Tulisan ini memeriksa kembali hubungan antara Pancasila, politik identitas dan demokrasi elektoral yang mengarakterisasi wacana Pemilu/Pilpres 2014 dan 2019. Dipandu Analisis Hegemoni dan Demokrasi Agonistik, penulis melacak efek diskursif neoliberalisme terhadap tafsir Pancasila melalui kekuatan ‘Nasionalis-Moderat’ dan kekuatan ‘Islamis-Radikal’. Argumen utama adalah bahwa kedua artikulasi identitas kebangsaan melalui perdebatan tentang Pancasila terbangun dalam paradigma liberal tentang hubungan negara dan agama yang mengabaikan dimensi emansipatoris Pancasila sebagai praksis ideologi dekolonial bagi Indonesia poskolonial. Memulihkan kembali dimensi emansipatoris Pancasila dan politik Islam untuk keadilan menjadi keniscayaan demokrasi terkini menuju Pemilu/Pilpres 2024 yang berkualitas sekaligus uji petik terdekat bagi agenda proyeksi geopolitik nasional dalam dinamika kontestasi superpower menuju Indonesia Emas 2045.
Kata Kunci: Pancasila, emansipasi, Pemilu/pilres, politik identitas, geopolitik
Pendahuluan
Studi tentang hubungan antara Pancasila, politik identitas dan demokrasi elektoral belum banyak mendapat perhatian akademisi. Sementara kenyataannya Pancasila, sebagai praksis ideologi, sangat penting dipelajari dalam konteks demokratisasi dan khususnya dalam diskusi mengenai representasi politik. Memperlihatkan hubungan Pancasila dengan demokrasi dan politik identitas dapat memperjelas cara kita berpolitik baik sebagai warga negara, gerakan sosial maupun komunitas kebangsaan. Cara kita berpolitik dalam demokrasi elektoral, memberi informasi cepat tentang seberapa jauh Pancasila menjadi panduan etis-politis dalam mewujudkan hak dan kewajiban konstitusional warga negara berdimensi liberasi dan dimensi emansipasi. Di sana terbangun hubungan saling merefleksikan antara Pancasila dan praktik politik sekaligus terpenting ajakan untuk memeriksa interpretasi ideologi dan pedagogi kewarganegaraan yang berkontribusi kepada perilaku dan wacana politik elektoral.
Menguatnya politik identitas sebagai wacana elektoral satu dekade terakhir mendorong dimunculkannya pertanyaan pokok yang memandu analisis dalam tulisan ini. Yakni apa yang terjadi dengan dimensi liberasi dan dimensi emansipasi dalam tafsir politik atas Pancasila yang menyeret ideologi nasional ini ke dalam perdebatan antara kekuatan ‘Nationalis-Moderat’ dan kekuatan ‘Islamis-Radikal’? Bagaimana sebaiknya kita memproblematisasi hubungan antara Pancasila, politik identitas dan demokrasi elektoral dalam kuasa tafsir neoliberal yang membentuk dua subyek politik tersebut? Dari pertanyaan ini kemudian dapatlah diperiksa efek diskursif neoliberal terhadap cara kedua kekuatan tersebut memahami Pancasila, identitas kebangsaan dan perlakuan mereka terhadap demokrasi. Hal ini mendesak dilakukan untuk mengembalikan dimensi emansipatoris Pancasila sebagai praksis ideologi dekolonial bagi kekuatan politik berkontestasi menuju pemilu/pilpres 2024 sekaligus ujian terdekat keluar dari jebakan politik identitas menuju proyeksi geopolitik Indonesia Emas 2045.
Pengalaman Pemilu/Pilpres 2014 dan Pemilu/Pilpres 2019 menjadi kesaksian sejarah satu dekade terakhir bahwa pengerahan identitas agama, ras dan etnis (SARA) memicu ketegangan sosial dalam masyarakat multikultural dan terburuk menghilangkan percakapan berkelanjutan mengenai isu-isu strategis pembangunan dalam tata kelola ekonomi-politik yang teknoratis-oligarkis. Sebagaimana ditunjuk sebagian besar penstudi demokrasi Indonesia, kualitas elektoral untuk demokrasi substantif satu dekade sulit tercapai dalam keriuhan identitas dan pemusatan atensi publik pada konflik konfigurasi elit—konfrontasi, aliansi dan konsolidasi. Para penstudi dari tradisi behavioralis-kulturalis berargumen bahwa agama, dalam hal ini Islam, digunakan sebagai instrumen propaganda elektoral dan menghadirkan sisi gelap demokrasi (lihat Sidney Jones, 2015; Menchik, 2016). Sementara dari tradisi sosiologi politik strukturalis, Vedi Hadiz (2022, 2017, 2014)dan Mudhofir (2022, 2022), misalnya, mengajukan argumen kritis bahwa artikulasi Islam dalam politik elektoral tidak semata instrumentalisasi agama tetapi lebih tepat dipahami sebagai konstruksi gerakan populis Islam menggugat dan menentang kontrol ekonomi-politik oligarki dan kebijakan pembangunan yang melemahkan umat muslim sebagai kekuatan ekonomi nasional.
Tersituasikan dalam perdebatan kontemporer tersebut, Pancasila dalam kontestasi elektoral tampaknya diperlakukan secara instrumental atau sebagai ideologi mengalami komodifikasi. Dalam arti kekuatan elektoral yang berselisih mempertarungkan Pancasila dengan tafsiran masing-masing atas nama obyektivitas sejarah dan orisinalitas interpretasi. Dalam dinamika konflik tafsir Pancasila sampai pada Pemilu/Pilpres 2019, terbaca dengan jelas bahwa Islam menjadi penanda pembeda, semacam constitutive outside, bagi validasi ideologi ini. Yakni Pancasila yang sekuler-liberal dalam tafsiran kelompok yang melabelkan diri Nasionalis-Moderat dan Pancasila yang Islami-majoritarian dalam tafsiran kekuatan politik oposisi yang dilabelkan Islamis-Radikal. Dengan itu kedua kubu elektoral sesungguhnya sedang menjadikan Pancasila sebagai penanda budaya politik ketimbang ekonomi-politik, dengan konsekuensi sangat serius yakni pengabaian dimensi emansipasi dalam Pancasila sebagai ideologi politik dekolonisasi. Hilangnya dimensi emansipatoris Pancasila sekaligus mengubah percakapan tentang Islam semata sebagai penanda politik kebudayaan dan bukannya metafor perubahan ekonomi-politik untuk keadilan dan kesetaraan (Lihat, Sujito, 2016; Hakim, 2020; Hakim & Djalong, 2022).
Dimensi emansipatoris yang terabaikan itu tentu berlangsung dalam konteks liberalisasi politik pasca Orde Baru. Pemilu/pilpres membuka kesempatan politik yang semakin luas dan menyeluruh bagi warga negara dan komunitas politik. Peran KPU dan BANWAS semakin krusial sebagai penyelenggara dan penjamin praksis liberasi politik dalam tata kelola elektoral (electoral governance). Demikian halnya partai politik menjadi institusi agregasi dan representasi yang diharapkan semakin berperan penting dalam kerja politik pengorganisasian kelompok kepentingan berbasis gerakan sosial dan kewarganegaraan aktif. Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah studi (lihat, Sujito, 2012, 2013; Mietzner, 2019; Tomsa, 2017), Pemilu/pilpres lebih berlaku sebagai arena konsolidasi elit dengan kontrol dan monopoli terhadap tata kelola elektoral di satu sisi dan di sisi lain berlangsung depolitisasi atas nama liberasi politik dengan polarisasi dan mobilisasi konstituen berbasis identifikasi SARA. Alih-alih membuat warga negara membangun blok politik demokratis, politik elektoral malah sebaliknya menciptakan kantong-kantong komunal yang dikelola dengan patronase dan klientelisme, menghadirkan dua jenis percakapan politik yang tak tersambungkan. Yakni nasionalisme Nusantara-Islamis dalam kontestasi pusat dan tribalisasi dalam kontestasi politik lokal.
Dengan menggunakan Analisis Hegemoni dan Demokrasi Agonistik (Laclau & Mouffe, 1985; Mouffe, 2005), persoalan terpenting tidak terletak pada instrumentalisasi atas Islam atau sebaliknya Islamisasi politik, melainkan terjebaknya praktek elektoral dalam paradigma liberasi politik tanpa kerja politik politik emansipasi. Dalam terang kritik ideologi dari Analisis Hegemoni, Pancasila secara akrobatik diubah dari lima pilar kebangsaan sebagai ideologi politik dekolonial menjadi semata pilar pertama tentang perlu tidaknya Islam tersebutkan secara tersurat dalam konteks negara multikultural pasca Reformasi. Di dalam perdebatan berkepanjangan tersebut tidak dicarikan hubungan sila pertama dan keempat sila lainnya dengan konsekuensi serius terhadap hilangnya hubungan agama dengan isu keadilan, kemanusiaan dan persatuan. Pancasila sebagai prakis ideologi hegemonik, atau serba mencakup dan terbuka, mengalami partikularisasi ke dalam domain kebudayaan, sebagai efek diskursif dari rumusan keliru dalam paradigma neoliberal mengenai apakah Islam kompatibel atau tidak kompatibel dengan demokrasi.
Sebagai efek diskursif, Pancasila sebagai percakapan politik kebudayaan, tidak terlepas dari muatan pedagogi yang menetralisasi ideologi ini di dalam institusi pendidikan, diskusi publik dan diskursus partai politik. di sana dapatlah ditemukan dengan mudah proses panjang dan berlapis-lapis di dalam mana Pancasila tidak lebih dari dasar negara, dalam pandangan esensialis tentang kesaktian dan kesempurnaannya. Slogan NKRI Harga Mati, Indonesia Multikultural dan Islam Damai, misalnya, merefleksikan secara simbolis pembendaan atau reifikasi ideologis yang sama perlakuannya dengan mendorong masuk Islam ke dalam sila pertama tanpa menggarap proyeksi agama sebagai gerakan politik bagi keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat multikultural. Netralisasi Pancasila sebagai ideologi kelola keragaman budaya dalam konteks liberalisasi politik pasca reformasi ini tidak jauh berbeda dengan depolitisasi Pancasila sebagai ideologi negara pembangunan selama Orde Baru (bdk, Dhakidae, 2003). Bertolak dari peta soal politik identitas dan gambaran kritik ideologi di atas, bagian berikutnya Pancasila dalam Pemilu/Pilpres: Perdebatan Demokrasi Indonesia melakukan dekonstruksi terhadap dua tafsir Pancasila yang tampak berbeda tetapi sesungguhnya melayani preskribsi neoliberal tentang identitas kebangsaan dan identitas kewarganegaraan. Jejak-jejak tafsir itu juga berakar dalam produksi pengetahuan neoliberal tentang demokrasi dan kewarganegaraan neoliberal. Pada bagian Memulihkan Dimensi Emansipatoris Pancasila dibahas praksis ideologi nasional ini sebagai ideologi hegemonik dalam konstruksi kebangsaan politik dan counter-hegemoni terhadap neoliberalisme. Termasuk terpenting membebaskan Pancasila dari tafsiran neoliberal menuju Pemilu/Pilpres berkualitas 2024 sekaligus memandu proyeksi geopolitik dalam seteru superpower terkini menuju Indonesia Emas 2045. Pada bagian Catatan Penutup diringkaskan kembali analisis dan argumen utama.
Pancasila dalam Pemilu/Pilpres: Perdebatan Demokrasi Indonesia
Diskusi akademik mengenai hubungan antara ideologi kebangsaan dan wacana politik elektoral belakangan ini kembali mengemuka dengan menguatnya gerakan politik arus bawah yang dilabelkan dengan populisme. Di kawasan Amerika Latin, populisme kiri (Left Populism) memenangkan pemilu dan mulai menjadi orientasi geopolitik kawasan. Gerakan populis di Venezuela, Bolivia, Nikaragua dan terkini terpilihnya Lula da Silva di Brazil menandai hadirnya kembali gerakan politik kerakyatan lintas etnis dan subkelas sebagai resistensi terhadap penetrasi neoliberalisme melalui proksi ekonomi-politik global di dalam negeri. Sementara di kawasan Eropa, gerakan populis, dilabelkan dengan populisme kanan (Far-Right Populism) menguat dengan memenangkan parlemen seperti terkini di Italia, Prancis, Hungaria, dan Estonia selain AfD di Jerman dan Podemos di Spanyol. Kebangkitan populisme di dua kawasan ini tercermin dalam kontestasi politik elektoral dalam spektrum kontestasi ekonomi-politik antara neoliberalisme dan nasionalisme.
Dalam dua pemilu/pilpres terakhir, keriuhan politik identitas juga merupakan bagian integral dari kontradiksi neoliberalisme di dalam negeri sebagaimana terbaca dalam argumen para penstudi sosiologi politik strukturalis (bdk, Hadiz, 2018, 2016). Pelabelan populisme Islam pada artikulasi politik kubu Prabowo menunjukkan adanya terobosan konseptual untuk memahami fenomena Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari dinamika ekonomi-politik neoliberal global yang mengemuka di berbagai kawasan satu dekade terakhir pasca krisis finansial 2008. Demikian halnya manifestasi krisis tersebut dialami melalui dua kecenderungan yang sesungguhnya saling membentuk, yaitu stagnasi pertumbuhan ekonomi industrial berupa pemiskinan sistematis terhadap kekuatan kerja serta pelemahan sektor industri strategis nasional di satu sisi dan di sisi lain, distraksi ideologi politik berupa pelemahan gerakan sosial berbasis kewarganegaraan dengan penguatan model teknokrasi pembangunan. Dengan menggunakan pendekatan ini, studi mengenai wacana politik identitas di Indonesia berubah menjadi kajian komparatif yang membawa kembali demokrasi Indonesia ke dalam percakapan akademis global.
Dari arah konseptualisasi yang berbeda mengemuka studi demokrasi dengan kecenderungan kuat melabelkan gerakan elektoral berbasis konstruksi ‘Ummah’ sebagai anatema liberalisme politik. Dalam paradigma ini, agama atau kebudayaan pada umumnya berada di luar orbit urusan publik, dipahami sebagai urusan privat atau setidaknya urusan masing-masing komunitas kebudayaan. Fenomena politik Islam Indonesia kemudian dibaca melalui formula klasik yang dihidupkan kembali yaitu demokrasi versus autokrasi (tradisi ini merujuk pada konsepsi Larry Diamond, 2015, 2021). Konsekuensinya, artikulasi keislaman dalam kontestasi elektoral 2014-2019 dibaca sebagai kecenderungan illiberalisme dalam demokrasi Indonesia pasca Reformasi, terutama dengan menjadikan sejumlah dikotomi kebebasan sipil sebagai penanda kualitas demokrasi seperti toleransi-diskriminasi, fundamentalisme-radikalisme, dan mayoritas-minoritas. Eskalasi keislaman dan mobilisasi terorganisir melalui Gerakan 212, misalnya, disimpulkan sebagai democratic distortion, democracy setback atau democracy decline (bdk, Mietzner, 2020; Diprose, 2019).
Terlepas dari adanya perbedaan basis konseptualisasi di antara kedua pendekatan di atas, tampak dengan jelas bahwa diskursus politik identitas satu dekade terakhir ini belum bergerak ke arah kritik ideologi menuju demokrasi elektoral yang lebih substantif. Dalam perlakukan dua pendekatan tersebut, Pancasila nyaris tidak dibahas atau dihadirkan sebagai salah satu matriks kajian. Secara tak langsung ideologi nasional ini tampak diperlakukan dalam dua cara berbeda, pertama sebagai semata norma ideal untuk bangunan negara-bangsa, semacam horison transendensi dalam ruang sejarah kebangsaan, atau kedua, dianggap sebagai tidak relevan atau tidak memiliki signifikansi ekonomi-politik dalam perdebatan akademik mengenai demokrasi Indonesia pasca Reformasi. Defisit perhatian pada Pancasila menyingkapkan kecenderungan konseptual dari kedua pendekatan untuk mengabaikan ideologi nasional sebagai bagian integral dari praxis politik elektoral dan keberlanjutan tata kelola demokratis terhadap pembangunan ekonomi dan representasi politik.
Dua Konsekuensi Tafsir terhadap Pancasila
Jika diproblematisasi lebih jauh lagi, maka segera muncul dua konsekuensi yang sangat dramatis bagi diskursus politik identitas dalam studi demokrasi Indonesia. Konsekuensi Pertama, studi demokrasi Indonesia tersandera dalam nasionalisme metodologi tanpa menghadirkan perdebatan mengenai hubungan antara demokrasi dan nasionalisme dalam mana Pancasila dihadirkan sebagai matriks analisis ekonomi-politik. Nasionalisme metodologi akhirnya disederhanakan semata-mata bahwa demokratisasi di Indonesia, dengan segala capaian dan masalahnya, adalah kekhasan Nusantara sebagai bangsa multikultural dan keberlanjutan dari negara patrimonial dalam dekapan negara sebagai pengaturan keluarga besar. Perlakuan metodologis ini seakan-akan mengagungkan pengalaman Indonesia sebagai contoh unik atau bahkan contoh terbaik praktek demokrasi tetapi sesungguhnya adalah kolonisasi konseptual yang di dalamnya studi demokrasi Indonesia dicerabut dari akar dan proses interaksi antara dinamika ekonomi politik-global dan nasional. Dengan kata lain, dalam produksi pengetahuan atas demokrasi Indonesia jenis ini, nasionalisme tak lebih dari konstruksi ruang dan waktu yang diisi oleh diversitas budaya dan pluralisme politik yang diatur dan diarahkan oleh demokrasi elektoral-prosedural.
Konsekuensi kedua, Pancasila tidak dibahas sebagai kerangka berpikir representasi kebangsaan geopolitik dan kewarganegaraan demokratis sekaligus. Dalam dua pendekatan tersebut, strukturalis dan liberalis-kulturalis, dimensi politik hegemoni Pancasila tidak diperlihatkan terutama karena semata dianggap sebagai penjaga dan penjamin keberlangsungan negara-bangsa dan keberlanjutan demokrasi liberal khususnya melalui partisipasi dalam pemilihan umum. Berbeda dari perlakuan Orde Baru terhadap fungsi Pancasila sebagai ideologi pembangunan dari negara yang baik hati dan negara organis (bdk, Dhakidae, 2003; Bouchier, 2007), selama periode pasca Reformasi Pancasila diperbincangkan untuk semata-mata menjaga persatuan bangsa dalam kontestasi politik. Di sana terbangun suatu konsepsi yang semakin dinormalisasi, bahwasanya Pancasila adalah ideologi kedaulatan negara (state sovereignty) dengan konsekuensi berlanjut pada konstruksi Pancasila sebagai ideologi negara keamanan (security state). Alih-alih dikembalikan pada basis genealogisnya sebagai ideologi dekolonisasi untuk Indonesia pascakolonial, Pancasila 1 Juni 1945 bergeser peran ideologisnya menjadi sekuritisasi politik untuk teknokrasi pembangunan.
Pesan terpenting dari kritik ideologi di atas adalah bahwa hubungan sosiologis-historis antara Pancasila, nasionalisme dan demokrasi menghilang dari radar percakapan akademik, diskusi publik dan perdebatan kebijakan dalam satu sapuan (dalam perbandingan, analisis dalam tulisan ini berbeda dari pendekatan Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, 2011). Defisit hubungan ini dalam diskursus demokrasi elektoral dengan sendirinya menjadi testimoni mengenai betapa kuatnya efek diskursif neoliberalisasi dalam cara kita memahami ideologi nasional yang dihubungkan identitas kebangsaan-kewarganegaraan dan praktek demokrasi elektoral. Dengan cara itu pancasila yang sejatinya adalah kritik ideologi terhadap keutamaan liberalisme politik dan supremasi neoliberalisme ekonomi, malah berganti peran sebagai pembenaran ideologis terhadap monopoli tafsir neoliberal terhadap identitas kebangsaan yang dalam kenyataannya terus terbentur dan terbentuk, tak pernah tuntas dalam kemenjadiannya sebagai komunitas politik. Demikian halnya dengan efek diskursif neoliberal terhadap demokrasi dalam mana Pancasila dijadikan komoditas elektoral untuk membedakan orientasi ideologi politik antara kekuatan yang bertarung, yang sesungguhnya adalah bagian dari teknologi politik polarisasi dan mobilisasi konstituten dari pragmatisme elit kedua kelompok.
Dalam terang Analisis Hegemoni dan pendekatan Demokrasi Agonistik, pertanyaan berlanjut kepada pemeriksaan mengenai di mana dan apa peran serta posisi Pancasila dalam konstruksi populis Islami-Radikal dan konstruksi populis Nasionalis-Moderat. Bisa dipastikan bahwa nasib Pancasila sebagai komoditas politik sama saja dalam perlakuan kedua kelompok ini. Terlihat dengan jelas, Pancasila diperebutkan dalam cara tafsir yang melayani kebutuhan diskursif neoliberal untuk memproblematisasi hubungan agama dan negara dan konsekuensinya hubungan Islam dan demokrasi. Dalam matriks perdebatan semacam ini, Islam direduksi ke dalam percakapan tentang identitas Indonesia multikultural ketimbang seberapa jauh keislaman dapat menjadi komponen artikulasi ekonomi-politik terpenting dalam menata pembangunan ekonomi berkeadilan dalam negeri dan proyeksi geopolitik Indonesia dalam tata dunia yang semakin multipolar. Dalam cara pandang hegemoni, Pancasila, sebagai komoditas politik, bukan sekadar menu propaganda elektoral, tetapi menyingkapkan suatu fakta ideologis sangat serius yakni perdebatan terkini tentang demokrasi Indonesia membuat disartikulasi baru terhadap ideologi negara-bangsa pascakolonial ini semata matriks identitas kebangsaan multikultural dan bukannya panduan etis-politik bagi perdebatan ekonomi-politik dalam pesta demokrasi lima tahunan.
Meneruskan dekonstruksi atas tafsir Pancasila di atas, suatu sikap kritis bisa dikedepankan merespon dua cara berpikir lanjutan dari efek diskursif neoliberal yang mendera kedua kubu elektoral. Yaitu klaim mengenai instrumentalisasi atau politisasi Pancasila, suatu cara berpikir seragam yang memandang Pancasila mengalami instrumentalisasi dalam pengertian bahwa ideologi ini bukan komoditas politik dan upaya membawanya ke dalam percakapan politik adalah perwujudan sikap anti-demokrasi dan anti-nasionalisme sekaligus. Kubu Nasionalis-Moderat misalnya melancarkan kritik terhadap kubu Islamis-Radikal bahwasanya yang terakhir mengutak-atik Pancasila yang dianggap sebagai norma politik kebangsaan yang sudah paripurna atau serba mencakup. Islamisasi terhadap Pancasila dianggap membuka peluang kepada teokrasi anti-demokrasi. Dengan pelabelan ini justru balik memperlihatkan sikap instrumentalnya sendiri yaitu bahwa tafsir Pancasila yang absah bersumber dari cara pandang Nasional-Moderat, di luar tafsir Nasional-Moderat dipertanyakan keindonesian atau komitmen kebangsaannya. Bagi Nasionalis-Moderat, Pancasila itu barang jadi dan siap pakai yang diproduksi dalam sejarah yang sudah selesai dan dalam praktek elektoral 2014 dan 2019 kelompok ini mengartikulasikan tujuan politik elektoralnya untuk menjaga dan merawat Pancasila demi keutuhan negara-bangsa dari ancaman islamisasi, arabisasi dan konflik SARA dalam negeri.
Hal serupa, klaim tentang terjadinya instrumentalisasi Pancasila, juga dilakukan kubu Islamis-Radikal. Kelompok ini menilai bahwa Islam telah dihilangkan dalam eksplikasi dogmatik Pancasila dengan tidak dimasukkannya tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yaitu Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Tanpa tujuh kata tersebut, Indonesia semakin kehilangan identitas sebagai bangsa yang berbudaya dengan Islam sebagai pilar utama. Bahaya sekularisasi, termasuk ancaman kembalinya komunisme dari dalam dan dari luar seperti komunisme China melalui platform pembangunan ekonomi Belt and Road Initiative, dinilai hanya dapat dicegah jika Islam tersurat dalam dogma nasionalisme ini. Dengan anggapan ini, Indonesia berada dalam bahaya liberalisme kebablasan, kehilangan jati diri dan berubah menjadi negara sekuler di mana konstruksi kosmospolitanisme HAM melalui advokasi LBGT dan sejenisnya berlahan-lahan dijadikan parameter kualitas demokrasi Indonesia.
Klaim instrumentalisasi Pancasila dari kedua kubu elektoral tersebut pada gilirannya memperlihatkan secara terang-benderang Pancasila sebagai basis dan lokus produksi politik identitas dalam demokrasi Indonesia satu dekade terakhir. Dalam terang Analisis Hegemoni, benturan dua artikulasi identitas kebangsaan melalui Pancasila tiada lain adalah efek diskursif dari neoliberalisme yang mengatur hubungan agama dan negara serta terpenting hubungan negara dan warga negara. Kedua tafsir dan klaim yang dibangun saling merefleksikan, sebagai dua sisi dari cara berpikir neoliberal yang mengalami nasionalisasi di Indonesia. Upaya esensialisasi terhadap Indonesia yang beragam dan terus bergerak memperlihatkan cara kerja ideologi neokolonial dengan mengunci perdebatan politik kebangsaan ke dalam antagonisme internal yang tak berujung dan diselesaikan sementara waktu melalui hasil elektoral dan konsesi politik antar kekuatan yang bertarung yang telah terstukturasi dan terkonsolidasi dalam periode liberalisasi politik dua dekade terakhir.
Efek Diskursif Neoliberalisme
Diletakkan kembali dalam konteks global, reduksi terhadap ideologi nasional semata isu identitas kebangsaan merupakan karakteristik paling menonjol dari teknologi kuasa neoliberal. Alih-alih mengoreksi paradoks neoliberalisme yang terbukti gagal menghadirkan kesejahteraan antarengara dan kawasan, ideologi ini melakukan distorsi dan distraksi terhadap demokrasi melalui penguncian atau framing terhadap perdebatan kritis mengenai krisis ekonomi dan supremasi oligarki ke dalam diskursus identitas. Kebangkitan gerakan sosial-polititk di berbagai negara Eropa disederhanakan sebagai gejala fasisme anti-migran atau anti-Islam dan tidak diperlihatkan kritik populisme Eropa, baik yang dilabelkan kiri maupun kanan, terhadap kegagalan proyek neoliberalisme ekonomi Uni Eropa dan kuasa oligarki globalis (lihat Filc, 2015; Crewe & Sanders, 2020). Kekuatan transnasional tersebut memanfaatkan konstruksi ‘collective west’ sebagai distraksi untuk terus melemahkan kekuatan kelas pekerja industrial Eropa dan menjadikan kawasan ini sebagai eksperimentasi terpenting bagi kapitalisme finansial-transnasional. Hal serupa terbaca dalam politik elektoral di Amerika Serikat dengan kemunculan gerakan Trumpisme yang berusaha mengoreksi paradoks neoliberal di pusat imperium global. Trumpisme dengan slogan America First kemudian disajikan sebagai contoh paradigmatik tentang bahaya politik identitas dalam tata dunia neoliberal (bdk, Norris & Inglehart, 2019; Kellner, 2016).
Dalam cara lain, sebagaimana tersingkap dalam orientasi kajian demokrasi kontemporer yang dikendalikan cara berpikir neoliberal. Kualitas demokrasi ditakar melalui indikator liberalisme politik seperti kebebasan sipil, toleransi dan penegakan HAM di satu sisi dan di sisi lain, melalui indikator tata kelola kelembagaan mencerminkan transparansi dan akuntabilitas negara yang responsif (responsive government) seperti kampanye anti-korupsi dan keberlanjutan negara darurat melalui bantuan langsung tunai, jaminan sosial dan sejenisnya. Bukannya menghadirkan diskusi demokrasi dihubungkan dengan representasi politik untuk kesetaraan ekonomi, studi demokrasi malah memperkenalkan sejumlah istilah umum dalam studi ekonomi seperti resesi demokrasi dan stagnasi demokrasi (bdk, Boese & Lundstedt, 2022; Diamond, 2021, 2015). Konsekuensi akademik dari penggunaan istilah tersebut sangat serius. yaitu bahwa studi demokrasi elektoral menggantikan kritik demokrasi terhadap ekonomi-politik neoliberal dengan kritik demokrasi terhadap politik identitas yang sesungguhnya adalah gejala diskursif atau respon politik terhadap kegagalan kebijakan ekonomi-makro neoliberalisme. Dalam arti krisis ekonomi atau resesi ekonomi neoliberal dengan sengaja dipisahkan dari resistensi gerakan kewarganegaraan dan gerakan protes arus bawah.
Pemisahan fokus politik identitas dari pemeriksaan ekonomi-politik merupakan taktik terkini neoliberalisme dan terbukti efektif sebagai wacana distraksi, khususnya melalui jaringan global produksi pengetahuan dan terpenting jaringan media propaganda transnasional. Dengan mengarusutamakan kosmopolitanisme dalam diskursus demokrasi global, problem politik pemiskinan dan defisit representasi diperlakukan sebagai masalah dan tantangan bagi teknokrasi pembangungan sementara bersamaan dengan itu isu-isu terkait tata kelola diversitas budaya dan politik pengakuan identitas dirumuskan secara sistematis sebagai masalah dan tantangan demokrasi politik. lebih dari itu, politik pengakuan itu sendiri secara sosiologis tidak terlepas dari artikulasi dan resistensi terhadap dampak pengabaian sosial-ekonomi yang dikondisikan secara struktural oleh teknokrasi pembangunan. Namun dalam perlakuan konseptual studi demokrasi neoliberal, politik pengakuan yang adalah artikulasi kesetaraan ekonomi-politik dibatasi kembali sebagai tantangan mengelola masyarakat politik multikultural.
Dalam terang kritik ideologi neoliberal di atas, dapat dengan mudah dipahami mengapa kedua kubu elektoral, Nasionalis-Moderat dan Islamis-Radikal, tersandera dalam tafsir neoliberal atas Pancasila. Politik pengakuan, baik dalam konstruksi Bangsa Islamis dan Bangsa Multikultural, sama-sama berbiak di atas paradigma identitas sebagai matriks percakapan demokrasi dalam masyarakat yang terneoliberalisasi dalam cara memandang hubungan antara negara dan agama. Keduanya berusaha merebut supremasi tafsir atas identitas kebangsaaan dan perdebatan tersebut diakhiri dengan solusi teknis-administratif dalam kotak suara. Jejak perdebatan menghilang, tak terdeteksi lagi dengan dilakukannya kompromi elit nasional pasca pemilu/pilres. Tetapi satu hal yang tersisa dan bakal dihidupkan kembali yaitu perkara identitas kebangsaan dibuat permanen sebagai isu kedaulatan negara dan pembenaran terhadap otoritarianisme negara teknoratis. Identitas kebangsaan diubah secara akrobatik dalam tafsir Pancasila sebagai identifikasi ancaman eksistensial negara-bangsa bernama Indonesia sekaligus identifikasi integrasi nasional dan kohesi sosial.
Mengakhiri pembahasan sesi ini, kritik ideologi atas dua jenis tafsir Pancasila dapat disimpulkan sebagai artikulasi proksi neoliberal dalam demokrasi elektoral satu dekade terakhir di dalam negeri. Sudah tentu tafsir tersebut melayani pragmatisme elit politik dari kedua kubu dalam merebut dan mempertahankan kuasa ekonomi-politik nasional. Akan tetapi terdapat hal yang jauh lebih mendasar dengan resiko tak terbayangkan bagi masa depan negara-bangsa daripada sekadar obsesi regime-change dan regime-conservation, yaitu Pancasila dijadikan medium untuk mereproduksi antagonisme politik sesama anak bangsa dalam kancah elektoral. Antagonisme tersebut mengaburkan akar sosiologis dan historis dari Pancasila sebagai norma anti-kolonial dan proyeksi politik dekolonial kebangsaan dalam cengkeraman neoliberalisme. Disadari atau sebaliknya sungguh tak disadari, politik identitas yang menyeret ideologi negara ke dalam keriuhan elektoral tidak semata menu utama bagi gegap gempita demokrasi liberal tetapi sebuah sinyalemen terkini tentang penetrasi neoliberal ke dalam praksis ideologi negara-bangsa yang seharusnya melakukan kritik permanen terhadap neokolonialisme dan bukan sebaliknya menjadi ruang seteru tentang identitas kebangsaan untuk melayani preskripsi demokrasi neoliberal.
Memulihkan Dimensi Emansipatoris Pancasila
Membaca kembali Pancasila sebagai proyek ideologi dekolonial dengan sendirinya menempatkan norma kebangsaan ini dalam perspektif counter-hegemoni terhadap efek diskursif neoliberalisme. Pengalaman elektoral satu dekade tidak bisa berlalu tanpa koreksi sistematis terhadap lapisan-lapisan penetrasi liberalisme politik dalam cara memandang agama dan negara serta negara dan warga negara. Panggilan etis-politis terbaik adalah memulihkan dimensi emansipatoris Pancasila yaitu bahwa ideologi nasional ini bersifat terbuka terhadap ragam artikulasi identitas sepanjang diselenggarakan dalam matriks kontestasi dan konsolidasi untuk keadilan ekonomi dan kesetaraan politik, baik di dalam negeri maupun dalam proyeksi geopolitik Indonesia (bdk,Dhakidae, 2011; Kusman, 2022). Dengan demikian, nasionalisme Indonesia tidak berkutat pada identifikasi rasial, etnis dan agama sebagaimana menjadi taktik divide and rule dalam teknologi kuasa kolonial tetapi identifikasi nasionalisme yang berorientasi dekolonisasi dengan semangat internasionalisme yang bebas dan aktif untuk keadilan dan kesetaraan global.
Dimensi emansipatoris dimaksud tentu tidaklah mengabaikan dimensi liberasi politik yang menjamin hak berpolitik warga negara, baik sebagai individu maupun gerakan sosial-ekonomi. Liberasi politik adalah infrastruktur terpenting bagi emansipasi politik berbasis kebangsaan dan komunitas yang terus terbentuk. Kendati demikian, liberalisasi yang tidak bergerak menuju emansipasi mudah terjebak dalam liberalisme politik dengan panduan politik identitas (bdk, Brown, 2019; lihat juga Mamdani, 2020). Sementara di lain pihak, kebebasan sipil yang terjamin dalam tata kelola elektoral seharusnya menjadi landasan kokoh yang terus terjaga bagi politik gerakan sosial-ekonomi, memastikan kumpulan warga negara berbagi kepentingan dan harapan sebagai demos yang berkontestasi dan bernegosiasi (lihat konsepsi Sukarno dalam tulisannya, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, 2016; bandingkan dengan konsepsi Hatta dalam bukunya, Beberapa Pasal Ekonomi, 1954). Dalam kontestasi elektoral yang dicari tidak hanya perbedaan kepentingan tetapi juga titik temu melalui agregasi kepentingan yang digarap dengan kerja representasi politik.
Dalam sejarah politik dekolonisasi, Pancasila adalah panduan politik emansipasi, baik meretas relasi-kuasa dalam ekonomi-politik dalam negeri maupun sebagai norma diplomasi yang berpihak kepada perjuangan dekolonisasi menentang berbagai manifestasi ketidakadilan ekonomi dan diskriminasi politik dalam tata dunia pasca-kemerdekaan. Antagonisme politik yang terbentuk dalam formulasi Pancasila tiada lain adalah relasi kuasa kolonial, yang menggerakkan Indonesia sebagai proyek emansipasi ke dalam dan ke luar negeri. Bagi Sukarno, dalam tulisannya ‘Indonesia versus Fasisme’ (2016), politik identitas yang memuncak pada fasisme berakar kuat dalam krisis kapitalisme modern dan dalam konteks terkini terjelma dalam krisis neoliberalisme ekonomi yang memproduksi kerentanan identitas liberal maupun komunitarian. Hal serupa dipertegas lagi dalam artikel lain berjudul ‘Fasisme adalah Politiknya dan Sepak Terjangnya Kapitalisme yang Menurun’ (2016).
Dengan demikian dalam analisis Sukarno, konstruksi musuh bagi Pancasila bukanlah ekspresi ideologis sebagaimana kegentaran pada fasisme atau nasionalisme yang bergelora dengan obsesi akan supremasi rasialisme, multikulturalisme, atau radikalisme keagamaan. Antagonisme politik Pancasila ditujukan pada akar-akar struktural dominasi ekonomi-politik kapitalisme dalam negeri dan imperialisme unipolar dalam tata dunia pasca Perang Dingin-Pasca Orde Baru yang tiada henti mendapatkan pembenaran-saintifikasi neoliberal dalam teknorasi pembangunan, teknorasi politik dan supremasi hukum atau ketertiban sebagai panglima. Nasionalisme fasis, sebagaimana esensialisasi terhadap agama komunitarian-majoritarian dan multikulturalisme, hadir sebagai distorsi dalam representasi ekonomi-politik sekaligus distraksi yang mengalihkan perhatian nasional kepada rumusan masalah atau ancaman yang keliru. Tercipta perang proksi dengan musuh yang tertukar, misplaced enemy, sesama anak bangsa dari kelas ekonomi dan golongan sosial yang sama dibuat terbedakan secara kultural dalam politik identitas. Dalam terang kritik ideologi yang dikemukakan Sukarno, bahaya PKI atau komunisme yang menjamin keberlangsungan negara keamanan dan negara kekeluargaan-integralistik Orde Baru tidak berbeda dari konstruksi bahaya radikalisme Islam-arabisme atau bahaya multikulturalisme-sekularisme (tentang konstruksi Pancasila Orde Baru, lihat Bourchier, 2007; Wahyudi, 2007).
Pemulihan dimensi emansipatoris, sebagai pelampauan terhadap jebakan politik identitas, harus dimulai dengan memperlihatkan relasi saling menegaskan antara Pancasila, Islam dan demokrasi. Sembari membebaskan relasi ketiganya dari tinjauan neoliberal, Islam adalah komponen terpenting dalam artikulasi kepancasilaan. Artikulasi tersebut tidak berhenti semata dalam perdebatan kusir mengenai tujuh kata melainkan Islam ikut merumuskan orientasi kebijakan nasional merujuk pada empat pilar lainnya sebagai pilar keislaman yang terus mencari titik temu terbaik dengan kekuatan politik lainnya, terutama di antara faksi-faksi teologi sosial-politik keislaman sendiri. Perdebatan bermutu seperti Islam Transformatif, Islam Progresif dan termasuk Islam Nusantara dan Islam Modern justru harus dikembangkan secara sistematis untuk mendapatkan rumusan Islam Indonesia yang lebih hegemonik sebagai artikulasi pemersatu keislaman sosial-politik dalam agenda dekolonisasi Indonesia ke dalam dan ke luar negeri. Agenda emansipatoris Islam dalam mengartikulasikan Pancasila sebagai praksis ideologi dekolonial sebaiknya menjadi prioritas dalam hubungan Islam dan Pancasila melalui praktek demokrasi ketimbang mereduksi Islam ke dalam dikotomi Islam Damai versus Islam Radikal, atau rasialisasi terhadap Islam seperti Islam Nusantara versus Islam Arabia.
Artikulasi keislaman emansipatoris membuat Pancasila menjadi praksis ideologi nasional yang terus menjalankan misi dekolonisasi untuk membangun persatuan dengan cara merumuskan secara politik musuh bersama bernama neoliberalisme dalam konfigurasi dan manifestasi nasional-global. Islam Nasionalis-Moderat versus Islam-Radikal adalah konstruksi hasil kreasi atau efek diskursif dari neoliberalisasi pengetahuan dan cara mengalami Indonesia yang tentu harus segera ditinggalkan. Konstruksi dikotomis ini terbentuk dalam kemelut liberalisasi politik yang dikehendaki neoliberalisme tanpa proyeksi emansipasi yang dikawal secara militan melalui konsolidasi nasional dan diplomasi internasional. Proyeksi emansipasi Islam ke dalam negeri bisa terus dikontestasikan dan diwujudkan melalui konsolidasi gerakan sosial yang berserakan, desentralisasi-otonomi daerah dan demokratisasi pembangunan desa (bdk, Sujito, 2004, 2012; Dibley & Ford, 2019; Hiariej & Stokke, 2017). Sementara sejalan dengan itu proyeksi Islam emansipasitoris dalam diplomasi internasional bisa belajar dari diplomasi keislaman Indonesia yang terbukti tidak meninggalkan rekam jejak resistensi dalam tata dunia unipolar yang timpang dan membenturkan umat muslim di berbagai kawasan khususnya Timur Tengah, Afrika dan dan Asia Tengah (bdk, Hakim & Djalong, 2022, Kusman, 2022).
Menggunakan kritik Sukarno terhadap apa yang disebutnya Islam Sontoloyo dalam orde kolonial, konstruksi Islam Damai versus Islam Radikal adalah manifestasi kontemporer dari Islam Sontoloyo dalam orde neoliberalisme poskolonial (lihat juga, Sukarno, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, 2016). Dua subyek identitas yang tampak superaktif ini sesungguhnya adalah identitas yang terdepolitisasi, kehilangan kapasitas emansipasi dan menghidupi antagonisme sosial-ekonomi sebagai keterberian alamiah yang harus dijaga dan dibela bahkan dengan kekerasan kolektif (bdk, Mamdani, 2012). Kedua subyek neoliberal ini terbentuk, ditundukkan dan dikendalikan dalam hegemoni wacana Global War on Terror di Indonesia bersamaan dengan dibukanya liberalisasi politik pasca-Orde Baru, sebagaimana di tingkat global berlangsung konstruksi serupa, Good Moslem versus Bad Moslem, sebagai manifestasi lanjut dari konstruksi orientalisme kolonial (lihat, Mamdani, 2002; Said, 2003; Dabashi, 2011). Tanpa kritik permanen terhadap ideologi neoliberal, konstruksi dua jenis subyek elektoral satu dekade terakhir akan terus direproduksi dalam diskursus publik, produksi pengetahuan dan dimunculkan kembali sebagai basis pembilahan politik pada pemilu/pilres yang akan datang.
Sejalan dengan reaktivasi keislaman emansipatoris, proyek emansipasi Pancasila tidak akan bergerak maju jika konstruksi kebangsaan masih dipahami sebagai konstruksi kebudayaan semata. Berbeda dari konstruksi neoliberal atas Indonesia multikultural, bangsa Indonesia adalah bangsa politik dan bukan bangsa antropologis. Dalam arti keberagaman identitas budaya yang dinamis sejalan dengan keberagaman kelompok sosial-ekonomi yang ditandai oleh antagonisme berubah-ubah, yang keseluruhannya membutuhkan kerja politik agregrasi dan representasi. Tafsiran emansipatoris atas Pancasila hanya bisa dikembangkan lebih lanjut sepanjang keragaman budaya dan keragaman sosial-ekonomi dicermati sebagai basis politik persatuan, yang selalu diperjuangkan, dipertarungkan dalam dialog publik dan demokrasi elektoral di luar paradigma neoliberal. Persis pada titik ini, Sukarno, sebagaimana halnya Hatta dalam Beberapa Pasal Ekonomi (1954), membangun argumentasi yang sangat kuat mengenai ‘Demokrasi Politik dengan Demokrasi Ekonomi=Demokrasi Sosial’ (Sukarno, 2016). Dalam terang analisis hegemoni dan demokrasi agonis, bangsa Indonesia lebih dari sekadar komunitas terbayang, terbentuk terus menerus melalui benturan identitas dan kepentingan menuju Indonesia yang tidak pernah selesai dalam proyek emansipasi terhadap struktur ekonomi-politik kolonial dan neoliberalisme poskolonial.
Sinergi Konsolidasi Nasional dan Proyeksi Geopolitik
Kembalinya dimensi emansipatoris dalam percakapan tentang Pancasila memiliki signifikansi ekonomi-politik terkini bagi geopolitik Indonesia pasca-politik identitas. Pemerintahan Joko Widodo telah mencanangkan agenda Indonesia Emas 2045 dengan target penuh tantangan menjadikan bangsa ini kelima terbesar kekuatan geopolitik dunia. Di dalam forum G20, terbaca dengan jelas semakin strategisnya posisi dan peran Indonesia, mengutip pernyataan sang Presiden, sebagai terang dunia dan jembatan perubahan global (pernyataan Jokowi November 2022). Seteru geopolitik antara kekuatan unipolar G7 (Collective West) dan kekuatan multipolar dengan poros China-Rusia menghadirkan peluang strategis bagi proyeksi internasionalisme Indonesia sebagai negara yang sejauh ini mengembangkan pendekatan kemenduaan strategis (strategic ambiquity). Landasan bagi proyeksi tersebut dimulai dari pengarusutamaan peran ekonomi-politik dan keamanan dalam ASEAN ataupun melalui sejumlah forum regional dan internasional yang masing-masing dikendalikan oleh kedua kubu superpower tersebut.
Merespon tantangan strategis tersebut, agenda demokrasi melampaui politik identitas menjadi salah satu kunci terpenting untuk melancarkan proyeksi tersebut. Tantangan strategis mustahil menjadi peluang geopolitik jika demokrasi Indonesia masih tersandera paradigma neoliberal yang mereproduksi identitas sebagai matriks politik nasional. Hal ini mengembalikan Indonesia pada rumusan geopolitik dekolonial Sukarno sebagaimana tersurat dalam ‘Indonesia dan Pan-Asiatisme’ (2016). Rumusan yang diterbitkan Suluh pada tahun 1928, menjadi dasar proyeksi geopolitik dekolonisasi dengan memanfaatkan kebangkitan Jepang, bernegosiasi dengan Belanda Kolonial seraya mencermati peta kekuatan ekonomi-politik, lokasi pertarungan strategis dan membuat skenario arah dan dampak perseteruan geopolitik internasional. Konsekuensinya, mengikuti formula Sukarno memproyeksikan kemerdekaan dua dekade berikutnya, 1928-1945, wacana demokrasi politik terkini harus segera merumuskan identitas keindonesian sebagai agensi geopolitik menuju lima besar 2045.
Dalam cengkeraman neoliberalisme, demokrasi elektoral sulit menghasilkan kepemimpinan nasional dan komunitas kebijakan dengan kecakapan strategis dan lintas-sektoral dalam teknokrasi pembangunan semakin birokratis dan oligarkis. Malah yang akan terpelihara adalah negara yang tak mampu mengelola potensi dan kapasitas ekonomi-politik dalam negeri sekaligus didikte oleh kekuatan global yang berseteru tanpa panduan strategis. Hal ini mendesak menjadi diskusi publik dan diskusi akademik mengingat efek diskursif politik identitas neoliberal memicu kecenderungan teknoratis pembangunan, yang kendati pun terbukti tidak efektif, tetap mendapatkan validasi norma globalis-neoliberal dan disibukkan dengan konsesi kelola sumber daya negara antarfaksi oligarki nasional. Karena itu, muatan wacana politik elektoral menuju pemilu/pilpres 2024 harus dikerangkai perdebatan mengenai strategi, capaian dan masalah pembangunan dalam negeri yang kemudian diproyeksikan menjadi diplomasi geopolitik (geo-ekonomi dan geo-sekuriti) bagi kepentingan nasional jangka menengah dan jangka panjang.
Dalam konteks tersebut, wacana politik elektoral menuju 2024 sangat krusial melayani dua arah kebijakan yang tersambungkan, yaitu konsolidasi ekonomi-politik nasional dan proyeksi geopolitik Indonesia dalam dinamika perseteruan superpower antar dua model tata ekonomi-politik internasional. Indonesia berpacu dengan dinamika antarkawasan terutama karena sebagian besar negara yang tercakup dalam Global South telah merumuskan agenda penguatan kedaulatan negara dan dekolonisasi terhadap struktur ekonomi-politik neoliberal, sebagaimana terbaca dalam Sidang Umum PBB, 20-26 September 2022. Di sana tersingkap bahwa kedaulatan negara dimaksud tidak lagi dipersepsikan melalui konstruksi ancaman identitas kebangsaan multikultural, rasial dan agama melainkan konstruksi identitas bangsa sebagai bangunan ekonomi-politik yang diperkuat mengantisipasi dan mengelola peluang dan konflik perebutan sumber daya alam khususnya energi dan mineral, pasar ekonomi, industri teknologi tinggi dan angkatan kerja produktif. Dalam formulasi lain dikatakan bahwa dalam dua dekade Global War on Terror sebagian besar negara merumuskan ancaman eksistensial negara-bangsa dalam kontestasi identitas kultural sebagaimana dibayangkan Fukuyama (2018, 1992) dan Huntington (1993)), dunia pasca-GWOT dan Pasca-Covid 19 ditandai pertarungan ideologi ekonomi-politik, antara Kapitalisme Industrial versus Kapitalisme Finansial sebagaimana diargumentasikan Michel Hudson (2003).
Berdasarkan analisis dan argumen-argumen pokok dalam tulisan ini, catatan terpentingnya adalah bahwa jika dekonstruksi terhadap politik identitas tidak gencar dilakukan maka besar kemungkinan politik jenis ini terulang kembali dengan matriks isu-isu geopolitik terbaru yang berlangsung dalam negeri dan kawasan Asia-Pasifik. Yang dimaksudkan dengan isu geopolitik adalah kontestasi ekonomi-politik AS-Collective West versus China-Rusia dalam perdagangan dan investasi kawasan yang tentu menghadirkan narasi-narasi baru konflik geopolitik tersebut di dalam negeri. Bahkan pada tingkat tertentu, pembilahan politik identitas ikut terbentuk dengan narasi China Komunis, China Anti-Islam terkait isu Muslim Uighur atau sebaliknya juga narasi anti-Barat imperial, Barat anti-Islam dan sejenisnya. Narasi semacam ini tentu berpotensi membelah kekuatan politik nasional sesuai dengan preferensi ekonomi masing-masing kekuatan. Terburuk dalam defisit proyeksi geopolitik adalah kembali menguatnya gerakan etno-nasionalisme Aceh dan sudah tentu gerakan kemerdekaan Papua. Dalam skenario terburuk itu, negara yang gagal mengelola dinamika internal dan tekanan eksternal cenderung berubah menjadi negara darurat dan dan negara keamanan sekaligus.
Catatan Penutup
Keseluruhan analisis yang telah diuraikan tidak lebih dari upaya dekonstruksi terhadap politik identitas yang menyandera demokrasi elektoral Indonesia satu dekade terakhir. Tersingkap bahwa dalam keriuhan politik itu, Pancasila dijadikan taruhan elektoral untuk mendefenisikan identitas kebangsaan dalam kuasa tafsir neoliberal. Dengan menggunakan Analisis Hegemoni dan Demokrasi Agonis, politik identitas sejalan dengan tafsir neoliberal atas Pancasila menciptakan antagonisme antarkekuatan yang mengalihkan perhatian publik dari isu-isu strategis ekonomi-politik nasional. Gerakan Nasionalis-Moderat versus gerakan Islamis-Radikal adalah dua artikulasi politik identitas yang berbiak di atas paradigma liberalisme politik yang tidak dipandu dengan pembacaan Pancasila sebagai ideologi politik dekolonial menyasar bangunan ekonomi-politik neoliberal. Dampaknya sangat destruktif yaitu mengubah politik kewarganegaraan ekonomi-politik menjadi politik identitas multikultural, rasial dan keagamaan semata. Salah satu jalan terbaik mengatasi kemelut ini adalah mengembalikan dimensi emansipatoris Pancasila. Pancasila adalah praksis ideologi yang terbuka terhadap artikulasi keislaman bagi keadilan ekonomi dan kesetaraan politik, sebagaimana keislaman merupakan elemen artikulasi terpenting di balik konstruksi Pancasila sebagai ideologi negara poskolonial Indonesia. Dengan dimensi emansipatoris tersebut diharapkan dapat menuntun perdebatan elektoral menuju Pemilu/Pilpres 2024 sekaligus sebagai eksperimentasi terpenting bagi proyeksi geopolitik Indonesia dalam seteru superpower antara kekuatan unipolar dan kekuatan multipolar. Aktivasi dimensi emansipatoris secara khusus berarti melakukan pemeriksaan terhadap capaian dan masalah desentralisasi-otonomi daerah, konsolidasi gerakan sosial-ekonomi yang berserakan dan demokratisasi pembangunan desa. Dari pemeriksaan tersebut dapatlah dirumuskan agenda strategis geopolitik untuk kepentingan nasional dan menjadikan Pancasila emansipatoris sebagai panduan etis-politis menuju Indonesia emas 2045.
Arie Sujito, Jurnal Pancacila, Vol.3, No.2, 2022, hal. 13 – 32
https://journal.ugm.ac.id/pancasila/article/view/79923/pdf
Referensi
Sukarno. (2016). “Nasionalisme, Marxisme dan Islamisme”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Sukarno. (2016). “Indonesianisme dan Pan-Asiatisme”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Sukarno. (2016). “Kapitalisme Bangsa Sendiri?”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Sukarno. (2016). “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Sukarno. (2016). “Indonesia versus Fasisme”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Sukarno. (2016). “Bukan Perang Ideologi”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Hatta, Mohammad. (1954). Beberapa Pasal Ekonomi: Jalan Ekonomi dan Kooperasi. Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan K
Bouchier, David. (2007). Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis (Integralistik).Yokyakarta: Penerbit Aditya Media Yokyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila UGM
Wahyudi, Agus. (2007). “Menimbang Sejarah Pemikiran, Menata Kembali hari Depan”, dalam Catatan Pengantar buku terjemahan David Bouchier, Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis (Integralistik), hal. iii-xvii. Yokyakarta: Penerbit Aditya Media Yokyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila UGM
Dhakidae, Daniel. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dhakidae, Daniel. (2011). “Meninggalkan Indonesia-Raya dan Menemukan Kembali Indonesia-Dalam”, dalam Imam Muhlis (editor), Islam, Keindonesiaan dan Civil Society, hal. 16-62. Yokyakarta: PADMA Books
Dhakidae, Daniel. (2001). “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang”, dalam Pengantar Edisi Indonesia untuk Buku Ben Anderson, Imagined Communities, hal. xliii-xlvi. Yokyakarta: diterbitkan atas kerjasama INSIST
Latif, Yudi. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jones, Sidney. (2015). Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: PUSAD Paramadina
Sujito, Arie. (2004). “Imperialisme dan Kebangkrutan Rezim”, dalam Arie Sujito, Refleksi dan Aksi untuk Rakyat, hal 19-24. Yokyakarta: IRE Press
Sujito, Arie. (2016). “Mengatasi Rapuhnya Demokrasi”, https://tirto.id/mengatasi-rapuhnya-demokrasi-bn1D
Sujito, Arie. (2012). Pendangkalan Politik. Yokyakarta: IRE Press
Sujito, Arie. (2012). Negara Sibuk, Rakyat Terpuruk. Yokyakarta: IRE Press
Djalong, Frans A. (2018). “Tata Kelola Pemilu untuk Demokrasi: Antara Liberasi dan Emansipasi”, dalam Mengembangkan Sistem Perwakilan Politik Berintegritas, hal 58-71. Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI
Hakim, Luqmanb-nul & Djalong, Frans. (2022). “Melampaui Politik Identitas: Islam Indonesia menuju Tata Dunia Pasca-Unipolarisme”, dalam Jurnal Pemikiran Sosial-Ekonomi Prisma, Islam dalam Perubahan Global: Menentang atau Mengikuti Arus?, hal 43-59, Vol 41, No. 3, 2022
Hakim, Luqman-nul. (2020). “Politisasi Islam, Depolitisasi Demokrasi: Islam Politik dan Multikulturalisme Pasca-Orde Baru”, dalam Jurnal Pemikiran Sosial-Ekonomi Prisma, Meredam Ketegangan Agama dan Negara, hal 3-14, Vol. 39, No. 1, 2020
Kusman, Airlangga P. (2022). “Sukarno: Kebangsaan, Keislaman, dan Marxisme”, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Prisma, Islam dalam Perubahan Global: Menentang atau Mengikuti Arus?, hal 64-79, Vol 41, No. 3, 2022
Kusman, Airlangga P. (2020). “Mengawasi ‘Radikalisme’: Pendekatan Kultural dan Kebijakan Illiberal Pasca-Momen 212”, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Prisma, Meredam Ketegangan Agama dan Negara, hal 15-27, Vol. 39, No. 1, 2020
Brigg, Morgan, Djalong, Frans & Sugiono, M. 2016. “Diversity, Democratization and Indonesian Leadership”. Australian Journal of International Affairs, Special Edition, Vol. 70, No.4, 2016, pp. 407-421
Boese, Vanessa, Lundstedt, Martin et. All. 2022. State of the World 2021: Autocratization Changing Its Nature?. Democratization 29:6, 983-1013 https://doi.org/10.1080/13510347.2022.2069751
Crewe, Ivor and Sanders, David (eds). 2020. Authoritarian Populism and Liberal Democracy. Switzerland: Palgrave MacMillan
Diamond, Larry, Plattner, Marc F, and Walker, Christopher (eds). 2016. Authoritarianism Goes Global: The Challenge To Democracy. Baltimore: Johns Hopkins University Press
Diamond, Larry. 2021. “Democratic Regression in Comparative Perspective: Scope, Methods, and Causes. Democratization, 28:1, 22-42,
Diamond, Larry and Plattner, Marc F. 2015. Democracy In Decline?. Baltimore: Johns Hopkins University Press
Diamond, Larry. 2021. “Democratic Regression in Comparative Perspective: Scope, Methods, and Causes. Democratization, 28:1, 22-42,
Norris, Pipa and Inglehart, Ronald. 2019. Cultural Backlash Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. Cambrige: Cambridge University
Filc, Dani. 2015. “Latin American Inclusive And European Exclusionary Populism: Colonialism As An Explanation”. Journal Of Political Ideologies,
http://dx.doi.org/10.1080/13569317.2015.1075264
Kellner, Douglas. 2016. American Nightmare: Donald Trump, Media Spectacle, and Authoritarian Populism. Rotterdam: Sense Publishers
Fukuyama, Francis. (2018). Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentiment. New York: Farrar, Straus and Giroux
Huntington Samuel P. The Clash of Civilizations? Foreign Affairs, Vol. 72, No. 3 (Summer, 1993), pp. 22-49
Hudson, Michel. (2003). Super Imperialism: The Origin and Fundamentals of U.S. World Dominance. London: Pluto Press
Hiariej, Eric and Stokke, Christian (eds). 2017. Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustakan Obor
Dibley, Thushara and Ford, Michele (eds). Activists in Transition: Progressive Politics in Democratic Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 2019
Dabashi, Hamid. (2011). Brown Skin, White Masks. London: Pluto Press
Said, Edward. (2003). Orientalism. London: Penguin Books
Brown, Wendy. (2019). In the Ruins of Neoliberalism: The Rise of Antidemocratic Politics in the West. New York: Colombia University Press
Mamdani, Mahmood. (2020). Neither Settler nor Native: the Making and Unmaking of Permanent Minorities. London: Belknap Press
Mamdani, Mahmood. (2012). Define and Rule: Native as Political Identity. Cambridge: Harvard University Press
Mamdani, Mahmood. (2002). Good Muslim, Bad Muslim: A Political Perspective on Culture and Terrorism, American Anthropologist, New Series, Vol. 104, No. 3 (Sep., 2002), pp. 766-775
Menchik, Jeremy. (2016). Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. Cambrdige: Cambridge University Press
Mudhoffir, Abdil M.(2022). “Kekerasan atas Nama Islam: Tanda Kegagalan Populisme Islam atau Gejala Kapitalisme Predatoris?”, dalam Jurnal Pemikiran Sosial-Ekonomi Prisma, Islam dalam Perubahan Global: Menentang atau Mengikuti Arus?, Vol. 41, No. 3, hal. 35-42
Mudhoffir, Abdil M.(2022). State of Disorder: Privatised Violence and the State in Indonesia. Singapore: Palgrave MacMillan
Tomsa, D. (2017). Regime Resilience And Presidential Politics In Indonesia, Contemporary Politics, Routledge. https://doi.org/10.1080/13569775.2017.1413502
Power, T. P. (2018). Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), pp. 307-338, https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918
Nguitragool, P. (2020). Indonesia’s Sense Of Self, The West, And Democracy: An Ontological (In)Security Perspective, Contemporary Politics, https://doi.org/10.1080/13569775.2020.1795372
Mouffe, C. (2005). On the Political. London: Routledge
Mietzner, M. (2019). Authoritarian Innovations In Indonesia: Electoral Narrowing, Identity Politics And Executive Illiberalism, Democratization, https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1704266
Laclau, E., & Chantal, M. (1985). Hegemony and Socialist Strategy: Toward A Democratic Radical Politics. London: Verso
Kurniawan, Y. (2018). The Politics of Securitization in Democratic Indonesia. London: Palgrave MacMillan
Hiariej, E., & Stokke, C., (eds). (2017). Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustakan Obor
Heiduk, F. (2014). State Disintegration And Power Politics In Post-Suharto Indonesia, Third World Quarterly, 35(2), pp. 300-315, http://dx.doi.org/10.1080/01436597.2014.878491
Hadiz, V. R. (2016). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press
Hadiz, V. R. (2017). Indonesia’s Year Of Democratic Setbacks: Towards A New Phase Of Deepening Illiberalism?, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 53:3, pp. 261-278
Hadiz, V. R. (2018). Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism for Right-Wing Politics in Indonesia, Journal of Contemporary Asia, https://doi.org/10.1080/00472336.2018.1433225
Fossati, D. (2021). National Identity and Public Support for Economic Globalisation in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 57(1), pp. 61-84, https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1747594
Diprose, R., McRae, D. & Hadiz, V. R. (2019). Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn, Journal of Contemporary Asia, 49(5), pp. 691-712, https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1637922
Duile, T., & Bens, J. (2017). Indonesia And The “Conflictual Consensus”: A Discursive Perspective On Indonesian Democracy, Critical Asian Studies