Praktek berdemokrasi menyambut pilpres/pemilu 2024 menghadirkan pertanyaan penting tentang peran perguruan tinggi sebagai penggerak dan pengawal gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi terdapat kalangan yang menilai terjadi disorientasi keilmuan dan disorientasi kelembagaan PT terutama karena keterlibatan akademisi dalam politik praktis, kebijakan kampus yang diskriminatif terkait kebebasan akademik mahasiswa-dosen dan produksi kurikulum yang sarat teknokrasi (know-how) sekaligus miskin emansipasi (how to change). Di sisi lain sejumlah kalangan menilai di tengah pertarungan antar elit politik yang merusak etika kepemimpinan dan membajak konstitusi, kampus khususnya melalui gerakan mahasiswa dan forum dosen tidak berhenti melancarkan kritik publik dan koreksi kebijakan.
Bertolak dari dua persepsi publik di atas, dituntut suatu refleksi keilmuan dengan pertanyaan mendasar berikut, seberapa jauh perguruan tinggi melalui Tri Dharma telah berkontribusi memperkuat demokrasi atau sebaliknya melemahkan demokrasi dari dalam arenanya sendiri. Dari pertanyaan reflektif ini bisa dirumuskan proyeksi keterlibatan kampus ke dalam gerakan masyarakat sipil yang hari ini membutuhkan kolaborasi dan konsolidasi. Refleksi sosiologi politik atas praktek Tri Dharma selalu berarti mendeteksi akar masalah di balik disorientasi keilmuan dan kelembagaan perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui bersama, konteks historis dan basis sosiologis dari penerapan Tri Dharma—pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat—sebagai paradigma pendidikan tinggi mengarah pada tiga tujuan utama. Pertama, produksi pengetahuan berbasis penelitian emansipatoris, kedua membentuk manusia terdidik sebagai warga negara aktif dan ketiga melancarkan kritik ideologi terhadap cara kerja kekuasaan ekonomi-politik.
Patut diingatkan kembali, pendidikan tinggi Indonesia sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan dekolonisasi baik dalam merebut kemerdekaan maupun terutama dalam mengisi kemerdekaan. Tiga pilar dari konsepsi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan Taman Siswa—Ingarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani—dicetuskan dari semangat pergerakan kaum terpelajar untuk keadilan ekonomi dan kesetaraan politik. Hal itu berarti sejak awal kemerdekaan terdapat hubungan yang saling meneguhkan antara praktek berdemokrasi dan perguruan tinggi. Tentang hubungan intrinsik ini, Sukarno, misalnya dalam pidatonya tahun 1959 berjudul ‘Pancasila adalah Jiwa UGM’, menegaskan kampus bukanlah kumpulan batu-batu yang tegak berdiri tetapi sesungguhnya adalah ‘gedung rakyat’ untuk membenturkan ragam gagasan dan membentuk ‘manusia berjiwa besar’ yang berpikiran kritis menentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Termasuk tidak kalah penting seruan Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita (1960) agar dunia pendidikan membumikan kembali demokrasi Indonesia yang berakar di desa dan bersumber dari kolektivisme kebudayaan—sebagai solusi atas kebuntuan berdemokrasi periode 1951-1959.
Tiga Akar Masalah
Kendati pun diakui gerakan mahasiswa dan forum dosen kritis tetap mengawal praktek berdemokrasi, tercatat tiga akar masalah yang selalu diperdebatkan sejak pasca Orde Baru dan sampai hari ini belum sepenuhnya diatasi, bahkan cenderung dinormalisasi. Tiga akar masalah itu adalah teknoratisasi keilmuan, negara sebagai produsen kemakmuran dan hilangnya agenda emansipasi dalam penelitian. Ketiga masalah ini sudah lama berakar dalam praktek pendidikan bahkan dimulai sejak masa kolonial melalui indologi dipandu orientalisme Eropa sampai paradigma modernis Orde Baru yang tunduk pada hegemoni geopolitik Amerika Serikat dan melayani kartel bisnis-politik melalui REPELITA (lihat Haneman Samuel, 2010; Daniel Dhakidae, 2003).
Pertama, teknokratisasi keilmuan yaitu kecenderungan paradigma pendidikan (neo)liberal yang memandang problem sosial-ekonomi sebagai problem teknis semata. Yang sengaja diabaikan dalam paradigma ini pertanyaan etis-politis terhadap masalah ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial-budaya. Masih meneruskan paradigma pendidikan Orde Baru, kemiskinan kemudian dipandang sebagai problem kebudayaan, bukan akibat struktural pemiskinan melalui kebijakan atau defisit kebijakan. Perguruan tinggi dituntut menghasilkan solusi-solusi berlabel praktis, terukur dan berbasis data, yang di dalam parameter teknokratis ini dihilangkan pemeriksaan terhadap kepentingan ekonomi-politik dari oligarki kebijakan baik di tingkat global, nasional dan lokal.
Alih-alih menerjemahkan harapan Soedjatmoko tentang pendidikan nasional yang kosmopolitan dalam bukunya Menjadi Bangsa Terdidik (2010), teknokratisasi keilmuan dalam praktek pendidikan tinggi selama ini malah menjadi legitimasi akademis bagi produksi kebijakan oligarki sekaligus tanpa sadar melayani preskripsi pendidikan dari pengendali geopolitik pengetahuan-teknologi global. Di dalam praktek keilmuan ini berlangsung rutinisasi kultur kerja berbasis kepakaran atau ‘ekspertisme’ dengan produksi pengetahuan yang menghilangkan analisis hubungan antarisu, antarsektor, antarwilayah dan antargenerasi. Tanpa disadari mengemuka dua konsekuensi serius yakni pertama tidak terbangunnya politik pengetahuan akibat fragmentasi bidang keilmuan kendati sudah berusaha diselamatkan dengan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. Konsekuensi berikutnya dari produksi pengetahuan teknokratis ini, persoalan sosial dan ekonomi khususnya prekariasi yang dialami kelas menengah ke bawah dipandang sebagai masalah lokal dan bersifat individu dan tentu saja dalam prakteknya mengalami lokalisasi dan invidualisasi.
Akar masalah kedua adalah kecenderungan wacana akademik yang memandang negara sebagai aktor utama atau pusat pengaturan kesejahteraan dan ketertiban. Produksi wacana akademik akhirnya melayani kepentingan oligarki tentang negara maksimal, bahkan absolut, bahwa negara adalah produsen kemakmuran, kebahagiaan dan ketertiban dengan sejumlah dalil seperti krisis kesehatan dunia, disrupsi globalisasi, peningkatan daya saing dan percepatan infrastruktur. Konsekuensinya mudah terbaca, yakni kritik sosial dan kritik kebijakan diperlakukan sebagai produksi berita bohong, pemicu polarisasi sosial, dan bahkan dianggap penetrasi kepentingan asing-aseng. Kritik publik kemudian ditertibkan dengan resep moral ‘budaya ketimuran’, etiket sopan-santun dan juga kriminalisasi melalui hukum pidana.
Kedaruratan menjadi kata kunci yang selalu digunakan produsen kebijakan dan dilegitimasi secara akademik. Saintifikasi kedaruratan atau kebencanaan berlangsung dalam penelitian dan karya ilmiah dengan satu dalil yang dipaksakan yaitu hanya aktor-aktor negara yang punya kapasitas mengatasi ‘kedaruratan ekonomi’, ‘kedaruratan kesehatan’ dan kedaruratan lingkungan hidup’. Selain melayani kepentingan produsen kebijakan berpusat pada negara mengelola kedaruratan, penelitian akademik pun diarahkan untuk melayani publikasi internasional yang sebetulnya juga menggunakan matriks kedaruratan yang sama untuk kajian demokrasi politik dan pembangunan ekonomi. Singkatnya, melalui matriks ini berlangsung hegemonisasi-kolonisasi terhadap dunia akademik dari dalam dan luar negeri.
Akar masalah ketiga, hilangnya emansipasi dalam agenda penelitian dan pengabdian masyarakat. Produksi wacana akademik cenderung tidak digerakkan oleh pelibatan berkelanjutan dengan pergulatan sosial-ekonomi rakyat sebagai kekuatan produksi kesejahteraan. Penelitian dan advokasi kemasyarakat justru digerakkan secara akrobatik oleh suatu lompatan epistemologis yaitu berpihak kepada rakyat atau kelompok rentan yang telah dikonstruksikan dalam tata kelola kebijakan top-down berbasis paradigma kedaruratan.
Muncul fenomena paradoksal dalam kegiatan penelitian perguruan tinggi. Di satu sisi, para mahasiswa diarahkan melakukan penelitian ke akar rumput untuk keperluan mata kuliah, skripsi, dan tesis termasuk disertasi. Sementara di sisi lain, para akademisi kampus bekerja melayani kebutuhan justifikasi kebijakan melalui riset atau asistensi kebijakan dan evaluasi program pemerintah. Berlaku anggapan bahwa meneliti masyarakat tidak sepenting mengkaji tata kelola pemerintahan dan kebijakan. Tak terbantahkan lagi, perguruan tinggi semakin bergantung ke atas dan tidak berakar ke bawah sembari terbangun persepsi sesat di kalangan akademisi membantu rezim pemerintahan dianggap lebih prestisius, jalan tol karir dan mobilitas sosial-ekonomi.
Memulihkan kembali Tri Dharma
Mengingat perguruan tinggi melalui praktek keilmuan dan penelitian di atas berkontribusi terhadap pelemahan gerakan masyarakat sipil dan hegemonisasi kekuasaan elit (elite power), diperlukan kebangkitan kembali peran kampus sebagai penggerak demokratisasi dan simpul masyarakat sipil—sebagai kekuatan counter-hegemoni. Panggilan etis-politis tersebut dijawab dengan memulihkan kembali peran historis dan sosiologis dari Tri Dharma, tidak semata sebagai slogan kelembagaan menara gading tetapi sebagai pedoman aksiologi pendidikan keberpihakan untuk proyek dekolonisasi dan emansipasi berkelanjutan. Mendesak dipulihkan kembali aktivisme pergerakan kampus sebagaimana dicontohkan para pendiri negara sekaligus pelopor pendidikan tinggi seperti Sukarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara.
Pertama-tama harus dipastikan kembali bahwa kampus adalah arena pertarungan gagasan atau ruang belajar berdemokrasi dimulai dari kesetaraan relasi antara dosen dan mahasiswa termasuk relasi antara dosen lintas-generasi dan lintas-jabatan. Mengutip Sukarno dalam Menjadi Guru di Masa Kebangunan (DBR Jilid I), “hanya guru yang benar-benar Rasul Kebangunan dapat membawa anak ke dalam alam kebangungan”. Artinya kebebasan berpendapat tanpa intimidasi kelembagaan adalah pelajaran dasar membentuk kaum terdidik sebagai pelaku demokrasi dan pemimpin di berbagai bidang keahlian. Komitmen kampus sebagai arena pertarungan gagasan tentu mengirimkan sinyal demokrasi kepada elit kekuasaan bahwa kebebasan akademis tidak bisa dirampas, politik pengetahuan tidak bisa dibajak tentakel oligarki dan pesan terkini kepada rakyat bahwa kampus masih menjadi kekuatan etis-politis kebangsaan.
Dengan perannya sebagai arena berdemokrasi tentu berdampak pada metodologi politik keilmuan dalam pengajaran dan penelitian. Dalam rangka membentuk warga negara aktif dan pemimpin berakar pada gerakan masyarakat sipil, diusulkan tiga prinsip nilai untuk memperbaharui metodologi tersebut. Pertama, penelitian multi-disipliner berorientasi pada pemberdayaan politik kewarganegaraan. Kedua, membangun dan merawat tradisi kritik ideologi keilmuan di bidang keahlian masing-masing. Ketiga, melakukan konsolidasi mazhab kritis di dalam kampus dan lintas-kampus dengan perspektif keilmuan lintas-disipliner.
Panggilan etis-politis ini mendesak diwujudkan perguruan tinggi mengingat praktek berdemokrasi yang merayakan supremasi elit pasca Reformasi tidak terlepas dari relasi yang saling merusak antara pengetahuan dan kekuasaan. Kekuasaan mengebalkan dirinya menjadi selalu benar, baik dan tak bisa salah sementara pengetahuan melacurkan dirinya tanpa basis sosiologis dan refleksi historis. Masa depan demokrasi Indonesia tidak terpisahkan dari komitmen perguruan tinggi untuk tetap setia pada panggilan sejarah dan kenyataan sosial Indonesia hari ini yang sudah tersurat dalam paradigma Tri Dharma-nya sendiri.