sementara itu Washington mempengaruhi Kanada dan Eropa untuk membatasi aplikasi ini dengan regulasi ketat dan pengawasan. Alasan yang dikemukakan, selain karena kalah bersaing, adalah sistem komunikasi ini menjadi agen pemerintah atau radar pengawasan China untuk kepentingan politik dan pencurian hak cipta. Kendati demikian, Eropa tidak bisa membatalkan aplikasi ini karena dapat berdampak dalam negosiasi ekspor-impor lainnya.
Perang dagang termasuk terpenting perang tarif harus dipahami bersamaan dengan eskalasi latihan militer AS bersama aliansi organisnya seperti Australia dan Jepang selain negara sekitar yang dimobilisasi. Dari sana diperoleh gambaran bahwa Amerika Serikat sangat membutuhkan krisis Taiwan untuk pertarungan ekonomi yang makin tak seimbang dengan China di empat kawasan strategis dunia dan produksi ketidakamanan untuk menggalang histeria ideologis dan menjaga jalur batas pertahanan Indo-Pasifik.
Ekonomi Multipolar versus Unipolar
Pertarungan ekonomi global semakin terintegrasi ke dalam rumah besar perekonomian China—Chinese Economic Powerhouse. Komunitas kebijakan di Washington dan Wall Streets mengakui proyeksi Made in China 2025. Dalam waktu dekat, kekuatan ekonomi China melampaui dominasi AS meski sejumlah ekonom menilai China sudah melampaui AS dalam analisis struktur dan sistem ekonomi atau dari segi ekonomi-politik.
Ekonomi AS yang digerakkan kapitalisme finansial sejak akselerasi globalisasi neoliberal tahun 1990an rentan terhadap krisis finansial. Model ini abai terhadap sektor ekonomi industrial, mengabsahkan monopoli teknologi oleh korporasi raksasa dan melemahkan kelas pekerja. Terpenting bagi geopolitik, model manajerial-finansial ini memelihara ketergantungan negara dunia ketiga dan membelah geografi ekonomi ke dalam north/south divide.
Sangat berbeda dengan kapitalisme finansial di balik kekuatan unipolar AS—corporate capitalism, China sebagai mitra dagang terbesar di dunia menerapkan kapitalisme negara—state capitalism. Model ini menjadi basis pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang ditunjukkan dengan orientasi kebijakan fiskal untuk industri dan kebijakan moneter. Sekaligus model ini diterjemahkan dalam negosiasi perdagangan dan investasi di luar negeri.
Source merics.org
Agenda pembangunan ‘Common Prosperity’ berjalan bersama keberlanjutan ekspor-impor dan investasi termasuk turisme yang dikondisikan dengan pembukaan sekat wilayah melalui Belt & Road Initiative. BRI memastikan adanya hubungan antar kawasan dan antar negara yang dalam koridor itu terjadi akselerasi dan mobilisasi manusia, barang dan jasa. Target utama adalah ekonomi riil seperti dengan perhatian pada infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan dan irigasi termasuk terpenting rantai-pasok komoditas pertanian, manufakur dan sumber daya alam.
Model ekonomi multipolar ini menjadikan China sebagai pusat ekspor-impor tetapi sekaligus memicu pertumbuhan ekonomi di negara mitra dagang. Di dalamnya bantuan dan pinjaman berorientasi ekonomi produktif dengan bunga rendah atau konsesi lainnya. Dengan demikian terbaca jelas perbedaan dengan model pembangunan global yang dikendalikan Washington dan Wall Streets melalui IMF dan World Bank.
Belt & Road Initiative menjadi momok menakutkan bagi kekuatan ekonomi neokolonial di Washington, Wall Streets, Pentagon dan Brussel—jejaring kapitalisme finansial dan bisnis pertahanan unipolar. Melalui koridor multi-front ini, kawasan ekonomi AS yang dibangun IMF, WB dan rejim WTO-TRIPS, diacak-acak dengan format-format baru perdagangan kawasan termasuk pendekatan bilateral China dengan negara-negara preferensi investasi.
RCEP adalah ilustrasi terkini tahun 2022 tentang integrasi ekonomi berlapis di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Format ini disepakati 10 negara ASEAN termasuk Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Australia dan New Zealand. India, sebagai salah satu kekuatan ekonomi Asia, masih berhitung untuk bergabung meski sudah menjadi bagian dalam Shanghai Cooperation Organization. Partisipasi empat kekuatan satelit AS dalam RCEP memberi sinyal tersendiri bagi kekacauan akan datang dalam kontestasi China-AS.
Kekuatan ekonomi Beijing di Eurasia khususnya Asia Tengah dan Asia Barat-Timur Tengah tak terbantahkan lagi dan akan terus berlangsung dalam aliansi keamanan bersama Rusia, Iran dan Pakistan. Kawasan ini menjadi kekuatan terbesar China untuk ekspor-impor bahan mentah, minyak dan gas, investasi infrastruktur dan rantai-pasok manufaktur. Sekaligus koridor darat paling aman menuju Eropa.
Uni Eropa, khususnya Jerman, menerapkan strategic ambiquity terhadap kontestasi geopolitik China dan AS. China adalah mitra dagang terbesar Uni Eropa dan Jerman. Ekspor-impor sangat membantu pertumbuhan ekonomi para pihak. China adalah konsumen terbesar produk otomotif andalan Jerman seperti BWW, Mercedes-Benz, Audi, Porche dan Volkswagen. Kolaborasi dagang dengan kekuatan ekonomi terbesar Eropa memperkuat posisi tawar Beijing dalam perang dagang dengan Washington.
Agitasi militer Washington dalam krisis Taiwan tidak terpisahkan dari koridor Belt & Road Initiative yang membentang luas di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Kekuatan utama telah berada dalam spektrum niaga Beijing antara lain Venezuela, Argentina, Brazil, Bolivia, Chili, Peru, Nikaragua, Honduras, Kuba dan Karibia. Tersisa bagi Washington sejumlah negara kecil termasuk andalan utamanya Meksiko dan Kanada dalam NAFTA. Pengalaman buruk bersama IMF, kudeta militer dan campur tangan politik AS mendorong Amerika Latin memacu pertumbuhan ekonomi bersama China.
Sementara Afrika, benua pasca-kolonial Eropa, IMF dan World Bank, satu dekade terakhir menjadi bagian penting koridor BRI untuk ekspor-impor komoditas pertanian, sumber daya alam dan barang elektronik. Infrastruktur China sangat dibutuhkan Afrika untuk menghidupkan ekonomi seperti jalan dan irigasi.
Kendati demikian, Washington mulai menghadang Beijing dengan rangkaian kudeta militer di sejumlah negara dengan sumber daya alam strategis. Kasus terkini adalah Burkina Faso, selain Guinea-Bissau, Mali, Chad, Gambia, Chad, Sudan dan Ethopia. Perwira dan jenderal yang dilatih dalam mesin anti-terorisme AS dua dekade dipolitisasi menyingkirkan pemimpin demokratis. Kudeta Afrika adalah soal rumit untuk kepentingan niaga dan investasi China.
Dalam pandangan Washington, koridor ekonomi multi-front di atas menghasilkan ekonomi-politik kawasan tandingan. Tapi Biden tak punya pilihan lain karena karakter utama BRI adalah konsentrasi niaga dalam kawasan dengan aturan yang disepakati bersama dan saling menguntungkan. Juga dibuka untuk negara dari kawasan lain bergabung sesuai dengan kalkulasi ekspor-impor dalam ekonomi dunia BRI yang sarat kompetisi dan inovasi. Instrumen utang dan persyaratan struktural IMF tidak lagi menarik selain karena negara ‘dunia ketiga’ tak sanggup melunaskan bunga apalagi pokok utang.
Sebelum terlambat sama sekali, Washington tahun 2021 memperkenalkan agenda global Build Back Better World (B3W). Agenda ini dibayangkan seperti Marshall Plan membangun Eropa pasca Perang Dunia II. Didukung 6 negara aliansi organisnya dalam G-7, B3W bertujuan menghadang China daripada membangun dunia. Bergerak dari cara berpikir konfrontasi Perang Dingin bahwa BRI adalah model komunis dan totaliter, sementara B3W membawa dunia ke ekonomi baru berbasis teknologi, peka-lingkungan, peka-pandemi dan peka-gender.
Ambisi konfrontasi dan slogan B3W semakin memperlihatkan kesulitan Washington melakukan refleksi diri dan berpikir strategis. Baik dari segi anggaran investasi global maupun jenis, sasaran dan mekanisme program tidak sebanding dengan kapasitas BRI yang sudah tertata berlapis dalam blok-blok kawasan. Terpenting lagi program ini tidak ditopang perbaikan ekonomi dalam negeri yang akan terus mengalami stagnasi jangka panjang.
Dalam cara serupa, Uni Eropa memperkenalkan agenda Global Gateway, Desember 2021. Sebagai turunan dari B3W, agenda ini memberi perhatian pada Afrika yang semakin terintegrasi dalam BRI dan perhatian tersendiri pada India yang sedang bermain di air keruhnya sendiri antara Beijing dan Washington.
Agenda Brussel ini memperlihatkan kontradiksi Eropa dalam integrasi ekonomi dunia. Di satu sisi, Eropa sangat membutuhkan China dan negara lain dalam spektrum BRI, tetapi di sisi yang lain, tidak membantu Amerika Serikat dan dirinya sendiri pasca-Brexit mengoreksi dan mengatasi kontradiksi dan risiko struktural dari sistem kapitalisme finansial tiga dekade terakhir.
Selain krisis Ukraina, Krisis Taiwan menjadi ajang konsolidasi kekuatan imperium unipolar yang sarat kontradiksi. Global Gateway tak lebih dari pertunjukan Eropa yang tersandera tabrakan dua tata-kelola ekonomi dunia di kawasan itu. Sementara B3W Biden, yang dibajak kekuatan Davos/WEF dan Wall Streets, memandang China dan dunia dari kerangka berpikir New American Century-nya Robert Kagan yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Dalam lensa geopolitik, Krisis Taiwan yang diagitasi Washington sekaligus membuat terang benderang dua kecenderungan tata-ekonomi yang bertabrakan. Kebijakan multipolar China melalui BRI berorientasi pada kedaulatan negara dan kesepakatan antarnegara. Sementara tata ekonomi unipolar AS bersama Collective West dibangun dan digerakkan melalui kendali mutlak di dalam lembaga-lembaga moneter-fiskal dan perdagangan pasca-Bretton Woods. Dengan itu, kontestasi China dan AS menghadirkan pertarungan antara nasionalisme dalam kerangka multipolar dan globalisme dalam kerangka unipolar—dua fenomena geopolitik pasca Perang Dingin.
Argumen Washington mendukung demokrasi di Taiwan tidak lebih dari bualan diplomasi sekaligus pengalihan dari kejahatan geopolitik. Sebagaimana diketahui dunia, momen unipolar dua dekade, 1990-2010, ditandai ekonomi perang dari kapitalisme finansial. Kedaulatan negara dihancurkan di Timur Tengah dan Amerika Latin, sambil mendikte pembangunan negara-bangsa pasca-invasi dan campur tangan politik dalam pemilu. Narasi mendukung independensi Taiwan dengan ancaman perang bertolak belakang dengan nasib Kurdi yang dipermainkan Washington setelah agenda ‘Assad Must Go’ gagal menghancurkan Suriah.
Krisis Keamanan Kawasan
Agitasi militer AS dalam krisis Taiwan sesungguhnya melayani dua tujuan taktis dari strategi konfrontasi berkelanjutan-jangka panjang. Pertama, tujuan maksimal yaitu memperlambat akselerasi Belt & Road Initiative. Diharapkan krisis Taiwan dapat mengalihkan perhatian China pada investasi pertahanan dan mengubah peta kebijakan ekonomi strategis Beijing. Konsekuensi berikutnya adalah China semakin dikendalikan oleh ekonomi perang dan tidak sepenuhnya ekonomi barang dan jasa.
Source Reuters
Nalar di balik tujuan maksimal ini sangat dikuasai dan diterapkan Gedung Putih dalam momen unipolar untuk dirinya sendiri. Terbayang dalam tujuan ini China menjadi negara keamanan—security state. Lebih fokus pada perlombaan teknologi perang menjaga perbatasan dan membangun aliansi militer dalam kawasan BRI yang sudah terbentuk. Sebagai kekuatan ekonomi dunia, China harus digerakkan serba cepat ke arah military-industrial complex, menjadi polisi dunia—global police.
Taktik maksimal ini, jika akhirnya menjadi kenyataan, akan membuat posisi Amerika Serikat lebih penting dan berguna di masa depan. Menjadikan China sebagai musuh internasional saat ini sudah tidak masuk akal dengan kontribusi ekonomi China bagi dunia multipolar.
Skenario geopolitik yang tersedia adalah memprovokasi China mengamankan investasi dan niaga secara militer dan campur tangan politik di berbagai kawasan BRI. Hal ini akan memicu ketidakstabilan politik dan ketidakamanan kawasan. Washington menjadi berguna dan dibutuhkan oleh kekuatan kawasan yang menentang politisasi dan sekuritisasi ekonomi.
Tujuan berikutnya, tujuan minimal tak lain adalah Taiwan tidak berada di bawah kendali China. Bagi Washington, kedaulatan Taiwan sebagai negara bukanlah prioritas, bahkan sangat berisiko bagi pencapaian tujuan maksimal. Taiwan harus tetap berada dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. Yaitu, sebagai aset ekonomi dan aset keamanan dalam konfrontasi AS dan China jangka panjang.
Sebagai aset ekonomi, Taiwan tetap menjadi simpul produksi dan distribusi semikonduktor bagi investasi skala besar AS dalam teknologi pertahanan dan ruang angkasa. TSMC di Hsinchu harus terus melayani suplai otak elektronik ini bersama Samsung di Korea Selatan dan Intel di California. Chip adalah harga mati bagi industri pertahanan terkini AS yang melibatkan Apple, Google, Microsoft, Amazon dan Tesla sebagai kontraktor utama Pentagon.
Diharapkan dengan adanya ketegangan antara Xi dan Tsai, suplai chip ke Zhenzen dan kota-kota industri China berkurang sebagaimana direspon Beijing dengan investasi 1,4 triliun dolar untuk teknologi penentu ekonomi masa depan ini—chip memori, chip logik dan sirkuit terintegrasi. Taiwan menjadi prioritas karena produksi Chip Intel dalam negeri sangat terbatas dan pabrikasi semikonduktor membutuhkan waktu sampai satu dekade.
Dalam terang investasi dan kelangkaan, Taiwan bagi Pentagon dan Wall Streets adalah jantung industri perang masa depan Amerika Serikat. Pasokan chip Taiwan ke dunia mencapai 60 % dan 90 % suplai ke AS berasal dari Taiwan. Diplomasi megafon dan propaganda media anti-China dan anti-Rusia akan terus berlangsung mengingat media massa global, aplikasi media sosial dan think-tanks terintegrasi secara langsung dalam ekonomi perang dan bisnis pertahanan Washington. Eskalasi perang informasi harus dipahami dalam lensa kontestasi teknologi kuantum AI dan sistem IT terintegrasi.
Krisis Taiwan, taiwan sebagai krisis berkelanjutan, adalah aset pertahanan kawasan bagi rejim unipolar yang keras kepala. Dengan menguatnya aliansi pertahanan China-Rusia di Euroasia, Amerika Serikat semakin kehilangan kontrol keamanan di Asia Timur atau Indo-Pasifik. Sementara Australia terlalu jauh di selatan dan India bukanlah mitra pertahanan yang bisa diandalkan. Manuver geopolitik Modi tak berbeda dari Erdogan Turki, sikap pragmatis sekaligus ambisi terselubung yang menimbulkan ketidakstabilan politik di dalam negeri dengan mengalihkan perhatian pada masalah perbatasan dan isu determinasi-diri.
Washington sadar akan risiko dari tidak memperkuat Jepang dan Korea Selatan dalam momen unipolar. Sebagai kekuatan ekonomi Asia-Pasifik, keduanya terintegrasi dalam spektrum ekonomi China, baik sebagai mitra dagang utama maupun sebagai negara yang keamanannya ditentukan oleh perilaku China dan Korea Utara—dua kekuatan nuklir. Jepang dan Korea Selatan memilih bermain aman untuk kelangsungan ekonomi dan keamanan di masa depan dunia multipolar.
Source Radio Free Asia
Negara-negara Indochina tidak diuntungkan dengan krisis Taiwan. Sebaliknya, China semakin memusatkan investasi dan niaga di wilayah ini. Provokasi konflik perbatasan tidak terlalu penting lagi bagi Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Pilihan sikap yang ceroboh bisa mengubah nasib ekonomi kawasan yang dialiri Sungai Mekong itu.
Provokasi Washington di wilayah ini ibarat menepuk air di dulang, membuat Beijing semakin perkasa sebagai saudara tua dan Amerika Serikat kehilangan kemitraan jangka panjang. Sebagaimana dulu dialami bersama Vietnam pasca-perang Rambo dan situasi diplomasi terkini bersama Myanmar pasca-kudeta militer terhadap Aung San Suu Kyi.
Krisis Taiwan memberi insentif geopolitik bagi Imran Khan Pakistan untuk lebih akrab dengan Xi Jinping. Imran, pengkritik keras Global War on Terror dan Islamofobia Barat, membutuhkan bantuan keuangan dan investasi China bagi krisis ekonomi saat ini. Sekaligus mengharapkan peran Beijing yang lebih besar membantu pemerintahan Taliban di Kabul setelah Washington merusak negeri ini selama dua dekade. Tujuan bersifat strategis agar krisis Afganistan terkini tidak menjalar ke Pakistan dan negara-negara Asia Tengah lainnya. Dengan manuver ini tentu saja Imran adalah target utama Washington untuk perubahan rejim di Islamabad.
Konflik India-Pakistan di Kashmir adalah salah satu faktor yang membuat posisi China makin kuat di Asia Tengah meski isu Ladakh menjadi mainan Dehli dalam diplomasi internasional. Ketiganya adalah negara nuklir di kawasan yang membuat Modi mencari keseimbangan di Kremlin dengan membeli sistem pertahanan S-400 dan membuat Washington mengancam dengan sanksi ekonomi. Sementara Bangladesh menjadi transit BRI menuju Qatar, UEA dan Arab Saudi. Aliran sungai dari Tibet adalah cerita tersendiri mengapa hubungan dengan China sangat strategis dengan Pakistan, Bangladesh dan Nepal. Sama halnya air terjun Ethopia mengaliri dua Sudan dan sungai Nil di Mesir.
Asia Tengah dan Barat sepenuhnya berada dalam spektrum aliansi pertahanan China-Rusia. Sementara Asia Tenggara minus Indochina berada dalam ketegangan tersendiri. Kendati China menjadi mitra dagang terbesar, sikap politik luar negeri terhadap krisis Taiwan bersifat pragmatis atau menerapkan pendekatan strategic ambiquity. Sikap ini sarat dengan pertimbangan sejarah ekonomi-politik dalam negeri, integrasi ganda ke spektrum ekonomi multipolar dan jaringan finansial unipolar, serta terpenting letak wilayah yang menjaga keseimbangan pertahanan dalam ancaman perang konvensional.
Bagi Washington, Indonesia, Malaysia dan Thailand harus tetap netral, diperlakukan sebagai second tier, atau pertahanan lapis kedua yang bisa dikendalikan dengan bantuan investasi dan pinjaman IMF serta mudah dikendalikan dengan propaganda anti-China. Khususnya Indonesia dianggap masih patuh kepada rejim keuangan unipolar meski pertumbuhan ekonominya bergantung pada ekspor-impor dengan China.
Lain halnya Filipina, Duterte berdiri dua kaki dalam kontestasi superpower. Hal ini mengingat penting Jepang, AS dan China sebagai mitra dagang. Konflik batas maritim tidak lebih dari cara bernegosiasi dua arah ke Beijing dan Washington sembari menegaskan Filipina bebas pangkalan militer Amerika Serikat di masa mendatang. Bagi Manila, krisis Taiwan terlalu berbahaya untuk ikut campur karena menempatkan negara ini dalam zona perang nuklir terdekat antara Amerika Serikat dan China.
Krisis Taiwan berguna bagi Washington untuk melancarkan bisnis persenjataan di kawasan ini. Situasi tak aman membuat negara-negara Indo-Pasifik berjaga-jaga dengan alusista baru kelas dua dan tiga yang dibeli dari Pentagon dan Eropa-NATO. Histeria politik karena ancaman perang dan propaganda anti-China dianggap masih berguna bagi politik dalam negeri Asia Tenggara yang terkunci dalam sejarah politik anti-komunis, isu perbatasan dan kawasan sendiri.
Ancaman perang terbuka dengan China sama artinya dengan ancaman perang nuklir. Provokasi AUKUS pada tahun 2021 adalah sinyal kuat bahwa Washington mencoba menarik NATO ke dalam krisis Taiwan. Selama krisis Taiwan pertunjukan senjata nuklir dan latihan militer untuk memastikan Pentagon bisa menjamin keamanan dan memenangkan perang bersama NATO sebagai penjaga keseimbangan nuklir. Sekaligus menyembunyikan kenyataan bahwa Amerika Serikat tidak memiliki aliansi militer dalam perang selain Australia dan Selandia Baru yang secara ideologis merasa bukan bagian dari Asia tetapi Barat atau Anglo-Saxon.
Agitasi militer Amerika Serikat dalam krisis Taiwan menempatkan Jepang dan Korea Selatan dalam posisi tersulit sekaligus peluang berperan strategis termasuk Indonesia dan Filipina di wilayah tenggara. China adalah mitra dagang terbesar bagi kedua negara.
Agitasi militer ditambah propaganda ideologis sangat merugikan Seoul dan Tokyo. Sejarah konflik Perang Dunia II dan Perang Dingin adalah luka dan trauma yang kapan saja bisa menjadi histeria politik di Beijing dan Pyongyang. Berada terlalu dekat dengan dua kekuatan nuklir balistik adalah masalah mati-hidup keduanya sebagai negara yang tersandera dalam krisis berkelanjutan di Taiwan.
Sama seperti Eropa, Asia tersandera dalam krisis Taiwan dengan masalah dan peluang yang berbeda di antara negara terdampak. China telah hadir satu dekade sebagai perangsang pertumbuhan ekonomi kawasan. Sementara sebaliknya, Amerika Serikat menilai dinamika kawasan merugikan masa depan dominasi ekonomi melalui mesin kapitalisme finansial yang semakin tak terkendali di Washington, Wall Streets dan Pentagon. Negara-negara Indo-Pasifik memasang radar peringatan dini dalam kalkulasi politik luar negeri masing-masing.
Radar kebijakan geopolitik Indonesia sebaiknya tidak diarahkan ke Beijing tapi ke Washington. Mengingat ketidakstabilan politik dan stagnasi ekonomi dalam rumah tangga Polisi Dunia menjadi salah satu sebab utama Gedung Putih dan Capitol Hill melancarkan perang dagang dan agitasi militer di Eropa Timur dan Asia Timur setelah kehilangan Amerika Latin, Asia Tengah dan Timur Tengah. Krisis Taiwan, sama halnya krisis Ukraina, adalah pesan siaga satu tentang daruratnya benturan geopolitik yang hanya bisa diatasi dengan kesabaran China-Rusia dan diplomasi kolegial kawasan untuk netralisasi ancaman nuklir Amerika.
(Frans Djalong, Facebook Post, 16 Februari 2022, Center for Security and Peace Studies—CSPS UGM)