Memusatkan perhatian kajian pada aktor dan tindakan teror merupakan salah satu perspektif yang sangat berpengaruh dalam memahami terorisme. Salah satu alasannya adalah karena kajian terorisme masih menjadi bagian integral dari kajian keamanan konvensional, yang sangat berorientasi pada negara sebagai titik tolaknya (state-centrism).
Dalam perspektif ini, terorisme terkait dengan orang atau kelompok orang serta gagasan yang dianggap sangat memperngaruhi tindakan-tindakan teror yang mereka lakukan. Berangkat dengan karakteristik ini, maka implikasinya bagi upaya untuk memerangi terorisme adalah dengan mengidentifikasi aktor dan menjelaskan perilaku teror tersebut dari dalam diri pelaku tersebut. Dalam artian ini, motivasi dan semua pemikiran yang mendorong pelaku teror untuk melakukan tindakan-tindakannya menjadi sangat penting untuk dilihat.
Dalam perspektif ini, teroris dan tindakan-tindakan teror merupakan satu rangkaian tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Terorisme adalah sebuah fenomena yang terkait dengan aktor yang sangat spesifik, yang dalam definisi saat ini adalah bukan negara, yang memiliki pandangan ataupun dorongan tertentu dan melakukan tindakan teror. Implikasinya, setiap tindakan kekerasan yang diidentifikasi dilakukan oleh aktor di luar negara dan dilakukan dengan motivasi yang sangat jelas, cenderung akan diacu sebagai satu bentuk terorisme. Dengan kata lain, terorisme pada dasarnya terkait dengan legitimasi aktor dalam menggunakan kekerasan (Franks 2006, 12-17). Jika tindakan kekerasan dilakukan oleh aktor tanpa hak untuk menggunakan kekerasan, maka tindakan kekerasannya juga by default juga tidak memiliki legitimasi.
Empat wajah imperial Global War on ‘Islamic Terrorism’, menciptakan dan memerangi Al-Qaida dan ISIS, proksi ‘teroris’ ciptaan CIA sendiri, (Sumber foto: NYU Local)
Mendefinisikan Musuh
Pada dasarnya perspektif aktor tentang terorisme merupakan perspektif yang mendasarkan pada identifikasi musuh. Dalam konteks terorisme gelombang keempat ini dan terorisme dilihat sebagai ancaman global, maka terorisme dipahami juga sebagai musuh internasional (Frederich 2006; Saul 2005). Namun, perdebatan tentang definisi terorisme yang berlangsung sejak tahun 1970an di PBB belum menghasilkan suatu konvensi tunggal tentang terorisme internasional. Terdapat kesepakatan mengenai adanya musuh internasional, yang disebut dengan terorisme, sementara siapa dan entitas mana masuk dalam kategori teroris belumlah terumuskan secara pasti. Sebanyak 16 instrumen hukum internasional dipakai untuk mendefinisikan terorisme dengan formula functional extrapolation (Lee 2007:137-153).
Negara dan kekuatan internasional berhak mendefinisikan siapa dan organisasi apa yang dapat disebut terorisme. Definisi terorisme paling jelas tersurat dalam resolusi Dewan Keamanan 1566 (S/RES/1566/2004). Terorisme adalah aktor non-negara, melakukan kekerasan terhadap warga sipil, menciptakan teror dalam masyarakat luas atau sekelompok masyarakat, dan bertujuan mempengaruhi negara dan kekuatan internasional untuk membuat atau tidak membuat kebijakan atau tindakan. Dalam bagian terakhir dari definisi itu ditegaskan bahwa tak ada satupun pembenaran yang dapat diterima, baik atas nama falsafah hidup, ideologi politik, agama, dan etnisitas.
Dalam arti itu, terorisme adalah ancaman nyata dan aktual terhadap keamanan dan tatanan internasional (Rogers 2001, 78-131). Dalam terorisme gelombang keempat, misalnya, kelompok teroris adalah aktor non-negara, berdimensi internasional/transnasional/non-terestrial dan melakukan kekerasan untuk melayani ideologi atau tujuan politik yang dianggap radikal sekaligus utopis atau tak mungkin terealisasi. Ideologi terorisme adalah ideologi ‘radikal anti-perbedaan’ dan karena itu, membenarkan argumentasi populer bahwa terorisme dan radikalisme itu satu rumpun kekerasan. Tesis di kalangan para pengkaji terorisme dengan perspektif ini adalah terorisme berbiak dalam radikalisme.
Kendati demikian, pengkaji yang berangkat dari perspektif aktor ini tak seluruhnya sepakat dengan definisi terorisme yang dianggap memberi peluang kepada otoritarianisme negara (Chomsky 2003, 211). Terorisme menjadi proksi, kejelasan yang tak jelas dalam hukum internasional, yang dengan definisi tersebut negara leluasa memastikan siapa dan kelompok apa sebagai ancaman kedaulatan negara dan ancaman keamanan masyarakat internasional/global. American exceptionalism dan lawfare — ‘war as law rather than exception’ — menjadi mungkin karena pemastian siapa itu terorisme dikerjakan oleh negara dengan mengabaikan konteks konflik dan pertarungan politik baik level domestik, regional maupun internasional (Andrepoulos 2011, 98-86).
Osama Bin Laden, Merumuskan Amerika Serika, Pusat Sekularisme dan Okupasi Tanah Suci, sebagai Musuh Al-Qaida 1996 (Sumber Foto: Newsweek)
Terrorisme adalah Evil
Selain dianggap defisit legitimasi politik, terorisme adalah defisit moral. Para pengkaji seringkali mengkaitkan konstruksi simbolik atas terorisme dengan evaluasi moral atas tindakan kelompok yang telah dinamakan terorisme. Thomas Mockaitis dalam The New Terrorism: Myth and Relality, menulis bahwa “…terrorists kill in the service of utopian religious or other ideological goals rather than to achieve a political objects” (Mockaitis 2007, 16-17). Tak ada tujuan politik yang konkrit. Teroris adalah maniak homisida. Di dalam jiwanya tak ada cinta dan respek pada manusia lain. Dalam konteks pasca serangan 11 September, pelaku bom bunuh diri dianggap orang-orang fatalis, yang menjadikan teror sebagai satusatunya tujuan tindakannya.
Moralisasi ini berjalan bersama dengan dijadikannya Islam sebagai obyek kajian terkait dengan radikalisme. Teroris tidak lain adalah ‘bad Moslems’, ‘illiberal subjects’. Dalam konteks terorisme gelombang keempat (terorisme agama), Islam, baik sebagai ideologi maupun komunitas, dipandang sebagai sarang kekerasan homisida terorisme. Para pengusung perspektif aktor memandang ideologi sebagai ajaran yang sudah jelas dan tindakan kekerasan yang dilakukan komunitas agama disebabkan oleh ajaran-ajaran dalam agama tersebut. Organisasi atau jaringan tertentu dianggap tak mungkin melakukan kekerasan kalau tak disebabkan ideologi tertentu. Cara baca ini semakin ‘terbenarkan’ karena para pelaku kekerasan kerap menggunakan slogan atau justifikasi moral agama.
Fenomena bom bunuh diri semakin membenarkan asumsi pokok perspektif ini. Bom bunuh diri dianggap pembuktian terputusnya hubungan antara kekerasan dan konflik. Tindak kekerasan ini kemudian dipahami sebagai fenomena kekerasan psikologis, individual dan fenomena kekerasan kelompok ideologis klandestin yang tak lagi terhubungkan dengan dunia luar. Dalam pandangan ini, para pelaku sekedar mengambil inspirasi kekerasan dari ideologi tertentu dan mengembangkan sendiri jenis ideologi baru, semacam varian ekstrim dari ideologi pokoknya.
Di sinilah kita bertemu dengan logik berpikir dalam tema ini. Di satu sisi, memandang Islam sebagai sumber ideologi bagi kekerasan terorisme sementara di sisi lain, selalu berusaha agar potensi kekerasan itu tidak diterjemahkan ke dalam varian ideologis yang lebih ekstrimis. Dalam deradikalisasi versi yang lebih konservatif, misalnya, Islam dan Politik harus dipisahkan karena politik yang terislamisasi dituding sebagai proses ‘radikalisasi’ ideologi Islam. Tidaklah mengherankan, para penstudi dan praktisi dengan perspektif ini cenderung berkutat dengan pertanyaan bagaimana ‘menjinakkan’ atau ‘membendung’ penyebaran ideologi yang dianggap radikal.
Kekerasan Politik dan Aktor
Kajian terorisme yang berorientasi pada aktor menyisakan satu masalah besar. Karena berangkat dari legitimasi aktor dalam kaitannya dengan penggunaan kekerasan, maka perspektif tersebut cenderung menghasilkan penilaian yang berbeda terhadap kekerasan. Dalam artian ini, pandangan tentang terorisme cenderung sangat konservatif, karena terorisme sangat erat dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang dianggap tidak memiliki legitimasi untuk menggunakan kekerasan sementara kekerasan dalam bentuk yang sama, dengan skala yang mungkin lebih besar, tidak termasuk dalam kategori terorisme sejauh dilakukan oleh aktor dengan legitimasi untuk menggunakan kekerasan (negara).
Dengan mempermasalahkan legitimasi aktor terhadap penggunaan sara kekerasan, para pengkaji terorisme sebagai sebuah bentuk kekerasan politik memiliki kesimpulan yang berbeda secara signifikan. Para pengkaji kekeran politik ini melihat kekerasan dengan cara yang lebih kritis yakni, kekerasan adalah kekerasan. Tidak ada kategori sah dan tidak sejauh kekerasan menjadi isu. Artinya, kekerasan yang dilakukan oleh negara sekalipun bisa dianggap tidak sah, dan sebaliknya.
Konsekuensinya tipologi terorisme juga menjadi berbeda dari tipologi yang dibuat oleh mereka yang berangkat dengan perspektif aktor. Dengan tanpa memperhatikan legalitas aktor, Richard Schultz, misalnya, mencatat adanya tiga kategori aktor dalam terorisme (1980): negara, kelompok revolusioner dan kelompok entrepreneurial.
Aktor Negara adalah rejim pemerintahan yang menggunakan taktik terorisme untuk meredam resistensi rakyat dan mempertahankan kekuasaannya. Bisa pula sebuah negara menggunakan cara ini untuk menggulingkan pemerintahan negara lain. Contoh yang diacu sebaga state terrorism adalah, misalnya, Tonton Macoutes dalam rejim “Papa Doc” Duvalier di Haiti yang mengggunakan cara-cara teroristik dalam menghadapi kekuatan-kekuatan oposisi.
Aktor Revolusioner adalah gerakan perlawanan yang menggunakan taktik terorisme untuk mengganti rejim pemerintahan. Termasuk dalam tipe ini adalah gerakan nasionalis membentuk sebuah negara merdeka. Juga termasuk dalam tipe ini gerakan populis milenarian yang menggunakan politik teror untuk menciptakan tatatan yang tak pernah ada dalam sejarah manusia.
Aktor Entrepreneurial adalah kelompok teroris transnasional yang telah mencapai derajat otonomi identitas dan organisasi. Meski awalnya bagian dari gerakan etno-nasionalist, kelompok ini dalam perjalanan waktu bergerak bebas dengan tujuan berbeda, pada umumnya menjadi organisasi kejahatan yang menjual keahlian dan teknologi kekerasan kepada rejim-rejim otoritarian yang membutuhkan.
Contoh tipe ini misalnya organisasi Abu Nidal di Palestina. Sebelum menjadi bagian dari gerakan nasionalis, organisasi ini merupalan organisasi kriminal yang menjual skil teroristiknya pada rejim-rejim di Arab. Contoh yang lain adalah Animal Liberation Front, yang melakukan aksi-aksi sabotase terhadap fasilitas-fasilitas penelitian dan penyiksaan terhadap para peneliti hewan di Amerika, Kanada, dan Inggris. Tipe kelompok ini biasanya adalah organisasi-organisasi yang pada tahap awalnya merupakan organisasi-organisasi yang dapat diklasifikasikan sebagai organisasi revolusioner.
Perilaku-perilaku Teroristik
Thomas Mockaitis (2007) dalam The New Terrorism: Myth and Reality, mengatakan bahwa definisi fungsional terorisme tidak harus dimulai dari mendefinisikan apa itu terorisme, melainkan memfokuskan pada ranah perilaku: apa yang disebut tindakan teror. Fokus ini penting karena kajian-kajian tentang terorisme saat ini memiliki problem yang sangat mendasar bahwa tindakan teror (terror acts) selalu diidentikkan dengan terorisme yakni dilakukan oleh aktor atau kelompok yang dikategorisasikan sebagai teroris. Padahal, keduanya bukan merupakan sebuah paket yang tidak dipisahkan. Sebuah tindakan teror bisa dilakukan oleh mereka yang tidak terkait dengan terorisme ataupun jaringan teroris. Kegagalan untuk memisahkan tindakan dari pelakunya menimbulkan implikasi yang sangat serius bagi upaya-upaya menangani terorisme. Upaya penanganan terorisme akan kehilangan proporsionalitas dan, konsekuensinya, juga efektivitasnya.
Bagi Mockaitis, “Terror is a weapon of choice used by a variety of actors for different purposes . . . unlike most weapons, aims not merely to destroy enemy combatants, but to spread fear among the general population” (2007, 3). Dengan menekankan pentingnya mengkaji terorisme dengan melalui konseptulisasi teror ini, Mockaitis menunjukkan bahwa tindakan-tindakan teror juga digunakan oleh pelbagai aktor: negara-bangsa, gerakan-gerakan insurgensi, organisasi kriminal, dan kelompok-kelompok teroris. Terorisme dalam tindakan-tindakan teror terkait dengan melihat karakteristik-karakteristik tindakan kekerasan yang dilakukan. Mockaitis mencatat tujuh karakter yang penting untuk memberi label terorisme dari sebuah tindakan teror. Ketujuh karakteristik terebut adalah: tujuan, fokus, dukungan rakyat, organisasi, pendanaan, tingkat teror, serta kemauan untuk bernegosiasi.
Menurut Mockaitis, karakter yang paling penting yang membedakan tindakan teror yang dilakukan oleh teroris ataupun kelompok teroris dengan yang dilakukan oleh kelompok lain adalah ada atau tidaknya “kemauan untuk bernegosiasi.” Kelompok insurgensi atau kriminal adalah kelompok yang memiliki tujuan-tujuan pragmatis. Mereka adalah aktor-aktor rasional dan oleh karenanya sulit untuk dilihat sebagai kelompok teroris.
Berbeda dengan kelompok teroris, aktor-aktor rasional selalu memandang kompromi sebagai salah satu pilihan perjuangan, apalagi dalam kondisi-kondisi terdesak. Sebaliknya, kelompok-kelompok teroris tidak menjadikan kompromi sebagai pilihan tindakannya. Bagi kelompok-kelompok teroris, tidak ada kata negosiasi dalam kamus perjuangannya.