Masa depan Eropa berada di Ukraina, kawasan Eropa Timur. Krisis Ukraina sesungguhnya bukanlah konflik antara Ukraina dan Rusia melainkan antara Rusia dan Amerika Serikat. Ukraina adalah isu proksi dan aset negosiasi, sekaligus garis batas.
Amerika Serikat sangat membutuhkan krisis ini untuk memastikan Eropa tetap berada dalam spektrum unipolar Washington. Di dalamnya, Rusia, yang telah mengusir AS dari Timur Tengah dan membantu China jadi raksasa ekonomi, tidak boleh mendapatkan keuntungan niaga energi dari Eropa.
Di lain pihak, pertahanan nuklir Rusia sangat terancam dengan manuver AS dan NATO yang mengutak-atik keseimbangan strategis—nuclear deterrence. Termasuk terpenting mengganggu sumber pendapatan negara melalui ekspor gas Gazprom sejak masa Perang Dingin.
Krisis Ukraina dimulai dengan kudeta sipil yang didukung Uni Eropa dan NATO, dalam kendali Amerika Serikat, terhadap Presiden Yanukovitch awal tahun 2014. Viktoria Nuland, wakil Sekretaris Negara AS, merancang kudeta sipil bahkan turun ke jalan di Maidan Square, membagikan kokis ke para demonstran simpatisan Neo-NAZI, dikenal dengan sebutan Kelompok Azov, yang sangat rasis dan anti-Rusia.
Yanukovitch, tidak sepenuhnya pro-Kremlin, dianggap sandungan bagi integrasi Ukraina ke dalam Uni Eropa dan NATO. Sang Presiden melarikan diri ke timur dan Ukraina bergolak dengan rangkaian kekerasan terhadap warga Ukraina etnis Rusia termasuk peristiwa Odessa yang terkenal, kisah warga etnis Rusia dibiarkan mati terbakar dalam bangunan serikat buruh.
Krisis tahun 2014 ini menghasilkan dua peristiwa terpenting bagi Ukraina. Pertama, muncul gerakan pemisahan diri penduduk Ukraina etnis Rusia di wilayah Donbass, Ukraina bagian timur. Kedua, sebagai tanggapan terhadap perubahan pemerintahan mendukung AS/EU/NATO, Kremlin bergerak cepat mengambil alih Crimea dari Ukraina dan warga melakukan referendum penentuan nasib sendiri, memilih menjadi bagian dari yuridiksi federal Rusia.
Terlepas dari adanya kesepakatan Minks dan Format Normandy, dua negara utama Uni Eropa, Jerman dan Perancis, telah terlibat sejak awal dalam perubahan rejim di Kiev. Keduanya menyadari saat ini kegentingan yang telah ditimbulkan bagi keamanan Eropa dari bahaya perang nuklir dan ketahanan energi dari ketidakstabilan harga dan ketersediaan tanpa suplai gas Siberia. Keduanya sangat berkepentingan dengan krisis Ukraina, mengelola ketegangan dua superpower di dalam ekonomi-politik dan keamanan Eropa.
Bagi Rusia, Ukraina adalah lampu merah, garis batas yang tak boleh dilanggar. Yaitu, ukraina tidak boleh menjadi wilayah pertahanan transatlantik, apalagi menjadi anggota NATO. Jika terjadi, maka keseimbangan strategis yang mendasari keamanan dunia dari perang nuklir, nuclear deterrence, tidak berlaku dan dunia dalam bahaya perang nuklir yang tak bisa diprediksi.
Ukraina, bekas federasi Uni Soviet, negara tetangga Rusia, jatuh ke tangan AS/NATO sama artinya Amerika Serikat harus menerima kenyataan Kuba, bahkan Meksiko, menjadi pangkalan rudal nuklir Rusia. Sebagaimana krisis Misil Kuba antara Khrushchev dan Kennedy tahun 1962, setelah Washington menempat rudal nuklir di Turki.
Keseimbangan strategis antar kekuatan nuklir sudah diingat Putin dalam pidatonya yang tegas dalam Munich Conference 2007 di hadapan petinggi AS, EU dan NATO. Pesan serupa disampaikan pada berbagai forum internasional dan pidato kenegaraan. Mengingat NATO terus mempengaruhi negara-negara bekas Uni Soviet, berbatasan dengan Rusia, bergabung ke dalam aliansi transatlantik warisan Perang Dingin.
NATO adalah pakta pertahanan bersama menghadang Uni Soviet dengan aliansi Pakta Warsawa. Pakta terakhir bubar bersama dibubarkannya Uni Soviet oleh Gorbachev dan Partai Komunis sendiri. Perang Dingin berlalu tapi NATO tetap tegak berdiri melayani kontrol penuh AS atas dunia unipolar.
Lantas mengapa Washington dan Brussel tetap menggangu garis batas itu? Jawaban terhadap pertanyaan ini hanya bisa dikemukan dengan melihat Rusia sebagai faktor kunci dalam kemunduran Amerika Serikat sebagai Kekuatan imperial, Empire in Decline, satu dekade terakhir.
Faktor Rusia dalam Krisis Unipolar: Timur-Tengah dan Amerika Latin
Rusia, khususnya kejeniusan Putin, melemahkan Amerika Serikat dalam dua cara berikut. Pertama, mengalahkan pengaruh ekonomi-keamanan unipolar Amerika serikat di tiga kawasan strategis antara lain Timur Tengah, Asia Tengah dan Amerika Latin. Intervensi Rusia di Suriah membatalkan kelanjutan perang proksi termasuk mobilisasi ISIS dan Jihadis oleh AS/NATO/Arab Saudi/Israel.
Tujuan Amerika Serikat menghancurkan Tehran gagal di tengah jalan. Lebih dari itu, Rusia menjadi kekuatan utama Asia Barat dengan merapatkan hubungan Iran dan Turki termasuk mengutak-atik relasi sarat konspirasi antara Arab Saudi, Israel dan Amerika Serikat. Intervensi Putin menyelamatkan Assad dan Damaskus adalah balas dendam terbaik Kremlin atas campur tangan Obama-Biden di Kiev tahun sebelumnya.
Sementara di kawasan Asia Tengah, khususnya negara-negara bekas Uni Soviet, pengaruh Rusia sebagai big brother makin kuat baik sebagai penjamin keamanan hubungan antar negara maupun sebagai mitra dagang ekspor-impor yang sudah terbangun dalam koridor ekonomi Uni Soviet. Terusirnya Amerika Serikat dari Afganistan sebagai titik kepung terhadap Rusia-China selama dua dekade dan kudeta dukungan AS terhadap Tokayev yang diselamatkan Putin di Kazakhstan adalah ilustrasi terkini berakhirnya manuver Washington di kawasan kaya sumber daya alam ini.
Rusia sebagai faktor penentu juga sangat menonjol di Amerika Latin—halaman depan dan halaman belakang Amerika Serikat dalam Monroe Doctrine. Pengaruh geopolitik Rusia mencakup Amerika Tengah, Amerika Selatan, Kuba dan Karibia. Resistensi Kuba-nya Castro dan Raul, Venezuela-nya Chavez dan Maduro serta Bolivia-nya Morales terhadap manuver unipolar AS mendapat dukungan penuh Putin di kancah internasional khususnya di Dewan Keamanan PBB. Termasuk di dalamnya garansi keamanan secara tak langsung sesuai kalkulasi strategis Rusia yang tidak terburu-buru menciptakan pakta pertahanan kawasan, selain Venezuela yang secara resmi membangun kemitraan militer.
Rusia Memperkuat China: Arsitektur Keamanan Belt & Road Initiative
Faktor kedua, Rusia melapangkan jalan bagi ekspansi ekonomi China di tiga kawasan tersebut. Sulit dibayangkan Belt & Road Initiative dapat bergerak leluasa lima tahun terakhir tanpa risiko benturan terbuka dengan AS yang diambil Kremlin sepuluh tahun terakhir. Manuver geopolitik Rusia menguntungkan China sekaligus terpenting melemahkan ruang dominasi ekonomi Amerika Serikat beserta aliansi tradisionalnya seperti Jepang, Korea Selatan dan Australia di kawasan Asia, Jerman, Perancis dan Inggris di kawasan Eropa. Singkatnya, geo-sekuriti Putin berjalan paralel dengan geo-ekonomi Xi Jinping–membentuk geopolitik Sino-Rusia.
Kemitraan pertahanan antara Beijing dan Kremlin menjadi kunci pergeseran kekuatan ekonomi yang makin tak setara antara Amerika Serikat dan China sampai tahun 2030 dan seterusnya. Untuk itu Rusia harus dihukum dengan memutus hubungan ekonomi dengan Eropa dan dibuat tidak stabil dengan ancaman perang nuklir—pilihan terakhir yang sangat ditentang Putin. Kremlin memahami alasan agitasi nuklir Washington, namun menduga Gedung Putih dikendalikan sekumpulan orang tak waras, membuka kotak pandora nuklir persis di saat kecanggihan senjata pemusnah masal Rusia dan sistem pertahanan balistik antarbenua sudah tidak tertandingi lagi.
Amerika Serikat Mengunci Eropa : Strategic Ambiquity?
Kendati demikian, krisis Ukraina terkini menunjukkan nasib Eropa di ujung tanduk. Agitasi militer AS di balik NATO sesungguhnya melayani tujuannya sendiri dan tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk menghentikan mitra dagang Rusia dan Eropa.
Dalam posisi tawar melemah dalam kenyataan geopolitik, krisis Ukraina menjadi percobaan terakhir Washington untuk mendeteksi kepatuhan Eropa, khususnya Jerman dan Prancis, terhadap rejim unipolar AS. Sekaligus dengan cara itu terdeteksi sejauh mana konstruksi Barat atau kemitraan ekonomi-politik transatlantik, masih bisa dipertahankan. DIrumuskan dengan cara lain, Washington mengecek Brussel, sejauh mana persekutuan ideologis masih bisa sejalan dengan realisme geopolitik.
Percobaan AS di Ukraina membatalkan tesis usang seperti Cold War 2.0 dan benturan Barat-Timur. Tesis Perang Dingin tahap dua mengandaikan Rusia adalah miniatur Uni Soviet dan bertujuan menguasai ekonomi dan politik dunia. Demikian halnya tesis Barat versus Timur, seakan-akan Barat itu tunggal dan bulat dengan Rusia yang tertinggal, tidak kristiani dan bagian dari Asia sepenuhnya.
Sebaliknya, agitasi Amerika Serikat, yang dengan sengaja membenturkan Rusia dan Eropa adalah taktik tersisa dengan menempatkan Jerman dan Perancis dalam situasi paradoksal, membawa keduanya ke titik ekstrim, karena Washington sangat membutuhkan aliansi Eropa yang kompak dalam benturan geopolitik yang sudah tak seimbang.
Bagi Biden, Blinken dan Sullivan, bergerak di balik NATO sangat penting untuk menegaskan Amerika Serikat masih sebagai pengendali keamanan Eropa. Dengan bendera NATO, krisis Ukraina menjadi alat produksi ketidakamanan atau kerentanan yang membuat Eropa terus bergantung pada Pentagon dan bisnis keamanan dan pengendalian pertahanan kawasan.
Eropa adalah pasar industri peralatan perang dan sistem pertahanan terkini Pentagon dan harus tetap laku dengan permintaan alutsista yang terus meningkat karena adanya ‘invansi Rusia’ dan ideologi ‘Putinisme’. Kendati demikian, makin banyak negara Anggota menolak narasi perang dan tidak akan terlibat jika perang meletus antara AS dan Rusia–menolak berlakunya pasal 5 piagam NATO.
Dalam situasi paradoksal, antara dunia baru multipolar dan dunia lama unipolar, Eropa masuk ke dalam fase evaluasi masa kini dan proyeksi masa depannya sendiri. Sejauh ini, kekuatan utama Eropa, Jerman dan Perancis, memainkan langkah penundaan sikap tegas dalam kontestasi Kremlin dan Washington. Kedua negara ini sejatinya dua tungku kekuatan Eropa hari dan masa depan dari segi ekonomi dan militer, tanpa Inggris yang sudah keluar dari persekutuan ekonomi tahun 2020.
Immanuel Macron dan Olaf Scholz pengganti Merkel sadar akan tindakan ceroboh di Ukraina dengan konsekuensi serius bagi masa depan Eropa saat ini. Langkah terkini yang ditempuh adalah strategic ambiquity, yaitu menegaskan hubungan baik dengan Kremlin dan Washington. Macron bertemu Putin dan Olaf mendatangi Biden dengan diplomasi sarat prakondisi.
Terpenting juga masa depan politik Macron ditentukan dalam pemilu bulan April 2022 dalam mana krisis Ukraina menjadi parameter kesuksesan diplomasi dan memastikan gas Rusia tetap menjaga stabilitas ekonomi. Hal serupa berlaku bagi kabinet koalisi Scholz yang baru terbentuk dengan kecakapan mengendalikan menteri luar negeri dan menteri pertahanan yang memimpin partai anti-karbon dan anti-Putin–partai liberal dan partai hijau.
(Source Foreign Policy)
Ancaman Nuklir
Sikap mendua—strategic ambiquity—bisa dimaklumi mengingat krisis Ukraina adalah ancaman eksistensial bagi Eropa di dua front sekaligus.
Pertama, eskalasi konflik superpower berpotensi besar mengubah Eropa secara fisik. Perubahan maksimal, Eropa sebagai lokasi perang nuklir pertama kali, sebelum meluas ke seluruh kawasan dunia. Perubahan minimal, Eropa tidak akan pernah aman lagi, tak bisa bergerak maju, dalam kondisi ketidakamanan permanen.
Krisis Ukraina adalah krisis di garis batas antara perubahan maksimal dan perubahan minimal, semacam New Normality, normalisasi ketidakamanan.
Misil dan rudal nuklir AS sebagian besar dipasang di Eropa baik instalasi model silo maupun instalasi bergerak dalam kapal selam. Sementara instalasi nuklir Rusia menyebar di seluruh wilayah Rusia, model silo dan bergerak dengan sistem angkutan dan kapal selam. Serangan pertama, preemptive strike dan serangan balasan, retaliatory strike, sama merusaknya kendati prinsip nuclear deterrence menimbang yang terakhir sebagai penentu kehancuran kawasan dan dunia.
Perang nuklir bisa mengakhiri segalanya. Setidaknya mengembalikan Eropa dan dunia ke zaman purba dengan batu dan kayu sebagai senjata perang dunia keempat dalam ramalan tragedi Einstein. Krisis Ukraina melemparkan Eropa ke dalam situasi batas yang tak terduga. European Nightmare, melampaui pengalaman kehancuran Eropa dalam Perang Dunia II dan diselamatkan Uni Soviet dan Stalin dari arah Rusia, Ukraina dan Belarusia.
Demikianlah faktor ancaman perang nuklir menyadarkan Perancis dan Jerman. Bahwa penentu keamanan kawasan berada dalam terobosan mereka sendiri—strategic ambiquity. Dengan itu juga bisa menertibkan perilaku negara-negara kecil yang dibajak Amerika Serikat/NATO seperti Polandia, Latvia, Estonia dan Lituania. Di lain pihak, negara anggota NATO lainnya seperti Hungaria dan Kroasia menolak provokasi ‘bahaya invasi Rusia’ yang digencarkan Blinken dan jejaring media massa imperial.
Krisis Ukraina menjadi kuda troya bagi Inggris yang tak lagi bagian dari masyarakat ekonomi Eropa. London memperkeruh suasana dengan menegaskan aliansi Anglo-Saxon bersama Amerika Serikat, Australia, New Zealand dan Kanada. Tujuannya bukan untuk Eropa damai tetapi memulihkan dirinya yang tak lagi punya reputasi global sekaligus mengalihkan perhatian dunia dari krisis politik Boris Johnson dalam skandal penanganan pandemi Covid 19. Sikap norak dan rendah kompetensi diplomasi Inggris diperlihatkan Elizabeth Truss dalam konferensi pers bersama Lavrov di Kremlin.
Sikap Ukraina belakangan berubah dengan sikap presiden Zelensky di Kiev yang mendadak sadar harga kedaulatan negara terlalu mahal untuk dipertukarkan dengan kepentingan geopolitik Washington dan Brussel. Jika eskalasi terus berlangsung, wilayah penduduk Donetsk dan Luhansk bisa membentuk negara sendiri melalui referendum di wilayah Donbas sebagaimana yang terjadi di Crimea.
Satu pertanyaan dasar bagi Ukraina sendiri. Yaitu bagaimana perang konvensional non-nuklir dengan rusia bisa dimenangkan ketika AS sendiri dan NATO tidak berkomitmen mengirimkan tentara. Sementara Kiev dengan Ukraina bagian barat dan tengah terkepung dari empat penjuru–Rusia dan Donbas di utara, Crimea di timur, Laut Hitam di selatan dan Belarusia di barat. Taktik perang gerilya Ukraina tidak berdaya melawan sistem pertahanan udara terbaik dunia, teknologi perang elektronik dan drone.
Belum terhitung perpecahan internal masyarakat Ukraina yang sebagiannya memandang Rusia sebagai kerabat genealogis, percampuran budaya dan sejarah politik ratusan tahun. Termasuk pertarungan politik yang terus berlanjut antara dua kubu boneka Washington yaitu kubu Zelensky dan kubu Poroschenko mantan presiden yang ditahan karena dugaan korupsi. Dalam guraun yang getir Putin menawarkan suaka di Rusia kepada Poroschenko. Sebagai satir tentang betapa cerobohnya mantan presiden ini membiarkan Ukraina didikte Washington dan membuat kisruh politik dalam negeri sejak tahun 2014.
Von der Leyen EU, Olaf Scholz Germany, Putin Russia, Source NBC News
Krisis Ketahanan Energi
Ancaman eksistensial kedua adalah kerentanan energi Eropa. Kelangkaan energi terutama ketersediaan dan ketidakstabilan suplai berakibat pada lambatnya pertumbuhan ekonomi, lesu kegiatan industri, kenaikan biaya hidup dan berujung pada ketidakstabilan politik.
Jika Jerman terpaksa harus menghentikan kontrak kerjasama gas Gazprom khususnya aliran pipa bawah laut Nord Stream I maka Eropa akan semakin bergolak selain stagnasi ekonomi akibat tata-kelola pandemi Covid dan nasib politik di ujung tanduk.
Eropa adalah kawasan miskin sumber daya alam. Ketahanan energi berupa kontrak jangka panjang dengan Gazprom Rusia menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi dengan kestabilan politik kawasan maupun kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Selanjutnya, Eropa merupakan mitra dagang terbesar bagi Rusia sementara diplomasi gas telah menjaga hubungan baik antara Rusia dan Eropa khususnya Jerman sebagai simpul integrasi ekonomi kawasan.
Diplomasi gas bahkan sudah berlangsung sejak masa Perang Dingin tahun 1970an ketika ledakan harga minyak OPEC membuat Eropa Barat menjalin hubungan baik dengan Uni Soviet sebagai pemasok gas terbesar bagi Eropa selain jaringan impor LNG yang berbiaya mahal dari Amerika Serikat dan Timur Tengah dan Australia. Gerhard Schoeder, mantan Kanselir sebelum Merkel, menjadi jaminan politik kerjasama gas sampai hari ini.
Hanya saja sekarang situasi politik Jerman telah berubah dengan posisi Scholz yang harus terus bernegosiasi dengan kekuatan lingkungan hidup dan sentimen anti-Putin dalam kabinet di Berlin dan markas besar Uni Eropa di Brussel. Krisis Ukraina merugikan ekonomi Rusia dan Eropa dengan terganggunya pasokan gas melalui terminal transit di Ukraina menuju Polandia dan Jerman sebagai simpul distribusi ke berbagai negara Eropa.
Provokasi sejak tahun 2014 dimaksudkan Obama-Biden untuk memutuskan salah satu mata rantai utama pasokan gas selain Turkey Stream dan Nord Stream I. Kendati pada saat itu Poroschenko berani mengorbankan pendapatan nasional dari biaya terminal dan transit karena mendapatkan bantuan dana AS, pinjaman IMF, Uni Eropa pasca-kudeta sipil, Color Revolution, di Maidan Square.
Pada masa Donald Trump manuver Washington menentang suplai Gazprom semakin agresif dengan ultimatum yang terkenal: gas Rusia atau garansi nuklir AS untuk keamanan Eropa. Juli 2018 di markas NATO, Trump membentak Jens Stoltenberg supaya negara anggota memenuhi kontribusi wajib ke NATO, sekaligus melabelkan Jerman sebagai tawanan gas Rusia, bahkan dikontrol Kremlin.
Cara berpikir Obama, Trump dan Biden tetap sama mengenai paradoks Eropa. Yaitu Eropa membeli gas Rusia untuk menghidupi mesin pertahanan Kremlin yang menjadi ‘ancaman keamanan’ Eropa sendiri. Nalar geopolitik Washington ini, dikenal dengan sebutan sekuritisasi ekonomi, untuk mempertahankan integrasi bisnis energi dan pertahanan ke dalam ruang unipolar Pentagon dan Wall Street.
Amerika Serikat membuka kartunya sendiri dengan ancaman sanksi terhadap operasi Nordstream II. Produksi LNG AS meningkat dua tahun terakhir dan sangat membutuhkan pasar energi Eropa. Bagi Washington dan Wall Street, krisis Ukraina harus berujung pada berakhirnya ketergantungan energi Eropa terhadap aliran gas Yamal II dari kawasan Siberia yang melimpah sumber daya alam. Tujuannya dua arah: melemahkan basis ekonomi Rusia dan menjadikan Eropa pasar utama LNG AS, Australia dan Qatar.
Ancaman AS ini menempatkan Rusia, Jerman dan Eropa pada posisi yang sama-sama dirugikan dengan pilihan jalan keluar berbeda. Ketahanan energi Jerman dan Eropa, mencapai 40%, bergantung pada kestabilan suplai dan harga murah meriah gas Siberia Rusia. Sementara ketahanan ekonomi Rusia sangat bergantung pada niaga energi sebagai penggerak pertumbuhan industri selain industri senjata dan sistem pertahanan dengan pangsa pasar dunia. Eropa dan Rusia saling membutuhkan tetapi Industri energi Amerika Serikat dirugikan.
Stabilitas ekonomi-politik Jerman dan Eropa akan lebih terancam dibanding Rusia. LNG yang dikapalkan lintas samudera lima sampai tujuh kali lebih mahal dari gas Gazprom selain suplai yang tak menentu bagi musim dingin yang panjang. Sepakat dengan sanksi AS sama artinya dengan bunuh diri politik bagi kanselir dan presiden berkuasa dengan seluruh mesin partainya. Menyebabkan kebijakan fiskal lebih ketat, merusak investasi dan industri yang berujung pada kisruh politik dalam negeri dan kawasan.
Kendati dirugikan, daya tawar Rusia dalam krisis ini lebih kuat dengan mengubah arah suplai ke China. Putin dan Jinping bertemu pada pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing, Februari 2022, dengan kesepakatan jangka panjang suplai gas Siberia melewati perbatasan menuju kawasan industri China di bagian utara. Kesepakatan 130 miliar dolar ini setidaknya bisa menutupi kerugian sanksi Gazprom dan membuat Washington kalah sekali lagi dalam manuver krisis Ukraina.
Di ujung pertarungan energi antar superpower tersisa Eropa yang semakin tersandera. Dalam situasi ini desakan Biden AS, Theresa von Layen EU dan Jens Stoltenberg NATO, tak lebih dari terorisme ekonomi dan politik. Sama seperti ancaman permanen perang nuklir, ancaman krisis energi akan berkelanjutan.
Pilihan tersedia tetap sama yaitu strategic ambiquity, sambil terus menggalakkan diplomasi dengan harapan Washington tidak terlalu cepat meninggalkan Jerman, Perancis dan Eropa. Sementara Australia sendiri, pendukung fanatik AS dalam AUKUS, sudah dihukum China dengan menambah pasokan gas Rusia dan mengurangi suplai LNG dari Cambera selain pembatasan impor biji besi dari negeri Kanguru.
Bagi Eropa, krisis Ukraina hadir sebagai ancaman eksistesial terhadap keamanan dan ekonomi-politiknya. Energi diperbaharui masih makan waktu untuk memanaskan Eropa. Sementara saat bersamaan, pertahanan kawasan ini dikepung dengan perlombaan rudal-misil nuklir hipersonik antara Jenderal Shoigu dan Jenderal Milley.
Terpenting bagi Ukraina sendiri, kepemimpinan politik yang tidak peka geopolitik, terbatas nalar strategis, membuat negara tak aman, ekonomi tak bergerak dan masyarakat pecah-belah atas suku dan agama, di bagian barat dan timur.
Frans Djalong, 16 Februari 2022, Center for Security and Peace Studies—CSPS UGM