Pancasila dalam Demokrasi Indonesia (2023)

Selebrasi I Juni 2023, ulang tahun Pancasila ke-77, baru saja berlalu, tetapi percakapan publik dan debat kebijakan tentang Pancasila pada bulan ini dan seterusnya, harus selalu dibiarkan terbuka. Tujuannya agar kita selalu reflektif, tidak melupakan sejarah kelahiran dan dinamika penerapannya. Sekaligus terpenting menghadirkan daya proyeksi Pancasila menuntun Indonesia dalam sepak terjang politik dalam negeri menuju tahun politik 2024 dan dinamika global terkini pasca-unipolarisme.  

Dalam terang dua imperatif tersebut, dimensi emansipatoris Pancasila patut diperlihatkan kembali. Yaitu, Pancasila, bagi pendiri bangsa adalah weltanchauung atau philosophischegrondslag, sebagai proyek emansipasi kebangsaan melalui rumus demokrasi ekonomi + demokrasi politik = demokrasi sosial (Sukarno, Pemandangan, 1941). Dalam pidatonya 1 Juni 1945, Sukarno secara terbuka menerima dan mengolah dua artikulasi politik dekolonial dalam BPUPKI, keislaman dan kebangsaan, menjadi lima pilar nasionalisme pasca-kolonial bernama Indonesia. Pancasila kemudian menjadi  jati diri kebangsaan, memerdekakan diri cara berpolitik pecah-belah kolonialisme dan menggarap ekonomi-politik nasional dengan menempatkan warga negara sebagai agensi terpenting dalam politik perwakilan dan penyelenggaraan negara, sebagaimana tersurat dalam konstitusi UUD 1945.

Seraya menghampiri isi pidato Presiden Jokowi dalam tema tahun 2023 “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”, satu soal mendesak harus dibahas yaitu apakah kita sungguh-sungguh ingin memulihkan Pancasila dari tafsir neoliberal yang dalam satu dekade terakhir politik elektoral telah mereduksi Pancasila sebagai narasi politik kebudayaan semata? Beranikah kita menghadirkan kembali dimensi emansipatoris Pancasila, menggalang persatuan nasional dengan rumusan masalah ekonomi-politik baru, musuh bersama yang lebih besar dari sekadar melabelkan sesama anak bangsa sebagai ancaman eksistensial Pancasila, antek asing-aseng dan ekstrapolasi friend/enemy serupa lainnya? 

Ini bukan pekerjaan mudah karena sejatinya menuntut kedalaman pengetahuan, keluasan wawasan dan kebesaran hati untuk menggarap Indonesia raya dalam kebersamaan sebagaimana ditunjukkan Sukarno dan para pendiri bangsa dalam momen genting kelahiran Indonesia pada akhir Perang Dunia Kedua. Apa yang sesungguhnya mereka lakukan? Dalam cara pandang sosiologi politik, perumusan Pancasila adalah proses formasi sosial yang bersifat hegemonik dan organik. Yakni,  konsolidasi internal di antara persekutuan politik anti-kolonial dan proyeksi Indonesia sebagai bangsa geopolitik pasca-kolonial.

Tentang hal tersebut telah tersampaikan, dengan ragam perspektif dan isu, dalam sejumlah opini dalam harian kompas tiga tahun terakhir. Ahmad Syafii Maarif dalam Lumpuhnya Pancasila (Kompas, 31/5/21) dan Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah (Kompas, 1/10/21), konsisten mengingatkan anak bangsa akan resiko berdarah dari monopoli tafsir atas ‘kesaktian’ Pancasila dalam Orde Baru, termasuk konstruksi integral teologi politik Islam dan agama lain dalam Pancasila. Demikian halnya debat bermutu  antara Yasraf Amir Piliang (Darurat Pancasila, 7/9/2020) dan Magnis Suseno (Keluar dari Darurat Pancasila, 25/9/2020) terkait aplikasi Pancasila dalam sistem hukum dan representasi politik masih relevan untuk debat sistem pemilu/pilres terkini.   

Melampaui Politik Identitas

Memulihkan dimensi emansipatoris Pancasila, kita dituntut untuk sekali lagi memeriksa keterbatasan konseptual dan resiko politik dari metanarasi politik Identitas. Dalam Harian ini (Pancasila Sejak Orde Baru, 6/11/2021), Ariel Haryanto mengingatkan kita bahwa politik identitas pasca Reformasi tidak lebih dari residu atau warisan anasir Orde Baru. Dalam formulasinya yang menantang, “Orde Baru sudah meninggalkan Indonesia. Tapi Indonesia belum mampu meninggalkan Orde Baru”. Pancasila mengalami instrumentalisasi politik, tidak lebih dari tameng kekuasaan melalui institusionalisasi dan formalisasi tafsir atas nama kesaktian sebagaimana diargumentasikan Syaiful Arif dalam Kesaktian tanpa Kedalaman (Kompas, 2/10/21). 

Dengan pesan serupa, dalam perpektif berbeda, argumen dasar tulisan ini bergerak lebih jauh. Yaitu bahwa dua arus tafsir terkini, yang membelah politik Indonesia dalam nasional-moderat dan islam-radikal, adalah manifestasi tak terduga dari cara berpikir neoliberal, dua sisi dari koin ideologis serupa. Nalar instrumental menafsir dan mempertengkarkan Pancasila sebagai matriks politik kebudayaan bukan sepenuhnya ekonomi-politik dan geopolitik. Neoliberalisme menjajah pikiran anak bangsa, mengubah gagasan warga negara aktif menjadi penonton superaktif dalam gelangang politik elit—politisi dan teknokrat. Konsekuensi sangat serius, demokrasi jadi ajang kulturalisasi politik, sementara teknokrasi adalah satu-satunya prasyarat kelola ekonomi nasional.

Dalam analisis sosiologi politik kontemporer, demokrasi Indonesia sedang memasuki ‘momen weberian’, suatu kondisi perpolitikan di mana supremasi elit dinormalisasi sebagai keniscayaan kemajuan dan kebaikan umum atas dasar kompetensi teknis, rekam jejak dan sejenisnya. Sementara partisipasi politik warga negara dikelola melalui matriks ‘identitas kebangsaan’. Dalam momen weberian satu dekade terakhir, teknokrasi mendikte demokrasi sampai ke tingkat di mana korupsi direduksi sebagai semata soal teknis tata-kelola dan perilaku individual, sementara kritik publik dan protes gerakan sosial misalnya harus mengalami viralitas untuk memicu respon teknokratis. Termasuk debat terkini mengenai sistem pemilu masih terkunci dalam cara berpikir demokrasi versus teknokrasi, dan bukannya demokrasi mengelola dan mengendalikan teknokrasi dalam mana cara kerja partai politik seharusnya berubah dari organisasi elit menjadi gerakan politik kewarganegaraan. 

Dua kecenderungan, kekebalan teknokrasi dalam pembangunan berkelanjutan dan keniscayaan demokrasi sekadar merayakan keragaman identitas, harus kita cegah secepatnya. Neoliberalisme mengalami nasionalisasi tentu merupakan fenomena global sebagaimana dikemukan dua sosiolog terkemuka Wendy Brown (2019) dan Mahmood Mamdani (2020). Dalam konteks Indonesia, sebagaiman ditunjukkan dalam Islamism and the Quest for Hegemony in Indonesia  (Nul Hakim, 2023), neoliberalisasi Pancasila dalam rumusan kompatibilitas agama dan demokrasi hanya melanggengkan politisasi identitas dan depolitisasi demokrasi.

Dengan demikian bahaya politik identitas terbesar bukanlah kapasitasnya memecah belah persatuan nasional terutama karena kontestasinya di dalam kotak suara tanpa identifikasi demografis dan geografis yang jelas. Tapi sesungguhnya, belajar dari pengalaman Orde Baru, politik identitas membuat teknokrasi menjadi panglima politik yang menormalisasi supremasi-konsolidasi oligarki politik dan demokrasi menjadi pesta perpecahan identitas kultural di masyarakat multikultural.  

Dua Agenda Emansipasi 

Memulihkan Pancasila dari tafsir neoliberal (ideological capture) dan bancaan oligarki (elite capture), berarti kita mengedapankan dimensi emansipatorisnya untuk konsolidasi nasional dan proyeksi geopolitik. Mengisi tahun politik 2024, debat publik harus menyadari depolitisasi berlapis-lapis dalam wacana identitas kebangsaan dan mulai diramaikan dengan repolitisasi kewarganegaraan. Pancasila dihadirkan kembali sebagai kerangka pikir ekonomi-politik nasional, sebagai parameter etis-politis dalam refleksi pembangunan ekonomi lima tahun terakhir dan proyeksi geopolitik Indonesia dalam dunia multipolar.

Pertama, konsolidasi nasional, berupa perumusan masalah dan tantangan kenegaraan-kebangsaan yang berpusat pada debat gagasan strategis terkait ekonomi-politik di dalam negeri. Debat semacam ini akan menghancurkan ilusi identitas kebangsaan dan konstruksi ancaman yang menyesatkan sekaligus memicu partisipasi aktif warga negara sebagai agensi demokrasi terkait ekonomi diri, keluarga dan kelompok kepentingannya. Poin ini dimaksudkan Sukarno dengan keserempakan praktik demokrasi  ekonomi dan demokrasi politik. Semakin menguatnya wacana demokrasi substantif ini akan mengubah cara kerja partai politik dan perilaku politisi, dari mentalitas pemilik dan pengendali parpol menjadi proaktif menggalang gerakan sosial atau blok politik akar rumput.

Dengan itu kontestasi elektoral tidak lagi pertunjukan kompetensi teknis-moral elit semata, tetapi penyambung lidah rakyat, membuat rakyat menjadi warga negara aktif sebagai perwujudan etis-politis Pancasila ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’. Jurus ini, merumuskan masalah ekonomi-politik dan partisipasi warga negara, adalah penerapan tafsir Pancasila bagi demokrasi Indonesia pasca-politik identitas. Tujuan utama adalah agar fragmentasi oligarki dalam perebutan sumber daya ekonomi tidak menimbulkan polarisasi sosial. Tapi sebaliknya, konsolidasi demokrasi berbasis warga negara mendorong transformasi struktur dan sistem politik perwakilan. Termasuk terpenting meninjau kembali capaian dan keterbatasan dari saling pengaruh antara praktik otonomi desa, otonomi daerah dan proyek strategis nasional.

Kedua, proyeksi geopolitik, berupa perumusan debat kebijakan politik luar negeri Indonesia berbasis kepentingan nasional. Tujuan terdekat adalah agar Indonesia segera keluar dari fantasi keunikan Pancasila sebagai produk kultural terutama diplomasi multikulturalisme sebagai cara integrasi ke dalam arsitektur internasional unipolar selama dua dekade Global War on Terror (2001-2020). Termasuk meretas ilusi keunggulan daya tahan ekonomi Indonesia dalam perbandingan keliru dengan negara-negara lain.  Tujuan terjauh, diplomasi geopolitik menegosiasikan kepentingan ekonomi dan pertahanan nasional dalam arsitektur regional dan internasional yang bergerak dinamis dan sarat konflik saat ini khususnya kontestasi berkelanjutan antara ‘collective west’ (Amerika Serikat,Uni Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan) dan ‘global south’ yang dikendalikan aliansi China dan Rusia melalui BRICS, SCO dan format kolaborasi lainnya.

Kapasitas emansipatoris Pancasila harus diperagakan dalam dua agenda nasional tersebut. Sejalan dengan opini Guntur Sukarnoputra (Kompas, Pancasila dan Sosialisme Indonesia, 15/9/2020), geopolitik Sukarno tidak sepenuhnya gagal tetapi justru karena tidak dilanjutkan Suharto pada masa Orde Baru. Indonesia pasca Reformasi harus belajar dari bahaya surplus politik identitas dalam negeri dan defisit geopolitik menyongsong pesta demokrasi 2024.