Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru (Sukarno, Pidato Konferensi Asia-Afrika, 18 April 1955)

Tuan-tuan Yang Mulia, Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan, Saudara-saudara sekalian !

Saya merasa bangga pada hari yang bersejarah ini mendapat kebormatan dan hak istimewa mengucapkan selamat datang kepada Tuan-tuan sekalian. Atas nama rakyat dan Pemerintah Indonesia — yang menerima Tuan-tuan saya minta maaf dan kesabaran dari Tuan-tuan, jika kiranya ada keadaan di negeri kami ini yang tidak sesuai dengan apa yang Tuan-tuan harapkan. Saya dapat mengatakan kepada Tuan-tuan, bahwa kami telah berusaha dengan sekuat tenaga supaya tinggal Tuan-tuan di tengah-tengah kita ini akan menjadi kenang-kenangan yang gemilang bagi para tamu kami dan bagi tuan-rumah Tuan-tuan. Kami berharap, semoga semangat persaudaraan kami dapat mengganti segala kekurangan materiil dalam penerimaan ini.

Kalau saya melayangkan pandangan saya dalam gedung ini dan melihat para tamu yang terhormat berkumpul di sini, saya sungguh merasa terharu. Inilah Konferensi antarbenua yang pertama dari Bangsa-bangsa Berkulit Berwarna di sepanjang sejarah umat manusia! Saya merasa bangga, negeri saya menjadi tuan-rumah bagi Tuan-tuan. Saya merasa babagia Tuan-tuan sekalian telah dapat menerima baik undangan yang disampaikan kepada Tuan-tuan oleh lima Negara yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Konferensi ini. Tetapi perasaan sedih pun memenuhi hati saya, kalau saya mengingat akan malapetaka yang telah dialami oleh banyak di antara rakyat kita di masa yang baru silam, malapetaka yang telah minta pengorbanan nyawa, harta benda dan hal-hal yang mengenai hidup kejiwaan.

Pada bemat saya kita berkumpul di sini pada bari ini karena akibat pengorbanan. Pengorbanan yang diberikan oleh nenek-moyang kita dan oleh rakyat dari generasi kita serta generasi yang lebih muda. Bagi saya, dalam gedung ini bukan hanya terdapat pemimpin-pemimpin dari segala bangsa Asia dan Afrika saja; di dalamnya terdapat pula roh yang tak kasatmata, yang baka, yang selalu jaya, dari mereka yang mendahului kita. Perjuangan dan pengorbanan mereka telah meratakan jalan ke arah pertemuan antara para wakil tertinggi bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat dari dua benua yang terbesar di muka bumi ini.

Adalah suatu babakan baru dalam sejarah dunia bahwa pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika dapat berkumpul di dalam negeri-negerinya sendiri untuk merundingkan dan mempertimbangkan masalah-masalah mengenai kepentingan bersama. Belum selang beberapa puluh tahun yang lampau seringkali kita terpaksa melawat ke negeri lain, bahkan ke benua lain, jika juru-bicara rakyat-rakyat kita hendak bermusyawarah.

Dalam hubungan ini saya mengingatkan kepada konferensi dari “Liga Melawan Imperialisme dan Kolonialisme”, yang diadakan di Brussel hampir tiga puluh tahun yang lalu. Pada konferensi itu banyak di antara anggota delegasi yang terhormat, yang kini hadir di sini, saling bertemu dan mendapat kekuatan baru untuk bekal dalam perjuangan kemerdekaannya.

Tetapi itu adalah tempat pertemuan yang beribu-ribu mil jauhnya, di negeri asing, di benua asing, di antara bangsa asing. Penyelenggaraan di sana itu bukan karena sengaja memilih tempat di sana, melainkan karena terpaksa.

Besar perbedaannya dengan sekarang. Bangsa-bangsa dan negeri-negeri kita bukan jajahan lagi. Sekarang kita bebas, berdaulat dan merdeka. Kita menjadi tuan lagi di rumah kita sendiri. Kita tak usah pergi ke benua asing untuk berkonferensi.

Sebelum ini telah pernah diadakan pertemuan-pertemuan pcnting pula antara negara-negara Asia di Asia sendiri.

Kalau kita bendak mencari pelopor daripada pertemuan besar kita ini, kita harus menengok ke Colombo, ibu kota Sri Lanka yang merdeka, dan melihat ke Konferensi Lima Perdana Menteri, yang diadakan di sana dalam tahun 1954. Dan Konferensi Bogor dalam bulan Desember 1954 menunjukkan bahwa jalan di hadapan kita telah siap untuk persatuan Asia-Afrika, dan Konferensi, di mana saya mendapat kehormatan mengucapkan selamat datang kepada Tuan-tuan pada hari ini adalah penjelmaan, realisasi, daripada persatuan itu.

Bahwa sesungguhnya, saya merasa bangga negeri saya menjadi negeri penerima Tuan-tuan sekalian.

Akan tetapi Pikiran saya tidak hanya saya tujukan kepada kehormatan yang jatuh pada Indonesia pada hari ini. Tidak. Pikiran saya untuk sebagian disuramkan oleh pertimbangan-pertimbangan lain. Tuan-tuan tidak berkumpul di dunia yang damai, dan bersatu dan bekerja bersama! Jurang-jurang besar dan curam menganga di antara bangsa-bangsa dan golongan-golongan bangsa.

Dunia kita yang malang ini terpecah belah dan teraniaya, dan rakyat dari semua negeri berada dalam ketakutan, kalau-kalau di luar kesalahan mereka, serigala-serigala peperangan akan lepas lagi dari rantainya.

Dan andai kata, meskipun segala-gala yang dapat dilakukan oleh bangsa-bangsa itu telah dilaksanakan, perang toh pecah juga, bagaimana lalu? Apa gerangan yang akan terjadi dengan kemerdekaan yang baru kita peroleh itu? Bagaimana kebudayaan kita, bagaimna warisan-kejiwaan kita, bagaimana peradaban-pusaka kita? Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita dan orangtua-orangtua kita?

Beban yang terletak pada anggota-anggota delegasi dalam Konferensi ini tidaklah ringan, karena saya tahu bahwa masalah-masalah ini — ialah masalah-masalah hidup atau matinya umat manusia sendiri — pasti memenuhi pikiran dan hati Tuan-tuan, seperti juga ia memenuhi pikiran dan hati saya. Dan bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidaklah dapat, walaupun andainya mereka menghendakinya, menghindari bagian mereka dalam hal mendapatkan pemecahan masalah-masalah yang sulit itu.

Karena itu merupakan bagian daripada kewajiban-kewajiban yang terbawa oleh kemerdekaan sendiri. Masalah-masalah itu adalah bagian daripada harga yang dengan rela kita bayarkan untuk menebus kemerdekaan kita. Turun-temurun sampai beberapa turunan bangsa-bangsa kita menjadi bangsa yang tak bersuara di dunia. Kita di masa lampau itu adalah bangsa-bangsa yang tak terpandang di mata orang, adalah bangsa-bangsa, tentang siapa orang lain, yang kepentingannya maha-besar, memutuskan segala sesuatu, adalah bangsa yang hidup dalam lembah kemiskinan dan kehinapapaan. Lalu bangsa-bangsa kita minta, tidak, berjuang untuk kemerdekaan, dan memperoleh kemerdekaan, dan dengan kemerdekaan itu datanglah tanggung jawab. Kita mempunyai tanggung jawab yang berat terhadap diri sendiri, terhadap dunia dan terhadap angkatan yang akan lahir. Tetapi kita tidak menyesal karenanya.

Pada tahun 1945, tahun pertama daripada revolusi nasional kami, kami dari Indonesia menghadapi pertanyaan, apa yang hendak kami perbuat dengan kemerdekaan kami, kalau kemerdekaan itu pada akhirnya tercapai dan telah menjadi tegak-teguh, — tak pernah kami sangsikan bahwa ia akan tercapai dan menjadi tegak-teguh. Kami tahu bagaimana kami harus melawan dan menggempur. Kemudian segera kami berhadapan dengan keharusan memberi isi dan arti kepada kemerdekaan kami. Bukan hanya isi dan arti materiil, melainkan julga isi etis dan moril, sebab kemerdekaan tanpa etika dan moral adalah semata-mata imitasi, tiruan yang hampa, daripada apa yang kita cita-citakan. Tanggung jawab dan beban, hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta hak istimewa dari kemerdekaan harus dipandang sebagai bagian dari isi etis dan moril kemerdekaan.

Bahwa sesungguhnyalah kita terima dengan segala senang bati perubahan yang meletakkan beban berat pada kita itu, dan kita berhati teguh untuk menggunakan segenap kekuatan dan keberanian buat menanggung beban itu.

Saudara-saudara, betapa amat dinamisnya zaman kita ini!

Saya ingat, bahwa beberapa tahun yang lalu, saya mendapat kesempatan membuat analisa di muka umum tentang kolonialisme, dan bahwa saya di waktu itu minta perhatian pada apa yang saya namakan “Garis hidup imperialisme”. Garis itu terbentang mulai dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan sampai ke Lautan Jepang.

Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang sekali itu sebagian besar adalah tanah jajahan, rakyatnya tidak mcrdcka, hari depannya tergadaikan kepada sistem asing.

Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat-nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.

Dan pada hari ini di dalam gedung ini berkumpullah pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa yang tadi itu! Mereka bukan lagi menjadi mangsa kolonialisme. Mereka bukan lagi menjadi alat perkakas orang lain dan bukan lagi alat permainan kekuasaan-kekuasaan yang tak dapat mereka pengaruhinya. Pada hari ini Tuan-tuan menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka, bangsa-bangsa yang mempunyai tokoh dan martabat lain di dunia ini.

Ya, memang pernah ada “Sturm uber Asien”, dan juga di atas Afrika. Dalam dua tahun yang tcrakhir ini terjadi perubahan-perubahan yang hebat. Bangsa-bangsa, Negara-negara telah bangun dari tidurnya yang berabad-abad. Bangsa-bangsa yang bersikap pasif telah lenyap, sikap yang pada lahirnya tampak tenang berubah menjadi perjuangan dan aksi. Kekuasaan-kekuasaan yang tidak dapat ditahan-tahan telah menyapu kedua benua. Permukaan mental, spiritual dan politis dari seluruh dunia berganti wujud, dan proses itu masih herjalan terus. Di dunia kini terdapat syarat-syarat baru, konsepsi-konsepsi baru, masalah-masalah baru, cita-cita baru. Taufn kebangunan nasional dan kebangunan-kembali mengamuk di atas seluruh bumi, mengguncang-guncangnya, merombaknya, merombaknya untuk menjadi lebih baik.

Abad keduapuluh ini adalah masa dinamisme yang mahadahsyat. Kiranya dalam limapuluh tahun terakhir ini telah terjadi perkembangan dan kemajuan material lebih banyak daripada dalam lima ratus tahun yang lalu. Manusia telah mampu mengekang bahaya-bahaya yang pernah mengancamnya. Ia telah mampu meniadakan jarak. Ia telah mampu menjelmakan suara dan gambar dirinya melewati samudera-samudera dan benua-benua. Ia telah menyelami dalam-dalam rahasia-rahasia alam dan mampu membuat padang pasir menjadi berbunga dan mampu memperlipatgandakan hasil tanaman-tanaman di atas bumi ini. Ia telah belajar melepaskan kekuatan-kekuatan hebat yang tersimpan dalam bagian zat yang terlembut.

Akan tetapi, apakah kecakapan politik manusia berbaris berbimbing tangan membarengi kepandaian teknis dan ilmiahnya? Manusia dapat mengekang petir, — dapatkah ia menguasai masyarakat tempat ia hidup? Jawabnya: Tidak! Kepandaian politik manusia jauh terbelakang daripada kepandaian teknisnya, dan apa yang dibuatnya tak tentu ia dapat menguasainya.

Hasil daripada itu adalah ketakutan. Dan manusia megap-megap mencari udara keamanan dan kesusilaan.

Mungkin sekarang ini, lebih dari saat-saat sejaruh dunia yang lampau, hidup kemasyarakatan, pemerintahan dan ketatanegaraan perlu didasarkan pada kode moraliteit dan etika, yang tertinggi. Dan mengenai politik, apakah kode moralitas yang tertinggi? Kode moralitas tertinggi ialah subordinasi, ketundukan segala sesuatu kepada keselamatan umat manusia. Tetapi sekarang ini kita mengbadapi situasi, di mana keselamatan umat manusia tidak selalu mendapat perhatian utama. Banyak orang yang berada di tempat kekuasaan yang tinggi malah lebih memikirkan tentang hal menguasai dunia.

Ya, kita hidup dalam dunia yang penuh ketakutan, Kehidupan manusia sekarang digerogoti dan dijadikan pahit getir oleh rasa ketakutan. Ketakutan akan hari depan, ketakutan akan bom hidrogen, ketakutan akan ideologi-ideologi. Mungkin rasa takut itu pada hakekatnya merupakan bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri, sebab rasa takutlah yang mendorong orang berbuat tolol, berbuat tanpa berpikir, berbuat hal yang membahayakan.

Dalam permusyawaratan Tuan-tuan, saya minta, janganlah kiranya Tuan-tuan terpengaruh oleh ketakutan itu, sebab ketakutan adalah zat asam yang mencapkan perbuatan manusia menjadi pola yang aneh-aneh. Berpedomanlah pada harapan dan pada ketetapan hati, berpedomanlah pada cita-cita, dan ya, berpedomanlah pada impian dan angan-angan!

Kita berkebangsaan lain-lain sekali. Latar belakang sosial kita sangat berlainan demikianlah pola kebudayaan kita. Jalan hidup kita berlainan Tabiat nasional kita, warna atau corak kita — sebutlah itu dengan nama sekehendak Tuan-tuan — adalah berbeda. Asal mula kebangsaan kita berlainan, bahwa warna kulit kita pun berlainan. Tapi itu kan tidak menjadi apa? Umat manusia bersatu atau terbagi-bagi oleh pertimbangan lain daripada itu. Perselisiban timbul bukan karena perbedaan kulit, pun bukan karena macam-macam ragam agama, tetapi karena perbedaan kehendak.

Kita semuanya, saya yakin, adalah dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada yang tampaknya memisahkan kita. Kita bersatu, misalnya oleh sikap yang sama dalam membenci kolonialisme dalam bentuk apa saja ia muncul. Kita bersatu oleb sikap yang sama dalam hal membenci rasialisme. Dan kita bersatu karena ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Bukanlah tujuan-tujuan itu termaktub dalam surat undangan. yang telah Tuan-tuan penuhi?

Saya mengakui dengan terus terang — dalam tujuan-tujuan itu saya bukan tak berkepentingan atau hanya terdorong oleh alasan-alasan perseorangan saja.

Bagaimana mungkin untuk tinggal adem tentang kolonialisme? Bagi kita kolonialisme bukan suatu hal yang jauh letaknya. Kita mengenalnya dalam segala kekejammmya. Kita telah melihat betapa ia menyebabkan kerusakan yang hebat pada kemanusiaan, betapa ia ditinggalkannya, kalau pada akhirnya ia dengan cara segan-segan keluar atau didepak keluar, oleh perjalanan sejarah yang tak tertahan-tahan itu. Rakyat saya, dan rakyat-rakyat berbagai negeri Asia dan Afrika tahu akan hal ini, karena kita mengalaminya sendiri.

Memang kita belum dapat mengatakan bahwa semua bagian dari negeri-negeri kita telah merdeka. Beberapa bagian masih bekerja dengan ancaman cambuk. Dan sementara bagian Asia dan Afrika, yang tak diwakili di sini, masih meringkuk di bawah penderitaan yang serupa itu.

Ya, sebagian dari bangsa-bangsa kita belumlah bebas. Itulah sebabnya, maka kita semua belum dapat mcngatakan, bahwa tujuan pcrjalanan kita telah tercapai. Tidak ada rakyat yang merasa dirinya merdeka slama masih ada bagian daripada tanah airnya yang belum bebas. Seperti perdamaian, kemerdekaan pun tidak dapat dibagi-bagi. Tidaklah ada hal yang dapat dinamakan setengah merdeka, seperti juga tidak ada hal yang dapat disebut setengah hidup.

Orang sering mengatakan kepada kita, bahwa “kolonialisme sudah mati”. Janganlah kita mau tertipu atau terninabobokan olehnya! Saya berkata kepada Tuan-tuan, kolonialisme belumlah mati. Bagaimana kita dapat mengatakan ia telah mati selama daerah-daerah yang luas di Asia dan Afrika belum lagi merdeka!

Dan, saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita berbagai-bagai wilayah Asia dan Afrika, mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Ia merupakan musuh yang licin dan tabah, dan menyaru dengan berbagai cara. Tidak gampang ia mau melepaskan mangsanya. Di mana, biamana dan bagaimana pun ia muncul kolonialisme adalah hal yang jahat yang harus dilenyapkan dari muka bumi.

Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung sudah sangat lama, dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal delapanbelas April tahun seribu tujuhratus tujuhpuluh lima, kini tepat seratus delapanbelas tahun yang lalu, Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui distrik New England, meumberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan lnggris dan tentang permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencpai kemenangan. Mengenai perjalanan berkuda di tengah malam ini penyair Longfellow menulis:

A cry of defiance and not of fear,

A voice in the darkness, a knock at the door,

And a word that shall echo for evermore…

(Teriakan menantang, bukan karena takut,

Suara di malam gelap, ketukan pintu,

dan sepatah kata yang akan berkumandang sepanjang masa…)

Ya, ia akan berkumandang sepanjang masa, …tepat seperti kata-kata antikolonial yang lain, yang memberikan kepada kita penglipur dan ketetapan hati di hari-hari yang tergelap dalam perjuangan kita, akan berkumandang sepanjang masa. Tetapi ingatlah, bahwa perjuangan yang dimulai 180 tahun yang lalu itu belumlah mendapat kemenangan yang sempurna, dan ia tak akan mencapai kemenangannya yang sempurna, sebelum kita dapat mengawasi dunia kita sendiri ini, dan dapat mengatakan bahwa kolonialisme sudah mati.

Jadi, saya bukannya tak berkepentingan kalau saya bicara tentang perjuangan melawan kolonialisme.

Demikian pun saya bukannya tak berkepentingan pula, jika saya bicara tentang perjuangan untuk perdamaian. Bagaimana siapa pun di antara kita ini dapat tidak berkepentingan tentang perdamaian?

Belum selang berapa lama, kita menyatakan bahwa perdamaian perlu untuk kita, karena pecahnya pertempuran di bagian dunia yang kita tempati ini akan membahayakan kemerdekaan kita yang tak ternilai harganya dan yang kita peroleh dengan biaya yang sangat besar itu.

Sekarang, gambaran keadaan lebih hitam. Peperangan bukan hanya akan berarti ancaman terhadap kemerdekaan kita, melainkan dapat berarti berakhirnya peradaban, bahkan berakhirnya kehidupan ummat manusia. Ada tenaga yang ter1epas di dunia ini, yang kekuatannya untuk menimbulkan kejahatan tidak diketahui dengan sebenarnya oleh siapa pun juga. Bahkan di dalam latihan dan dalam percobaan peperangan, hasilnya dapat dipastikan berupa sesuatu yang sangat mengerikan.

Tidak lama sebelum ini, kita dapat menenangkan hati kita sedikit dengan gambaran, bahwa, kalau terjadi pertempuran, mungkin ia dapat diselesaikan dengan apa yang disebut “senjata-senjata konvensionil” — bom, tank, meriam dan manusia. Kini, sekelumit harapan itu tak ada lagi pada kita, karena sekarang telah jelas bagi kita, bahwa senjata-senjata yang sangat mengerikan itu pasti akan dipergunakan, dan rencana-rencana pertahanan berbagai-bagai negara memang disusun dengan dasar itu. Yang tidak konvensionil telah menjadi konvensionil, dan siapa tahu, hasil lain dari kepandaian ilmiah yang tersesat dan jahanam apa lagi yang telah ditemukan sebagai alat-siksa bagi umat manusia.

Dan jangan dikira bahwa samudra-samudra dan lautan-lautan akan melindungi kita. Makanan yang kita makan, air yang kita minum, ya, malah hawa yang kita hirup, dapat mengandung racun, yang tempat asalnya beribu-ribu mil jauh dari kita. Dan mungkin pula, kalau kita sendiri toh nyaris bebas dari bahaya, bahwa angkaan anak-anak kita yang belum lahir akan berbadan cacat, tanda daripada kegagalan kita mengasai kekuatan-kekuatan, yang telah dilepaskan orang secara liar di dunia ini.

Tidak ada tugas yang lebih urgent daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian kemerdekaan kita tak banvak faedahnya. Pemulihan dan pembangunan negeri kita akan sedikit sekali artinya. Revolusi-revolusi kita akan tak mendapat kesempatan melanjutkan perjalanannya.

Apa yang dapat kita perbuat? Bangsa-bangsa Asia dan Afrika hanya mempunyai kekuasaan materiil yang kecil belaka. Bahkan kekuatan perekonomiannya sangat rapuh dan lemah. Kita tak dapat berkecimpung dalam politik adu tenaga. Diplomasi bagi kita bukan diplomasi yang memegang pentung yang besar. Para diplomat kita rata-rata semuanya tidak dapat sokongan dari deretan pembom jet yang kompak.

Apa yang dapat kita perbuat? Kita dapat berbuat banyak! Kita dapat menyuntikkan suara budi kita ke dalam urusan-urusan duniawi. Kita dapat memobilisir semua kekuatan spirituil, moril dan politis dari Asia dan Afrika untuk kepentingan perdamaian. Ya, kita! Kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika, berkekuatan 1400.000.000 jiwa, jauh melebihi setengahnya jumlah penduduk dunia. Kita dapat menggerakkan apa yang saya namakan Paksaan Moril Bangsa-bangsa untuk kepentingan perdamiaian. Kita dapat menunjukkan kepada minoritas di dunia, yang hidup di ketiga benua lainnya itu, bahwa kita golongan mayoritas, adalah properdamaian, bukannya pro perang, dan bahwa kekuatan apa saja yang ada pada kita akan selalu kita pertaruhkan di pihak perdamaian.

Dalam perjoangan ini telah kita capai suatu hasil. Saya kira bahwa pada umumnya orang mengakui bahwa kegiatan para Perdana Menteri dari Negeri-negeri yang bertanggung jawab, yang telah mengundang Tuan-tuan kemari ini, bukan tak penting peranan yang telah dimainkannya dalam penghentian pertempuran di lndo-Cina.

Lihat, bangsa-bangsa Asia mengeluarkan suaranya, dan dunia mendengarkannya. Itu bukanlah kemenangan yang kecil dan bukanlah kejadian yang dapat diabaikan bagitu saja! Lima Perdana Menteri itu tidak menggunakan ancaman-ancaman. Mereka tidak mengeluarkan ultimatum, tidak menggerakkan pasukan-pasukan. Yang mereka lakukan ialah saling memberikan pertimbangan, memperbincangkan persoalan-persoalan, mengumpulkan ide-ide, menggabungkan kecakapan politiknya, dan tampil ke muka dengan saran-saran yang sehat dan beralasan, yang merupakan dasar bagi penyelesaian pertempuran yang telah berjalan lama di lndo-Cina.

Semenjak itu saya sering bertanya kepada diri sendiri, mengapa kelima tokoh itu dapat mencapai hasil baik, sedangkan orang-orang lain yang mempunyai daftar riwayat diplomasi yang panjang tidak berhasil, dan pada hakekatnya, telah membiarlkan situasi yang buruk menjadi lebih buruk, sehingga ada bahaya bahwa pertikaian itu akan meluas. Apakah itu disebabkan karena mereka orang-orang Asia? Mungkin itu merupakan sebagian daripada jawaban atas pertanyaan tadi, sebab kebakaran-besar itu terjadi di ambang pintu mereka, dan setiap perluasan kebakaran itu akan merupakan ancaman langsung terhadap rumah mereka sendiri. Tapi saya kira jawaban sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa kelima Perdana Menteri itu telah membawa cara penyelesaian yang baru dan segar untuk dicobakan pada masalah yang bersangkutan. Mereka tidak mencari keuntungan bagi negeri-negeri mereka sendiri. Mereka tidak menggunakan politik adu tenaga untuk mendapat keuntungan, bagi diri sendiri. Mereka hanya mempunyai satu kepentingan — bagaimana dapatnya mengakhiri pertempuran, sedemikian hingga kemungkinan untuk melanjutkan perdamaian dan kestabilan bertambah besar.

Itulah. Saudara-saudara, suatu peristiwa yang bersejarah. Beberapa negeri dari Asia-merdeka bicara, dan dunia mendengarkan. Mereka bicara tentang suatu soal yang langsung bersangkutan dengan Asia, dan dengan berbuat begitu, menunjukkan dengan jelas bahwa persoalan-persoalan mengenai Asia adalah urusan bangsa-bangsa Asia sendiri. Jaman di waktu mana hari-kemudian Asia dapat ditetapkan oleh bangsa-bangsa lain yang jauh tempat kediamannya, sudah lama lalu.

Akan tetapi, kita tidak dapat, kita tidak berani, membatasi perhatian kita pada soal-soal dari benua kita sendiri saja. Negara-negara di dunia sekarang yang satu adalah bergantung kepada yang lain, dan tidak ada bangsa yang merupakan pulau sendirian saja. “Splendid isolation” mungkin pernah dapat dilakukan: kini tidak dapat lagi. Urusan-urusan seluruh dunia adalah urusan kita dan hari kemudian kita bergantung kepada cara pemecahan yang didapatkan bagi semua persoalan internasional, betapa jauh pun tampaknya letak persoalan itu.

Pada saat melayangkan pandangan di dalam gedung ini, pikiran saya datang kembali pada Konferensi Bangsa-bangsa Asia yang lain. Pada permulaan tahun 1949 — menurut ukuran sejarah hanya sedikit yang lalu — negeri saya untuk kedua kalinya sejak Proklamasi Kemerdekaan terlibat dalam perjoangan mati-matian. Rakyat kita terkurung dan digempur terus-menerus dari luar, banyak daerah-daerah kami diduduki lawan, sebagian besar dari para pemimpin kami dipenjara atau dibuang, kehidupan kami sebagai Negara terancam.

Keputusan-keputusan diambil, tidak di dalam kamar perundingan, tapi di tempat pertempuran. Utusan-utusan kami di masa itu berupa senapan, meriam dan bom serta granat, dan juga bambu runcing.

Kita terkurung, lahir dan batin.

Pada saat yang menyedihkan, tetapi gemilang dalam sejarah kebangsaan kami itulah tetangga kami yang baik, India, menyelenggarakan Konferensi antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika di New Delhi, untuk memprotes ketidakadilan yang ditujukan kepada Indonesia dan untuk menunjang perjuangan kami, Blokade batin terbobol! Utusan-utusan kita terbang ke New Delhi dan mendengar dari sumber berita asli tentang tunjangan kuat yang diberikan untuk perjuangan guna kehidupan nasional kami. Sebelum itu tidak pernah terjadi dalam sejarah umat manusia bahwa ada sedemikian rupa persatuan antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika ditujukan ke arah menolong bangsa Asia yang lain yang berada dalam marabahaya.

Para diplomat dan para ahli politik, pers dan orang biasa dari negeri-negeri tetangga kami di Asia dan Afrika, semuanya menyokong kami. Kami mendapat keberanian kembali untuk melanjutlkan perjuangan kami dengan kekerasan hati sampai mencapai penyelesaian yang berwujud kemenangan. Sekali lagi kita mengalami kenyataan sebulat-bulatnya tentang kebenaran pernyataan Desmoulin: “Jangan sangsi bahwa rakyat yang merdeka mempunyai kekuatan dimanapun juga!”

Barangkali entah bagaimana, Konferensi yang bersidang di sini pada hari ini antara lain berakar pada penjelmaan persatuan Asia-Afrika enam tahun yang lalu itu.

Betapapun juga, nyatalah, bahwa tiap-tiap orang di antara Tuan-tuan memikul tanggung jawab yang berat, dan saya berdoa kepada Tuhan, semoga tanggung jawab itu dilaksanaikan dengan keberanian dan kebijaksanaan.

Saya berdoa kepada Tuhan, mudah-mudahan Konferensi Asia-Afrika ini berhasil dalam menunaikan tugasnya.

0! Saudara-saudara jadikanlah Konferensi ini suatu sukses yang besar! Meskipun terdapat sifat-sifat yang sangat berlainan di antara pesertanya — jadikanlah Konferensi ini suatu sukses yang besar!

Ya, ada sifat berlainan di antara kita. Siapa yang membantahnya! Negeri-negeri kecil dan besar mengirimkan wakilnya kemari. Negeri-negeri mana rakyatnya memeluk hampir semua agama yang ada di kolong langit,– agama Buddha, Islam, Kristen, Konghucu, Hindu, Jainisme, agama Sikh, Zoroaster, Shinto, dan lain-lain. Hampir segala paham politik kita jumpai di sini. Demokrasi Monarchi, Theokrasi, dengan berbagai-bagai bentuk yang berbeda-beda. Dan praktis semua ajaran ekonomi ada wakilnya, di gedung ini, — Marhaenisme, Sosialisme, Kapitalisme, Komunisme, dalam segala variasi dan kombinasi yang aneka-warna.

Tetapi apa salahnya ada perbedaan-perbedaan asal ada persatuan cita-cita? Dalam Konferensi ini kita tak hcndak saling menentang, ini adalah Konferensi persaudaraan.

Ini bukan Konferensi Islam, bukan Konferensi Kristen, pun bukan Konferensi agama Buddha. Ini bukan pertemuan bangsa Melayu, atau bangsa Arab, atau pun bangsa-bangsa Indo-Arya. Konferensi ini pun bukan perkumpulan yang menyendiri, bukan suatu blok yang hendak menentang blok yang lain. Konferensi ini adalah suatu badan yang berpendirian luas dan toleran, yang berusaha memberi kesan kepada Dunia bahwa semua orang dan semua negeri berhak mempunyai tempat sendiri di kolong langit ini. Memberi kesan kepada dunia, bahwa adalah mungkin orang hidup bersama, saling bertemu, bicara antara yang satu dengan yang lain, dengan tidak kebilangan sifat kepribadiannya; namun untuk memberi sumbangan ke arah saling mengerti yang luas dalam soal-soal yang merupakan kepentingan bersama; serta pula mengembangkan kesadaran yang sejati mengenai sifat saling bergantung antara manusia-manusia dan bangsa-bangsa untuk keselamatannya dan agar dapat mempertahankan hidupnya di dunia ini.

Saya tahu bahwa di Asia dan Afrika terdapat perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan lebih banyak daripada di benua-benua lainnya di dunia ini. Tetapi bukankah itu sudah sewajarnya! Asia dan Afrika semenjak purbakala adalah tempat kelahiran keyakinan-kcyakinan dan cita-cita, yang kini telah tersebar di seluruh dunia. Oleh sebab itu, layaklah bagi kita untuk mengusahakan bahwa prinsip yang biasa disebut prinsip “Hidup dan membiarkan hidup”, — perhatikan, saya tidak mengatakan prinsip “Laisser faire, laisser passer” dari paham Liberalisme yang telah usang –, akan kita utamakan dan kita amalkan sesempurna-sempurnanya di dalam kalangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika sendiri.

Hanya secara demikian penyebaran prinsip itu dapat kita perluas sampai kepada perhubungan kita dengan negeri-negeri tetangga dan kemudian kepada yang lain yang lebih jauh tempatnya.

Agama mempunyai kedudukan yang sangat penting, teristimewa di bagian dunia kita ini. Agaknya di sini terdapat lebih banyak agama daripada di wilayah lain di muka bumi ini. Tetapi sekali lagi, negeri-negeri kita adalah tempat kelahiran agama-agama. Haruskah kita terpecah-belah karena adanya macam ragam dalam kehidupan keagamaan kita? Benar tiap-tiap agama mempunyai sejarahnya sendiri, sifat keistimewaan sendiri, “rasion d’etre”-nya sendiri, kebanggaan istimewa dalam keimanannya sendiri, misinya sendiri, kebenaran-kebenaran khusus yang hendak disiar-siarkannya. Tetapi kalau kita tidak menyadari, bahwa semua agama besar adalah sama dalam pesannya untuk mengutamakan toleransi dan dalam anjurannya untuk mengamalkan prinsip “Hidup dan membiarkan hidup”, kalau para penganut setiap agama tidak siap sedia untuk dengan cara yang sama menghormati hak-hak orang lain di manapun juga, kalau setiap negara tidak melakukan kewajibannya untuk memberi hak yang sama kepada penganut segala keyakinan, — kalau semua itu tidak dilaksanakan, maka agama akan turun derajatnya dan tujuannya yang sebenarnya akan tercemar dan terputar balik. Kalau negeri-negeri Asia-Afrika tidak sadar akan tanggung jawabnya dalam urusan ini, dan tidak mengambil tindakan bersama untuk memenuhiniya, maka kekuatan kepercayaan keagamaan, yang sedianya menjadi sumber persatuan dan benteng terhadap campur tangan asing, justru akan menyebabkan perpecahan dan dapat mengakibatkan hancurnya kemerdekaan yang telah diperoleh dengan susah payah oleh bagian-bagian Asia dan Afrika, yang telah bertindaik bersama-sama.

Saudara-saudara, Indonesia adalah Asia-Afrika dalam bentuk kecil. Indonesia suatu negeri yang mempunyai berbagai-bagai agama dan keyakinan. Di Indonesia terdapat Muslimin, orang-orang Kristen, pengikut agama Siwa Buddha dan orang orang dengan kepercayaan lain. Kecuali itu kami dapati banyak golongan-golongan suku-bangsa, seperti misalnya suku bangsa Aceh, Batak, Sumatra-Tengah, Sunda, Jawa-Tengah, Madura, Toraja, Bali, Ambon, dan lain-lain. Tetapi syukur kepada Tuhan, kami mempunyai kemauan bersatu. Kami mempunyai Pancasila. Kami mengamalkan prinsip “Hidup dan membiarkan hidup”, kami bersikap saling mengutamakan toleransi antara satu sama lain. Bhinneka Tunggal Ika — Persatuan dalam kemacamragaman — adalah semboyan Negara Indonesia. Kami adalah satu bangsa.

Jadikanlah Konferensi Asia-Afrika ini suatu sukses yang besar! Jadikanlah prinsip “Hidup dan membiarkan hidup” serta semboyan “Persatuan dalam kemacam-ragaman” kekuatan yang mempersatukan, yang membawa kita bergabung menjadi satu! Carilah dalam perbincangan yang bersifat persaudaraan dan bebas, jalan dan cara yang dapat menjamin kemungkinan bagi masing-masing untuk menjalani hidupnya, dengan caranya sendiri, dalam harmoni dan suasana damai!

Jika kita berhasil berbuat demikian, pengaruhnya atas kebebasan, kemerdekaan, dan kesejahteraan hidup manusia akan besar bagi dunia seluruhnya. Maka nyala saling-mengerti telah dinyalakan lagi, saka kerja sama didirikan kembali. Kemungkinan berhasilnya Konferensi ini telah dibuktikan dengan kehadiran Tuan-tuan sekalian di sini sekarang ini. Kitalah yang barus memberikan kepadanya kekuatan, memberikan kepadanya kekuasaan ilham, — untuk menyiarkan pesannya ke segala penjuru di dunia.

Kegagalan akan berarti bahwa nyala saling-mengerti, yang tampaknya terbit di Timur — nyala yang menjadi titik pandangan semua agama besar yang lahir di sini di masa yang lampau — kabur lagi oleh awan yang bengis sebelum manusia mendapat manfaat dari sinarnya yang hangat.

Tetapi, baiklah kita penuh harapan dan marilah kita penuh kepercayaan. Sangat banyak persamaan di antara kita.

Dipandang secara relatif, kita semua yang kini berkumpul di sini adalah tetangga. Hampir semua di antara kita terikat oleh pcngalaman yang sama, pengalaman penjajahan. Banyak di antara kita yang agamanya sama. Banyak di antara kita yang mempunyai dasar kobudayaan yang sama. Banyak di antara kita, yang disebut dengan istilah “bangsa-bangsa yang terkebelakang” mempunyai persoalan-persoalan ekonomi yang kurang lebih serupa, sehingga masing-masing bisa mengambil faedah dari pengalaman dan bantuan yang lain. Dan saya kira dapat saya katakan bahwa kita semua menjunjung tinggi cita-cita kemerdekaan nasional dan kebebasan. Ya, banyak hal-hal yang sama di antara kita. Tetapi alangkah sedikit sekali kita saling mengetahui tentang keadaan masing-masing.

Kalau Konferensi ini berhasil membuat bangsa-bangsa Timur, yang wakil-wakilnya berkumpul di sini, menjadi lebih saling mengerti sedikit, lebih saling menghargai sedikit, lebih saling menaruh simpati masalah-masalah masing-masing sedikit — kalau hal-hal itu terjadi, maka, barang tentu Konferensi ini ada faedahnya, di samping hasil-hasil lain yang dicapainya. Tetapi saya mengharapkan bahwa Konferensi ini akan memberikan lebih daripada saling mengerti belaka, dan goodwill belaka, — saya harap bahwa ia akan membuktikan kekeliruan dan menunjukkan kebohongan kata-kata yang diucapkan oleh seorang diplomat negeri asing yang jauh dari sini: “Kami akan mengubah Konferensi Asia-Afrika ini menjadi pertemuan minum teh di petang hari”. Saya berharap Konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin. Saya harap Konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap bahwa akan menjadi kenyataan bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu bahwa Asia baru dan Afrika baru telah lahir!

Tugas kita pertama-tama ialah mencari saling mengerti antara kita; dan dari pengertian itu akan timbul sikap saling menghargai, dan dari penghargaan itu akan terselenggara aksi bersama. Kenangkanlah perkataan salah satu daripada putera Asia yang terbesar: “Bicara adalah mudah. Berbuat adalah sukar. Mengerti adalah paling sukar. Sekali orang mengerti, tindakan menjadi mudah”.

Saya sampai pada akhir pidato saya. Insya Allah, berhasillah permusyawaratan Tuan-tuan dan semoga kebijaksanaan Tuan-tuan akan mencetuskan nyala yang terang dari persentuhan batu api-batu api keadaan dewasa ini yang keras itu.

Tidak usahlah kita mengutuki masa yang silam, mari kita tujukan pandangan mata kita dengan tegas ke arah masa depan. Marilah kita kenangkan bahwa tiada rahmat Tuhan begitu manis seperti Hidup dan Merdeka: Marilah kita kenangkan bahwa martabat segenap umat manusia akan turun selama masih ada bangsa-bangsa atau bagian dari bangsa-bangsa yang tidak merdeka. Marilah kita kenangkan, bahwa tujuan manusia yang tertinggi ialah: pembebasan manusia dari belenggu ketakutannya, dari belenggu yang menurunkan derajatnya, dari belenggu kemiskinannya, — pembebasan manusia dari ikatan-ikatan jasmani, rohani, dan intelektual yang telah terlalu lama menghalang-halangi kemajuan sebagian dari umat manusia.

Dan marilah kita kenangkan, Saudara-saudara, bahwa untuk hal ini semuanya, kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika harus bersatu.

Sebagai Presiden Republik Indonesia, dan atas nama delapan puluh juta rakyat Indonesia, saya mengucapkan selamat datang kepada Tuan-tuan sekalian atas kedatangan Tuan-tuan di negeri ini. Saya menyatakan Konferensi ini dibuka, dan saya berdoa semoga rahmat Tuhan mengiringinya dan mudah-mudahan perundingan-perundingannya akan membawa manfaat bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika, dan bagi rakyat segala bangsa.

Bismillah!

Selamat bekerja!

Sukarno, Pidato Pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 18 April 1955