Patronase Manggarai: Empat Pilar Antitesis Demokrasi (2011)

Bab ini merupakan bagian terpenting dari tesis ini. Di sini akan dibahas sejumlah argumen pokok dengan menghadirkan analisis yang mendalam terhadap hubungan fundamental antara dua wacana hegemonik (Kairos dan Developmentalisme) dan praktik-praktik patronase. Berbeda dari bab sebelumnya yang mempresentasikan ilustrasi kasus-kasus dengan tujuan memperlihatkan cara patronase dipraktikkan melalui teknik dan prosedur, maka bab ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana hubungan fundamental itu, yang menjelma menjadi govermentalitas patronase, terbentuk dan beroperasi. Jadi pusat perhatiannya diarahkan pada strategi wacana mereproduksi dirinya melalui praktek patronase.

Analisis terhadap strategi menemukan empat isu pokok yang tak terpisahkan satu dari yang lain: politik, pembangunan, identitas dan keagenan. Keempat isu ini bukan kumpulan konsep teoritik, melainkan empat pilar fundamental yang melaluinya nalar memerintah (governmental reason) dalam Developmentalisme dan nalar pastoral (pastoral reason) dalam Kairos menubuh dan berkembang biak dalam praktik patronase. Keempat pilar ini telah memiliki pengertian tersendiri dalam dua wacana tersebut. Dengan menelurusi keempat pilar ini barulah dapat dipahami dengan lebih jelas mengapa praktik-praktik patronase di Manggarai relatif permanen dan dengan sendirinya menjawab pertanyaan mengapa Kairos dan Developmentalisme menjadi hegemonik.  

Bagian Ketiga dari bab ini, Komponen Governmentalitas Patronase, menguraikan karakteristik patronase yang tergovernmentalisasi Kairos dan Developmentalisme dengan menggunakan lima komponen: sistem diferensiasi, tujuan, cara produksi, bentuk pelembagaan, dan derajat rasionalisasi. Sementara dalam Rangkuman, studi ini merangkum kembali empat pilar govermentalitas patronase di Manggarai. Keempat pilar itu memperlihatkan sifat antitesis terhadap cara demokrasi radikal memandang politik, pembangunan, identitas dan keagenan.   

Secara keseluruhan tujuan bab ini tak lain adalah memperlihatkan kedalaman penetrasi Kairos dan Developmentalisme melalui proses individualisasi dan totalisasi yang tercermin dalam praktik patronase. 

(1) ‘Politik’ & ‘Pembangunan’

Analisis pada sesi ini memcoba memperlihatkan bagaimana tuang dan roeng (patron dan klien) memahami politik dan pembangunan. Pemahaman yang terbentuk merupakan bagian integral dari cara kerja governmentalitas   patronase dalam rejim pengetahuan-kebenaran Kairos dan Developmentalisme. Studi ini menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang politik dan pembangunan tidak seluruhnya disebabkan oleh penetrasi kelembagaan Gereja dan Negara, melainkan terbentuk melalui praktik-praktik pembedaan (dividing practices) dalam kehidupan sosial-keagamaan dan politik-ekonomi pemerintahan. Praktik-praktik tersebut menghasilkan cara pandang politik dan pembangunan yang khas. Begitu pula kenyataannya bahwa cara pandang tersebut mengarahkan dan mereproduksi praktik-praktik patronase.

Studi ini memastikan patronase sebagai relasi-kuasa yang tergovernmentalisasi melalui Kairos dan Developmentalisme. Patronase dalam Kairos yang tak lain adalah teknik kekuasaan pastoral dalam perkembangan sejarah gereja di Manggarai telah masuk dalam hubungan saling pengaruh bersama Developmetanalisme yang mengartikulasikan kehadiran Negara di daerah ini sejak akhir tahun 1950-an. Dari segi governmentalitas, tak ada lagi batasan yang dapat memisahkan cara kerja dua wacana ini dalam memproduksi pengetahuan, subyek, subyektifitas, dan ruang-ruang sosial ekonomi dan politik dalam mana orang-orang Manggarai menemukan diri berbeda satu dari yang lain berdasarkan praktik-praktik patronase. Patronase merupakan praktik-praktik yang membeda-bedakan (dividing practices). Status dan keagenan mereka temukan dalam ruang-ruang dalam mana mereka didiferensiasi secara nyata dalam hubungan produksi ekonomi dan hubungan simbolis.    

Dalam hubungan produksi, sebagai relasi kerja aktual, telah terdiferensiasi dua jenis agensi yang pertama dimainkan patron dan berikutnya diperankan klien melalui distribusi sumber daya publik di satu sisi dan loyalitas atau kesetiaan mengikuti politik distribusi di sisi lain. Hampir pasti di sini, aktivitas pertanian, perkebunan dan perdagangan bukanlah aktivitas produksi yang masuk dalam domain pertarungan politik antara kerja dan modal. Dia berada di luar politik, diperlakukan sebagai obyek kontrol dan target wacana, dan dengan demikian para petani, yang merupakan golongan terbesar, menjadi kelompok sasaran yang a-politis yang diperebutkan para patron dan bakal patron sebagai klien politik pembangunan.

Dalam Kairos dan Developmentalisme, tak dikenal pertentangan kerja ekonomi dan modal. Kontradiksi yang muncul dari antogonisme kerja-modal dianggap berada diluar kintal politik pembangunan alias tak terkait dengan implementasi atau absennya kebijakan pemerintah daerah. Pengganguran dan buta huruf  dipandang bukanlah soal-soal fundamental yang ditimbulkan oleh politik pembangunan melainkan masalah-masalah di luar pembangunan dan akan diatasi pembangunan. Panca Program Christian Rotok, misalnya,  dibayangkan aparatus pemerintah dan masyarakat sebagai intervensi serba penting yang datang dari luar domain sebab-sebab kemiskinan karena kemiskinan serta soal-soal lain yang ditimbulkannya dimengerti sebagai simptom ketertinggalan dan keterbelakangan karena belum disentuh kebijakan pembangunan. Pembangunan menjadi episentrum, pusat tanpa noda. Semua mata harus ditujukan kepadanya sebagai jurus keselamatan dan mendengar menyimak dengan sungguh-sungguh perkataan pegawai negara yang adalah jurus selamat.   

Seakan membalikkan seluruh tesis hubungan antara kerja, modal dan politik,  dua wacana patronase ini menciptakan pengertian yang sama sekali berbeda tentang hubungan produksi itu. Di sini petani membayangkan dirinya sebagai konsumen dan pegawai negara memandang dirinya sebagai produsen. Substitusi ini hanya mungkin terbentuk melalui praktik-praktik penyelenggaraan pembangunan oleh negara yang murah hati dan aparatur pemerintah yang berjiwa besar dalam mimpi mereka mengentaskan kemiskinan masyarakat Manggarai.[1] Menjadi Bupati adalah tugas suci. Seperti slogan Bupati Burhan di tahun 1980an “Jabatan adalah Mission”. Seluruh kedaulatan dan harga diri rakyat melumat ke dalam dirinya dan diperagakannya melalui perkataan dan perbuatan seseorang yang serba tahu dan serba bisa. Sang patron, sang pemimpin “tanah kuni agu kalo”, harus tampil dan menampilkan dirinya dalam berbagai ruang dan kesempatan. Mulai dari acara kunjungan kerja sampai acara pernikahan, pejabat-pejabat pemerintahan dalam kesederajatannya dengan pastor paroki dan petinggi keuskupan lainnya memberikan sambutan dan nasihat tentang kesabaran dan kerja keras. Dikabarkan dalam kesempatan itu, gereja dan pemerintah tak henti-hentinya berbuat dan berkorban. Bendungan, sekolah, dan jalan raya telah disediakan tinggal masyarakat memanfaatkan untuk perbaikan taraf hidup mereka. Satu pesan tunggal dari retorik patronase ini adalah  bahwa silakan menikmati hasil-hasil pembangunan ini karenan inilah tujuan pembangunan itu sendiri. Soal kemiskinan, pengganguran dan buta huruf tak lain adalah kegagalan ‘roeng’ memanfaatkan sarana dan prasarana yang adalah hasil pembangunan. 

Salah satu implikasi paling fundamental dari beroperasinya praktik-praktik ideologisasi pembangunan ini adalah dari waktu ke waktu pegawai negara dan pejabat gereja memandang diri dan dipandang tak bisa salah secara teknis-manajerial dan tak dapat diminta pertanggungjawaban moral dan etis atas soal-soal yang berbiak dari kemiskinan. Dalam dua wacana ini kita segera bertemu dengan semacam kekebalan moral dan etis para pejabat. Falibilitas teknis dan etis-moral berada dalam domain konsumsi proyek pembangunan dan keselamatan. Konsumenlah yang dapat bersalah sementara pemangku wacana tak mungkin bersalah dalam dua pengertian tersebut. Dalam pandangan tuang dan roeng, tak mungkin yang menentukan seseorang bersalah dapat dipersalahkan. Merekalah penjaga kebenaran, pengetahuan dan teladan moral. Previlese ini, kedudukan dalam ‘domain of truth-knowledge’,  dipraktekkan dan dialami sebagai kenyataan, diproduksi terus menerus melalui tindakan, sikap dan persepsi yang khas. Selain dalam bahasa, simbolisasi atas supremasi pengetahuan dan moral berlangsung melalui seragam, busana safari dan arsitektur rumah yang hampir seragam serta penataan interior. Singkatnya kekebalan itu, yang adalah pembeda dalam ruang ideologis, tak mungkin terbayangkan dan bertahan tanpa peragaan, peristiwa dan tindakan yang memproduksi domain privelese dan non-previlese.

Dengan dua wacana ini, politik tak hadir di antara kerja dan modal. Bagi developmentalisme, ekonomi sama dengan pembangunan sarana dan prasarana, bukan semata-mata karena diterjemahkan dalam proyek-proyek rutin padat karya, melainkan karena itulah arti pembangunan sebenarnya. Karena itu perhatian pemerintah diarahkan semata-mata pada proyek-proyek fisik dan pengadaan barang dan jasa sedemikian rupa yang segera menimbulkan kesan tentang inteligibilitas pembangunan dalam dengan alat takar efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Dalam developmentalisme ini, efisiensi berarti keterukuran sumber daya, ruang dan waktu. Transparansi adalah kata lain bagi tidak saja ‘kepublikan’ tapi juga partisipasi kerja ‘roeng’ dalam proyek-proyek tersebut, sementara akuntabilitas berarti pertanggungjawaban ke dalam dirinya sendiri yang mengawasi dengan standarisasi internal dalam birokrasi. Program-program pemerintah dibuat dan dijalankan dalam cara pikir intervensi dari luar yang serba tahu dan serba bisa ke dalam domain kemiskinan yang berdiri sendiri yang dikondisikan dan ‘disebabkan’ oleh dirinya sendiri.[2] Petani, golongan terbesar dalam masyarakat ini, mendapati diri dan menghidupi imaji dirinya sebagai orang miskin dan tak berdaya. Sukacita tak terkira didatangi pejabat negara yang membawa proyek ke kampung mereka dan dalam kotbah minggu penderitaan itu, yang adalah konstruksi ideologis developmentalist, diberikan makna transenden sebagai peristiwa iman kristiani dalam perumpamaan populer “lebih mudah bagi seekor unta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk surga”.[3]

Dalam arti ini, kemiskinan tak didefinisikan melalui kerja (labor) sebagai aktivitas produksi melainkan jenis pekerjaan dan ekses-ekses bagi kesejahteraan dalam register statistik dan register moral secara bersamaan. Intervensi teknis dan legitimasi moral melucuti kerja produktif petani sebagai artikulasi politik kedalam partai politik, DPRD dan eksekutif melalui musrembang. Dengan menjungkirbalikkan logik politik demokrasi, negara dan gereja melalui prosedur penjaringan aspirasi dan legitimasi moral  mendefenisikan dan mengartikulasi ‘kebutuhan’ petani. Golongan ini tak punya kepentingan, hanya kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan. Mengutip Agamben, mereka sekedar homo sacer, mahkluk hidup semata yang selalu dilanda kegentingan dan perlu diberi bantuan ekonomi dan kekuatan moral[4]

Dengan bergesernya makna dan lokasi hubungan produksi tersebut, politik kemudian memiliki pengertian berbeda dalam domain aplikasinya yang berbeda pula. Politik semata-mata urusan pergantian pejabat bupati dan DPRD. Dalam wujudnya yang makin terang pasca otonomi daerah, politik kian tak berhubungan dengan pembangunan yang sedang berlangsung karena domainnya adalah sirkulasi elit melalui pilkadal dan pemilu. Politik dengan kata lain adalah proses terbatas untuk melegitimasi sejumlah patron eksekutif dan legislatif menjadi wakil formal ‘roeng’. Mereka memilih para patron dari sekian patron lainnya selain untuk membalas jasa, menunjukkan loyalitas, juga untuk memastikan keberlanjutan distribusi sumber daya publik dengan model patronase.

Dalam pengertian yang lebih tepat dikatakan bahwa politik adalah pertama, proses atau peristiwa konsekrasi terhadap hubungan patron-klien yang sudah terbentuk sebelumnya dan kedua, janji atau deklarasi komitmen antara tuang dan roeng  bahwa di masa datang hubungan itu berlanjut dan semakin pasti. Konsekrasi dan deklarasi  merupakan dua komponen fundamental yang membuat politik tidak semata-mata pertarungan antar para patron merebut posisi strategis dalam pendisribusian sumber daya, melainkan terpenting lagi internalisasi hubungan itu ke dalam kesadaran diri tuang dan roeng. Tatap muka lebih efektif berlangsung dari rumah ke rumah dan dari satu Mbaru Gendang ke Mbaru Gendang lainnya.[5] Di situ riwayat keluarga, kelas sosial dan jasa-jasa sang patron dikisahkan kembali dalam kedudukannya dalam domain pengetahuan dan kebenaran. Berbicara sebagai orang serba tahu dan serba bisa disempurnakan dengan kapasitas moralnya sebagai tokoh masyarakat yang penuh keteladanan. ‘Kepok manuk dan Pa’u Tuak’ disatukan dalam doa bersama secara katolik memberi ritualiasi politik ini suatu kesakralan sebagai janji kudus. Politik dalam situasi ini persis terselip dalam pendulum tradisi adat istiadat dan kekatolikan Manggarai.[6] Dalam rasionalitas patronase politik semacam ini, konsekrasi dan deklarasi melalui ritual-ritual bukanlah praktik-praktik kontrakdiktif terutama karena budaya lokal sendiri telah sedemikian rupa terintegrasikan ke dalam Kairos dan Developmentalisme sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab terdahulu.         

Perlu dicatat pula bahwa pengertian politik yang khas ini tak terpisahkan dari paradigma keuskupan tentang netralitas gereja katolik dalam lapangan politik.[7] “Gereja harus netral!” dan “Gereja tak boleh berpolitik” selalu menjadi retorika para pejabat gereja yang disampaikan dalam kotbah minggu selama masa kampanye pilkada dan pemilu. Satu hal yang pasti dari pemaknaan netralitas ini adalah bahwa umat katolik Manggarai didorong secara terus menerus agar memandang politik dalam ambivalensi yang tak hampir tak terdamaikpan. Dalam arti politik itu sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan sekaligus politik itu kotor dan berdaki karena menjadi arena abu-abu bagi moralitas kristiani yang menentang dusta dan nafsu mementingkan diri sendiri. Di satu sisi, umat diajak berpartisipasi dalam ‘pesta demokrasi’ dan didorong memilih cabup/cawabup dan caleg berdasarkan ‘hati nurani’ kristiani, sementara di sisi lain gereja dalam retorika itu mengambil jarak etis sedemikian rupa sampai politik dipersepsikan berada di luar kintal gereja. Menggunakan metafor dalam Kitab Suci, para pastor dan pejabat keuskupan selalu bisa berlaku seperti ‘Pilatus’ yang membersihkan dirinya dari politik, selalu bisa dipisahkan dari ‘Yudas Iskariot’—para politisi yang tak sepenuhnya menjalankan misi sebagai patron politik.      

Tak jauh beda dari logik Developmentalisme, dalam Kairos politik itu urusan birokrasi dan partai politik untuk memastikan siapa yang paling pantas menduduki jabatan bupati dan DPRD. Dalam kenyataannya, Kairos sendiri-melalui praktik-praktik pembeda dalam ‘ruang’ sosial-keagamaan telah memastikan siapa dan agensi semacam apa yang pantas menjadi patron politik. Kelayakan dan kepantasan patron ditentukan melalui seberapa jauh seorang politisi dan birokrat mencerminkan kekuasaan simbolik yang merupakan perpaduan modal politik, modal keagamaan, dan modal ekonomi. Sebagai komponen integral dalam rejim kebenaran-pengetahuan,  gereja telah memainkan fungsi reproduksi elite dan pemaknaan atas kualifikasi kepemimpinan politik dan birokrasi. Definisi diri sebagai non-politik dan mendefinisikan politik sebagai urusan pemilu dan pilkadal hendak memastikan bahwa diferensiasi dan penstrukturan hubungan sosial dan ekonomi yang timpang dalam masyarakat manggarai bukanlah hasil relatif dari intervensi Kairos sejak pembukaan abad ke-20.          

Di atas semuanya, pengertian dan domain politik versi developmentalisme dan Kairos dalam kenyataannya memastikan pengertian, cara dan lokasi hubungan produksi antara pertanian dan pemerintahan, antara petani sebagai konsumen dan pejabat negara sebagai produsen kemakmuran. Politik jenis ini lagi-lagi memastikan bahwa kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik lainnya adalah urusan pegawai negara dan politisi. ‘Pesta demokrasi’ seperti pemilu dan pilkadal menjadi momentum pendalaman dan peneguhan hubungan simbolik antara patron dan klien antara tuang dan roeng. Bahwa distribusi kesejahteraan semakin dimantapkan dalam model patronase yang telah tergovernmentalisasi ini. Hak dan kewajiban dari kedua pihak diteguhkan kembali dalam kerangka etis-politis governmentalitas patronase. Pesta demokrasi tak lain momen deliberasi untuk memantapkan konsensus tentang kontrak politik antara tuang dan roeng. Kontrak politik ini pun bersifat interpersonal antara janji sang patron dan komitmen ‘hati nurani’ sang klien untuk memilih sang patron.   

Satu segi yang patut didiskusikan mengenai partisipasi patron dan klien dalam pesta demokrasi adalah bahwa politik mengalami individualisasi yang intensif. Ia lebih dipahami sebagai pengalaman individual ketimbang pengalaman kolektif. Hubungan patron dan klien terkunci dalam ethics of care kristiani tentang hubungan antara gembala dan dombanya. Baik patron maupun klien sama-sama dituntut membuat testimoni tentang kebaikan patron dan kesetiaan klien. Dengan ini, politik sama artinya dengan kerahasiaan. Selama pilkadal dan pemilu suasana kebatinan terasa sedemikian rupa sampai pada sikap curiga atas komitmen yang membutuhkan pengujian terus menerus melalui ritus-ritus tertentu. Arwah leluhur dan ‘roh kudus’ pun ikut dihadirkan untuk mengusir godaan uang dan fitnah dari kubu patron-klien lainnya. Mistifikasi ini tak semata-mata karena tingginya kecurigaan melainkan sebagai simptom mental dari politik yang mengalami individualisasi sekaligus de-kolektivisasi.[8]    

Dalam politik jenis ini tak ada warga negara dalam artian agensi politik demokratis.[9] Ketidakhadirannya itu tak terpisahkan dari de-politisasi terhadap kekuatan produksi—petani—dalam domain pembangunan. Dalam domain terakhir dia didefinisikan dan ditargetkan sebagai obyek kontrol dan intervensi, sementara dalam politik dia dilestarikan sebagai makhluk hidup yang dikunjungi dan diobrali janji-janji kemakmuran. Dengan status sebagai makhluk hidup, roeng tak memandang dirinya sebagai mahkluk politik. Para patronlah yang bisa disebut makhluk politik, yang diberikan kapasitas agensi dalam rejim kebenaran-pengetahuan.[10] Dalam kondisi ini sang patron kembali menemukan dirinya sebagai patron yang merasa terpanggil untuk menyuarakan suara roeng.[11] Dengan demikian pesta demokrasi seperti pemilu dan pilkadal tetap berisikan praktik-praktik pembedaan sama halnya yang berlangsung dalam praktik-praktik pembangunan.  

  Dari analisis di atas, dapatlah disimpulkan bahwa governmentalitas patronase yang berbiak dalam Developmentalisme dan Kairos menjadi mungkin sebagai praktik-praktik pembedaan untuk kontrol dan distribusi sumber daya bersamaan dengan beroperasinya cara pandang politik dan pembangunan yang spesifik.[12] Cara pandang politik dan pembangunan ini pun merupakan hasil relatif dari praktik-praktik diskursif dari proyek keselamatan dan proyek pembangunan yang terselenggara sejak Gereja dan Negara hadir dan berkarya di wilayah ini. Kendati demikian, studi ini hendak memastikan bahwa dalam praktik-praktik patronase, kita bertemu dengan politik dan pembangunan yang khas itu. Manusia Manggarai diintegrasikan ke dalam negara dan gereja melalui praktik-praktik tersebut. Dalam formulasi berbeda bisa dikatakan bahwa eksistensi dan keberlanjutan karya gereja dan negara bukanlah karena kedaulatan dua lembaga ini atas populasi dan teritori Manggarai. Justru dibaca secara terbalik bahwa kedaulatan keduanya dalam derajat tertentu merupakan hasil relatif dari praktik-praktik patronase.[13] Karena melalui praktik-praktik tersebut manusia Manggarai, dengan subject-position sebagai tuang dan roeng, membayangkan negara dan gereja sebagai sesuatu yang hadir di tengah-tengah kehidupan mereka.

(2) ‘Identitas’ & ‘keagenan’

Analisis pada sesi ini memberi perhatian khusus pada bagaimana praktik-praktik patronase membentuk dan mereproduksi identitas patron-klien serta keagenan keduanya dalam Kairos dan Developmentalisme. Analisis ini tak terpisahkan dari analisis sesi sebelumnya tentang bagaimana mereka memahami politik dan pembangunan. Argumen pokok dalam sesi ini adalah bahwa identitas dan keagenan dalam governmentalitas patronase merupakan hasil relatif dari politik dua wacana besar tersebut. para patron dan klien menyadari dan menghidupi identitas dan keagenan mereka melalui praktek. Dalam konteks ini, praktik-praktik patronase dikonseptualisasikan sebagai praktek yang mengindividualisasi sekaligus mengobyektifikasi manusia Manggarai yang terkunci dalam rangkaian hubungan patron-klien dalam ruang kehidupan sosial-keagamaan dan politik-kepemerintahan. Menjadi patron dan klien, tuang dan roeng, tak mungkin terjadi tanpa keterlibatan dalam praktek, tersandera dalam prosedur dan mekanisme-mekanisme yang mengintegrasikan manusia Manggarai ke dalam Gereja dan Negara.[14]      

Praktik patronase di Manggarai tidak semata-mata fenomena struktural dan kelembagaan. Pada tingkat yang ekstrim, patronase bercerita tentang bagaimana kesadaran tentang diri dan orang lain. Melalui praktik ini tuang dan roeng mengalami peristiwa pembentukan dan reproduksi identitas. Tentu saja, sebagaimana dipelajari selama penelitian, para pejabat pemda dan pejabat gereja tidak menyadari sepenuhnya bahwa nalar politik yang mereka gunakan merupakan bagian integral dari cara kerja governmentalitas patronase. Demikian pula halnya roeng yang memahami dan menemukan dirinya sebagai klien melalui partisipasi rutin dalam aktivitas keagamaan dan politik-pemerintahan.[15] Karena itu, tuang dan roeng pada dasarnya bukanlah identitas esensial, melainkan dialami sebagai ‘datum naturalis’ dalam proses penandaan atau signifikasi secara terus menerus dalam praktik tersebut. dengan kata lain, ‘tuang’ dan ‘roeng’ adalah hasil politik wacana Kairos dan Developmentalisme.  

Bertindak sebagai orang tahu dan serba bisa, pegawai negara dan pejabat gereja di Manggarai berbicara dengan nalar ‘pemerintah’ dan nalar ‘pastoral’. Dua jenis nalar ini sebetulnya tak ada bedanya. Nalar yang bersifat memerintah (govermental reason) beroperasi di kalangan pemerintah daerah dan dewan perwakilan dengan tujuan mengontrol populasi manusia dan teritori. Sementara nalar yang bersifat membimbing (pastoral power) beroperasi di kalangan pastor pribumi untuk mengontrol populasi dan teritori.

Pegawai (adalah) Negara: Obyek-Fantasi

Nalar pemerintah yang mengendalikan cara berpikir negara lokal ini tidak sedang mengelola populasi sebagai warga negara dalam pengertian politik demokrasi, melainkan sebagai obyek kontrol dan intervensi untuk distribusi sumber daya melalui proyek-proyek pendidikan, kesehatan, transportasi dan perhubungan, dan rangkaian program peningkatan produksi pertanian dan perkebunan. Dengan beroperasinya dalam semacam ini, kita tak bertemu dengan warga negara tapi berurusan dengan manusia yang dikonstruksi sebagai sasaran intervensi dan kontrol. Nalar ini pula lah yang menubuh pada kesadaran pegawai negara, mulai dari yang tak punya jabatan sampai Bupati dan anggota DPRD.[16]Mereka memandang dirinya sebagai serba tahu dan serba bisa untuk mengerjakan pekerjaan mengatur dan mengalokasikan sumber daya negara. Mereka bahkan sangat paham bahwa secara de jure sumber daya itu bersifat publik, ditujukan untuk warga negara, tetapi juga mereka sangat paham bahwa sumber daya itu secara de facto bukanlah milik ‘publik’ orang Manggarai.[17] Hal ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi para pegawai negara yang rata-rata berpendidikan strata 1 itu memandang diri mereka sepenuhnya wakil negara dan dalam arti tertentu, bukan bagian dari masyarakatnya sendiri.

Menemukan diri sebagai wakil negara memiliki arti penting bagi para pegawai, terutama di kalangan kepala bagian dan kepala dinas. Penemuan diri itu berlangsung dalam logik kerja developmentalisme yang telah mengubah hubungan produksi ekonomi antara sektor pertanian dan pasar komoditi menjadi semata-mata hubungan produksi oleh negara untuk rakyat. Di sinilah konteks diskursif kepatronan tersebut dalam mana pegawai negara dalam usia kerja yang seumur jagung mulai bekerja sambil membayangkan dirinya sebagai bagian dari kasta pemimpin lokal masa lalu, masa kini dan masa depan.[18]keterlibatannya yang intens dalam merumuskan, mengusulkan dan menjalankan proyek-proyek di kantor dinas atau badan, yang seringkali berganti dinas dalam hitungan dua tahun atau lebih, membuat para pegawai merasakan eksistensinya terpisahkan dari masyarakat kebanyakan yang telah dijadikan obyek intervensi itu. Pengawasan pengerjaan proyek dan aktivitas rutin turun ke kampung-kampung berubah menjadi dua pengalaman eksistensial dan sosial sekaligus.    

Pengalaman eksistensial mengandung arti bahwa sang pegawai mengalami kehadiran dirinya sebagai sungguh-sungguh berbeda dari orang-orang di kampung yang dikunjunginya. Penghadiran diri orang kampung yang memperlakukannya sebagai ‘tuang’ dengan tatapan obyek (object’s gaze) yang penuh harap dan tak berdaya. Di sini penghadiran diri orang kampung sebagai roeng, sebagai obyek intervensi, menjadi ‘constitutive outside’, difantasikan sebagai ‘yang lain’. Hal ini tentu tak hanya diimpikan begitu saja. Prosedur tatap muka disertai ritus-ritus seperti kepok manuk dan perlakuan-perlakuan istimewa lainnya memberi kesempatan bagi bekerjaanya fantasi tentang diri sebagai bagian dari upaya negara mengeluarkan orang-orang kampung itu dari kemiskinan dan ketertinggalan. Di situ pula ditemukannya keagenan dirinya sebagai pembaharu, perintis dan penyelamat—pengalaman ko-eksistensial.

Yang hendak ditekankan di sini adalah kenyataan bahwa aktivitas-aktivitas pengintegrasian masyarakat ke dalam negara dalam logik kerja Developmentalisme memungkinkan proses individualisasi kekuasaan ke dalam diri pegawai negara. Dia menjadi bagian dari kasta yang memimpin, bagian dari kalangan ‘ata mese’. Untuk kalangan pegawai muda dengan latar belakang keluarga birokrasi dan gereja, tak cukup dengan nama besar keluarga dan kerabat. Mereka pun merasa perlu mengalami secara intensif pertemuan-pertemuan dengan masyarakat umum yang disasar melalui program-program dinas di kecamantan dan desa. Dengan cara itu mereka merasa lebih yakin dan mantap sebagai bagian dari negara yang memerintah. Dalam banyak kasus, penunjukan bekerja di kantor-kantor kecamatan di luar ibu kota kabupaten dianggap sebagai sanksi meski pada akhirnya dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat secara politik di kemudian hari. Di satu sisi lokasi itu penting untuk menunjukan kedekatan dengan pusat kekuasaan di kabupaten (jangka pendek), dan di sisi lain, mutasi ke ‘pinggiran’ perlahan-lahan dihayati sebagai pembekalan politik yang amat penting. Mengabdi sementara waktu di kecamatan (sebagai camat, sekcam atau pejabat kecamatan) memberi kesempatan dan arena yang lebih luas untuk bertindak sebagai patron di tempat itu sebelum beberapa tahun kemudian ditarik ke ibukota kabupaten.         

Satu hal yang pasti bahwa untuk sejumlah pegawai dengan latar belakang ‘ata mese’ (kombinasi kealuarga besar kebirokrasian dan kegerejaan) merupakan kelompok yang menghidupi fantasi kepatronan politik. Merekalah yang paling mudah dikenal masyarakat luas, bukan saja karena latar belakang tersebut tapi terutama kefasihan mereka berbicara bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai tingkat tinggi serta kesempatan mereka yang lebih besar bertemu dengan masyarakat sebagai obyek intervensi pembangunan. Alasannya jelas, di dalam birokrasi pemerintah daerah dan DPRD narasi tentang pejabat-pejabat daerah pada periode sebelumnya terus menerus dihidupkan terutama karena mereka berjasa menciptakan patron-patron baru yang sekarang menjadi kepala bagian, kepala dinas dan anggota DPRD. Seakan berbalas budi, anak-anak para penjasa itu diberi kesempatan yang lebih besar dalam birokrasi. Selain ditempatkan ke dalam dinas-dinas ‘strategis’ dan ‘basah’, mereka juga diberi kesempatan melanjutkan pendidikan strata II di universitas-universitas terkemuka di Jawa, sementara sejumlah kabag dan kadis yang rata-rata berumur di atas empat puluh tahun berlomba-lomba mengikuti universitas terbuka dengan model ‘kuliah jarak jauh’.[19]Di lain pihak, politik balas jasa ini bagi para pejabat bersifat pragmatis dalam rangka memperkuat barisan pendukung politik di dalam lingkungan internal birokrasi sendiri.  

Keluar dari pembaptisan di dalam dunia-dalam birokrasi yang penuh resiko dan fragmentasi, kehadirannya yang rutin di hadapan obyek intervensi selama berdinas aktif seakan menjadi ritual pembaptisan terus menerus sebagai patron dan bakal-patron, sebagai bagian dari domain kebenaran-pengetahuan. Menjadi pegawai kantoran saja tak cukup karena hanya menunggu gaji buta tanpa ada jejak terekam dalam ingatan kolektif masyarakat. Ada semacam perasaan tersiksa atau bahkan merasa disiksa ketika ditempatkan dalam dinas-dinas tak bergerak seperti dinas sosial, dinas parawisita, dinas ketenagakerjaan, atau menjadi staf ahli yang di kantor bupati tanpa tupoksi yang jelas.[20] Tersandera dalam situasi yang membatalkan kepatronan ini, sang pegawai cenderung mengambil dua sikap ekstrim dalam skenarionya untuk bisa terhubungkan kembali dengan masyarakat. Pertama, sang pegawai yang tersiksa ini membocorkan masalah-masalah internal birokrasi dengan tujuan mendiskreditkan pejabat yang mendepaknya, dan kedua, segera merapatkan diri dan keluarga besarnya kepada pejabat-pejabat senior yang kemungkinan besar bertarung dalam pilkadal. Dengan cara pertama dia tetap menghadirkan diri sebagai serba tahu dan serba bisa di mata masyarakat, sementara dengan cara kedua dia hendak memastikan masa depannya sebagai pejabat-patron dalam periode yang lain. Semuanya itu pada dasarnya untuk memastikan diri bukan pegawai biasa atau ‘ata tombo mese’, melainkan pegawai luar biasa dalam lingkaran ‘ata mese’. Karena terhubungkan dengan masyarakat melalui proyek dan kunjungan kerja yang aktif dan intensif sama artinya dengan investasi patronase sekaligus proses formasi kelompok kliennya di tingkat kecamatan dan desa di kabupaten tersebut.           

Analisis ini hendak memperjelas dua fenomena diskursif yang bergerak saling menegaskan karakteristik masing-masing. Pertama, personalisasi kekuasaan sedemikian rupa ke dalam diri pegawai negara, dan kedua totalisasi kontrol negara terhadap populasi. Masyarakat yang telah terobyektifikasi sebagai roeng menemukan negara justru melalui hubungan langsungnya dengan para pegawai negara. Dalam cara pandang masyarakat Manggarai, para pegawai itu bukan sekedar aparatus, manajer, atau kurir, melainkan negara itu sendiri.[21] Negara hadir dalam pakaian dinas pegawai dan terasa sangat nyata dalam kehadiran para pejabat dan politisi di kampung mereka. Dalam kondisi negara telah menubuh pada pegawai dan politisi yang murah hati dan bertanggung jawab itulah roeng dialami sebagai identitas obyektif, harus diterima sepenuh hati dan muskil berubah. Ketika negara sama dengan pegawai negara, ketika sumber daya publik digelontorkan ke dalam masyarakat, pada saat itu pula masyarakat mengartikan sumber daya itu sebagai milik pribadi patron yang diberikan gratis kepada mereka.[22] Jarak antara masyarakat dan negara telah dipersingkat secara efektif oleh pegawai negara dalam artian tersimbolisasi oleh kehadiran para pegawai yang serba bisa, serba tahu dan serba mengurus semua urusan pembangunan. Personalisasi dan totalisasi, dua sisi dari koin yang sama, mengental ke dalam kesadaran pegawai negara-patron dan roeng sekaligus terpantul kembali sebagai pengalaman aktual melalui partisipasi keduanya dalam melakukan dan menikmati proyek-proyek pembangunan.      

Pegawai negara sebagai penubuhan otoritas negara sudah tentu memberi penjelasan yang lebih meyakinkan tentang begitu mendalamnya obsesi masyarakat ini pada status dan pekerjaan sebagai PNS. Pegawai negara menjadi obyek-fantasi.[23] Melalui penghasratan terhadap kepegawaian sebagai simbolisasi kemakmuran dan kekuasaan, anak-anak disekolahkan sampai ke perguruan tinggi dengan tujuan yang nyaris tak terbedakan satu dari yang lain. Lulus sarjana dan lolos PNS berarti seorang anak menjadi ‘lalong bakok’—menandakan inisiasi sang anak ke dalam domain pengetahuan-kebenaran sekaligus konfirmasi kesuksesan dan keteladanan orang tuanya yang juga kebanyakan pegawai negeri. Di lain pihak, roeng di kecamatan dan kampung-kampung membanting tulang dalam slogan ‘pika taung paeng one mbaru’ demi menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi dan berharap sang anak kelak menjadi birokrat daerah. Di sini fantasi tentang kemakmuran dan kekuasaan terobyektifikasi ke dalam ‘pegawai negara’ sedemikian rupa sampai pegawai negara sebagai penanda simbolis dapat berdiri sendiri di luar perjuangan nyata menjadi makmur dan berkuasa. Dia, penanda ini, adalah kemakmuran dan kekuasaan itu sendiri.          

Hal itu tak harus dibaca secara garis lurus dalam logika sebab-akibat bahwa negara adalah lembaga paling berkuasa yang menyebabkan pegawai negara-patron menjadi efek-akibat dari ‘korporatisme negara’ atau ‘otoritarianisme negara’.  Pegawai negara-patron bukanlah efek diskursif dari kedaulatan negara atas manusia Manggarai (pegawai dan non-pegawai). Dalam satu segi yang nyata sekali, negara justru dialami dan dirasakan kehadirannya melalui suatu proses yang bersifat retroaktif. Kedaulatan negara, kekuasaan yang kita bayangkan dimilikinya, dalam kenyataannya merupakan efek diskursif dari proses panjang penubuhan kekuasaan dan kemakmuran ke dalam tubuh para birokrat dan politisi. Dengan proses semacam inilah ‘negara’ menjadi total dan mentotalisasi kesadaran ketika dia tak lagi eksterior terhadap kesadaran itu, melain menjadi identik dengan pegawai negara sebagai obyek-fantasi masyarakat yang tergovermentalisasi dalam wacana developmentalisme ini.              

Ketika pegawai negara menjadi obyek-fantasi kita dapat sungguh-sungguh merasakan tumpah ruahnya kenikmatan–surplus of enjoyment—tidak saja di kalangan pegawai yang terkena simptom neurotik obsesif tapi juga di kalangan roeng yang mengidap gejala histeria neurotik.[24]Pegawai negara-patron menghasratkan dirinya sebagai obyek penghasratan. Menikmati privelese dalam domain Kebenaran-Pengetahuan, dia memandang dirinya sebagai tipe-ideal dan pekerjaannya sebagai model-peran terbaik. Praktik-praktik patronase melalui proyek-proyek pembangunan dan bantuan pribadi melestarikan obsesi pada dirinya sendiri. Obsesi ini, penghasratan ke dalam dirinya ini, hanya mungkin lestari ketika roeng, identitas tanpa agensi politik ini,  tetap dibiarkan sebagai makhluk hidup semata, atau setidaknya sebagai klien yang tampak aktif mengingatkan patron tentang tanggung jawab etis dari yang berkuasa terhadap yang tanpa kuasa. Tentu saja fantasi ini memantulkan watak totalitarian yang sejatinya terus menerus mengeksklusi kemungkinan roeng berubah agensi menjadi patron. Di lain pihak, roeng menghidupi histeria yang di dalamnya ketakjuban dan kegentaran bersekutu dalam penghambaan diri yang hampir mutlak pada obyek-fantasi. Kalau pada yang pertama, sang patron menegaskan dirinya dalam pernyataan ‘apa kaut ngoeng dite’ (apa saja keinginan anda akan saya sediakan), maka dalam histeria, roeng, klien sang patron, menghadirkan dirinya di hadapan sosok berkuasa itu dengan berkata ‘apa kaut pande dite tuang’ (apa saja yang Tuan lakukan dan berikan akan saya syukuri). Sang patron di sini dipersepsikan sebagai orang serba bisa, serba tahu dan sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhannya.            

Di luar diskusi tentang fantasi ini, pegawai negara sebagai negara itu sendiri rupanya memberikan penjelasan lain tentang supremasi pegawai negara-patron dalam pilkadal. Pilkadal dalam sepuluh tahun terakhir menjadi ajang bertarung sejumlah patron senior di kalangan biroksasi. Para cabup/cawabup sebagian terbesar adalah pejabat teras kabupaten, memimpin dinas dan badan strategis seperti Bappeda, Pekerjaan Umum, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dinas Pendapatan Daerah. Perlu dicatat di sini kekecewaan para cabup/cawabup non-birokrasi dan berada di luar Manggarai. Mereka gagal di tiga kabupaten sejak pilkadal pertama di pberhasil menghancurkan supremasi birokrat setempat sebagai patron. Para patron birokrat dianggap ‘ata one’, sebagai sosok penuh tanda jasa, ketika roeng berkata ‘ata bae lami kraeng hitu’. Di lain pihak, para pemburu kuasa dari luar birokrasi dianggap ‘ata peang’, orang-orang yang sekedar mencari peruntungan politik dengan cara mudah dan murah.[25]Menampilkan diri sebagai putra daerah yang sukses dan berpengaruh di luar Manggarai, mereka akhirnya disadarkan selama musim kampanye bahwa biografi hidup yang sukses di perantauan tak dapat dipertukarkan atau disandingkan dengan biografi hidup patron-birokrat. Janji perubahan yang diobral para perantau ini tak cukup meyakinkan buat roeng-klien berpindah ke lain hati.[26]

(3) Kairos: Etika Relasi Kuasa

Terhadap govermentalitas patronase, sumbangan terbesar wacana kairos tak lain adalah mentransendensi hubungan kuasa di antara ‘tuang’ dan ‘roeng’. Hal itu tak berarti Kairos hanya memberi pendasaran etis-moral terhadap praktik patronase politik. Sebagaimana diceritakan dalam dua bab sebelumnya, Kairos dalam gereja mandiri sendiri telah melembagakan praktik-praktik pembedaan di dalam dirinya. Dalam sejarahnya dia telah membagi manusia Manggarai ke dalam dua domain yang saling mereproduksi praktik dan subyektifitas orang-orang yang menempati dua domain tersebut.  Praktik-praktik yang menghadirkan kegembalaan dan keumatan memungkinkan terinternalisasi secara terus menerus pembayangan diri dan orang lain sebagai berbeda dalam kebersamaan kristiani.  Karena itu, sama seperti dalam Developmentalisme, teknik dan mekanisme individualisasi dan totalisasi merupakan dua karakteristik khusus Kairos dalam menciptakan dan melestarikan identitas dan keagenan ‘tuang gereja’ dan ‘umat’ pada khususnya dan ‘tuang pejabat’ dan ‘roeng’ dalam politik dan pembangunan.   Pertanyaannya adalah bagaimana dan dalam dalam cara apa praktik-praktik kegerejaan berkorelasi secara aktual dan simbolis dengan praktik-praktik pembedaan dalam pemerintahan dan partai politik?  

Jawaban pertama terhadap pertanyaan itu tak lain kenyataan bahwa manusia Manggarai yang terdistribusi ke dalam tuang gereja-umat adalah manusia yang sama yang menghidupi pembayangan diri dan keagenanya dalam tuang pejabat-roeng. Dalam kenyataannya istilah ‘klerus-awam’ diterjemahkan ke dalam praktik-praktik kegerejaan dengan logik penundukan sekaligus pemisahan agensi antara pastor yang serba tahu dan tak bisa salah di satu sisi dan awam yang terbagi ke dalam dua model keagenan di sisi yang lain.[27] Hubungan kuasa semakin terlembaga dalam praktik-praktik gereja mandiri pasca tahun 1985 setelah estafet kepemimpinan gereja beralih secara dramatis dari rejim misionaris-pewartaan iman yang dikendalikan pastor-pastor Barat dan sebagian besar perkumpulan Societas Verbi Divini menuju rejim pendalaman iman yang dikendalikan pastor-pastor pribumi.[28] Dalam kerangka kerja gereja mandiri, apa yang diklaim sebagai semata-mata masalah teknis dan prosedur justru kian melembagakan perbedaan identitas dan keagenan terutama karena praktik-praktik kegerejaan yang berisikan prosedur dan mekanisme itu pada dasarnya bertujuan untuk melayani dirinya sendirinya, melayani keberadaan dan peran gereja lokal Manggarai dalam hubungan intimnya dengan Developmentalisme pemerintahan daerah setempat.   

Basis normatif bagi politik keselamatan gereja universal terutama tertuang dalam ajaran sosial gereja sebelum dan sesudah konsili Vatikan II tahun 1962-1965.[29]Terlepas dari watak orientalis yang kental pada ajaran-ajaran tersebut, ajaran-ajaran ini dalam kenyataannnya diterjemahkan sesuai dengan konteks kelahiran dan perkembangan gereja dalam lokalitas yang spesifik. Dalam perspektif kontekstualisasi itulah bisa dimengerti perubahan paradigma gereja misionaris menjadi gereja mandiri. Sebagaimana diuraikan dalam dua bab terdahulu, idealisme teologis yang pro-keadilan dan kesetaraan dalam sejumlah ajaran sosialnya bisa sedemikian bergeser dalam praktik-praktik kegerejaan lokal. Isu pokoknya tak semata-mata soal akulturasi dan inkulturasi, melainkan dislokasi, yakni, bagaimana ajaran universal yang menganjurkan emansipasi manusia secara total itu diartikulasi dalam praktek-praktek keorganisasian Keuskupan Ruteng sampai pada suatu ekstrim di mana ajaran itu ditafsir secara berbeda untuk melayani tujuan yang berbeda pula.            

Kalau dalam developmentalisme, nalar kuasa adalah nalar memerintah (governmental reason), maka dalam Kairos nalar pastoral menjadi cara berpikir dan logik konstruksi identitas dan keagenan antara tuang imam-kelompok awam andalan dan  umat-roeng. Mengikuti Foucault dalam ‘Pastoral Power and Political Reason’,[30] nalar pastoral yang terbaca dalam teknik dan prosedur pengintegrasian umat ke dalam gereja tersandera dalam pemastian secara terus menerus bahwa keselamatan kristiani tak bisa terealisasi tanpa pembagian tugas eksistensial antara para pastor sebagai ‘gembala’ (shephers) dan umat sebagai ‘kawanan domba’ (flocks). Di sini nalar pastoral sama artinya dengan nalar politik patronase karena pengertian membimbing dan mengarahkan dalam nalar pastoral keusukupan Ruteng beroperasi melalui rangkaian aktivitas keagamaan yang memastikan bahwa perbedaan keagenan itu harus ada sebagai ontologi sosial.[31] Baik pastor-awam handal maupun umat-roeng sama-sama menghayati dan mengalami proses rutin individualisasi atas keterbedaan mereka.

Pastor paroki, pejabat keuskupan dan pengurus dewan paroki memainkan peran gembala dalam kehidupan gereja sehari-hari. Mereka harus selalu hadir dalam peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, pembaptisan, perkawinan dan kematian. Kehadiran mereka tentu dimaksudkan untuk selalu menegaskan etika-kepedulian kristiani atas ‘roeng’ yang papa dan tak berdaya. Mereka pun tak asal hadir melainkan mengambil peran-peran nyata dari yang simbolis sampai membantu ekonomi keluarga yang membutuhkan. Umat-roeng pun menemukan perbedaan identitas dan keagenan mereka di hadapan kelompok serba bisa dan serba tahu ini melalui peristiwa-peristiwa tersebut. Apakah kehadiran dan peran aparatus gereja-tokoh awam itu sebuah preskripsi teologis? Kita perlu membaca fakta itu di luar terma-terma teologis.

Studi ini memandang tanggung jawab gereja atas kehidupan umat menyembunyikan proses kontrol atas dunia-dalam, dunia mental umat yang populer disebut keimanan dan kerohanian itu. Kali ini, dalam Kairos, umat-roeng memandang kondisi mereka sebagai resiko kerbersalahan atau defisiensi moral kristiani. Kemiskinan, misalnya, dipahami sebagai cerminan rendahnya sikap kerja keras, mental boros, berjudi dan pesta pora. Akar masalah kemiskinan dicarikan dan ditemukan dalam jiwa, dalam hati nurani roeng-umat yang belum sepenuhnya kristiani.[32] Meski tak seluruhnya dianggap sebagai kutukan, kemiskinan telah menjadi penanda penting tentang rendahnya kualitas iman kristiani di satu sisi dan panggilan untuk menyelamatkan orang-orang miskin ini di sisi lain. Dengan kata lain, ‘kemiskinan’ diperlukan sebagai kondisi obyektif bagi berlangsungnya politik keselamatan dalam arti kemiskinan itu harus eksis agar tanggung jawab gereja menjadi nyata dalam penetrasinya ke dalam ‘jiwa’ melalui kontrol atas tubuh secara intensif.    

Kontrol atas tubuh di sini sama artinya dengan proses pembentukan identitas dan keagenan umat-roeng. Melalui kemiskinan sebagai penanda penting, sebab-sebab kemiskinan itu masuk ke dalam register moral. Ia tak berhubungan lagi dengan politik dan pembangunan. Ia eksis karena berada di luar politik dan pembangunan alias belum digarap para pegawai-patron politik dan belum maksimal tersentuh distribusi sumber daya negara. Dalam kotbah minggu dan acara-acara sosial lainnya, moral kristiani dipertegas kembali sebagai jaminan menuju kemakmuran. Di sini, pada saat yang sama, tanggung jawab tokoh awam yang handal—para pegawai/patron politik—disamakan dengan tanggung jawab kegembalaan untuk bersaksi dan menuntun umat ke luar dari kemiskinan itu. Tanggung jawab gembala kristiani bukan semata-mata karena demikianlah tugas sang tokoh agama melainkan terlebih dahulu dipastikan bahwa hidupnya sendiri adalah kesaksian tentang orang sukses dan patut diteladani.[33] Kapasitasnya sebagai gembala non-klerus disahkan secara simbolis oleh inteligibilitas biografis sang patron pada dirinya sendiri, sebagai pantulan dari dalam domain kebenaran-pengetahuan. Dirinya haruslah terlebih dahulu menubuhkan kebenaran-pengetahuan agar memperoleh kepantasan dan kelayakan mengemban tugas-tugas kristiani dalam kehidupan politik pembangunan dan keagamaan.  

Ketokohan seorang pegawai negara-patron politik sebagai gembala umat tentu tak terpisahkan dari kepatronannya dalam distribusi sumber daya negara yang telah dikemukan bagian sebelumnya. Kliennya dalam Developmentalisme tak lain umatnya dalam Kairos. Tak saja karena hubungan kekerabatan dengan pejabat gereja, melainkan terpenting lagi keikutsertaannya yang aktif dalam melestarikan moral kristiani setempat menjadikan dirinya tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam satu sapuan identifikasi simbolis. Dalam Pilkadal dan Pemilu, retorika kepatronan itu disampaikan secara terbuka di hadapan publik.[34] Jasa-jasa kepada perkembangan gereja dan kepentingan ‘umat katolik’ Manggarai dipamerkan sedemikian rupa dan roeng-umat menerima hal itu bukan sekadar pencitraan kosong melainkan terbenarkan oleh inteligibilitas sang patron dalam domain kebenaran-pengetahuan Kairos dan Developmentalisme. Dalam perpaduan dirinya sebagai awam handal-patron politik, dia semakin jauh dari sasaran evaluasi moral karena dialah moral itu sendiri, moral yang menubuh dalam praktik-praktik kepatronannya. Sang patron itu diperlakukan sebagai eksemplar moral par excellence.

Individualisasi tanggung jawab Kristiani sang patron saling membentuk atau terhadirkan bersama kepatuhan di kalangan umat-roeng. Kepatuhan tentu bukan hasil represi dan opresi, melainkan subjugasi atau penundukan yang rutin dan mengasyikkan dalam kebersamaan kristiani—bonum commune. Dalam kepatuhan ini, umat-roeng memahami dirinya sebagai target keselamatan karena sang penyelamat telah hidup di antara mereka. Inilah efek pembiasan dari ‘et habitavit in nobis’, bahwa Dia (sang penyelamat) telah hidup dan berkarya di antara kita. Kepatuhan ini pun mencerminkan kepasrahan dalam cengkeraman Kairos: kita percaya, kita tunduk karena kita dapat menangkap dan telah merasakan perbuatan-perbuatan besarnya. Dalam kairos lokal ini, roeng-umat memandang dirinya sama dengan yang lain, selalu menantikan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh mereka yang diutus atau mendapatkan perutusan.[35] Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa tak jauh beda dari bagaimana mereka memaknai kemakmuran melalui intervensi pegawai negara-patron politik, pengalaman keselamatan dalam hampir seluruh aktualitasnya dipahami berkat intervensi rutin klerus dan tokoh agama non-klerus yang juga adalah patron politik. Patuh pada orang-orang utusan selalu berarti setia pada kodrat pemberian Kairos, sebagai makhluk ciptaan yang selalu menunggu dan merasakan karya ilahi melalui tindakan-tindakan perutusan.

Implikasi paling terang dari politik Kairos ini adalah pertama, naturalisasi identitas dan keagenan antara pastor-tokoh awam dan roeng-umat, dan kedua, netralisasi kemiskinan ke dalam wilayah iman. Dalam Kairos sebagai teologi sosial, kita tak bertemu dengan orang kaya dan miskin, penindas dan tertindas karena hubungan kemiskinan dan kontradiksi kekuasaan politik telah dihapus secara efektif. Sebaliknya, kemakmuran kasta pegawai negara-patron politik dan kuasa yang dipamerkan dijadikan basis struktural perutusan kristiani. Hal ini tentu tak tertulis dalam Buku Sinode dan Surat-Surat Gembala Keuskupan. Kita menemukannya sebagai efek diskursif dari perkawinan dua wacana tersebut dalam kesadaran manusia Manggarai, baik roeng-umat maupun pastor-patron politik. Kemiskinan dan keberdosaan hampir tak terbedakan lagi karena sepenuhnya dihayati sebagai pengalaman individual, pengalaman iman. Hanya dalam konteks inilah patronase politik merupakan pilar penting, baik sebagai efek wacana maupun alat reproduksi wacana tersebut.    

(4) Sistem Diferensiasi: Normalisasi terhadap Diskriminasi 

Untuk memperjelas hubungan saling membentuk antara praktek patronase dan Kairos-Developmentalisme, studi ini menggunakan lima komponen govermentalitas. Klasifikasi tersebut mengacu pada kategori yang ditawarkan Foucault dalam The Subject and Power.[36] Antara lain: (1) Sistem diferensiasi, (2) Tujuan, (3) Sarana Relasi-Kuasa, (4)Bentuk Pelembagaan, dan (5) Derajat Rasionalisasi.

Governmentalitas patronase di Manggarai menghasilkan semacam sistem pembedaan atau diferensiasi yang memungkinan tindakan tuang-patron mempengaruhi tindakan roeng-klien. Begitu pula sebaliknya, dalam derajat yang relatif sama dalam kapasitas saling membentuk. Dalam analisis terhadap hasil penelitian, sistem yang membeda-bedakan itu mencakup pembedaan. Pertama, status dan keagenan tuang-roeng dalam cara kerja Developmentalisme, dan kedua, status dan keagenan tuang-roeng dalam Kairos. Pembedaan ini terkait langsung dengan proses sistematisasi pembedaan dalam kepemilikan dan kontrol terhadap akses ekonomi publik, status sosial sosial, pendidikan berkelanjutan, kompentensi pengetahuan teknis kepemerintahan, termasuk akses terhadap wilayah hunian dan wilayah kerja di mana otoritas birokrasi pemda dan keuskupan berlokasi.[37] Praktik-praktik patronase di Manggarai hanya mungkin berlangsung dalam ketersediaan sistem pembedaan ini. Hal itu tak berarti sistem ini penyebab utama reproduksi patronase. Alasannya jelas bahwa sistem ini balik direproduksi secara rutin oleh praktik-praktik yang dikondisikannya. 

Tujuan: Bersatu dalam diskriminasi

Tujuan patronase sebagai dividing practices  menjadi bervariasi. Kita dapat menemukan tujuan itu dari sudut pandang tuang-patron dan dari sudut pandang roeng-klien. Tuang-Patron (pegawai negeri, pejabat dinas, anggota DPRD, pastor pribumi) menjalankan praktik-praktik patronase untuk dua tujuan. Pertama, pragmatis berkaitan dengan akses dan kontrol atas roeng, sumber daya publik (birokrasi pemda dan keuskupan), melanggengkan status sosial yang terbedakan dari roeng-klien. Kedua, mereproduksi fantasi keagenannya sebagai pembaharu, perintis dan penyelamat. Ini tak sepenuhnya disadari dan dinyatakan secara eksplisit, tetapi dihayati dan dinikmati sebagai perutusan kristiani dalam Kairos lokal. Di lain pihak, roeng-klien, dalam pemahaman dirinya sebagai orang miskin dan tak berpendidikan, terlibat aktif dalam praktik-praktik patronase dalam rangka mendapatkan distribusi sumber daya ekonomi melalui jalur birokrasi pemerintah dan gereja sekaligus dengan cara itu dia mendapatkan pertolongan pribadi tuang-patron. Tujuannya pragmatis dan dirawat oleh fantasi histeria sebagai makhluk hidup semata yang menjadi tanggung jawab orang-orang yang diberi mandat dalam Developmentalisme dan Kairos.     

Cara Memproduksi Patronase:  politis-institusional dan etis-moral

Praktik-praktik patronase di Manggarai tidak disertai represi seperti keterlibatan militer, polisi, dan mafia atau preman sebagaimana dikenal dalam model bosisme.[38] Inilah salah satu karakteristik patronase yang mengalami governmentalisasi. Patronase di wilayah ini berlangsung melalui ajaran, teknik dan mekanisme pengintegrasian manusia Manggarai ke dalam negara dan gereja. Sanksi atas pembangkangan tidak berupa ancaman kekerasan fisik, melainkan penghapusannya identitas dan keagenan sebagai roeng-klien dalam Developmentalisme dan Kairos. Itupun bergantung pada domain apa pembangkangan itu berlangsung, apakah dalam Kairos atau Developmentalisme. Misalnya akses kepada pendidikan Katolik, pelayanan sakramental dan liturgis lainnya dibatasi, atau dalam hubungan langsung dengan patronase politik biasanya akses pada proyek-proyek pemda dibatasi atau tak menjadi obyek intervensi pembangunan berdasarkan dapil dalam pemilu legislatif kabupaten atau wilayah kecamatan, desa dan RT/RW berdasarkan hasil pilkadal bupati/wakil bupati. Aturan main berlangsung melalui dua arah, pertama politis-kelembagaan dan kedua, moral-etis dalam relasi tuang-patron dan roeng-klien. Dua aturan main ini berlangsung sekaligus dalam praktik tersebut.

Bentuk Pelembagaan Patronase: Individualisasi dalam Komunalisme

Pelembagaan patronase sebagai cara manusia Manggarai berinteraksi dengan Negara dan Gereja tidaklah bersumber dari kedaulatan dan kehendak institusi seperti birokrasi pemda, gereja atau partai politik. Patronase berlangsung dalam interaksi antara pegawai negari-klerus dan populasi non-pegawai/non-klerus. Patronase menjadi praktik rutin yang terus menubuhkan pembedaan identitas dan keagenan di antara tuang dan roeng. Praktik ini lebih berfungsi melayani sistem diskriminasi dalam Developmentalisme yang ditampilkan 3 birokrasi pemda Manggarai dan sistem diskriminasi dalam Kairos yang ditampilkan Keuskupan Ruteng. Dalam praktik patronase ini, kita bertemu dengan gereja dan negara pada saat yang sama karena praktik tersebut merupakan perpaduan yang identik antara nalar pastoral yang membimbing jiwa-raga dan nalar nalar pemerintah yang mengontrol distribusi sumber daya negara. Kesan adanya korporatisme negara dan korporatisme gereja merupakan efek dari rutinisasi praktik-praktik patronase yang berlangsung melalui teknik individualisasi politik dan pembangunan dalam Developmentalisme dan keberdosaan dan keselamatan dalam Kairos.

Derajat Rasionalisasi: Melampaui Gereja dan Negara    

Patronase yang berbiak dalam wacana, atau disebut patronase yang tergovermentalisasi, relatif bersifat permanen. Kemunculan dan perkembangannya tak lagi sepenuh ditentukan oleh struktur hubungan kerja-modal atau hubungan ekonomi dan politik.[39] Pertukaran sumber daya antara patron-tuang dan roeng-klien di Manggarai dikendalikan dua jenis nalar dan teknik yang identik, yakni nalar/teknik governmental dan nalar/teknik pastoral. Patron boleh berganti, saling bersaing dan saling meniadakan dalam ‘pesta demokrasi’, akan tetapi patronase sebagai praktik untuk memimpikan kemakmuran dan keselamatan selalu eksis sepanjang nalar/teknik dalam dua wacana itu tak dilawan dan diubah. Praktik ini tak semata-mata berurusan dengan uang, proyek, dan lembaga, melainkan fundamen eksistensial dan ko-eksistensial masyarakat Manggarai yang menemukan identitas dan keagenan mereka dalam dua wacana identik ini. Tingkat rasionalisasinya, atau kemasukalannya, hanya dapat diukur melalui rutinisasi praktik yang membuat tuang dan roeng berubah dari kategori subject-position menjadi kategori etis-eksistensial. Inilah yang memampukan governmentalitas patronase beradaptasi dengan perubahan situasi sekaligus memberinya tenaga dalam untuk meredam resistensi pegiat demokrasi yang bertarung tanpa wacana konkrit.      

Rangkuman

Keseluruhan analisis dalam bab ini hendak memperlihatkan betapa hegemoniknya dua rejim kebenaran-pengetahuan yang beroperasi secara simultan dan saling menegaskan satu sama lain. Keduanya menjadi fundamen bagi berlangsungnya praktik-praktik patronase politik di Manggarai. Individualisasi dan totalisasi merupakan dua jurusan reproduksi identitas dan keagenan melalui praktik-praktik patronase baik terkait distribusi sumber daya negara maupun distribusi sumber daya gereja. Meski kita masih dapat mengenali perbedaan negara dan gereja dari segi organisatoris, teknik, mekanisme dan aparatus, tak berarti kita tak dapat mengenali kesamaan logik politik, nalar, dan efek diskursifnya terhadap identitas dan keagenan manusia Manggarai. Kasta para patron dan  klien terbentuk dengan nalar kuasa menamakan manusia, mengatur hubungan-hubungan nyata di antara mereka dan mendistribusikan sumber daya ekonomi melalui jalur-jalur hubungan patron-klien dari unit paling interpersonal seperti kekerabatan dan pertemanan sampai pada unit hubungan yang lebih komunal berbasis wilayah, klan dan dapil pilkadal dan pemilu.  

Demikian halnya politik dan pembangunan dalam dua wacana hegemonik ini telah memiliki pengertian yang berbeda jika kita bandingkan dengan cara pandang demokrasi radikal yang mendaratkan urgensi politik pada penciptaan demos yang egaliter dan kerja pembangunan pada pemerataan kemakmuran dan keadilan sosial.[40] Dalam dua wacana ini, kata politik dan kata pembangunan tak habis-habisnya dipakai untuk menegaskan hal sebaliknya: tak ada politik yang membebaskan dan tak ada pembangunan yang menyejahterakan semua. Kedua istilah ini menjadi semata-mata rethorical device, semacam kata-kata magis yang membenamkan tuang dan roeng ke dalam mimpi kemakmuran dan kesetaraan yang tak mungkin menjadi kenyataan. Selain membatalkan emansipasi, politik dan pembangunan versi governmentalitas patronase ini mempertukarkan impian dan kenyataan dalam fantasi tuang dan roeng. Kalau dalam wacana demokrasi kita tak bisa hidup tanpa utopia, maka dalam dua wacana ini mereka tak bisa hidup tanpa distopia.[41]

(Frans Djalong. Disarikan dari Bab 5, Abstraksi Analisis, Tesis Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Flores NTT, Penelitian 2008-2011 )


[1] Sejak masa kepemimpinan Bupati Frans Lega (1968-1978), ‘pembangunan’ menjadi wacana favorit birokrasi daerah. Frans Lega dikenal sebagai Bapak Pembangunan Pertanian di Manggarai. Begitu pula pada masa Frans Dulla Burhan, Gaspar Parang Ehok, Anton Bagul Dagur sampai pada masa sekarang di bawah kepemimpinan Christian Rotok (dua periode, 2005-2015). Profil dan biografi ‘pelayanan’ para bupati Manggarai ini bisa dibaca dalam Kanis Lina Bana. Makna Bertapak: Jejak Langkah Membangun Manggarai. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2009.

[2] Sekali lagi temuan analsis dalam studi ini tentang bagaimana aparatur pemerintah, yang sebetulnya berkerja sebagai ‘developmentalism’s apparatus’, memandang pembangunan dan menghidupi imaji pembangunan sebagai ‘intervensi teknis’ semata bisa dibandingkan dengan hasil studi James Ferguson yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya. Pemahaman tentang pembangunan sebagai masalah teknis itu ternyata beroperasi dalam nalar politik kontrol yang intensif atas populasi dan teroritori melalui ‘kemiskinan’. Kemiskinan dirumuskan terlebih dahulu, direformulasi, diintervensi dan dievaluasi secara rutin dengan tujuan diskursif yang pasti, bahwa ia tetap lestari agar kontrol negara terus berlangsung. Tesis Ferguson sangat tepat dan tajam ketika ia mengatakan bahwa “goverment’s services are never simply ‘services; instead of conceiving this phrase as a reference simply to a ‘government’ whose purpose is to serve, it may be at least as appropriate to think of ‘services’ which serve to govern”. Dengan demikian, tujuan utama dari ‘services’, atau apa yang disebut pelayanan publik itu, tidak semata-mata untuk melayani masyarakat ‘miskin’ yang dikonstruksi secara rutin. Sebaliknya, pelayanan publik itu bertujuan untuk melayani keberlangsungan kekuasaan developmentalisme. Dalam konteks govermentalitas di Manggarai, praktik-praktik patronase dalam pendistribusian sumber daya negara ke para petani sejatinya tidak bertujuan mulia untuk misalnya memastikan peningkatan kapasitas produksi dan distribusi komoditas, atau dalam frase Ferguson ‘food for work’, melainkan pemastian yang rutin atas keberlangsungan kondisi kejelataan manusia petani agar selalu ‘dibantu’ dan ‘ditolong’, atau ‘food for food’. Pelayanan publik tak lain adalah instrumen kuasa Developmentalisme lokal melalui patronase politik. Dengan ini pula terhasilkan secara terus menerus dua efek yang berlangsung secara bersamaan: pertama, pelembagaan ‘kekuasaan’ birokrasi 3 pemkab Manggarai dan kedua, de-politisasi terhadap isu kemiskinan dan de-politisasi terhadap negara itu sendiri. Negara menjadi identik dengan birokrasi, bukan lagi arena artikulasi kepentingan politik, sementara kemiskinan menjadi mesin anti-politisasi kepentingan warga negara. (Lihat Ferguson, 1994:251-56).     

[3] Perumpamaan ini adalah salah satu nas favorit yang terdapat dalam empat Injil Perjanjian Baru. Terdapat pula perumpamaan lainnya yang kurang lebih mengandung makna serupa bahwa penderitaan (i.e. kemiskinan) merupakan kondisi obyektif bagi berlangsungnya Kairos atau proyek keselamatan Kristiani. Misalnya, kisah Orang Samaria yang Baik Hati, atau kisah seorang janda tua yang memberikan zakat dari kekurangannya. Terlepas dari konteks dan debat teologis menyangkut tafsir kitab, kita tak dapat mengabaikan pengaruh perumpamaan tersebut terhadap bagaimana tuang-patron dan roeng-klien memandang kedudukan dan makna kemiskinan dalam Developmentalisme dan Kairos. Yang jelas ambivalensi kemiskinan dalam teologi sosial Katolik dan pengaruhnya terhadap pensikapan umat-roeng menghadirkan wilayah kajian yang membutuhkan penelitian berbeda dengan isu riset yang berbeda pula.   

[4] Homo sacer adalah metafor yang dipergunakan Giorgio Agamben untuk melukiskan kondisi kejelataan manusia. Agak berbeda dari konsep docile bodies yang dipakaiFoucault, homo sacer mengandung arti manusia tanpa agensi politik paling dasar sekalipun. Kehidupannya tak patut dipikirkan serius karena ia tak masuk dalam ‘ius humanus’ (tatanan humanisme universal), juga kematiannya tak patut dikenang atau dirasakan sebagai kehilangan karena ia tak tergolongkan ke dalam ‘ius divinum’ atau tak berkenan bagi Allah. Ketika ia, homo sacer, mengalami kesusahan, bantuan yang diberikan kepadanya dianggap sepenuhnya kemurahan hati dari yang memberikan pertolongan. Bantuan itu datang dari orang-orang yang bermoral dan berjiwa besar, dan bukan karena kondisi asasinya yang secara obyektif membutuhkan bantuan. Lihat Giorgio Agamben. State of Exception, khusus bab 1 “State of Exception as Paradigm of Government” (1995:1-31).         

[5] Tentu saja di tengah-tengah dunia politik Manggarai tanpa kesadaran kelas, maraknya oligarki partai politik dan absennya asosiasi-asosiasi kelompok kepentingan, terjun bebas ke dalam kelompok klien, keluarga besar dan pemuka-pemuka ‘adat’ di kampung-kampung, menjadi satu-satunya jalur mengkampanyekan diri. Dalam rangkaian FGD yang penulis selenggarakan, para peserta memandang gejala ini sebagai ‘politisasi budaya’. Isu yang dibicarakan adalah politik uang, nepotisme, janji-janji palsu para caleg atau cabup/cawabup. Ketika ditanya, “cara  berpolitik seperti sebaiknya dipakai para politisi agar pemilu dan pilkadal berlangsung secara demokratis?”, para peserta tak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan.         

[6] Dalam “Shaping a ‘New Manggarai”: Struggle over Culture and Tradition in an Eastern Indonesian Regency” (2005:323-334), Maribeth Erbb mengkaji bagaimana pasca otonomi daerah, komunitas-komunitas adat di Manggarai menghidupkan kembali imaji dan praktik adat sebagai bentuk pensikapan terhadap negara. Sementara para elit politik memanfaatkan kembali ‘kebangkitan adat’ itu untuk tujuan-tujuan politik mereka yang pragmatis. Erbb berkesimpulan bahwa para elit politik melakukan politisasi adat selama kampanye pilkadal dan pemilu. Di lain pihak, studi yang dilakukan dalam tesis ini sebaliknya memperlihatkan bahwa dalam cengkeraman Kairos dan Developmentalisme, adat di Manggarai telah sekian lama terhubungkan dengan negara dan gereja. Dia tidak berdiri sendiri. Bahkan pesan-pesan dalam praktik-praktik adat tak lain preskripsi Kairos dan Developmentalisme). Kehidupan ‘budaya’ masyarakat (roeng-klien) di kampung-kampung ‘terhidupkan’ kembali dengan kedatangan para pembesar gereja atau karena ada program pembangunan masuk desa. Studi ini memahami ‘revitalisasi adat’ yang dihidupkan masyarakat di kampung-kampung merupakan efek hegemoni dua wacana tersebut sekaligus memperlihatkan mekanisme hegemoninya. Adat tampak melawan negara atau segelintir elit politik, tapi bukan resistensi terhadap developmentalisme. Dengan mengartikulasikan diri lewat ‘komunitas adat’, masyarakat setempat sebetulnya sedang menuntut pembangunan agar lebih melayani kebutuhan mereka. Dengan kata lain, revitalisasi adat merupakan efek lain dari developmentalisme yang semakin mende-politisasi.         

[7] Pengertian netralitas gereja sebagaimana tertuang dalam hasil-hasil Sinode II semata-mata membatasi keterlibatan para pastor dan rohaniwan sebagai politisi. Keuskupan Ruteng mengajak awan handal terlibat aktif dalam politik praktis. Keterlibatan mereka adalah bagian integral dari ‘penerjamahan nilai-nilai injili’ dalam dunia. Bahkan keuskupan memandang perlu mencetak kader-kader awam katolik yang handal. ‘Gereja harus menjadi dapur untuk kaderisasi politik bagi awam Katolik’. Lihat Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng (2008:26,57). Wawancara dengan Direktur Puspas, Rm.Manfred Habur Pr, di Ruteng 24 April 2009.

[8] Dampak individualisasi dan de-kolektivisasi politik tampak jelas pada momen-momen pasca pilkadal atau pemilu legislatif. Selain hubungan interpersonal yang tidak harmonis lagi, kekecewaan sang patron yang kalah dilampiaskan dengan memeriksa kembali hasil perolehan suaranya di TPS-TPS di mana dukungan kliennya bisa diidentifikasi. Dari kesaksian penulis sendiri, pasca pemilu legislatif 2009, sejumlah patron yang gagal menjadi anggota DPRD kabupaten  anggarai Timur mendatangi rumah-rumah klien mereka. Mereka diumpati dengan kata-kata sedemikian kasarnya dan penuh penghinaan terhadap martabat manusia. Pesan dari kemarahan itu adalah bahwa ‘martabat’ yang telah diberikan patron kepada klien tidak dihargai sang klien dan keluarga besarnya yang tidak memilih dirinya di sejumlah TPS. Dia telah membantu mereka dalam ‘kesusahan’ seperti memberi uang untuk sekolahkan anak, memberikan tanah untuk ditempati dan berkebun. Selama pasca pemilu, ada pula patron yang mengusir klien dari rumah yang mereka tempati dan mengambil kembali tanah yang telah diberikan. Begitu juga kejadian lain seperti pengambilan kembali areal persawahan yang sebelumnya diberikan gratis kepada klien mereka. Umumnya kelompon klien ini adalah kerabat jauh para patron yang gagal tersebut.        

[9] Pengertian agensi politik demokratis didasarkan pada argumen-argumen Mouffe tentang hubungan antara identitas, politik dan demokrasi. Dalam politik yang demokratis berlangsung dua peristiwa penting. Pertama, pengakuan akan perbedaan sebagai kondisi obyektif dari yang politis (the political). Bahwa identitas yang beragam merupakan produk antagonisme sosial dan politik yang demokratis tidak bermaksud menghancurkan keragaman ini. Kedua, keragaman itu menjadi basis penting pembentukan demos, suatu identitas politik baru untuk menjawab panggilan merumuskan ‘common interests/common goods’. Di sini pengertian warga negara demokratis berbeda dari pengertian warga negara liberal. Yang terakhir cenderung merayakan konsensus dan berusaha mengeliminasi keragaman yang tak mungkin hilang. Dalam studi ini, jelas sekali bahwa tuang-roeng, atau patron politik-klien, merupakan bagian dan produk dari proses  identifikasi peran dalam dua wacana yang bergerak dengan logik ‘exclutionary inclusion’, diskriminasi dalam kebersamaan. Mengutip peribahasa setempat: ‘Bantang cama raja lele’, yang berarti kerjasama, satu hati satu jiwa. Politik jenis ini berusaha menghilangkan perbedaan sembari tetap menciptakannya. Kepatuhan roeng-klien dianggap sebagai hasil partisipasi, dan program-program yang digelontorkan tiap tahun itu dianggap hasil konsensus bersama. Untuk diskusi tentag agensi politik demokratis, lihat Chantal Mouffe. “Citizenship and Political Identity”, October, Vol.61 (Summer, 1992) hal 28-32; lihat juga Mouffe. “Decision, Deliberation, and Democratic Ethos”, Philosophy Today, Vol.41, No. 1 (Spring 1997), hal 24-30.

[10] Salah satu ilustrasi paling telanjang tentang kepatronan dan kepantasan dipilih sebagai caleg adalah ketika caleg-caleg non-patron, atau bukan dari kalangan ‘ata mese’, dianggap karikatur politik, sebagai bahan lelucon. Dianggap suatu keganjilan sekaligus diperlukan untuk memastikan siapa yang patron dan bukan patron. Dalam acara-acara temu caleg yang dihadiri penulis, presentasi para caleg dengan latar belakang petani ditertawakan selama acara dan dijadikan bahan gunjingan selama berhari-hari setelah acara temu caleg itu. Selain dianggap nekat mencari ‘nasib baik’ dalam politik, mereka dipandang sedang menelanjangi diri di depan banyak orang. Salah satu di antara mereka, RS (caleg kabupaten dari PAN), tahu persis bahwa dia ‘di atas kertas’ tak mungkin terpilih. Akan tetapi baginya kemungkinan masih ada karena untuk mendapatkan satu kursi tergantung pada total perolehan suara caleg-caleg PAN lain dalam dapilnya. Saingannya dalam satu partai itu sebagian besar petani sama seperti dirinya. Wawancara dengan RS di Borong, 26 Maret 2009.         

[11] Menarik bahwa apa yang ‘mengotorisasi’ mereka sebagai wakil rakyat adalah pengalaman kepatronannya. Jasa menjadi kata kunci. ‘Apa ata kurang pande daku’ (kurang apa jasa-jasa saya), misalnya, menjadi ungkapan umum untuk menegaskan kepantasannya dipilih dalam pemilu legislatif.

[12] Hubungan antara politik pembangunan dan patronase cukup banyak dikaji sejumlah penstudi. Tekanan utamanya adalah korporatisme negara Orde Baru. Umumnya dua perspektif yang dipergunakan. Pertama, ideologi pembangunan Orba yang mendepolitisasi warga negara mengakibatkan distribusi sumber daya negara jatuh sepenuhnya ke tangan birokrasi dari pusat sampai ke desa-desa. Kajian ini dekat dengan cara pandang otoritarianisme birokrasi Orba. Kedua, patronase disebabkan atau dipengaruhi oleh sistem nilai dan cara hidup masyarakat. Biasanya cara pandang ini melokalisasi patronase dalam ranah ‘budaya’. ‘Feodalisme’, misalnya, dilihat sebagai pranata nilai dan praktik warisan masa lampau yang bertahan dan berkembang dalam Orba. Lihat kajian Antlov, Hans. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002. Selain itu uraian tentang gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa yang melanggengkan feodalisme, lihat Benedict, Anderson R. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1990.

[13] Dalam filsafat politik mutakhir, premis-premis politik liberal tentang identitas dan kedaulatan dikritik karena sarat dengan esensialisme. Filsafat politik liberal, misalnya, dianggap keliru karena melihat sumber kekuasaan pada dua entitas, yakni negara dan individu. Bagi filsafat politik postfoundasionalis, kedaulatan individu dan negara, atau impresi bahwa keduanya berkuasa merupakan efek dari relasi-kuasa yang beroperasi di berbagai ranah. Menurut Slavoc Zizek dalam Sublime Object of Ideology (1989) identitas dan kedaulatan merupakan efek dari proses identifikasi yang rutin. Negara atau tokoh karismatis tak lain ‘big other’ yang dihadirkan dalam proses simbolisasi terhadap misalnya kemiskinan, ketidakamanan dan seterusnya. 

[14] Sentralitas praktek terhadap kesadaran ditemukan dalam sejumlah pemikiran post-foundasionalis. Menolak anggapan bahwa ideologi dan kesadaran mendeterminasi tindakan, pemikiran ini berargumen sebaliknya bahwa tindakanlah yang membuat seseorang atau sekelompok orang menyadari identitas dan keagenannya. Tindakan bukanlah ekspresi atau aktualiasi kesadaran, melainkan peristiwa kesadaran. Tindakan adalah peristiwa makna, sebagai ‘ideological event’. Melalui tindakan berlangsung ideologisasi, bukan ideologi berada di luar tindakan dan mengendalikannya dari domain yang berbeda. Dengan epistemologi radikal ini, ilusi tentang supremasi subject dan supremasi ideologi atas tindakan dihancurkan seluruhnya. Implikasi metodologisnya adalah bahwa studi politik identitas, misalnya, tak dapat lagi dimulai dengan pemeriksaan ideologi sebagai ‘genealogy of subject’, melainkan melalui pemeriksaan praktik-praktik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Pertanyaannya bukan lagi ‘what is the idea behind the act?’, melainkan how the idea or ideology is constituted and reproduces through series of acts?”. Selain Michel Foucault, Laclau dan Mouffe yang dipergunakan dalam tesis ini, proponen pemikiran ini antara lain Zlavoc Zizek dalam The Sublime Object of Ideology (1989); Judith Butler dalam Bodies that Matter (1993) dan Performative Acts and Gender Constitution (1988).         

[15] Dalam peristiwa-peristiwa penting pilkadal dan pemilu, kata tuang dan roeng lebih sering digunakan para klien, tim sukses, dan pengurus PAC dan pengurus ranting. Dalam percakapan dan tatap muka di Mbaru Gendang atau di rumah tokoh masyarakat adat setempat, para patron diperkenalkan dengan sebutan tuang. Ini untuk menegaskan kembali bahwa mereka telah mengenal sang politisi, mereka tahu persis ‘jasa-jasa’nya, dan sekarang saatnya mendengarkan komitmennya untuk memperjuangkan air minum bersih di desa, pembukaan dan pengaspalan jalan antar kampung. Biasanya sang politisi berbicara dalam bahasa Manggarai dengan ‘goet’ (diksi dan idiom) yang tak sembarang digunakan selain dalam acara-acara adat. Ketrampilan berbahasa daerah tingkat tinggi ini diperoleh sang politisi dalam keluarganya sendiri yang adalah bangsawan dan dia sendiri menggunakannya ketika memberikan sambutan dalam acara pernikahan atau kematian termasuk acara-acara kunjungan kerja sebagai pejabat daerah atau anggota DPRD ke kampung-kampung.       

[16] FS (mantan kepala Bappeda kab Manggarai selama 3 periode), misalnya, berkeluh kesah betapa ‘orang Manggarai belum bisa menghargai pemerintah sebagai wakil negara di daerah. Di muka bicara lain, di belakang bicara sebaliknya. Manggarai ini bisa maju kalau masyarakat mendengar dan menjalankan apa yang disampaikan pemerintah”. (Diterjemahkan dari bahasa Manggarai. Wawancara 29 April 2009 di Ruteng).  Cara berpikir patron-birokrat yang menjadi cabup dalam dua pilkadal ini dan sekali cawagub NTT ini dapat ditemukan dalam presentasinya pada acara Sinode II. Menurutnya ada dua sebab utama kemiskinan di Manggarai berdasarkan kompilasi data Bappeda kab Manggarai: “(1) Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) per kecamatan hampir sama dengan atau lebih dari separuh jumlah RTM di setiap kecamatan; (2) 90 % penduduk Kabupaten Manggarai adalah petani, maka dapat diduga bahwa kemiskinan disebabkan oleh penguasaan/kepemilikan lahan usaha yang tidak merata/sempit dan penerapan teknologi budidaya yang masih tradisional”. (dikutip dari Frans Salesman. ‘Kemiskinan di Manggarai’, hal 66, dalam Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng, Sinode II Keuskupan Ruteng. Ruteng, Flores: Penerbit Puspas, 2008, hal 65-81.                 

[17] Dalam sejumlah wawancara dengan pegawai negeri tanpa jabatan, kabag, kadis dan anggota DPRD salah satu pernyataan yang tipikal di antara mereka adalah ‘orang Manggarai itu tidak tahu terima kasih’. Ini untuk menjelaskan sikap masyarakat yang malas memanfaatkan fasilitas yang sudah disediakan pemerintah atau semacam kegeraman terhadap rusaknya fasilitas-fasilitas tersebut. Hampir pasti di sini tak dibicarakan rendahnya mutu prasarana dan sarana tersebut yang dikerjakan para kontraktor. Sebagian besar dari para kontraktor proyek pemerintah berasal dari keluarga-keluarga besar bupati, kepala dinas, anggota DPRD. Kajian tentang bisnis sumber daya negara yang menyatukan birokrasi Manggarai dan keluarga para pejabat birokrasi, lihat Goris Sahdan, “Korporatisasi Politik Negara di Aras Lokal. Studi Dominasi Birokrasi dalam Politik di Kabupaten Manggarai Pasca Orde Baru. Tesis S2, 2009 (Tidak diterbitkan). Lihat juga studi tentang bosisme di Manggarai dalam Boni Hargens,   “Bosisme Lokal dan Pergeseran Sumber Kekuasaan di Manggarai”, dalam Boni Hargens (editor) Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia. Jakarta: Parrhesia Institute-Jakarta, 2009. Hal 109-136.                   

[18] Sejumlah narasumber dalam FGD yang disenggarakan penelitian ini menamakan gejala mental berkuasa di kalangan pegawai muda dengan sebutan ‘pre-power syndrome’. Ini mau bercerita tentang perubahan sikap, gaya berbicara, dan berbusana di kalangan para pegawai muda. Menggunakan konsep performative acts yang dikembangkan Butler, perubahan itu tidak saja bagian dari upaya penyesuaian diri dengan kebakuan cara hidup kepegawaian sebagai bagian dari negara, melainkan dibaca sebagai tindakan-tindakan konkrit di dalam mana mereka menemukan diri mereka sebagai berbeda dari non-pegawai. Tesis ini pun memandang dengan cara demikian. Bahwa tindakan tersebut bukanlah ekspresi atau manifestasi dari ideologi kepegawaian-keberkuasaan, melainkan proses penandaan diri sebagai berkuasa yang di dalamnya atau melalui tindakan itu fantasi berkuasa menjadi mungkin dan dialami sebagai kenyataan. Tentang konsep Performative Acts, lihat Judith Butler. “Performative Acts and Gender Constitution: An Essay in Phenomenology and Feminist Theory”, Theatre Journal, Vol. 40, No. 4. (Desember, 1988), hal 519-531.

[19] Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah pegawai negeri yang dikirim studi S2 meningkat tajam. Hal ini tentu terkait dengan kebijakan pemda yang disetujui DPRD. Yang menarik justru alasan mengapa pegawai perlu mendapatkan pendidikan lanjut dan seberapa kompetitif proses penentuan pegawai mendapatkan jatah sekolah. Dari hasil wawancara dan diskusi dengan sejumlah pegawai yang sedang studi S2, alasannya adalah untuk memperoleh pengetahuan lebih luas dan keahlian tertentu. Akan tetapi, fantasi berkuasa ternyata jauh lebih kuat ketika mereka bercerita tentang ‘kemiskinan’ dan ‘ketertinggalan’ daerahnya. Bagi mereka, semakin banyak pegawai negara yang terdidik semakin mempercepat proyek pembangunan dikerjakan secara lebih efektif dan efisien. Nuansa kontrol dan pengendalian diperlihatkan sembari tetap membicarakan rakyat sebagai obyek intervensi. Sementara dalam wawancara dengan pejabat teras kabupaten yang mengikuti ‘kuliah jarak jauh’, tujuan praktis-politis begitu menonjol ketika mereka mendapati arti penting gelar akademis sebagai pesona lain kepatronan politik ketika mereka bertarung dalam pilkadal dan ditunjuk memimpin dinas dan badan strategis seperti Bappeda, dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas pekerjaan umum, dispenda, dan juga jabatan-jabatan di kantor bupati. (wawancara dengan JT, Mahasiswa S2 Teknik UGM, pegawai pada Dinas PU Kab Manggarai; EB, lulusan pascasarjana Manajemen Keuangan Daerah UGM, pegawai pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Manggarai; RDt, lulusan Magister Ekonomika Pembangunan UGM, staf Bappeda Kabupaten Manggarai Barat; Heri Nabit, lulusan Master Studi Pembangunan  salah satu universitas di Belanda, staf Bappeda Kab Manggarai, mantan Cabup dalam Pilkadal Manggarai 2010). 

[20] Dalam Wawancara dengan Yosef Tote, Bupati Manggarai Timur (24 Maret 2009), perasaan tersiksa itu diungkapkannya secara eksplist ketika menceritakan kembali kisah dirinya dikucilkan Bupati Manggarai, Kris Rotok, ke bagian tenaga ahli di kantor bupati, sebelum pemekaran kabupaten Manggarai Timur. Beliau ‘diahlikan’ lantaran secara terang-terangan mendukung Bupati incumbent, Anton Bagul Dagur, yang sebelumnya mengangkatnya sebagai Kadis Pendidikan dan Kebudayaan. Hal serupa, soal pengalaman ketersiksaan ini, juga diceritakan Agus Kano, Kadis Parawisita Manggarai Timur (Wawancara 21 April 2009) dan Thomas Ngalong, Kadis PU/Pertambangan Manggarai Timur (Wawancara 28 Maret 2009)        

[21] Derajat di mana otoritas politik menubuh pada subyek dan sekaligus membentuk subyek dan kesadarannya diuraian dengan lentur oleh Foucault dalam kutipan berikut: “Between every point of a social body, between the members of family, between a master and his pupil, between everyone who knows and everyone who does not, there exists relation of power which are not purely and simply a projection of sovereign’s great power over the individual; they are rather the concrete, changin soil in which the sovereign’s power is grounded, the conditions which make it possible for it to function” (‘The History of Sexuality’, dalam Colin Gordon, ed. Power/Knowledge. New York:Pantheon Books, 1980, hal 187). Kutipan di atas mempertegas argumen Foucault tentang analytics of power, bahwa hubungan antara kekuasaan dan politik harus diperiksa dalam praktik-praktik yang dianggap bersifat sosial/non-politis. Di dalam praktek inilah kekuasaan beroperasi dan imaji tentang kedaulatan negara atau lembaga direproduksi. Untuk membantu memahami pemikiran ini, lihat Tornben Dyrberg. The Circular Structure of Power, khusus uraian bab 3 “Power, Identity and Political Authority: Foucault’s Power Analytics”, hal 85-115. London: Verso, 1997         

[22] Selama musim pemilu dan pilkadal, slogan-slogan pada baliho dan stiker caleg dan cabup/cawabup memperjelas dunia-dalam patron dan klien. Di situ ditulis dengan tinta terang dan sablon yang menyala-nyala bahwa mereka telah berjasa dan akan terus berbakti bagi kemajuan daerah. Stensilan-stensilan pun disebarluaskan, berisikan daftar jasa sang politisi/biokrat membangun jembatan, jalan raya, bendungan dan bangunan sekolah dasar. Dalam periode ini, roeng mulai berhitung tentang jasa-jasa itu dan memastikan memilih yang paling berjasa di antara para penjasa itu. Dalam istilah setempat, ‘bo ata hitu’ (menunjuk pada patron yang sudah berbuat banyak dan mereka merasakan jasanya selama berdinas atau menjadi anggota dewan) atau ‘toe di manga pande do hia hitu’ (menunjuk pada birokrat/politisi muda yang sudah dikenal tapi dirasa belum berbuat banyak untuk mereka).     

[23] ‘Pegawai Negara’ sebagai obyek-fantasi mau menggambarkan efek diskursif dari proses rutin pemaknaan atas kemakmuran dan kekuasaan sampai pada tingkat di mana pegawai negara dipersepsikan sebagai kemakmuran dan kekuasaan itu sendiri. Mengangkat ilustrasi berbeda  dari Zlavoc Zizek, Coca-Cola bukanlah obyek yang mensimbolisasi Amerika dengan segala kemakmuran dan kebebasannya, melainkan bahwa keamerikaan ditemukan dalam Coca-Cola. Bukan Coca-Cola mengimajikan Amerika melainkan sebaliknya Amerika mengimajikan dirinya dalam minuman ringan ini. Lihat Slavoc Zizek. Sublime Object of Ideology. London: Verso, 1989, hal 105-107.

[24] Dua istilah psikoanalisis ini dipinjam dari uraian Slavoc zizek tentang identitas dan identifikasi dalam the Sublime Object of Ideology (1989), hal 118.

[25] Keluh kesah para cabup/cawabup non-birokrasi yang gagal dalam pilkadal dengan mudah dijumpai dalam Forum Lonto Leok, sebuah jaringan online, berisikan lebih dari 500-an orang-orang Manggarai ‘terpelajar’ dan ‘sukses’ di rantauan. Berbasis di Jakarta, forum ini menjadi tempat curah rasa dan gagasan terkait kondisi pembangunan dan situasi politik di Manggarai raya (3 kabupaten Manggarai). Satu pesan tunggal dari keluhan itu adalah bahwa mereka merasa diperlakukan sebagai ‘orang asing’ di tanah kelahirannya; bahwa masyarakat Manggarai tak berorientasi ke masa depan dan  berpuas  diri dengan keterbelakangan yang mereka alami.    

[26] Ilustrasi tentang kontras antara janji perubahan dan rendahnya minat roeng pada janji ‘ata peang’ telihat dengan jelas dalam pilkadal dua putaran Manggarai Timur (2008-2009). Gagal pada putaran pertama, Roman Ndau Lendong (paket Romansa), aktivis dan dosen perguruan tinggi swasta di Jakarta, mencoba mengartikan kegagalannya sebagai akibat dari rekayasa politik birokrasi dan bahwa kemenangan dua paket birokrat ke putaran ke-2 mencerminkan kemenangan kubu status quo atau anti-perubahan. Ditambahkannya, masyarakat akan sulit keluar dari kemiskinan karena dipimpin oleh birokrat yang (1) tak terdidik dengan baik, (2) tak sederhana alias serakah dan (3) tak punya jaringan ke propinsi, nasional dan internasional. (Roman Ndau Lendong, ‘Catatan Pilkada Matim’, artikel opini pada Pos Kupang, 21 November 2008). Tulisannya ini kemudian ditanggapi serius oleh birokrat Manggarai dan dalam sebuah tulisan opini pada koran yang sama, Cabup gagal ini diolok-olok karena menempati nomor urut terendah dalam perolehan suara (7,9% dari total suara pemilih). Di situ disebutkan bahwa para cabup/cawabup birokrat mendapat suara yang jauh lebih banyak karena mereka dekat dengan masyarakat. Perolehan suara menunjukkan kepantasan dan kelayakan menjadi bupati/wakil bupati di Manggarai Raya. (Lorens Gabur, ‘Catatan Kecil buat Roman Ndau Lendong’, artikel opini Pos kupang, 22 November 2008).               

[27] Per definisi, klerus dan awam merupakan dua komponen keagenan pastoral gereja. Klerus adalah kumpulan imam sebagai pastor dan rohaniwan/rohaniwati sementara awam adalah umat non-klerus. Dari kelompok awam dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama awam handal yang menjadi agen pastoral, secara aktif terlibat bersama para pastor pribumi menjadikan Manggarai sebagai ‘locus theologicus’ keselamatan kristiani. Kedua, awam kebanyakan sebagai umat, dalam arti sebagai kawanan domba yang menjadi sasaran Kairos.    

[28] Sebagaimana telah diuraikan dalam dua bab sebelumnya, pergantian rejim, dari rejim misionaris ke rejim manajerial, tidak sekedar pergantian aparatus, tidak sekedar etnisisasi agen pastoral dari pastor Barat ke pastor pribumi. Teknik dan prosedur pelayanan pastoral yang dikembangkan sejak Gereja Mandiri tahun 1980an memperlihatkan adaptasi dan saling pengaruh yang intensif dengan Developmentalisme yang dikembangkan melalui program-program pemerintah kabupaten Manggarai. Yang terjadi adalah gereja semakin tergovernmentalisasi karena teknik dan prosedur pastoral semakin menunjukkan kontrol atas wilayah dan tubuh manusia Manggarai. Sejumlah teknik dan prosedur baru, melalui program-program pastoral dan pembidangan pelayanan, dikembangkan gereja mandiri, sesuatu yang nyaris tak dikenal gereja Manggarai pada periode gereja misionaris. Pembidangan itu tak lagi terbedakan dari pembidangan versi Developmentalisme pemerintahan kabupaten. Antara lain: bidang pewartaan, bidang liturgi, bidang kerasulan awam dan sosial-politik, bidang pendidikan dan pembinaan angkatan muda, bidang pengembangan sosial-ekonomi dan sosial-karitatif, bidang pastoral keluarga dan perempuan, bidang pengembangan imam dan panggilan religiu, dan bidang manajemen pastoral.   

[29] Ajaran-ajaran sosial gereja secara eksplisit tertuang dalam sejumlah dogma dan ensiklik sebagai berikut:  Doktrin/Dogma Lumen Gentium (1964); Doktrin Pastoral Gaudium et Spes (1965);Surat Ensiklik Pacem in Terris (1961); Surat Ensiklik Popularum Progressio (1967); Surat Ensiklik Laborem Exercens (1981); Surat Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987);Surat Ensiklik Centensimus Annus (1991); Surat Apostolik Octogesima Adveniens (1971)

[30] Hubungan antara kekristenan dan negara modern dibahas Foucault, yang mendorongnya melahirkan konsep govermentalitas. Nalar politik dan cara kerja negara modern merupakan mutasi diskursif dari nalar pastoral dan cara kerja gereja terutama gereja Abad Pertengahan. Keduanya memiliki kesamaan dalam cara mengoperasikan kekuasaan, yakni melalui teknik dan mekanisme individualisasi dan totalisasi. Uraian lengkap tentang hubungan gereja dan negara modern, lihat Michel Foucault. “Pastoral Power and Political Reason”, dalam M Foucault Religion and Culture. New York: Routledge, 1999. Hal 135-142. Karya penting lain tentang teknik dan prosedur pembentukan subyektifitas kristiani, tentang diri sebagai ‘subject’, ‘object’, dan ‘self’, singkatnya tentang ‘technology of self’, lihat Michel Foucault. “About the Beginning of the Hermeunetics of the Self: Two Lectures at Dartmouth”, Political Theory, Vol. 21, No. 2 (Mei, 1993), hal 198-227. Bagian terbaik dari uraian Foucault tak lain adalah bagaimana dalam kekristenan (Gereja Katolik), keberdosaan atau kebersalahan dipastikan sebagai identifikasi diri seseorang dalam proyek penebusan Kristiani. Foucault membandingkan teknik dan tujuan dari testimoni/pengakuan di masa Yunani Kuno dan gereja Katolik di Abad pertengahan. Di masa Yunani Kuno, melalui Seneca, testimoni dimaksudkan untuk membangun atau menciptakan diri yang baru sama sekali, sementara dalam kekeristenan sebaliknya bertujuan untuk memastikan anda tak bisa berubah dan identitas anda yang ‘penuh dosa’ itu bersifat permanen. Pada masa Yunani dan Romawi Kuno, “the self is not to be discoverd but to b recontituted,… while in the christian technology of self, the problem is to discover what is hidden the self; the self is like a text or like a book that we have to decipher..” (hal 211). Kekristenan, menurut Foucault, adalah Agama Pengakuan—religion of confession. Mengutip kata-kata Santo Agustinus, qui facit veritatem venit ad lucem:   Ciptakan kebenaran dalam driimu, dan kamu mendapatkan jalan menuju cahaya.            

[31] Pengertian ontologi sosial sama artinya dengan esensialiasi atau penghakikatan sedemikian rupa sampai dianggap atau diterima sebagai kenyataan yang tak berubah. Dalam studi politik post-marxist dan studi politik post-foundasionalis, esensialiasi merupakan gejala normal dalam produksi identitas dan keagenan manusia. Dalam politik pun seseorang atau sekelompok orang perlu meyakini dan terus menggarap identitas dan keagenannya itu. Yang menjadi soal adalah ketika identitas dan keagenan pemberian wacana dianggap sudah selesai dan tinggal dibela mati-matian dalam politik. Ini adalah gejala fundamentalisme liberal yang menghadirkan ‘friend/enemy’ dalam politik dalam mana kekerasan, prasangka, dan perang menjadi cara berpolitik. Bagi penstudi politik dengan dua perspektif di atas, menerima identitas dan keagenan sebagai bagian dari artikulasi politik, bahwa identitas selalu terbuka dan kepentingan selalu dapat direformulasikan kembali dalam konteks antagonisme sosial, membuat politik menjadi demokratis. Peluang terbentuknya demos dan kepentingan publik menjadi sesuatu yang nyata, meski terus menerus diperjuangkan. Kritik terhadap esensialisme dalam politik, lihat Ernesto Laclau. “Universalism, Particularism, and the Question of Identity”, dalam Ernesto Laclau Emancipation(s). London: Verso, 1996. Hal 20-35.             

[32] Di sisi lain kemiskinan juga dianggap sebagai cobaan kerohanian, sesuatu yang dianggap perlu karena di dalamnya ada kesederhaan dan kemurahan hati. Yesus misalanya digambarkan selalu hadir di antara orang-orang kecil, sebagai lambang pembebasan orang-orang yang terusir dan tertindas. Kendati demikian, pasca Gereja Mandiri sejak tahun 1980an, bersamaan dengan akselerasi pembangunan via birokrasi pemda, gereja memahami kemiskinan sebagai ‘problem manusia’; kemiskinan berkaitan dengan pengalaman iman, sebagai ekspresi ketidakmampuan menjadi ‘garam dan cahaya’ bagi dunia (garam dan cahaya adalah metafor untuk orang-orang yang diutus menyelamat manusia dan dunia dari dosa dan kemiskinan). Lihat uraian lengkap tentang kemiskinan versi Gereja Keuskupan Ruteng dalam Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng. Garis-Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012. Ruteng, Flores: Penerbit Puspas, 2008. Refleksi hubungan antara iman dan kemiskinan terbaca dalam hasil Sinode II Keuskupan Ruteng: “Iman sebagai praksis yang kritis ini diarahkan juga ke dalam kehidupan umat sendiri yang akhirnya sadar bahwa ternyata kemiskinan, penindasan, serta ketidakadilan bersumber pada praktik hidup mereka sendiri, atau dari sumber internal umat sendiri” (hal 14). Sementara tentang hubungan antara kemiskinan dan cinta kristiani, bahwa kemiskinan adalah basis perutusan agen pastoral, terbaca dalam kutipan berikut:“paham kristiani tentang dosa juga menjadi sangat konkret dan orang miskin menjernihkan kembali masalah bahwa dosa membawa kematian dan juga menunjukan kematian macam apa yang dibawa dan tatanan macam apa yang berkuasa dalam kematian” (hal 15).            

[33] Dalam Gereja Manggarai, kaum awam yang handal disebut juga ‘agen pastoral’, dalam suatu kualifikasi peran yang nyaris tak terbedakan dari kelompok pastor pribumi. Ilustrasi keagenan pastoral terlihat dari komposisi para peserta Sinode II Keuskupan Ruteng tahun 2007. Tak jauh beda dari komposisi peserta Musrembang, Sinode untuk merumuskan kebijakan gereja lokal ini dihadiri para pastor dan tokoh masyarakat yang juga pegawai-patron politik. Dalam acara ini ditegaskan kembali peranan agen pastoral sebagai orang-orang utusan. “Agen pastoral harus setia dalam tugas. Karena tak ada yang mengawasi, selain hati nurani sendiri”. Selain Bupati, Wakil Bupati dan kepala-Kepala Dinas, dalam acara penting ini dihadir tokoh-tokoh gereja terkemuka dan mempresentasikan pokok-pokok pikiran mereka tentang kepatronan agen pastoral. Salah satunya adalah Dr. Ben Mboi, mantan Gubernur NTT dan tokoh katolik nasional. Menurut patron-politisi senior ini, kepemimpinan bagi orang Manggarai haruslah memiliki ‘Tinu’ (kemampuan memelihara atau mengurus orang lain benar-benar tak mampu dari kecil sampai dewasa), ‘Titong’ (kemampuan membimbing, mengarahkan orang lain yang membutuhkan bimbingan), dan ‘Teing’ (kemampuan memberi/menolong kepada yang membutuhkan). Sementara umat-roeng, yang adalah klien wacana Developmentalisme dan Kairos, harus memiliki sikap berikut: ‘tiba’ (menerima, mengakui), ‘toming’ (meniru, mengikuti jejak pemimpin), ‘Tingeng’ (mengingat-ingat), ‘Tingo’ (mengingat lebih dalam), dan ‘idep’ (meresap ke hati). Lihat Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng. Sinode II Keuskupan Ruteng: Bersatu Membangun Habitus Baru dalam Bimbingan Roh Kudus Menuju Gereja Keuskupan Ruteng yang Mandiri, Misioner, dan Memasyarakat. Ruteng, Flores: Penerbit Puspas, 2008.             

[34] Ilustrasi paling jelas diperoleh dalam studi ini melalui keterlibatan penulis dalam rangkaian acara temu caleg yang diselenggarakan Keuskupan Ruteng selama Pemilu legislatif 2009. Salah satunya adalah temu caleg di Paroki Borong, persis di ibukota kab Manggarai Timur, 21 Maret 2009. Dihadapan para peserta yang adalah juga tokoh agama dan tokoh masyarakat (sebagian besar pensiunan pegawai birokrasi), para caleg mengkampanyekan kepatronan masing-masing. Tak ada satupun yang mempertanyakan ‘jasa-jasa’ itu karena bagi mereka itu benar adanya. Ansel Alaman, misalnya, caleg pusat dari PDIP, menegaskan kepantasannya dipilih karena telah berjasa untuk umat-roeng di Manggarai. Beliau telah mengabdi lebih dari dua puluh tahun di Keuskupan Ruteng sejak tahun 1970an dan berjanji membawa aspirasi umat Katolik Manggarai ke Senayan. Ilustrasi lain dipertunjukkan Sipri Aur, caleg incumbent PDIP Pusat. Beliau menyihir para pendengar dengan cerita-cerita menegangkan tentang perjuangannya menentang upaya kelompok Islam radikal di Senayan. Memberi kesan di tangan dialah nasib umat Katolik Indonesia  dan  umat Katolik Manggarai dipertaruhkan.   

[35] Sudah tentu momen perutusan para pastor dirayakan sebagai pesta akbar di kalangan umat. Acara pentabhisan pastor disusul rangkaian misa sulung diselenggarakan di paroki dan tempat kelahirannya. Dia diutus untuk berkarya bagi orang-orang Manggarai dan bersedia meninggalkan keluarga besarnya. Dalam prakteknya, acara-acara tersebut justru justru memastikan bahwa sang pastor yang ditahbiskan itu tak meninggalkan keluarga besarnya. Dirinya dan keluarga besarnya dipersatukan kembali dan siap membela kepentingan mereka. Tidak saja karena acara itu menghabiskan uang keluarga besar yang begitu besar, tetapi juga untuk memastikan kepada umat-roeng bahwa sang pastor berasal dari latar belakang ‘ata mese’ yang memberinya kepantasan sebagai gembala. Di lain pihak, dalam sepuluh tahun terakhir, pengangkatan menjadi bupati, anggota DPRD, kepala dinas dan kepala bagian di birokrasi pemda semakin gencar dirayakan sebagai momen perutusan kristiani. Dibuat dalam format misa syukur plus pesta rakyat dan berbiaya sangat besar, acara ini itu sebetulnya merayakan kemenangan atas patron lain dalam kompetisi politik dan kompetisi internal birokrasi. Tak lebih dari penegasan mereka sebagai pegawai negara-patron politik.       

[36] Lihat, Michel Foucault. “The Subject and Power”, Critical and Inquiry, 8 (Summer, 1982), hal 792-93.

[37] Sistematisasi pembedaan berdasarkan akses dan kontrol atas lokasi ibu kota kabupaten dan lokasi pusat keuskupan ikut menciptakan ruang operasi kuasa patronase. Konsentrasi para pegawai negara-patron politik dan pejabat-pejabat keuskupan di Kota Ruteng, Ibu kota Kabupaten induk, memastikan politik kontrol atas ruang di mana hampir sebagian besar populasi roeng-klien berada di luar orbit kota kabupaten ini. Dengan dibentuknya dua kabupaten baru, berlangsung pula perpindahan para pegawai negara-patron politik ke kota Labuan Bajo (ibukota kabupaten Manggarai Barat) sejak 2003 dan ke Borong (ibukota kabupaten Manggarai Timur) sejak tahun 2008. Ini tentu membawa implikasi pada pergeseran dan konfigurasi patron di 3 kabupaten saat ini. Meski demikian, pergeseran itu tampaknya tak lebih dari sekadar menambah episentrum kuasa dan, dalam proses yang butuh penelitian lanjut, mengefektifkan beroperasinya govermentalitas patronase dalam wilayah administratif kabupaten yang lebih terbatas.                 

[38] Kesimpulan bahwa patronase di Manggarai mengambil bentuk bosisme dan ditandai penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dapat dilihat dalam tulisan Boni Hargens “Bosisme Lokal dan Pergeseran Sumber Kekuasaan di Manggarai”, dalam Boni Hargens (editor) Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia. Jakarta: Parrhesia Institute-Jakarta, 2009. Hal 109-136. Menggunakan pendekatan behavioralis-institusionalis secara sambil lalu penstudi ini mengalamatkan sumber kekuasaan di Manggarai pada partai politik, birokrasi, konglomerasi lokal, hirarki gereja, kelompok adat dan kelas menengah (NGOs). Tak jelas apa yang dimaksudkannya dengan kekerasan dan ancaman kekerasan, yang jelas kajian ini terpukau dengan kasak-kusuk proses pilkadal yang menghadirkan kompetisi sengit para patron dan tak meneruskan pemeriksaan pada kondisi-kondisi fundamental yang mereproduksi patronase di Manggarai. Kelemahan mendasar dari tesisnya adalah menyimpulkan tampilan-tampilan agresif dan manipulatif para patron dalam pilkadal sebagai sebab-sebab patronase, mengandaikan kekuasaan bersumber pada kepentingan politik patron semata.        

[39] Bandingkan studi komparatif patronase yang memusatkan perhatian pada sebab-sebab struktural (Scott, James c. “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia”. The Journal of Asian Studies, Vol. 32, No. 1 (November, 1972),  hal 5-37; Nattrass, Nicoli dan Seekings, Jeremy. “Democracy and Distribution in Highly Unequal Economies: The Case of South Africa”, The Journal of Modern African Studies, Vol. 39, No. 3 (September, 2001), hal 471-498;  Wilson, James. “Economy of Patronage”. The Journal of Political Economy, Vol. 69, No. 4, (Agustus, 1961), hal 369-380; Gilmore, David. “Patronage and Class Conflict in Southern Spain”, New Series, Vol. 12, No. 3/4 (Desember, 1977), hal 446-458). Sementara salah satu studi patronase strukturalis dalam negeri bisa ditemukan dalam karya berikut   Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Patron dan Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Fungsional-Struktural. Kepel Press, 2007

[40] Konsepsi tentang politik demokrasi yang membentuk identitas dan keagenan baru—demos—diuraikan Laclau dan Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy (1985) dalam On Populist Reason (2005). Politik yang dituntun ideal demokrasi radikal untuk kesetaraan dan keadilan  berbeda dari model agregatif dan model deliberatif. Perbedaan tak semata-mata teknis-metodis melainkan perbedaan epistemologi politik. Dalam model agregatif dan deliberatif, identitas dan kepentingan diandaikan sudah selesai sebelum masuk dalam kontestasi politik. Politik tak lebih dari kontrak kepentingan dan pameran ragam identitas. Bagi Laclau dan Mouffe, agar demokrasi menjadi bermakna, politik justru harus dipahami sebagai momen dan proses konstitutif bagi kepentingan dan identitas. Artinya, proses politik mengubah identitas dan kepentingan partikular menjadi demos dan kepentingan bersama. Karena itu politik yang demokratis adalah politik yang menciptakan publik baru di mana logik eksklusi (friend/enemy) diganti oleh logik inklusi yang otentik (adversarial). Pembahasan konsep politik radikal ini bisa dibaca dalam Torben Dyrberg The Circular Structure of Power: Politics, Identity and Community (1997), khusus uraian bab 6 “Democracy and the Politics of Interests and Common Good” (hal183-237).        

[41] Politik yang dituntun demokrasi yang radikal menghidup utopia, yakni, kesadaran bahwa oleh karena identitas dan kepentingan tak pernah paripurna, beragam  dan terus bergerak dan terbentuk, maka politik tak boleh meniadakan perbedaan karena perbedaanlah yang terus menerus mendorong kita berpolitik. Sebaliknya politik distopia adalah kematian demokrasi. Dalam politik jenis ini, perbedaan dijadikan alasan pembatalan artikulasi politik dari ragam identitas dan kepentingan. Dalam kaitan dengan govermentalitas patronase di Manggarai, konstruksi orang-orang Manggarai sebagai ‘roeng’ dengan sendirinya membatalkan artikulasi kepentingan yang beragam sebagai buruh tani, petani penggarap, petani berkebun dan seterusnya. Semuanya disatukan dalam ‘roeng-klien’, semata-mata obyek intervensi pembangunan. Untuk pembahasan konseptual tentang arti penting utopia bagi demokratisasi politik dan pengabaian demokrasi dalam politik distopia, lihat Yannis Stavrakakis Lacan and the Political (1999), khusus bab 5 “Ambiguous Democracy and the Ethics of Psychoanalysis” (hal 122-40).