Indonesia emas 2045 muskil terwujud jika sejak sekarang masalah ekonomi-politik desa tidak diprioritaskan dan diintegrasikan dalam strategi nasional. Pentingnya desa kembali dibahas Baleg DPR RI belakangan ini. Kendati awalnya dimaksudkan untuk membahas aspirasi 74961 kepala desa terkait perpanjangan masa jabatan menjadi 9 tahun, seluruh fraksi, termasuk parpol oposisi Demokrat dan PKS, bergerak lebih jauh, membahas kompleksitas persoalan, tantangan dan peluang desa sejak diberlakukan UU Desa 6/2014. Sekaligus memberi catatan alternatif atau penyeimbang bagi narasi resiliensi desa menyelematkan ekonomi Indonesia dalam dua tahun masa pandemi Covid-19 (2020-2022).
Di tengah kasak-kusuk politik elit jelang pilpres/pemilu 2024, tentu ini kabar baik dari Senayan. Dalam pembahasan awal dan melalui Rapat Panja, kumpulan politisi cerdas ini menggunakan isu jabatan kepala desa sebagai masalah proksi. Di dalamnya ditinjau kembali kelola kekuasaan kepala desa, isu pilkades calon tunggal atau melawan kotak kosong, usulan penambahan dana desa, status perangkat desa, tunjangan purna tugas dan sumber pembiayaannya dan kelola aset desa. Pembahasan tersebut berimplikasi pada usulan penambahan alokasi dana desa berdasarkan pagu atau persentase dengan konsekuensi selanjutnya pada besaran transfer daerah pada lima jenis transfer daerah antara lain Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Otsus dan Dana Keistimewaan.
Hal terpenting sekaligus tak terduga, para wakil rakyat bersepakat bahwa menata desa sekaligus berarti menata cara negara bekerja menghadirkan kemakmuran dan kedaulatan rakyat. Hal tersebut tampak dari kesungguhan dan keberanian untuk membahas status otonomi desa dalam sistem ketatanegaraan dan keperluan memasukan besaran persentase alokasi dana desa dalam amandemen UUD 1945 sebagaimana alokasi dana pendidikan dan kesehatan. Termasuk dibahas dampak buruk sektoralisme kementerian-kementerian terkait misalnya terpenting antara lain isu kehutanan/konservasi, agraria, lingkungan hidup, pariwisata dan ekonomi kreatif. Tidak sedikit desa terkena sindrom ‘kutukan sumber daya alam’ atau sebaliknya ‘dimiskinkan’ melalui kebijakan konservasi dan lingkung hidup. Pesannya jelas, desa bertahun-tahun tersandera antara harapan desa membangun Indonesia emas atau kenyataan negara gagal membangun desa emas. Inilah dilema atau paradoks desa terkini yang secara tersirat muncul dalam pembahasan Badan legislasi antara demokrasi rakyat dan teknokrasi elit.
Ada kesan kuat membebaskan desa dari cara pandang top-down, seakan-akan tumpukan masalah terkait realisasi otonomi desa sepenuhnya berasal dari dan di dalam desa. Dengan menekankan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan eksprimentasi demokrasi, isu jabatan kades dikeluarkan dari dilema keliru demokrasi atau oligarki sebagaimana dipicu oleh debat publik merespon uji materi pasal 39 ayat 1 dan 2. Dalam dilema keliru tersebut masalah di tingkat desa disempitkan semata perilaku koruptif dan diskriminatif kepala desa. Sangat disyukuri badan legislasi tidak meneruskan paradigma kolonial dengan bias modernis dan metropolitan yang meramaikan diskusi publik dan kajian akademik.
Berpikir Strategis
Kendati demikian, komitmen politik membangun desa agar desa membangun Indonesia, harus diterjemahkan dengan cara berpikir strategis. Yaitu digunakannya metodologi berpikir kebijakan yang bersifat sirkular dan atribusi, sungguh-sungguh mempertimbangkan hubungan saling pengaruh-saling berdampak antara faktor yang membuat desa sangat tertinggal, tertinggal, berkembang dan maju (tipologi teknokratis). Dari sana bisalah dibedakan akar-akar masalah seperti kelembagaan administratif, kewenangan politik termasuk diskresi kepala desa, pelembagaan partisipasi warga khususnya penguatan peran BPD, kelola BUMDes/BUMDes Bersama dalam konteks kawasan ekonomi kabupaten-provinsi, yang saling berkelindan, melahirkan gejala akut seperti korupsi, patronase-klientelisme lokal dan konflik internal berkepanjangan.
Dalam kacamata ekonomi-politik, desa adalah ruang arsiran kekuasan. Kendati telah diberi kewenangan tersendiri, desa dan pembangunan perdesaan berada dalam ruang interseksi kebijakan nasional dan kebijakan daerah. Tercatat masalah pembangunan ekonomi dan demokratisasi di desa tidak terlepas dari belum efektifnya tata kelola kebijakan pembangunan pusat-daerah, koordinasi lintas sektoral/antar kementerian terkait dan otorisasi kewenangan administrasi. Terhitung di dalamnya variasi masalah dan tantangan desa-perdesaan berdasarkan wilayah kemajuan-ketertinggalan, kualitas pelayanan publik, konsentrasi industri dan investasi, infrastruktur dan mobilitas manusia, barang dan jasa.
Setidaknya parameter baru ekonomi-politik mulai digunakan ketimbang meneruskan parameter teknokrasi tentang tipologi desa tanpa atensi pada analis dinamika ekonomi kewilayahan dan politik kebijakan. Faktor-faktor kunci ini telah dan sedang dibahas dalam rapat Panja Baleg DPR RI dan tentu membuka kotak pandora yang selama ini diabaikan yakni anggapan kebijakan teknokratis bahwa masalah desa tidak lebih dari sekadar problem regulasi dan teknis-administratif. Ke depan diharapkan tipologisasi dirumuskan lebih komprehensif, menghitung atribusi saling pengaruh antar faktor politik kebijakan, dinamika ekonomi wilayah, orientasi sosial-budaya dan proyeksi keamanan.
Berpikir dan bekerja strategis membangun desa mendesak dilakukan khususnya pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan Jokowi pada peluncuran agenda Indonesia Emas 2045, peluncuran RPJPN 2025-2045, PPN/Bappenas, 15 Juni 2023. Mendorong desa menjadi maju, kuat dan mandiri terbatalkan dengan sendirinya jika pemerintah berperilaku sebagai donatur yang baik hati sekaligus penonton yang superaktif. Seakan-akan dengan agenda menambahkan alokasi dana desa dan penguatan kewenangan kepala desa sudah mencukupi untuk mencapai empat tujuan UU Desa dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Dua Kerentanan
Dalam posisinya sebagai ruang arsiran kebijakan pusat-daerah, praktek otonomi desa mengalami dua situasi permanen terkini yaitu kooptasi politik dari kekuasaan, di dalam dan di atasnya, serta teknokrasi pembangunan ekonomi dari tren kebijakan nasional. Dua kecenderungan ini berjalan bersamaan, saling menegaskan, membuat desa sulit keluar dari korporatisasi ekonomi-politik elit warisan Orde Baru.
Dari segi demokrasi politik, desa berubah menjadi arena pertarungan patronase lokal yang sengit dan berbasis identitas dengan dampak ketegangan sosial berlarut-larut pasca pilkades. Penyelenggaraan pemerintahan seringkali tidak efektif, konflik mengemuka terkait pergantian aparatur desa, BPD menjadi proksi seteru antara pendukung kades dan kandidat yang gagal. Alih-alih terbangun konsensus membangun desa, sentimen kalah-menang dan balas dendam terpelihara dengan berbagai cara termasuk terburuk diperlihatkan kepala desa dalam siklus kebijakan sampai pada diskriminasi pendataan dan pengalokasian program pusat dan kabupaten.
Sengitnya perpolitikan desa tidak terlepas dari polarisasi politik serta ketegangan sosial selama pemilu dan pilbup. Komplikasi masalah ini tentu bervariasi di antara desa, kecamatan dan kabupaten. Satu hal yang pasti adalah bahwa komplikasi faktor tersebut berpengaruh secara langsung terhadap kohesi sosial dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan desa. Seringkali terjadi konsekuensi dari perbedaan preferensi politik pilkades dan pilbup berlanjut pada surplus atau defisit alokasi dan koordinasi program kabupaten di desa atau kawasan perdesaan kecamatan tertentu. Desa kembali terbajak dalam situasi paradoksal, ‘vote matters, resource decides’.
Saling pengaruh antara perilaku politik elektoral dan perilaku kebijakan juga terbaca dalam akuntabilitas perwakilan politik berdasarkan dapil. Preferensi politik pemilu legislatif pusat, provinsi dan kabupaten menentukan apakah politisi terpilih akan melakukan belanja masalah dan mengusulkan program prioritas di desa atau kawasan perdesaan tersebut. Ini tantangan yang pelik, ibarat mengurai benang kusut, karena akar masalah berada pada problematika sistem pemilu dan sistem kepartaian yang berorientasi pada monopoli organisasi parpol dan politisi sebagai tokoh ketimbang gerakan sosial-politik. Tentu lebih sulit lagi membayangkan pengoperasian dua sistem politik tersebut bakal menghasilkan blok-blok politik berbasis kepentingan desa atau perdesaan.
Dari segi teknokrasi sosial-ekonomi, orientasi pembangunan desa dan perdesaan bertemu dengan imperatif pembangunan nasional yang bersifat top-down. Konstruksi kebijakan dan narasi resmi tentang desa maju dan mandiri tidak terlepas dari arahan pusat dan daerah mengenai inovasi kebijakan dan kreativitas ekonomi. Terkesan desa mengalami kolonisasi ganda, di tingkat kabupaten mengikuti preferensi kebijakan pemda dan di tingkat nasional memenuhi imperatif SDGs dan digitalisasi ekonomi. Hal ini dialami sebagian besar desa di luar pulau Jawa, di kabupaten-kabupaten yang berusaha keluar dari ketertinggalan.
Kendati jumlah BUM Desa meningkat dari 8.189 tahun 2014 menjadi 60 417 tahun 2022 termasuk 6583 BUM Desa Bersama, tren ini tidak sepenuhnya bercerita tentang variasi wilayah kemajuan desa, kondisi sumber daya manusia, ketersediaan sumber daya alam. Tidak kalah penting menghitung dampak ekonomi berkelanjutan dari titik temu kawasan program strategis nasional dan program prioritas kabupaten terhadap desa dan kawasan perdesaan.
Harus diakui bahwa sampai sekarang ini belum terumuskan dalil ekonomi makro dan metodologi formulasi kebijakan dalam proyeksi dan kalkulasi dari program strategis nasional, program prioritas daerah dan pembangunan desa. Dibayangkan jika dalil dan metodologi itu terumuskan, proyeksi pembangunan ekonomi desa terutama inisiatif kebijakan bisa lebih terukur, tepat sasaran, tepat waktu, berdampak luas dan tentu saja berkelanjutan.
Dengan metodologi ekonomi-politik ini, dua mitos dihancurkan sekaligus. Yaitu bahwa desa bisa membangun dirinya sendiri sambil membayangkan tambahan alokasi dana desa dan perpanjangan jabatan kades adalah resep pamungkas. Kedua dihancurkan mitos yang bersifat distraktif di kalangan pejabat pusat dan daerah, yaitu imperatif kebijakan pemerintah pusat dan daerah sudah sesuai kebutuhan dan kebijakan di desa semata menyesuaikan dengan pedoman tersebut.
Kembali ke Akar Masalah
Cita-cita Indonesia emas tentu harus diwujudkan dari desa sebagai lokus dan agensi, menempa kekuatan ekonomi dan membangun politik kebangsaan. Tidak ada cara lain selain koreksi sistematis terhadap tren teknokratisasi dan tren politisasi desa. Tinjaun badan legislasi DPR RI sepatutnya dijadikan momentum penting untuk menghasilkan rumusan masalah strategis dan taktis yang selama ini menyulitkan desa untuk maju, kuat, mandiri dan demokratis.
Badan legislasi tidak saja membahas sejumlah masalah desa di atas tetapi sudah melakukan analisis hubungan antara isu sebagai problem struktural pembangunan ekonomi-politik desa. Masalah desa tidak lagi disebabkan sepenuhnya dari dan di dalam desa melainkan hasil relatif dari komplikasi persoalan struktural kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Semangat dekolonisasi terhadap kebijakan teknokratis patut didukung sembari memastikan perpanjangan masa jabatan kepala desa dan tambahan alokasi dana desa harus memicu demokratisasi penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di tingkat akar rumput. Semoga semangat legislatif melampaui kalkulasi elektoral 2024 ini mendapat respon serupa dari Presiden, Kementerian Desa PDT dan kementerian terkait lainnya.