Tulisan singkat ini bertujuan memperlihatkan kebutuhan dan tantangan proyek perdamaian dalam konteks desentralisasi dan demokratisasi. Bertolak dari fenomena konflik-konflik komunal satu dekade terakhir dan belajar dari kasus sengketa 6 Desa di Maluku Utara, tulisan ini menggarap dua pertanyaan penting berikut.
Pertama, mengapa proyek perdamaian perlu menggarap isu-isu konflik dalam spektrum politik pembangunan dan kedua, bagaimana sebaiknya membaca dan mengubah komunalisme politik menjadi politik kewarganegaraan yang memberi basis otentik bagi perdamaian tanpa meniadakan konflik? Adapun tiga hasil analisis sekaligus argumen yang mendukung terintegrasinya proyek perdamaian ke dalam spektrum politik pembangunan.
Pertama, komunalisme dalam politik lokal pasca desentralisasi bukanlah sumber masalah bagi perdamaian antar-komunitas, melainkan sebuah cara mengakses sumber daya publik di tengah absennya praxis demokrasi yang konkrit. Kedua, politik pembangunan yang berorientasi teknokrasi menjadi konteks struktural bagi berlarut-larutnya konflik antar-komunitas mengakses sumber daya publik. Ketiga, proyek perdamaian perlu mendiskusikan dan mentransformasi komunalisme terutama karena kecenderungannya melembagakan permusuhan dalam mengakses sumber daya publik.
Konflik dan Politik Pasca Desentralisasi
Dalam politik, konflik adalah landasan bagi berlangsungnya proses artikulasi kepentingan kelompok. Tanpa konflik, politik berhenti bekerja dan otoritarianisme mendikte hubungan negara dan warganya termasuk mengatur semaunya hubungan ko-eksistensial antar komunitas. Arti penting konflik semakin tak terbantahkan ketika demokrasi dihadirkan untuk mendefinisikan politik. Demokrasi membela perbedaan identitas dan kepentingan. Dalam hubungannya dengan praxis politik, demokrasi—institusi dan instrumennya—selalu berusaha memastikan agar pertarungan kepentingan antar kelompok tidak bersifat meniadakan satu sama lain.
Demokrasi sejatinya mendorong masuk perbedaan kepentingan ke dalam arena politik untuk merumuskan dan menghasilkan kepentingan bersama.[1] Dalam cara pandang ini, demokrasi mengubah politik menjadi semacam percakapan terus menerus dan tak kenal lelah demi tercapainya tujuan bersama di antara kelompok kepentingan, seberapapun lebarnya perbedaan di antara mereka. Konflik menjadi prasyarat politik dan demokrasi itu sendiri. Meniadakan konflik sama artinya meniadakan masyarakat dan negara terutama karena keduanya terbentuk dan digarap dalam perbedaan bukan dalam ruang kosong.
Lantas apa sebetulnya konflik dan politik yang sedang berlangsung dalam masyarakat kita sepuluh tahun terakhir dalam periode ‘demokratisasi’ dan ‘desentralisasi’ ini? Mengapa kekerasan selalu menyertai pertarungan politik dan mengapa pula konflik berlarut-larut tanpa kepastian resolusi melalui proses politik?
Tidak ada jawaban tunggal terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Satu hal yang pasti bahwa kekerasan dan konflik politik yang berlarut-larut di antara kelompok kepentingan dalam masyarakat telah mendorong para praktisi dan para akademisi membaca kembali hubungan antara politik, demokrasi dan kesejahteraan. Selain tak mendekatkan masyarakat pada kesejahteraan, konflik politik, baik di pusat maupun daerah, mempertontonkan serial sandiwara perebutan dan pembagian kekuasaan di antara para pemburu harta dan jabatan, sementara rakyat dibiarkan tetap jelata dan bertarung sendiri mengakses sumber daya publik.
Para elit politik berlaga ibarat serigala yang saling memangsa yang dengan bagusnya dilukiskan dalam peribahasa tua homo homini lupus, sementara di arena yang lain, warga negara menggelar protes dengan suara yang sayup-sayup dan lebih sering dilakukan dengan pertumpahan darah di antara mereka sendiri. Dalam bahasa yang sarkas, rakyat adalah nama lain bagi homo sacer, sejenis mahkluk hidup yang terus dibiarkan nyaman dan dibikin tertib pada garis subsistensi ekonomi.
Sejumlah Kajian
Untuk memperjelas kenyataan tentang terputusnya hubungan antara struktur atas dan struktur bawah, kita perlu memeriksa hasil-hasil kajian sejumlah penstudi konflik dan politik belakangan ini. Terkumpul dalam sebuah antologi bertajuk Politik Lokal di Indonesia, sejumlah penstudi meneropong dinamika hubungan politik dan kesejahteraan dalam konteks demokratisasi pasca Orde Baru.[2] Konflik-konflik yang berlangsung dari Aceh sampai Papua bercerita tentang sengitnya pertarungan elit-elit lokal merebut jabatan, memekarkan kabupaten dan propinsi, dan memobilisasi identitas etnis, agama dan teritorial untuk memenangkan pilkadal dan pemilu.
Hasil studi lain yang patut dirujuk adalah karya monumental Klinken Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.[3] Menggunakan pendekatan gerakan sosial, terutama konsep politik perseteruan (contentious politics), penstudi ini menyimpulkan bahwa kekerasan komunal yang terjadi di Maluku Utara, Ambon, Poso, dan Kalimantan Barat, tak terpisahkan dari runtuhnya rejim pemerintahan Orde Baru yang serba terpusat itu dan terbukanya kontak pandora kebebasan yang sekaligus berarti melebarkan peluang bagi kekuatan-kekuatan birokrasi dan aristokrasi lokal untuk saling merebut posisi politik baik dalam pemerintah maupun parlemen daerah. Masyarakat daerah terbelah ke dalam afiliasi-afiliasi simbolik, mengubah identitas budaya menjadi identitas politik melalui proses berdarah-darah selama lima tahun awal demokratisasi diselenggarakan. Politik komunal berjalan bersama kekerasan komunal di bawah kendali faksi-faksi politik lama dan baru di daerah-daerah konflik tersebut.
Dalam cerita yang nyaris serupa, penstudi lain merekam geliat hantu-hantu sejarah dalam konflik politik tersebut. Nordholt, misalnya, berargumen bahwa konflik politik antara kekuatan politik daerah pasca desentralisasi merefleksikan akar-akar patrimonialisme warisan sejarah, suatu komunalisme politik yang dikendalikan para penguasa lokal dengan latar belakang aristokrasi post-kolonial dan birokrasi modern Orde Baru.[4] Menurut penstudi ini, birokrasi pemerintahan dan aristokrasi lokal saling melayani kepentingan satu sama lain sejak Indonesia dibentuk sebagai negara-bangsa. Birokrasi pusat membutuhan para bangsawan dan tokoh masyarakat daerah untuk mengamankan model penguasaan secara tak langsung atas populasi dan teritori, sementara kelompok penguasa lokal membutuhkan negara untuk melegitimasi penguasaan langsung mereka atas manusia dan sumber daya ekonomi setempat.
Dalam rumusan berbeda, dilema praktis yang menjerat desentralisasi dan otonomi daerah dikaitkan dengan kualitas demokrasi. Studi Demos, misalnya, berargumen bahwa institusi dan instrumen demokrasi dibajak para elit birokrasi, politisi dan pengusaha kaya di sebagian besar propinsi dan kabupaten.[5] Partisipasi rakyat dalam pemilu dan pilkadal digerakkan dengan uang dan sentimen simbolis. Politik tampak super sibuk dalam kendali citra pribadi, modal dan koneksi antara kelompok patron-klien. Politik semacam ini tak mungkin menghadirkan kesejahteraan publik kendatipun desenstralisasi dan otonomi daerah disemarakkan dengan jalur-jalur aspirasi dari bawah. Uang rakyat dalam skema DAU-DAK, misalnya, dikelola jajaran birokrasi dan politisi melalui proyek-proyek infrastruktur.
Tujuannya tak lain membalas jasa tim sukses dan kelompok pendukung. Selain menjadi sasaran program pembangunan versi elit, tim sukses diberi peran sebagai kontraktor proyek. Kolusi dan korupsi berbiak dalam nalar dan cara berpolitik balas jasa ini. Di lain pihak, rakyat dibohongi dengan janji dan uang. Persoalan rakyat tak melangkah lebih jauh dari masalah sandang, pangan dan papan. Mereka diajar berpuas diri dengan kondisi yang ada dengan sedikit hiburan batin yang datang melalui paket BLT dan Raskin. Studi Demos sampai pada salah satu kesimpulan penting: desentralisasi dan otonomi daerah lebih banyak menimbulkan masalah bagi kesejahteraan rakyat karena absennya blok-blok politik rakyat yang digantikan oleh artikulasi-artikulasi komunal di bawah arahan birokrat, politisi dan pengusaha daerah.
Komunalisme: Mimpi Menjadi Sejahtera
Uraian singkat hasil-hasil studi tersebut hendak memperlihatkan bahwa konflik-konflik politik lokal dalam konteks desentralisasi bercerita tentang dua fakta penting. Pertama, dominasi elit dalam politik elektoral dan proses pembuatan kebijakan, dan kedua, partisipasi ‘rakyat’ dalam politik elektoral dan absennya mereka—sebagai warga negara—dalam proses pembuatan kebijakan.
Dua fakta ini adalah dua sisi yang saling membentuk dari apa yang disebut komunalisme dalam politik.[6] Komunalisme mempersatukan elit dan rakyatnya dalam simbolisasi etnis, agama dan teritori, sementara pada saat bersamaan ia menyembunyikan gap yang nyaris tak tersambungkan lagi antara struktur atas (fakta pertama) dan struktur bawah (fakta kedua). Hal ini pula yang menjelaskan mengapa konflik-konflik yang terjadi memunculkan dua fenomena konflik berdasarkan strukturasi politik komunal tersebut. Pertama, konflik antara elit dalam struktur atas, dan kedua, konflik antar-komunitas dalam struktur bawah.
Kendati demikan, dua tipe konflik struktural tersebut disatukan dalam komunalisme politik. Apa artinya? Dua tipe konflik itu tak lebih dari distribusi resiko-resiko politik yang dikondisikan oleh kesenjangan antara struktur atas dan struktur bawah. faksi-faksi elit bertarung dalam pilkadal dan pemilu. Pertarungan ini berlangsung dalam formula teman/musuh yang selalu saja sampai ke jalan buntu: menang atau kalah.
Menyiasati situasi ini tampak tak ada lagi jalan keluar dalam struktur atas selain menerobos masuk ke sttruktur bawah melalui politisasi identitas. Dalam kebuntuan ini agama, etnis, teritori dan narasi sejarah berubah menjadi kategori politik, tidak semata-mata simbol mati melainkan dihidupkan melalui konsolidasi dan mobilisasi politik. Dalam konteks inilah kekerasan muncul sebagai semacam sebuah percakapan politik antar identitas hasil konstruksi tersebut. Terkadang menjadi pertikaian berdarah-darah.
Mengikuti argumen di atas, kita perlu memandang kembali hubungan antara politik, konflik dan kekerasan kolektif pasca desentralisasi. Sebagaimana dijelaskan, komunalisme yang bergandengan dengan kekerasan perlu dibaca sebagai cara berpolitik untuk mengakses kesejahteraan yang disediakan dan dikelola negara. Mandulnya peran perwakilan parpol pasca desentralisasi memperkuat teknokrasi dalam kerja pembangunan melalui birokrasi pemerintahan daerah. Kendati bupati dan dewan perwakilan dipilih dalam pilkadal dan pemilu langsung tidak serta merta konstituen terhadirkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Sebagaiamana ditunjukkan sejumlah studi, proses pilkadal dan pemilu, misalnya, menjadi ajang untuk mengakses sumber daya birokrasi dan sumber daya pembangunan untuk kelompok komunal yang memenangkan pertarungan politik tersebut. Wujud komunalisme dapat berupa patronase, klientelisme, dan bosisme. Melalui ketiga bentuk politik ini, konflik-konflik politik di daerah melayani agenda elit dan kelompok kliennya yang teridentifikasi melalui agama, etnis dan teritori.
Kendati demikian, kita tidak sedang menuding elit sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap komunalisme. Elit-elit komunal lahir dan berkembang dalam komunalisme politik. Agenda kepemimpinan mereka adalah mengakses sumber daya birokrasi dan proses pembuatan kebijakan melalui parlemen daerah. Merebut arena kebijakan ini begitu penting dan mendesak terutama karena kemenangan memastikan mereka dapat memanfaatkan kapasitas alokatif dan regulatif untuk memenuhi kebutuhan konstituen komunal yang terbentuk dalam cara berpolitik komunalistik tersebut. Dalam situasi ini biasanya perseteruan faksi-faksi elit tidak berdiri sendiri. Perseteruan itu dalam beberapa segi yang nyata sekali mencerminkan pertaruhan kelompok komunal masing-masing.
Tentu yang muncul bukanlah konflik kepentingan berbasis kewarganegaraan demokratis, melainkan konflik kepentingan kelompok berbasis patronase dan klientelisme. Elektabilitas seorang politisi lebih banyak ditentukan oleh “jasa-jasa” sebagai patron, sementara dukungan klien terhadap patron datang dari keharusan membalas jasa. Begitu pula logik dan mekanisme pembangunan daerah terkunci dalam kebiasaan menggelontorkan proyek-proyek infrastruktur dalam skema belanja publik tanpa ada indikasi nyata bagi peningkatan PAD dan kemakmuran masyarakat. Kelompok klien tetaplah diperlakukan sebagai obyek intervensi teknokratis yang diselenggarakan pemda. Masyarakat pun terbelah ke dalam kelompok-kelompok komunal politik yang penuh perhitungan dan terbiasa merapatkan diri ke faksi-faksi birokrat tertentu untuk mendapatkan jatah proyek-proyek pemberdayaan dan pembangunan fisik.
Politik komunalisme menyembunyikan tidak saja solidaritas sempit dan cepat bubar tetapi juga semakin menjauhkan masyarakat dari usaha-usaha konkrit merumuskan kepentingan bersama melalui proses pembuatan kebijakan. Alhasil, rakyat menjadi pengemis dan penagih janji bupati dan anggota dewan. Sebaliknya, dua mahkluk politik terakhir itu bertindak sebagai patron pembangun yang baik hati.
Dengan kata lain, komunalisme politik merekatkan struktur-atas dan struktur-bawah dalam skenario pragmatis yang memantik pertikaian antar elit dan pertikaian antar kelompok komunal politik di tingkat bawah. Kita pun menyaksikan kenyataan bahwa desentralisasi rupanya semakin memantapkan developmentalisme versi Orde Baru di mana Pemda plus DPRD adalah pembuat kebijakan, sebagai perumus masalah dan agen pembangunan. Sementara di lain pihak rakyat adalah mahkluk jelata, tak lebih dari populasi yang diregister oleh stastitik untuk diintevensi proyek pembanguan dan diaktifkan hak politiknya melalui komunalisme dalam proses elektoral.
Seteru Enam Desa: Komunalisme sebagai pilihan
Cerita tentang komunalisme politik mendapatkan ilustrasi terbaik dalam kasus sengketa 6 desa di Maluku Utara. Berdasarkan assesment kohesi sosial yang dilakukan tim peneliti PSKP, diperoleh sejumlah informasi penting tentang sebab-sebab konflik dan eskalasinya.[7] Sebab-sebab konflik datang dari sejumlah versi yang terkumpul dalam assesement di lapangan. Sejumlah pihak yang diwawancarai, dari kelompok pro Halbar dan pro-Halut, memberikan cerita yang dibangun melalui argumen masing-masing. Argumen kunci berkisar soal kebijakan sepihak Pemerintah Pusat, narasi sejarah desa, narasi sejarah pelayanan birokrasi kabupaten, dan narasi tentang peran dan dampak lingkungan yang ditimbulkan eksploitasi emas PT Halmahera Mining untuk masyarakat di pesisir Teluk Kao tersebut.[8] Dari ragam versi itu, tulisan ini memberi gambaran lain, semacam konteks yang memungkinkan versi-versi itu dibangun dan dibela, yakni komunalisme politik.
Penelitian ini menemukan dua isu penting yang muncul dalam konflik tersebut. Pertama, reformulasi kebijakan tentang status enam desa dalam hubungannya dengan efektifitas pelayanan publik Pemda Kabupaten dan kedua, administrasi desa menjadi krusial karena diperlakukan sebagai unit politik untuk menyalurkan aspirasi untuk kesejahteraan penduduk desa. Dalam dua isu ini kita bertemu dengan paradoks yang membelit hubungan antara politik, birokrasi dan kesejahteraan.
Status desa menjadi kunci perdebatan baik di kalangan elit setempat maupun di kalangan kelompok masyarakat yang terbelah ke dalam dua versi dalam masing-masing desa. Ada anggapan yang kuat bahwa kejelasan status desa dapat menfasilitasi pelayanan publik secara lebih efektif kepada penduduk setempat. Desa dalam pandangan kedua kubu tidak semata-mata wilayah administratif pelayanan melainkan sebuah arena pertautan antara kepentingan penduduk setempat dan kinerja pelayanan birokrasi untuk merespon kepentingan tersebut. Sungguhkah demikian bahwa desa dapat diandalkan sebagai arena pertemuan berbagai kepentingan penduduk yang beragam berdasarkan mata pencaharian dan akses kepada sumber daya birokrasi?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik yang berlarut-larut justru dimungkin oleh absennya perspesi dan praktik artikulasi kepentingan di luar skenario administrasi desa. Masyarakat terbelah ke dalam dua kubu ekstrim perlu dibaca sebagai ekses dramatis dari cara membayangkan kesejahteraan diperoleh melulu melalui logik administratif. Siapa atau kelompok mana yang paling diuntungkan oleh skenario konflik semacam ini?
Jawaban cepat yang dapat diamati tak lain adalah kepentingan sekelompok elit baik itu berlabel tokoh politik, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kepentingan mereka tak berhenti pada pemeliharaan superioritas identitas simbolis. Lebih dari pada itu, melalui identifikasi ‘kepentingan’ berbasis desa kelompok ini membuat perhitungan politik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan mempelopori dan melanggengkan konflik administratif ini berkedok akses kepada sumber daya negara dan sumber daya alam, kelompok ini melirik ke atas, ke tingkat politik birokrasi yang lebih tinggi seperti kecamatan dan kabupaten.
Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa aparat desa maupun elit-elit desa, termasuk yang terkumpul dalam forum antar desa berdasarkan garis pro dan kontra, tidak begitu mempedulikan cara-cara sah mengakses sumber daya birokrasi untuk desa masing-masing. Pengujian terhadap ‘komitmen pro rakyat’ tidak terbukti melalui pemeriksaan jalur-jalur kanalisasi aspirasi seperti Musrembang dan lobi-lobi melalui anggota dewan selama penyusunan RAPBD maupun aktivitas selama masa reses. Bahkan di kalangan SKPD strategis tingkat kabupaten, muncul anggapan bahwa selain pelayanan publik wajib seperti sekolah dan rumah sakit, urusan pemberdayaan ekonomi petani dan nelayan menjadi tanggung jawab pihak pertambangan melalui skema Community Development.
Isu konflik yang berputar-putar di sekitar PP 1999 menyusul regulasi turunannya dan persoalan bagi hasil kegiatan pertambangan melalui skema Comdev rupanya menjadi santapan kelompok elit desa yang bermain mata dengan elit kecamatan, kabupaten dan propinsi terkait struktur peluang politik yang longgar dan selalu berubah-ubah dalam desentralisasi. Pertaruhan politik dalam pilkadal/pemilu dan peluang elektabilitas elit menjadi agenda tak terucap tetapi terus memantik dan mendramatisir sebab-sebab konflik yang hadir di permukaan sekaligus mengelabui kewarasan penduduk setempat. Pengamatan selama assessment menunjukkan dengan jelas bahwa sangat terbatas perhatian pemerintah kabupaten terhadap penduduk 6 desa ini kendati perselisihan dan ketidakharmonisan hubungan antar kelompok sudah berlangsung sejak 1999. Bahkan dana desa sebesar 55 juta per tahun anggaran kerap tak dikucurkan dan kalaupun dikucurkan tak cukup untuk mengongkos kegiatan-kegiatan bersama penduduk desa selain untuk menghargai kerja aparat desa.
Kasus seteru 6 desa bagi penulis merefleksikan kerentanan komunalisme politik. Adegan politik para elit dan bakal elit sebetulnya tidak ditunjang secara permanen oleh dukungan politik penduduk yang pro dan kontra. Basis utama yang melanggengkan konflik semacam ini adalah kapasitas elit untuk terus menerus memelihara sentimen simbolis dan teritorial-administratif. Situasi ini diperparah oleh keterbatasan masyarakat mendapatkan akses informasi mengenai proses kanalisasi aspirasi dan pembuatan kebijakan dalam model yang dikembangkan birokrasi seperti musrembang.
Absennya informasi itu berjalan bersama absennya pendidikan politik tentang hak-hak ekonomi dan politik warga negara. Ruang kosong ini pun memberi celah atau memungkinkan kecerdikan elit berpolitik atas nama rakyat. Keaktifan penduduk desa membela desa masing-masing tampak tak ada kaitan lagi dengan praksis pembangunan. Ilusi ini hanya mungkin terbentuk dalam komunalisme politik yang memberi kesan populis sementara terus membiarkan warga setempat bertarung sendirian untuk urusan sandang, pangan dan papan tanpa intervensi kebijakan pemda yang strategis. Terburuk dari sesat pikir ini adalah bahwa kemiskinan yang mendera warga disebakan oleh tidak jelasnya status desa (status yang sebetulnya sudah jelas berdasarkan peraturan pemerintah!).
Warga desa dari dua kubu pada dasarnya tidak begitu antusias dengan ‘sebab-sebab’ konflik versi aparat desa dan elit setempat. Bagi mereka, terpenting adalah perbaikan taraf hidup dan kepastian mata pencaharian. Dikomposisikan para petani dan nelayan dalam jumlah bervariasi di 6 desa tersebut, penduduk setempat lebih megidentifikasi diri mereka berdasarkan garis mata pencaharian serta kerentanan bersama dalam kehidupan ekonomi. Kejahatan developmentalisme yang bekerja dengan nalar birokrasi adalah pengabaian terus menerus terhadap petani dan nelayan sebagai kekuatan produksi.
Pengabaian ini berujung pada pengabaian kapasitas petani/nelayan (labor power) sebagai kekuatan politik dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Dalam konteks hegemoni developmentalisme inilah para elit memberikan pelajaran politik yang menyesatkan bahwa keberpihakan (pro-kontra) dapat menjadi resep mujarab menuju kesejahteraan. Di sinilah soal fundamentalnya, yakni kendati masyarakat tak antusias dengan sandiwara elit, mereka tetap terkungkung dalam imaji diri sebagai sasaran pembangunan. Mereka memandang diri sebagai obyek intervensi dan para elit menggarap imaji ini dengan cerdik untuk perhitungan ekonomi-politik mereka sendiri.
Tersanderanya masyarakat dalam pro-kontra kian diperparah oleh absennya pengorganisasian kepentingan berdasarkan mata pencaharian yang tentu melampaui tapal batal desa. Peningkatan kesejahteraan direduksi ke dalam urusan administrasi desa semata tanpa ada upaya-upaya konkrit politisasi kepentingan warga dalam proses pembuatan kebijakan. Desa berubah menjadi rukun komunal dengan narasi historis dan simbolis yang diandaikan tak bisa dilanggar dan diklaim akan digadai dengan nyawa sekalipun.
Ironi muncul, mengapa harus membela suatu posisi ketika posisi itu terbukti membatalkan kesejahteraan sebagaimana menjadi impian setiap warga desa. Bukankah slogan siap mati demi desa adalah refleksi hubungan intim antara kepentingan pragmatis dan supremasi identitas simbolis-historis yang paling digemari kelompok cerdik pandai dalam berpolitik? Mengapa tak hadir upaya-upaya konkrit menegosiasikan kembali kepentingan bersama antar kelompok pro-kontra? Bukankah kedua kelompok ini berbagi kepentingan ekonomi yang sama dari segi mata pencaharian ketika keduanya berkoar-koar tentang perbaikan kesejahteraan hidup?
Seteru 6 desa bercerita tentang komunalisme sebagai simpul penghubung struktur-atas yang disarati aktor politik serta kepentingan pragmatisnya dan struktur-bawah yang ditandai absennya kapasitas politik warga sekaligus ketakberdayaannya di hadapan rejim birokrasi developmentalis. Kendati demikian, komunalisme ini tak kekal karena ia adalah konstruksi politik untuk mengisi ruang kosong antara politik dan kesejahteraan, antara janji dan kenyataan. Paradoks ini sekian lama dialami warga 6 desa.
Mereka terus mempertanyakan manfaat dari posisi pro-kontra dan merasakan kejenuhan terutama karena ketidakharmonisan hubungan antara sesama saudara sendiri. Terkait perilaku elit politik, di kalangan warga desa berkembang sebuah persepsi bahwa janji retoris para elit politik ibarat ‘menulis dengan tinta putih’. Tak kunjung tuntasnya perselisihan menimbulkan keraguan tentang komitmen penyelesaian masalah melalui jalur perwakilan birokrasi-parlemen versi dua kabupaten serta ketidakmampuan pemerintahan propinsi mencari jalan keluar alternatif. Kendati belum terorganisir, keraguan akan kinerja elit politik-birokrasi dan kejenuhan hidup dalam suasana permusuhan memperlihatkan kerentanan komunalisme yang dikendalikan oleh pragmatisme elit.
Agenda Perdamaian: Menghancurkan Komunalisme
Kalau pun komunalisme adalah pilihan politik, maka kita dapat membayangkan jalan berpolitik berbeda yang dapat menghubungkan konflik dan kesejahteraan. Konflik bukannya ditiadakan melainkan sebaliknya dikerangkai melalui komunikasi dan negosiasi menuju kepentingan bersama. Pada titik ini, kita perlu memastikan aktor, arena dan tujuan yang tersirat dalam konflik tersebut. Mengapa demikian?
Sebagaimana ditunjukan sejumlah studi kasus konflik politik lokal pasca desentralisasi dan analisa kita atas kasus sengketa 6 desa di Maluku Utara, mobilisasi identitas simbolis-historis dan teritorial memiliki prasyarat penting. Pertama, negara, dalam hal ini birokrasi pemda dan DPRD, merupakan pengelola dan pendistribusi sumber daya terbesar untuk kemaslahatan publik. Pasca desentralisasi bukannya birokrasi menjadi efektif malah berubah menjadi arena pelembagaan patronase politik. Patronase politik ini berjalan bersama dengan patronase pembangunan dalam arti redistribusi sumber daya publik dikelola melalui model patronase. Sang patron birokrat-politisi adalah ‘perwakilan’ klien komunal di luar birokrasi.
Kedua, fenomena patronase pembangunan tersebut setali tiga uang dengan de-politisasi warga negara. Pasca reformasi depolitisasi tidak dikoreksi secara kelembagaan terutama reformasi peran partai politik. Alhasil, parpol tak lebih dari rumah singgah para patron komunal untuk proses elektoral (pilkadal/pemilu). Parpol bukannya menggarap konstituensi dalam bentuk pengorganisasian kelompok kepentingan (petani-nelayan), malah lebih memilih membesarkan pengurus partai dan menggarap pejabat-pejabat birokrat untuk bertarung dalam pemilu dan pilkadal.
Di sini pragmatisme menjadi panglima. Alih-alih menggarap konstituensi dari bawah, tugas itu beralih ke tangan para paket cabup/cawabup dan caleg dadakan yang harus mencari ‘massa’ sendiri dengan segala cara. Dalam tempo serba cepat dan darurat, rute singkat yang paling gampang ditempuh adalah menggalang sentimen wilayah (jalur dapil), etnis dan agama yang terbungkus dalam retorik putra daerah. Dalam hal ini substansi perwakilan bukan lagi kepentingan ekonomi yang konkrit dari para konstituen melainkan fantasi berkuasanya yang tersalurkan melalui sang putra daerah. Proses akrobatik ini adalah nama lain dari komunalisme politik.
Dua prasyarat konflik komunal di atas merupakan tantangan pegiat perdamaian dalam konteks desentralisasi hari ini. Konflik semacam ini tidak membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam perspektif demokrasi radikal, konflik dengan logik ini merupakan efek dislokasi yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat yang mengalami depolitisasi berlapis-lapis. Kondisi kemiskinan akibat teknokrasi pembangunan (bukan karena absennya pembangunan!) menghadirkan ketidakpastian dan ketergesaan dalam mencari-cari sebab masalah.
Dalam situasi depolitisasi yang akut, birokrasi, parlemen dan parpol dipimpin makhluk politik yang dikendalikan kepanikan dan ketakutan akan kehilangan jabatan dan kesempatan menilep dana publik untuk kepentingan sendiri dan kepentingan klien komunalnya. Situasi permusuhan di kalangan pemburu dan pembela jabatan dapat dengan mudah merembes masuk ke dalam lapisan masyarakat yang galau dan merindukan pedoman. Riwayat etnis dalam imaji kewilayahan dihidupkan kembali, begitu pula fantasi sejarah kekuasaan lama seperti kerajaan dan kesultanan digiatkan sedemikian rupa untuk membenarkan pilihan politik sarat kepentingan sepihak.
Menyelesaikan konflik ini butuh politik perdamaian yang berani membongkar logik komunalisme. Perdamaian, dalam wujud keharmonisan hubungan sosial antar komunitas, tidak mungkin tercapai tanpa memastikan sumber masalah mengapa komunitas saling berseteru. Bahkan sampai pada gugatan mengenai faktor-faktor yang membentuk komunitas itu sendiri. Dalam kasus sengketa enam desa, ‘komunitas’ pro-Halbar dan ‘komunitas‘ pro-Halut bukanlah kelompok yang sudah ada sebelum PP 42 dikeluarkan tahun 1999. Identitas mereka melekat dalam konflik, terbentuk dan terpelihara sejalan dengan absennya intervensi kebijakan, parpol dan advokasi yang sungguh-sungguh otentik dengan visi jangka panjang.
Di lain pihak, pengalaman assesment ini memperjelas argumen tulisan ini bahwa bahkan kalangan elit desa, baik pro dan kontra, dapat duduk bersama, berbagi cerita dan membayangkan masa depan bersama berkat perumusan kepentingan baru di luar logik komunalisme.[9] Kendati dirasa berat karena didorong meninggalkan perhitungan jangka pendek, setidaknya mereka dapat melihat keuntungan jangka panjang dari upaya-upaya negosiasi berorientasi kepentingan bersama. Mendorong mereka berbagi cerita tentang ketidakpastian mata pencaharian hidup yang mendera warga desa jauh lebih memungkinkan tumbuhnya persaudaran otentik, sikap saling peduli, dan komitmen untuk mengorganisir kepentingan ekonomi dan kebutuhan dasar warga desa untuk diperjuangkan melalui parpol, anggota dewan dan terpenting melalui Musrembang.
Politik perdamaian melalui skenario perumusan kepentingan bersama memiliki kapasitas membentuk kewarganegara demokratis dan menghadirkan politik pembuatan kebijakan yang bakal menghancurkan birokratisme pembangunan. Dalam skenario ini masyarakat sendiri yang menggarap perdamaian melalui pencarian basis nyata bagi ko-eksistensi. Kemiskinan dan pemiskinan melalui developmentalisme dapat dijadikan antagonisme, musuh bersama yang harus diberantas. Artinya, dalam kasus sengketa 6 Desa, basis pijakan bersama dicari dalam rumusan masalah baru agar masing-masing pihak tersertakan harapan dan kepentingannya. Dalam kasus ini, warga desa dari dua kubu berbagi cerita serupa bahwa tantangan terbesar mereka bukanlah pada ketepatan atau kekeliruan memilih desa sebagai jalan menuju kesejahteraan, melainkan bagaimana mereka merasa lebih pasti dalam kehidupan ekonomi dan segera keluar dari suasana permusuhan.
Dengan mengedepankan kemiskinan sebagai masalah aktual bersama, sejumlah pihak yang berkepentingan dalam sengketa batas administratif ini kehilangan gairah dan alasan untuk meneruskan sandiwara tersebut. Begitu pula terbuka peluang bagi warga terlibat dalam proses pembuatan kebijakan mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat kabupaten (Halbar dan Halut). Melalui jalur desa (2 versi) usulan warga tidak melulu pelayanan publik dasar seperti sekolah dan rumah sakit melainkan usulan-usulan pemberdayaan ekonomi kelompok petani dan nelayan.
Karena itu, pengorganiasian kelompok petani dan nelayan intra-desa maupun antar-desa mendesak dilakukan agar mereka dapat melihat persamaan dalam perbedaan. Mewujudkan hal ini sudah merupakan sebuah langkah maju yang efektif untuk mengikis komunalisme yang terkunci dalam identitas politik berbasis desa selama ini. Komunalisme hanya bisa diberantas oleh pikiran dan aksi bersama mereka sendiri. Melawan tirani elit berarti warga sendiri merumuskan masalah secara berbeda yang bertolak belakang dengan rumusan masalah versi komunalisme itu (“sebab-sebab konflik”!). Inilah agenda politik perdamaian selanjutnya.
Jalan menuju ko-eksistensi yang damai tidak semata-mata dituntun pedoman normatif, melainkan digarap melalui politik pembangunan. Jalan ini tentu panjang dan berliku. Tantangannya sangat aktual dalam konteks teknokrasi pembangunan versi negara dan krisis politik kewarganegaraan. Pengalaman konflik komunal selama satu dekade desentralisasi mendorong pegiat perdamaian bekerja lebih realistis. Bahwa dalam cengkeraman komunalisme politik, masyarakat perlu didorong untuk merumuskan masalah baru berdasarkan kepentingan mereka sendiri.
Pilihan ini nyata dan bisa dilakukan. Bukan saja karena masyarakat adalah kumpulan warga negara dengan hak-hak ekonomi dan politik tetapi juga karena adanya kebenaran sejarah yang tak terbantahkan: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Persatuan itu, merasa satu dalam perbedaan, bukan karena ajaran moral yang diluhurkan atau didikte segelintir politisi-birokrat yang cerdik pandai, melainkan hasil pergumulan mencari persamaan dalam perbedaan. Barangkali dengan cara ini, perdamaian menjadi lebih konkrit karena dikonkretisasi melalui penghampiran terus menerus terhadap intisari persoalan manusia Indonesia.
(Frans Djalong. Refleksi Penelitian PSKP-UGM, Sengketa 6 Desa dan Kohesi Sosial di Maluku Utara, 2009)
Referensi
Mas’oed, Mohtar. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Djalong, Frans dan Sugiono M. “Indonesian Paths to Peace: From Liberal Framework to Local Conflict Resolution”, Power, Conflict and Democracy Journal, Vol. I No. 1 (October 2008), pp.166-184
Antlov, Hans. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002.
Tim Peneliti PSKP UGM. Membangun Perdamaian dalam Masyarakat, Membangun Kohesi sosial di Halmahera, Maluku Utara. (Rekomendasi Kebijakan). PSKP UGM bekerjasa dengan Lembaga Mitra Lingkungan Maluku Utara dan Serasi-Usaid
Tim Peneliti PSKP UGM. Laporan Workshop Kohesi Sosial (2010).
Klinken, Gerry van. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 2007
Malley, Michael S. “New Rules, Old Structures and The Limits of Democratic Decentralization”, dalam Edward Aspinal dan Greg Fealy (ed) Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Singapura: ISEAS, 2003
Pemda Kab Halut. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Halmahera Utara Tahun 2009.
Tim Peneliti PSKP/LML Maluku Utara. Laporan Assesment/Observasi Enam Desa. (Dokumen Penelitian).
Nordholt, Schulte Henk dkk. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 2007.
Mardyanto Triyatmoko. “Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elit di Maluku Utara”, LIPI Jilid xxx/no 1/ 2005
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso, 1985, hal 176-193;
Chantal Mouffe. The Democratic Paradox. London: Verso, 2000, lihat khusus uraian Bab 4 “For an Agonistic Model of Democracy”, hal 80-107
Chantal Mouffe. “Decision, Deliberation and Democratic Ethos”, Philosophy Today, Springs 1997, 24-30.
[1] Konsep politik, kesejahteraan dan konflik yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari pemikiran demokrasi post-Marxist dan post-foundasionalist dengan proponen utamanya adalah Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Berbeda dari teorisasi konflik dan politik versi demokrasi liberal (model agregasi, deliberasi, institusional, prosedural), keduanya mengembangkan teori demokrasi radikal. Teori ini membahas kembali apa yang hilang atau sengaja dihilangkan dalam teori demokrasi liberal, yakni, peran penting konflik dalam politik. Dalam pandangan liberal, konflik kepentingan sekedar cara berpolitik yang diatur oleh hukum dan keputusan politik dibuat para politisi dan teknokrat untuk kepentingan rakyat. Demokrasi radikal sebaliknya memandang konflik sebagai esensi politik terutama karena melalui konflik, identitas dan kepentingan ikut terbelah dan diperbaharui menjadi identitas baru dan kepentingan bersama kendatipun kekhasan masing-masing kelompok tetap eksis. Implikasinya jelas bahwa kalau dalam demokrasi liberal gagasan tentang identitas dan kepentingan itu sudah final dan tinggal dipertarungkan dalam perebutan kekuasaan, maka dalam demokrasi radikal keduanya justru selalu terbentuk dan diperbaharui dalam pertarungan politik. Kefinalan identitas dan kepentingan membuat politik tak lebih dari perkelahian antara kawan-musuh (friend/enemy model) dengan resiko memproduksi kekerasan atas nama kebenaran dan tirani mayoritas. Sebaliknya, menerima identitas dan kepentingan sebagai dua hal yang selalu terbuka dan terbelah menghadirkan model pertarungan politik antara kita-mereka (agonistic model) yang membuat seseorang atau kelompok menjadi militan memperjuangkan kepentingan bersama ketimbang menjadi pendekar serakah yang memuaskan fantasi tentang supremasi kelompoknya sendiri. Penjelasan tentang hubungan politik, konflik, kesejahteraan, lihat Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso, 1985, hal 176-193; Chantal Mouffe. The Democratic Paradox. London: Verso, 2000, lihat khusus uraian Bab 4 “For an Agonistic Model of Democracy”, hal 80-107; lihat juga, Chantal Mouffe. “Decision, Deliberation and Democratic Ethos”, Philosophy Today, Springs 1997, 24-30.
[2] Lihat Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed). Politik Lokal di Indonesia. Jakarta Yayasan Obor, 2007. Sejumlah tulisan yang dapat dirujuk dalam antologi ini antara lain: Lorraine Aragon. “Persaingan Elit di Sulawesi Tengah” hal. 49-86; John McCharty. “Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik atas Alam di Kalimantan Tengah”, hal.189-224; Taufik Tanasaldy. “Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat”, hal. 461-490; Franz dan Keebet von Benda-Beckman. “Identitas-Identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau”, hal.543-576; Jaap Timmer. “Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua”, hal. 595-625.
[3] Lihat Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 2007i
[4] Dalam studinya, Nordholt membangun sebuah tesis penting yang diringkas dengan frase ‘Changing Continuities’, kesinambungan-kesinambungan yang berubah. Intinya adalah bahwa penerapan desentralisasi dan gagasan otonomi daerah dalam praktiknya bukannya bersifat antitesis terhadap ikatan-ikatan patrimonialisme yang mendera masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan terutama cara-cara berpolitik warisan Orde Baru, melainkan memungkinkan ikatan-ikatan tersebut menjadi cara bagi ‘putra-putri daerah’ merumuskan dan memperjuangkan identitas dan kepentingan politik mereka. Lihat, Henk Schulte Nordholt. “Decentralization in Indonesia: Less State, More Democracy?”, dalam John Harris dkk (ed) Politicising Democracy, The New Local Politics of Democratization. New York: Palgrave MacMillan, hal 29-50.
[5] Lihat, AE Priyono dkk. Making Democracy Meaningful: Problems and Options in Indonesia. Yogyakarta: PCD Press, 2007; lihat juga Willy Samadhi dan Nicolaas Warrouw. Demokrasi di Atas Pasir. Yogyakarta: PCD Press, 2009.
[6] Pengertian komunalisme bisa jamak. Dalam penggunaan liberal, tepatnya demokrasi liberal, istilah ini berkonotasi negatif dan selalu saja dikaitkan dengan tradisionalisme dan perilaku pemimpin karismatis. Dalam tradisi Weberian, misalnya, komunalisasi dipahami sebagai bentuk artikulasi kolektif berbasis solidaritas sosial, dipelihara ikatan tradisional dan berwatak emosional. Ini dikontraskan dengan artikulasi rasional berbasis kepentingan dalam kerangka agregasi sebagaimana dibayangkan dalam perhimpunan modern. Implikasinya jelas bahwa komunalisme dipandang sebagai penyakit sosial dan gejala politik anti-demokrasi. Begitu pula efek bacaan liberal ini menulari analisis para penstudi politik dan multikulturalisme di Indonesia belakangan ini. Komunalisme seperti ‘fundamentalisme’ agama dibaca sebagai negasi terhadap multikulturalisme, dikaitkan dengan ‘radikalisme’ dan kekerasan. Hal serupa muncul dalam bacaan tentang gejala komunalisme dalam konteks demokratisasi. Politik Indonesia, khususnya di propinsi dan kabupaten, diramaikan oleh faksi-faksi politik komunal dan praktek ini disebakan oleh kuatnya ikatan tradisional berdasarkan agama etnis dan wilayah. Direkayasa elit semata dan masyarakat dihalusinasi dengan keluhuran budaya dan mendisain masa kini dengan nostalgia. Sungguhkah demikian?
Pengertian komunalisme dalam tulisan ini dibangun dengan argumen berbeda. Komunalisme justru dipandang sebagai pertama, cara mengisi ruang kekuasaan yang selalu kosong dan kedua, cara membentuk subyek politik. Hanya saja proyek politik dan subyek yang terbentuk tidak memenuhi preskripsi demokrasi substansial. Dalam konteks Indonesia satu dekade terakhir, demokrasi prosedural memungkinkan komunalisme berbiak. Dalam arti, untuk mengisi ruang kekuasaan, melalui perebutan otoritas politik (kepala daerah/DPRD) serba cepat dan murah, kerja politik paling mungkin adalah menggarap isu etnis, agama dan wilayah. Ini dilakukan elit politik kita bukan semata-mata karena serakah atau membohongi rakyat tetapi juga karena apa yang kita luhurkan sebagai ‘rakyat’ itu tak pernah diberdayakan secara politik. Demokrasi berhenti sebagai dogma, mekanisme, dan lembaga, sementara logik-kerja demokrasi untuk membuat rakyat menjadi makhluk politik nyaris tak terpikirkan sama sekali. Partai semakin banyak, organisasi-organisasi sipil tumbuh bak jamur di musim hujan, tetapi rakyat tak ada di sana. Dia ‘terwakilkan’ saja, dia adalah obyek intervensi atau sasaran program dan proyek. Dalam konteks inilah, komunalisme politik berbasis agama, etnis dan wilayah tampil sebagai cara berpolitik yang tersedia di depan mata dan bisa digarap tanpa kerja keras membentuk rakyat sebagai warga negara demokratis. Untuk bahan perbandingan, lihat Hikmat Budiman (ed). Komunalisme dan Demokrasi: Negosiasi Rakyat dan Negara. Jakarta: The Japan Foundation Asia Center dan Forum Interseksi, 2003
[7] Data-data assessment terkumpul dalam Tim Peneliti PSKP. Laporan Assessment Kohesi Sosial: Studi Kasus 6 Desa (2010). Lihat juga, Tim Peneliti PSKP. Rekomendasi Kebijakan: Membangun Perdamaian dalam Masyarakat, Mengembangkan Kohesi Sosial di Halmahera, Maluku Utara (2010).
[8] Berikut ringkasan sebab-sebab konflik yang dihimpun tim peneliti selama assessment:
- PP No. 42/1999 dibuat tanpa pelibatan atau masukan dari masyarakat di daerah (versi pro-kontra.
- Pemerintah Pusat yang kurang memperhatikan aspek tradisi/kultural masyarakat dalam membuat PP No. 42/1999 karena enam desa secara tradisi merupakan masyarakat Jailolo dan Kesultanan Jailolo, bukan Tobelo (versi pro Halbar).
- Adanya kepentingan-kepentingan politik elit di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Hal ini terkait Pilkadal, Pemilu Legislatif dan agenda pemekaran wilayah. Menjadikan 6 desa sebagai basis mendulang suara. Kondisi pro-kontra menguntungkan politisi dari dua kabupaten yang mencoba peruntungan suara berkat pengkaplingan wilayah dapil. Begitu pula kelompok yang getol agar 6 desa masuk Kab Halbar memiliki agenda politik yang lebih ambisius. (Versi pro Halbar dan Pro Halut).
- Tarik menarik PT NHM (PT. North Halmahera Minerals) antara Kabupaten Halut dan Halbar. Community Development lebih melayani kepentingan Pemkab Halut dan memprioritaskan warga desa pro-Halut (versi pro-Halbar).
- Tingginya kerusakan lingkungan akibat pertambangan tersebut mempengaruhi basis ekonomi warga desa, terutama kelompok nelayan. (versi pro Halbar dan pro Halut). Hal ini menjadikan pihak pertambangan sebagai aktor konflik selain birokrasi dua kabupaten.
- Kelambanan Pemerintah Provinsi dalam menanganangi masalah terkait PP No. 42/1999 dan UU No. 1/2003. Konflik antara Pemkab 2 kabupaten ini membutuhkan negosiasi yang dapat dilakukan secara aktif oleh pemprop. Akibatnya, masyarakat semakin terbelah ke dalam 2 kotak pemerintahan, Kabupaten Halut atau Kabupaten Halbar.
[9] Lihat Tim Peneliti PSKP. Laporan Workshop Kohesi Sosial (2010)-Sofifi. Dalam workshop ini perwakilan dua desa membicarakan sejumlah pokok masalah bersama seperti pendidikan sekolah, pelayanan kesehatan dan rumah sakit, program-program pemerintah tahunan dan lain-lain. Juga dibahas pentingnya asosiasi nelayan dan petani untuk memudahkan proses pengusulan program dari tingkat desa ke tingkat lebih tinggi terutama Bappeda dan SKPD terkait. Isu yang mempersatukan para pihak adalah soal dampak tambang emas di wilayah itu. Dampak ini sangat dirasakan para nelayan yang merupakan komposisi terbesar dari total 6 desa (pro dan kontra). Dengan menjadikan dampak pertambangan sebagai simpul, negosiasi-negosiasi selanjutnya dapat de-formasi ‘sebab-sebab’ konflik versi elit. Workshop ini menjadi ilustrasi terbaik dari upaya bersama mereka merintis kerja sama untuk kepentingan bersama. (Agenda politik perdamaian selanjutnya!).