Pluralisme dan Demokrasi: Menuju Politik Kewarganegaraan (2010)

Tulisan singkat ini memproblematisasi hubungan wacana identitas dan wacana kewarganegaraan. Dalam sejarah politik Indonesia, hubungan keduanya bersifat dilematis. Begitu pula postur dan dinamika politik dalam periode demokratisasi pasca Orde Baru menghadirkan kembali dilema tersebut yang ditandai oleh gejala otoritarianisme negara dan gejala multikulturalisme anti-demokrasi.

Menggunakan perspektif demokrasi radikal, tulisan ini berargumentasi bahwa pertama, kecenderungan politisasi identitas dan depolitisasi warga negara adalah bagian dari upaya mengisi fenomena dislokasi politik akibat ketegangan permanen antara kedua wacana tersebut; dan kedua, pilihan ke arah politisasi identitas dan depolitisasi warga negara ditentukan oleh pragmatisme politik sebagai jalan keluar dalam situasi darurat mengelola antagonisme identitas politik. Dua skenario historis tersebut membatalkan pembentukan warga negara demokratis dan mengawetkan nalar politik instrumental yang meloloskan oligarki dan komunitarianisme ke dalam panggung politik nasional dan politik lokal.

Tulisan ini diakhiri dengan mengusulkan perubahan cara kita memandang identitas dan politik. Usulan tersebut merupakan salah satu pintu masuk menggarap wacana warga negara demokratis dan merespon isu keadilan dan kesejahteraan melalui keagenan politik warga negara.

Dua Arena Perdebatan

Dalam penggunaan yang lasim pluralisme seringkali menjadi kata ganti multikulturalisme. Dalam tradisi berpikir demokrasi pluralis, pluralisme selalu mengandung arti kemajemukan ideologi politik sekaligus keragaman dalam menegaskan ideologi. Di dalamnya termasuk multtikulturalisme sebagai sebuah wacana khusus yang membahas perbedaan acuan normatif dan praktik budaya.

Terlepas dari itu, dalam konteks Indonesia, gejala ’pars pro toto’, multikulturalisme menjadi penjelas bagi pluralisme, tentu tidak sepenuhnya karena kekeliruan dalam pengguanaan dua terminologi ini tetapi sebagian terbesarnya disebabkan oleh warisan cara berpikir kedaulatan negara integralistik dan fakta historis pembilahan sosial-politik masyarakat berdasarkan agama, etnis, dan daerah dalam praktik politik yang terpelihara sejak revolusi kemerdekaan.

Sejarah politik kita telah menghasilkan semantik yang khas mengenai pluralisme politik, bahwa perbedaan identitas sosial-kultural yang ditoleransi pada level kehidupan berbangsa dibatasi ruang aktualisasinya dalam arena negara. Alhasil, kuatnya paham negara integralistik dan komunitarianisme politik membentuk cara kita memandang pluralisme sebagai protagonis wacana kebangsaan sekaligus antitesis wacana bernegara. Ketika pluralisme sama artinya dengan multikulturalisme, politik identitas selalu berarti identifikasi politik berdasarkan garis agama, etnis, daerah dan golongan. Politik pun dianggap telah tercemar elemen-elemen ‘non-politis’ yang harusnya beredar dalam domain privat individu dan kelompok.

Di Indonesia, proses berdemokrasi dalam satu dekade terakhir telah menimbulkan kekwatiran tersendiri di kalangan sarjanawan politik dan terutama gerakan pro-demokrasi. Salah satu fenomena paling gamblang dari perdebatan demokrasi saat ini adalah penguatan politik identitas dalam pertarungan dan perebutan kekuasaaan di berbagai daerah. Pilkadal dan Pemilu menjadi arena mobilisasi dan fragmentasi masyarakat yang menjadikan kedaerahan, etnisitas dan agama sebagai artikulator aspirasi dan kepentingan.

Konflik di antara para patron politik menyertakan koneksi simbolik yang tak habis-habisnya digarap untuk memastikan siapa dan kelompok identitas apa saja yang berhak menduduki ruang kekuasaan. Semakin sempit arena perebutan kekuasaan, terutama karena pemekaran provinsi dan kabupaten, semakin besar kemungkinan kelompok kepentingan menggunakan simbol-simbol sosial, kultural dan spasial (Klinken, 2007; Nordholt, 2004:42-47). Argumentasinya adalah kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan hanya bisa dicapai dengan memberikan perhatian kepada kelompok identitas, entah dalam artian majority rule atau dalam artian keadilan politik, misalnya, karena sekian lama telah dimarginalisasi.

Kritik terhadap ‘patologi’ politik identitas semakin digemari kalangan akademisi yang kecewa dengan praktik-praktik berdemokrasi selama ini. Demos (Willy Purna Samadhi, 2009; AE Priyono, 2007), misalnya, mengkaji bagaimana demokrasi selama ini dibajak para elit politik yang tidak punya pilihan lain selain memamerkan afiliasi dan konsolidasi elemen-elemen simbolis untuk mendapatkan kekuasaan. Bukannya menghancurkan kasta politik rejim birokratik-otoriter, demokratisasi memberi peluang dan arena konsolidasi elit. Melalui kajiann antropologi politik, Nordholt (2004:46) memperlihatkan bahwa praktik-praktik berdemokrasi justru menjadi cara efektif bagi patrimonialisme dan klientelisme dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Dalam berpolitik, keadatan dan kedaerahan menjadi penanda utama yang membenarkan apa yang dinamakannya ‘changing continuity’, yakni kesinambungan rejim-rejim lama produk kolonial dan Orde Baru dalam konteks politik yang telah berubah.

Selain dalam konteks politik lokal, wacana patologi identitas juga ditemukan dalam perdebatan mengenai menguatnya radikalisme agama dalam politik nasional. Agama dibaca berpotensi dijadikan kendaraan politik oleh sekelompok aliran atau aktor politik untuk mendefenisikan apa artinya menjadi Indonesia hari ini. Kelompok-kelompok ‘radikal’ Islam dinilai membahayakan dasar negara dan mengancam persatuan perbedaan yang sekian lama bermukim dalam penanda sakral bernama ‘bangsa Indonesia’. Yang hendak dibela oleh kelompok ‘pluralis’ adalah kondisi obyektif perbedaa sebagai modalitas sosial-kultural untuk perubahan melalui proses belajar bersama dalam konteks kehidupan berbangsa.

Sementara kelompok radikal sendiri-sepanjang kita menerima label ini—sebetulnya tidak begitu jelas mengartikulasikan gagasan mereka tentang negara bangsa selain imaji tentang orde politik teokrasi yang ditafsir dari Kitab Suci ataupun bersumber dari aliran-aliran tertentu dalam Islam. Di atas semuanya, yang paling menonjol adalah bagaimana kelompok pluralis berusaha mendefinisikan pentingnya pluralisme dengan kanon kebebasan, dan mendefinisikan kelompok-kelompok lain sebagai radikal, menentang kebebasan dan karena itu, anti-demokrasi (Eric Hearij, 2010:50-57).

Kekwatiran tentang bahaya gerakan ‘radikal’ Islam di Indonesia dalam satu dekade terakhir bukannya tanpa sebab-sebab domestik dan internasional. Dalam tulisan berjudul “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita”, Syafii Maarif (2009: 3-30), mendiskusikan problematik kehadiran gerakan semacam FPI dan MMI. Dua gerakan ini dianggap produk antagonisme dalam negeri dan bertujuan untuk menegakkan syari’ah Islam dalam kehidupan bernegara. Sementara PKS dianggap partai dakwah dengan artikulasi politik Islam yang lebih jelas meski tidak terbebas dari kompromi-komporomi politik dengan kekuatan-kekuatan politik nasionalis lainnya di tingkat nasional.

Di lain pihak, gerakan semacam HTI dibaca berdimensi transnasional dan sangat keras menyesalkan dicoretnya tujuh kata dari sila pertama Pancasila. Menurut Maarif, gerakan ini sangat berbahaya karena secara tersurat menegaskan bahwa absennya tujuh kata tersebut—‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’—menunjukkan betapa mayoritas umat Islam Indonesia dikategorikan ‘kafir, fasiq dan zalim’.

Dalam pembacaan serba cepat, bisa dikatakan bahwa tema utama perdebatan antara kelompok ‘pluralis’ dan kelompok ‘radikal’ adalah soal hubungan antara keislaman dan keindonesiaan. Tentu masing-masing kelompok bertolak dari argumentasi berbeda tentang bagaimana sebaiknya fundasi dan bangunan bangsa dan negara ini. Itulah sebabnya perdebatan ini segera melibatkan wacana nasionalisme sebagai arena penandaan yang mau tak mau mendorong negara menegaskan posisi dan sikap politik.

Sebagaimana kita ketahui, kelompok pluralis cenderung menghindari konfrontasi makna dengan kelompok radikal sembari meminta negara, dalam hal ini penegakan konstitusi dan hukum, untuk memproteksi kebebasan dari ancaman homogenisasi dan politik ekslusi dari kelompok radikal. Persis tersituasikan dalam kondisi tanpa dialog konstruktif antara dua kelompok ini, wajah negara bisa menjadi lebih beringas dengan kanon nasionalisme dari masa revolusi kemerdekaan.

Alih-alih demi penegakan hukum, negara tentu memiliki agenda sendiri seperti melebih-lebihkan paradigma kedaulatan negara dan penegakan hukum. Wacana terorisme dan counter-terorisme merupakan ilustrasi terbaik tentang ruang kosong yang dihasilkan dalam perdebatan tersebut dan negara hadir untuk mengisinya dengan artikulasi kedaulatan negara dan bahasa hukum perlindungan atas warga negara sebagaimana terbaca dalam UU No 13/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Lantas apa pelajaran yang bisa dipetik dari dua fenomena politik identitas yang disebutkan di atas baik level lokal maupun nasional?

Dalam dua sesi berikutnya, tulisan ini membaca problematik pluralisme dan demokrasi kita dalam perspektif demokrasi radikal. Berbeda dari cara pikir liberalisme, komunitarianisme dan republikanisme, perspektif demokrasi radikal memandang politik identitas komunitarian sebagai suatu bentuk artikulasi politik hegemonik yang justru disebabkan oleh belum berakarnya cara berpolitik yang demokratis. Fragmentasi politik berdasarkan identitas sosial, agama dan kedaerahan tidak terlepas dari absennya kelola antagonisme yang bersifat produktif bagi terbentuknya subyek-subyek warga negara (individu maupun kelompok) yang dapat bekerja sama dan menghasilkan imaji bersama tentang kehidupan bernegara dan berbangsa.

Dalam tradisi liberalisme politik, identitas cenderung dipahami sebagai ‘datum naturalis’ yang tinggal diartikulasi ke dalam politik model agregasi dan akomodasi. Sementara dalam tradisi berpikir demokrasi radikal, identitas merupakan produk kerentanan dan dilema dalam konteks antagonisme politik. Stabil atau labilnya identitas bergantung pada wacana yang mengkerangkai pertarungan politik, karena politik pada dasarnya bukan sekedar instrumen atau sarana, melainkan arena pembentukan identitas (Mouffe, 2005:8-12; 2000: 80-105; Laclau, 1992:83-90).

Dalam ulasan sesi ‘Fantasi Politik Identitas: Dilema Sejarah’ akan diproblematisasi gejala otoritarianisme negara dalam berurusan dengan politik identitas dan gejala multikulturalisme anti-demokrasi. Dua gejala ini tak terlepas dari fantasi komunitarian yang terbentuk dan terpelihara sejak revolusi kemerdekaan. Sementara dalam sesi ‘Momentum’, diargumentasikan bahwa konsep dan praktik kewarganegaraan demokratis dapat menjadi visi politik baru untuk mengisi ruang kosong dalam sejarah politik kita sekaligus mendorong politisasi isu keadilan ekonomi dan kesetaraan politik.

Konsep ‘friend/enemy’ dalam ruang politik kita perlu diganti dengan konsep dan praktik politik adversarial. Model demokrasi adversarial atau demokrasi radikal merangkul dan menfasilitasi identitas-identitas politik dengan imaji-imaji mereka yang saling bertabrakan ke dalam formulasi isu bersama yang konkrit seperti kemiskinan dan otoritarianisme negara. Tidak saja terbentuknya kewarganegaraan demokratis, nasionalisme kita pun dapat didorong keluar dari simbolisasi kedaulatan menjadi metafor yang efektif bagi percakapan politik yang permanen untuk mengatasi kemiskinan dalam negeri dan ketertinggalan bangsa ini di kancah internasional.

Fantasi Politik Identitas: Dilema Sejarah

Politik identitas bukanlah sepenuhnya kekhasan periode demokratisasi. Sejarah politik Indonesia secara keseluruhan adalah sejarah mobilisasi identitas sebagai artikulasi politik untuk membentuk dan mempertahankan negara-bangsa. Kontinuum historis nasionalisme kita ditandai dengan mobilisasi kreatif terhadap kebhinekaan dalam proyek menciptakan dan memelihara apa yang dinamakan ‘Indonesia’. Dalam arti itu, Indonesia sendiri perlu dibaca sebagai hasil kreativitas politik identifikasi, baik pada momen penciptaannya semasa revolusi kemerdekaan maupun dalam periode-periode selanjutnya dalam rangka mempertahankan keindonesian sebagai bangsa dan negara republik.

Lantas mengapa politik identitas kita itu dianggap fantasi? Bukankah nation-state building adalah proyek interpretasi dan aktivitas permanen yang tidak sekedar fantasi kolektif? Apa yang salah dengan fantasi bersama ini?

Sebagai konsep penjelas, fantasi membantu kita membaca bagaimana keindonesiaan terbentuk dan ditafsir dalam cara berbeda dalam periodisasi politik nasional kita. Peristiwa historis deklarasi kemerdekaan 1945 merupakan momen fantasi paling kreatif dan deklarasi itu sendiri menjadi formatif terhadap keindonesiaan. Kita tidak bisa berandai-andai bahwa Indonesia sudah ada sebelum peristiwa formatif ini. Peristiwa ini tidak saja menjelaskan fundasi yang terbangun secara politik tetapi juga kerentanan permanen dari keindonesian karena dihasilkan melalui logik penandaan dan penamaan.

Penamaan Indonesia pada masa itu tentu berlangsung dalam bingkai pemaknaan tentang ketertindasan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh kolonialisme. Kolonialisme menjadi musuh bersama karena dalam tafsiran politik masa itu, terutama melalui Sukarno, kolonialisme dengan makna penindasan terbentuk dalam kesadaran kolektif akan identitas sebagai sebuah bangsa.
Pada titik ini, baik nasionalisme dan kolonialisme bukanlah antagonisme mutlak. Kesadaran akan adanya kolonialisme merupakan momen produksi kesadaran akan nasionalisme. Tanpa itu tentu muskil membayangkan Indonesia, muskil menyatukan perbedaan untuk menamakan Indonesia sebagai bangsa dan membentuk negara. Fantasi kolektif ini bersifat produktif, sebuah utopia kreatif .

Analisis di atas menghantarkan kita pada ketegangan antara identitas (sebagai bagian dari bangsa) dan warga negara (sebagai bagian dari negara) yang berlangsung secara estafet dalam periodisasi rejim politik kita. Masyarakat Indonesia mulai membayangkan dirinya sebagai warga negara persis bersamaan dengan terbentuknya negara Indonesia. Kewarganegaraan mulai digarap sebagai agensi politik pasca kemerdekaan sebagaimana terumuskan dalam UUD 1945.

Di lain pihak, identitas keindonesiaan, yang digarap secara maraton sejak Sumpah Pemoeda 1928, menggumpal dalam penanda raksasa bernama ‘rakyat’. Melalui Sukarno dan tokoh-tokoh pembentuk nasionalisme, rakyat menjelmakan kekuatan kolektif dari berbagai kelompok identitas baik yang mengacu pada komunitarianisme etnis, agama dan daerah maupun yang mengacu pada gerakan berbasis golongan sosial dan ekonomi seperti komunisme dan sosialisme. Ini menunjukkan bahwa agensi dalam memperjuangkan kemerdekaan bukanlah hak sebagai warga negara melainkan identitas—identifikasi—sebagai bangsa yang ditindas dan dirampas haknya untuk berdiri di atas kaki sendiri . Dalam periode pasca kemerdekaan, barulah ketegangan antara identitas dan warga negara mengemuka dan membentuk kontur politik kita sampai hari ini.

Pekerjaan rumah yang diingatkan Sukarno—metafor di seberang jembatan emas—dalam cara lain dapat dibaca sebagai seruan untuk mentransformasi ‘rakyat’ menjadi ‘warga negara’. Akan tetapi percobaan kita dengan liberalisme politik dalam masa demokrasi parlementer 1950-an rupanya mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara. Setidaknya ini merupakan kecemasan kaum nasionalis dan militer yang diselesaikan Soekarno dengan dekrit 7 Juli 1959.

Ada anggapan yang kuat bahwa artikulasi politik berbasis kedaerahan dan keagamaan pada masa itu mengancam ‘kesaktian’ Pancasila yang justru merupakan manifestasi dari perbedaan tersebut. Isu sentralisme pusat dan ketidakadilan ekonomi mendorong pemberontakan di daearah-daerah sementara Sukarno yang terbiasa mengelola antagonisme identitas kehabisan akal dan membuat keputusan formatif kembali kepada kedaulatan negara dengan instruksi akrobatik kembali ke UUD 1945 (Benedict Anderson, 1990: 99-109). Dengan datangnya periode Demokrasi Terpimpin, dilema identitas dan warga negara diselesaikan melalui jalan pintas: Nasakom. Jalan pintas ini adalah arus balik ke masa revolusi kemerdekaan dengan tekanan pada pengakauan akan identitas komunitarian.

Nasakom bukan semata-mata kreasi Sukarno. Nasakom merefleksikan antagonisme identitas pasca kemerdekaan. Menyadari fakta politik bahwa bangsa-negara Indonesia tak dapat bertahan tanpa musuh bersama, akronim ini menyiratkan pengakuan negara akan tiga kekuatan utama revolusi kemerdekaan sekaligus bahwa triparti ini, yang masing-masing adalah fantasi komunitarianisme, haruslah dipersatukan kembali dengan menghadirkan musuh bersama sebagaimana ditunjukkan mobilisasi ‘Ganyang Malaysia’ atau pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda.

Yang hendak ditekan di sini adalah persatuan dan mobilisiasi tersebut pada prinsipnya lebih didorong oleh sentimen identitas sebagai bangsa yang merasa terancam oleh invasi asing, sebagai mitos yang diperlukan agar kita melupakan persoalan nyata kegagalan bernegara seperti kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi dalam negeri sendiri. Tentu dalam jangka pendek, persatuan tampak nyata dalam propaganda dan pengerahan massa sementara dinamika antagonisme kekuatan politik identitas terus menggerogoti bangunan kekuasaan Sukarno.

Pilihan politik Sukarno yang terartikulasi melalui Nasakom menuai akibat yang tak terbantahkan dalam sejarah politik kita, yakni konfrontasi internal antar 3 kekuatan tersebut dan menghantar kita ke periode fantasi tentang pentingnya supremasi negara dan pembentukan warga negara teknoratis.

Selama periode Orde Baru, transformasi identitas menjadi warga negara berlangsung dalam kerangka kerja negara birokrasi yang berpretensi bisa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Trauma historis dengan pengalaman bernegara sebelumnnya, diterjemahkan rejim militer-birokratik sebagai alasan untuk melakukan intervensi sentralistik dan dibangun di atas anggapan bahwa yang dibutuhkan masyarakat adalah semata-mata perut kenyang dan dan tidur lelap.

Dalam periode ini, masyarakat, individu maupun sebagai kelompok, diajarkan dengan penanda-penanda yang melayani kedaulatan negara dan kapasitas negara melindungi warga negara. Keamanan dan ketertiban umum menjadi artikulasi bagaimana kelompok identitas harus bersikap dan berlaku di ruang publik. Politik harus dibersihkan dari penetrasi identitas dan dikucilkan dari percakapan politik. SARA adalah ilustrasi terbaik tentang bagaimana dalam periode ini problematik hubungan identitas dan warga negara diselesaikan dengan mengubah politisasi identitas menjadi de-politisasi warga negara. Terminologi rakyat dipergunakan secara massif sebagaimana masyarakat dimobilisasi ke dalam proyek developmentalisme sebagai rakyat tanpa agensi politik.

Kendati demikian, terdapat perbedaan pemaknaan dan penggunaan terminologi rakyat dalam periode revolusi kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno dan periode Orde Baru di bawah rejim militer-birokratik Orde Baru Suharto. Tersituasikan dalam wacana internasional anti-kolonialisme, rakyat memiliki agensi politis yang kuat sebagai artikulator proyek pembentukan negara-bangsa. Begitu pula pada periode formatif selanjutnya selama Orde Lama, rakyat kembali menjadi artikulator proyek re-posisi negara-bangsa dalam konteks ketegangan bipolar Perang Dingin.

Meskipun transformasi kewarganegaraan menjadi terhambat terutama karena antagonisme internal dan kebutuhan merespon dinamika politik regional dan internasional, rakyat dalam semantik politik Orde Lama mengandung arti keaktifan politik dan tanggung jawab etis terhadap res publica. Kita masih menyaksikan kontestasi pemaknaan terhadap negara dan bangsa melalui artikulasi identitas.

Memakai perpektif Laclau dalam On Populist Reason (2005: 93-100) tentang konstruksi ‘people’, imaji tentang keindonesiaan yang adil dan makmur dimungkinkan oleh peran semantik dan performatif dari ‘rakyat’ sebagai simpul yang mengikat perbedaan dalam merumuskan dan menghadapi musuh bersama. Rakyat dalam pengertian ini sama artinya dengan ‘plebs’, yakni rakyat yang menyadari kondisi ketertindasan dan ketidakadilan yang disebabkan struktur relasi kuasa dan kekuatan kolonial yang berbiak di atasnya.

Deprivasi politik terhadap rakyat barulah berlangsung secara sistematis dalam formula Negara Karya versi Orde Baru (Daniel Dhakidae, 2003: 193-258). Manusia Indonesia Orde Lama yang kerempeng dan tidak disiplin haruslah dibikin berkecukupan dan patuh pada aturan dan hukum. Manusia baru dalam orde yang baru dibayangkan sebagai kumpulan populasi yang diregister secara teknoratis dan dituntun oleh moral developmentalisme.

Rakyat menjadi obyek kontrol dan intervensi. Mulai dari etiket berbicara sampai jam tidur malam pun diatur karena keseragaman ruang dan waktu menjadi penting bagi terbentuknya tatanan baru, masyarakat baru, dan manusia baru. Dengan beroperasinya wacana developmentalisme, rakyat direduksi sedemikian rupa sampai pada tingkat semata-mata berurusan dengan apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai kondisi ‘bare life’, memanusiakan manusia dengan cara mengembalikannya pada status dan kebutuhannya sebagai makhluk hidup semata (Agamben 1995:3-8).

Bukan lagi politik sebagai panglima, melainkan hukum yang berfungsi sebagai penataan perbedaan dan artikulasi isu keadilan dan kesetaraan. Kewarganegaraan tidak lebih dari status hukum untuk mendapatkan kemurahan hati negara. Menurut Agamben, hal ini hanya mungkin terjadi dalam kondisi ‘state of exception’: legitimasi negara dimungkinkan oleh kapasitasnya menciptakan dan melampaui hukum.

Dua Kecenderungan

Pasang surut hubungan identitas dan warga negara sebagai dua artikulator isu keadilan dan kesetaraan dalam sejarah politik negeri ini menghadirkan ke dalam periode demokratisasi hari ini dua kecenderungan yang relatif sama kuat: otoritarianisme negara dan multikulturalisme anti-demokrasi.

Sebagaimana dikemukan dalam analisis di atas, gejala otoritarianisme negara tidak seluruhnya bersumber dari regim militer-birokratik Orde Baru, melainkan dikondisikan oleh dilema kontestasi antara politik identitas dan politik kewarganegaraan yang selalu saja dicarikan jalan keluarnya melalui political exit baik melalui jurusan politisasi identitas pada masa revolusi kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Orde Lama maupun melalui jurusan de-politisasi identitas plus de-politisasi warga negara dalam kurun waktu tiga dekade rejim Orde Baru.

Demokratisasi sepuluh tahun terakhir membuka arena baru bagi artikulasi politik identitas meski tetap tertawan dalam godaan untuk merebut dan berbagi kekuasaan. Janji-janji palsu diucapkan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak saja mengembalikan daulat politik pada warga negara tetapi juga menjamin pemenuhan aspirasi akan keadilan dan pemerataan kesajahteraan. Sebagaimana disampaikan dalam bagian awal tulisan ini, kekecewaan terasa semakin mendalam di kalangan gerakan pro-demokrasi yang berusaha menamakan gejala otoritarianisme negara ini dengan istilah sarat sensasi akrobatik seperti konsolidasi oligarki, pembajakan demokrasi, demorasi di atas pasir, ataupun kesinambungan yang berubah (Robinson, 2004; Samadhi, 2009).

Dalam formulasi berbeda tulisan ini berargumentasi bahwa pergumulan kita dengan kekuasaan melalui semantik kebebasan ‘berdemokrasi’ masih saja berkutat pada wacana ‘freedom from’. Energi rejim berkuasa selalu saja dihabiskan untuk mewaspadai resistensi dari kekuatan-kekuatan politik identitas yang sewaktu-waktu dianggap dapat menjatuhkan kekuasaannya, sementara gerakan-gerakan politik identitas bermunculan untuk memperjuangkan kebebasan politik dari dominasi negara sembari bekerja keras merebut otoritas politik.

Karena itulah daya penjelas dari perspektif politik institusionalis dan behavioralis sebatas menangkap personifikasi kekuasaan dan tak bisa memperlebar ruang pemeriksaan terhadap wacana-wacana politik yang membentuk paradoks manusia dan politik Indonesia yang membiarkan dirinya terus bergayut di antara utopia demokrasi yang menguras energi kolektif atau distopia otoritarianisme yang dianggap dapat mengakhiri ketidakpastian demokratisasi.

Gejala otoritarianisme, atau populisme yang mengarah ke perilaku otoritarian negara, hanya mungkin berlangsung dalam pengalaman dislokasi identitas sebagai bagian dari bangsa dan bagian dari negara. Gejala ini pun bukan hanya privelese rejim berkuasa tetapi juga simptom dari upaya menggarap kesejahteraan dan kesetaraan dengan artikulasi kerakyatan yang justru dalam praktiknya membatalkan proyek emansipasi identitas dari hegemoni birokrasi, aristokrasi dan teokrasi.

Inilah pekerjaan rumah yang ditunda Orde Lama dan dianggap tak penting oleh Orde Baru yang membuat tidak hanya sakitnya melahirkan demokrasi tetapi juga sangat mahalnya proyek transformasi identitas menjadi warga negara demokratis yang radikal.

Gejala kedua yang tak kalah merisaukan adalah multikulturalisme anti-demokrasi. Menarik bahwa wacana multikulturalisme mendapatkan alasan dan artikulasinya dalam periode demokratisasi. Sebagai wacana, multikulturalisme tampaknya bersumber dari dua arah, pertama narasi ideografis tentang Orde Baru yang menindas aktualisasi perbedaan identitas dan kedua, percikan governmentalitas liberal yang berusaha mengatur interaksi identitas ke dalam domain privat.

Narasi ideografis atas Orde Baru yang dikembangkan selama periode reformasi mendorong kita menggagas sebuah orde di mana perbedaan identitas perlu dijamin dan negara tidak boleh mencampuri urusan kehidupan budaya, kedaerahan dan keagamaan masyarakat. Negara diwajibkan untuk menegakkan hukum yang menjamin kebebasan bagi aktualisasi perbedaan identitas. Bahkan di kalangan ilmuwan sosial sendiri telah mengemuka paradigma baru yang memandang multikulturalisme sebagai alternatif mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sapardi Suparlan (2004:1-15) misalnya mengusulkan konsep masyarakat majemuk diganti dengan konsep multikulturalisme. Menurutnya, konflik-konflik kekerasan yang terjadi pasca-reformasi kurang lebih karena masih kuatnya negara dan masyarakat menganut paham ‘plural society’, yakni pandangan tentang perbedaan sebagai kondisi obyektif tetapi tidak menjadikan perbedaan sebagai kekuatan bersama dalam proses demokratisasi. Multikulturalisme dianggap dapat memperkuat pembangunan negara bangsa apabila dihubungkan dengan demokrasi terutama karena melalui demokrasi penghormatan dan penegakan kesederajatan hak-hak warga negara secara individual maupun kelompok berlangsung melalui politik perwakilan atau representasi politik.

Dalam pembacaan kita, multikulturalisme yang dibangun dalam semangat negasi atas Orde Baru dan dihubungkan dengan ‘demokrasi’ selama ini masih menyimpan masalah serius. Menghubungkan multikulturalisme dan kebebasan tentu tidak banyak membantu mengatasi ketegangan identitas dan warga negara yang merupakan warisan sejarah politik kita.

Pengalaman berdemokrasi satu dekade terakhir justru memperlihatkan efek-efek diskursif dari praktik politik yang menghubungkan multikulturalisme dan demokrasi secara tambal sulam. Sebagaimana akan diargumentasikan di sesi terkahir tulisan ini, yang berkembang belakangan ini bukanlah demokrasi adversarial melainkan liberalisme politik yang belum sanggup mengelola dan mentransformasi identitas politik menjadi identitas politik baru (baca warga negara demokratis) dengan fantasi baru tentang kesejahteraan bersama sebagai manusia Indonesia.

Justru yang terjadi adalah logik eksklusi yang dimainkan kelompok identitas dalam arena politik dan wacana representasi kita sarat dengan apa yang disebut Hannah Pitkin dengan representasi simbolik dan deskriptif (1967:61-91). Menguatnya kecenderungan ini tidak saja karena defisit demokrasi dan belum maksimalnya pendalaman demokrasi, tetapi lebih banyak disebabkan sesat pikir kita sendiri tentang tujuan demokrasi untuk melindungi kebebasan, bukannya momentum memanfaatkan kebebasan untuk merumuskan identitas bersama dan kepentingan bersama sebagai warga negara.

Multikulturalisme anti-demokrasi dalam satu dekade terakhir juga disebabkan oleh penetrasi govermentalitas libera. Yaitu suatu model rasionalitas nilai dan aksiologi yang berkembang secara global bahwa identitas, misalnya identitas agama dan etnisitas, bersifat non-politis dan karena itu ruang aktualisasinya berada dalam ‘masyarakat sipil’ (Wendy Larner,2004:1-7; Foucault,1991:87-104). Cara berpikir ini, tentu didukung sejumlah ekponennya di Indonesia, sebetulnya mau mengajarkan kita bahwa hanya pasar dan negara yang berwewenang mengatur politik, termasuk distribusi dan alokasi sumber daya ekonomi.

Masyarakat diandaikan tidak lebih dari kumpulan populasi dengan status hukum sebagai warga negara tanpa agensi politik. Warga negara, yang juga adalah kelompok identitas dalam ruang baru itu (masyarakat sipil), tidak lebih dari konsumen dengan daftar kebutuhan hidup yang akan dipenuhi negara dan pasar. Berkembang pesat dalam periode triumpalisme neo-liberal pasca Perang Dingin dan didukung tesis politik Clash of Civilization, identitas menjadi perkara politik yang harus segera diselesaikan dengan memberinya ruang aktualisasi dalam ranah yang dianggap non-politis. Dalam ruang terbatas itu, kelompok identitas hanya berurusan dengan moralitas dan tetek bengek etika publik, yang tidak lebih dari pada urusan bagaimana menata perbedaan mereka sendiri. Hukum menjadi panglima dan demokrasi ditafsir sekedar soal sopan santun menyampaikan aspirasi.

Barangkali tak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam periode berdemokrasi selama ini, orang-orang Indonesia menyadari atau dibuat sadar bahwa mereka berbeda identitas satu sama lain. Sebagai Muslim dan Kristen, atau orang Jawa dan Papua, misalnya, berubah dari kategori deskriptif menjadi kategori penandaan yang bersifat politis dalam mengakses otoritas politik dan sumber daya. Ini dibaca sebagai efek diskursif dari pelembagaan perbedaan dalam ruang sempit masyarakat sipil yang tentu tak bisa sepenuhnya menjinakkan artikulasi identitas untuk isu keadilan dan kesetaraan.

Yang jadi soal adalah resistensi ini pun terartikulasi melalui penanda-penanda yang tak demokratis seperti slogan putra daerah atau pribumi/ pendatang. Justru ketika identitas dicopot agensi politiknya oleh governmentalitas liberal, gejala komunitarianisme menguat dari waktu ke waktu dan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ini pun hanya mungkin terjadi dalam kekosongan konsep dan praktik kewarganegaraan demokratis di mana tak tersedia alternatif lain. Cara mudah adalah kembali ke dalam fantasi lama.

Mengenai gejala komunitarianisme politik, Armatya Sen (2006:156) menamakan efek diskursif ini sebagai percikan logis dari ‘plural-monoculturalism’. Masyarakat disadarkan bahwa mereka berbeda-beda dan karena itu, agar perbedaan tidak menimbulkan kekerasan maka setiap perbedaan (partikularitas) harus diberi habitat sendiri, dilembagakan, dan dipisahkan dari kelompok identitas lain. Pelembagaan komunitarianisme lalu berkembang biak mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Partai Politik. Kesadaran kita tidak lebih dari kesadaran tentang diri dan kelompok sendiri, sambil bersikap waspada dengan penuh prasangka terhadap orang lain dan kelompoknya.

Terjebak situasi semacam ini, situasi di mana kewarganegaraan kita sebatas status hukum, negara menjadi dominan tempat kita mencari perlindungan dan hukum berbicara atas nama keadilan dan kesetaraan yang tak sempat kita rumuskan bersama. Dalam konteks Indonesia hari ini, baik elit politik maupun kalangan terpelajar hanya bisa mencari inspirasi dengan kembali ke nasionalisme lama-antikolonialisme atau kepada tokoh-tokoh nasional-pendiri negara bangsa. Tentu dalam kondisi mono-multikulturalisme, keindonesiaan menjadi terancam karena perbauran kreatif dalam politik representasi berkutat soal identitas dan identifikasi komunitarian dengan resiko mengulang kembali sejarah lama termasuk berulangnya kekerasan politik komunal.

Momentum

Diskusi di atas menempatkan kita pada posisi untuk segera memikirkan pentingnya mengelola dilema antara identitas dan warga negara. Demokratisasi satu dekade terakhir menghadirkan sejumlah tantangan. Sebagian terbesar dari tantangan tersebut bersumber dari pilihan-pilihan politik nasional yang cenderung bergerak dalam dua ekstrim: politisasi identitas dan depolitisasi warga negara. Perdebatan soal ‘radikalisme’ politik Islam maupun ‘patologi’ politik lokal pasca 1998 menjadi ilustrasi atau efek diskursif dari dilema historis tersebut. Mengikuti tesis Anderson dalam Imagined Community (1983; 1990:95-96), kelompok identitas cenderung bergerak ke dalam politik melalui paradigma partisipasi, sementara kelompok warga negara bertolak dari paradigma representasi.

Tentu kontestasi ini tak bisa diakhiri dan memang tak perlu diakhiri. Yang patut dikerjakan adalah mengisi dan menggarap ruang kosong yang ditinggalkan oleh proyek pembangunan negara-bangsa selama ini, yakni membentuk dan menghadirkan warga negara yang demokratis, manusia Indonesia baru dengan posisi dan artikulasi politik berbasis kepentingan bersama tanpa harus meninggalkan partikularitas identitas masing-masing.

Bagaimana proyek politik semacam ini bisa dibayangkan? Tulisan ini mengusulkan dua agenda mendesak, yakni, mengubah epistemologi identitas dan epistemologi politik warisan sejarah kita sendiri.

Hidup dalam antagonisme identitas selama hampir separuh abad tentu membentuk cara pandang khas, baik yang dianut masyarakat maupun negara, bahwa identitas itu harga mati, semacam properti yang harus diproteksi dan dijaga kemurniaannya. Tekanan yang berlebihan pada kemajemukan ataupun kritik permanen terhadap kontrol negara atas perbedaan, seringkali dibangun di atas cara pandang ini

Dari waktu ke waktu dan di berbagai arena kita diajarkan mengenai pentingnya menghargai perbedaan, menghormati ketaksamaan, tanpa didorong mencari tahu seberapa jauh kita benar-benar berbeda. Kesempatan untuk melihat kesamaan dalam perbedaan dibatasi sampai pada titik di mana kita sekedar setara sebagai warga negara dengan status hukum. Kesadaran tentang kesamaan ditemukan dalam hukum sementara politik sehari-hari merayakan perbedaan identitas dalam gegap gempita multikulturalisme.

Akibatnya pun seringkali berulang dalam drama penegakan hukum yang tak lain merefleksikan judisialisasi politik. Kegagalan dan ketidaksanggupan kita mengelola perbedaan secara politik diserahkan menjadi urusan penegakan aturan main dengan sejumlah hak sipil dan hak politik yang bersifat afirmatif ketimbang hasil perjuangan bersama di kalangan kelompok identitas. Dalam hukum, sebagai cerminan otoritas negara, kita berkomitmen untuk menghargai perbedaan, sementara dalam politik, yakni proses merumuskan kesejahteraan dan kesetaraan otentik, kita terbelah berkeping-keping dalam identifikasi deskriptif dan simbolik.

Dalam cara baca demokrasi radikal (Mouffe, 1996: 245-248), anggapan bahwa identitas itu esensial dan murni terbukti tidak banyak menolong suatu masyarakat majemuk untuk membentuk tatanan sosial dan bangunan politik yang bergerak ke arah pemenuhan kepentingan bersama. Esensialisme identitas adalah karakteristik sebuah masyarakat yang tidak diajarkan melihat kesamaan kepentingan tetapi berkutat pada perebutan kekuasaan. Kepuasaan terbesar dari esensialisme identitas adalah menjadi berkuasa untuk membenarkan bahwa klaim kebenaran yang dianutnya itu superior dan patut menjadi kerangka moral dan etis bagi kelompok identitas lain.

Dalam prakteknya, politik identitas berbasis esensialisme bekerja dengan logik ekslusi atau peniadaan terhadap kelompok lain. Orang lain dan kelompoknya dianggap musuh yang eksistensinya harus ditiadakan, dilebur atau tunduk kepada kerangka normatif atau preskripsi ideologis kelompoknya sendiri. Terjebak dalam situasi semacam ini, kewarganegaraan menjadi ironi masyarakat majemuk sementara negara mendapat legitimasi dan kesempatan untuk menjadi otoriter. Bisa dibayangkan betapa besar kerugian yang ditanggung sebuah bangsa-negara ketika otoritas politik lebih banyak menguras habis pikiran dan tenaga untuk membuat legislasi menyangkut pengaturan perbedaan identitas, rekonsiliasi, dan koalisi kekuatan politik berbasis identitas.

Dengan menolak esensialisme identitas, terbuka kemungkinan bagi setiap orang dan kelompoknya untuk dua hal berikut. Pertama, dalam kehidupan bermasyarakat, perbedaan atau kondisi keterbedaan bersifat membentuk kesadaran seseorang tentang identitasnya. Identitas lain diterima sebagai ‘constitutive outside’ yang tanpa hal tersebut seseorang atau kelompok tak dapat membayangkan dan menyadari eksistensi diri dan kelompoknya sebagai berbeda dari yang lain (Laclau, 2005:157-171).

Kedua, berbekal kesadaran akan peran formatif dari identitas lain tersebut, pintu menuju kerja sama, dialog dan perdebatan terbuka lebar dan ruang pertarungan serta imajinasi politik menjadi sangat berbeda. Kita memasuki gelangang politik untuk urusan publik dengan disposisi baru bahwa meski identitas berbeda, kita berbagi kepentingan yang sama terkait keadilan dan kesetaraan ekonomi.

Untuk urusan publik, perbedaan kita adalah perbedaan kepentingan berbasis kerja (labor) dan modal (capital). Tugas negara adalah menfasilitasi proses pertarungan dua kekuatan masyarakat modern ini. Ketika kategorisasi kekuatan politik bertumpu pada dua penanda raksasa ini, isu eksploitasi ekonomi dan previlese akses kepemilikan alat produksi dan relasi produksi bisa diartikulasikan secara tegas.

Urgensinya jelas, yakni menggantikan politisasi identitas dengan politisasi labor-power karena, sebagaimana pengalaman negara-negara demokratis, dapat membuat politik berorientasi pada kesejahteraan warga negara ketimbang bersibuk dengan drama perebutan dan pembagian kekuasaan semata. Ini mengandung arti bahwa perjuangan untuk kesejahteraan perlu dimulai oleh warga negaranya sendiri, baik secara individual maupun melalui asosiasi, untuk menggantikan model artikulasi politik berbasis identity-power menjadi labor-capital power.

Dalam formula ini, logik esklusi dan inklusi tidak lagi beredar dalam skenario politik identitas melainkan bergeser ke dalam skenario pertarungan kepentingan yang konkrit. Blok-blok politik identitas komunitarian yang selama ini menjadi santapan utama oligarki dan plutokrasi melebur ke dalam gerakan politik baru yang menghimpun berbagai kelompok kepentingan yang berbeda.

Jalan ke arah politik berbasis kepentingan bisa saja terjal dan berliku, tetapi alasan kita menempuhnya tak bisa digadai dengan pragmatisme elit politik. Kemiskinan dan gejala otoritarianisme tak bisa dipecahkan oleh politik identitas terutama karena, sebagaimana diargumentasikan dalam tulisan ini, drama historis politik identitas kita sendiri yang melahirkan korporatisme negara dan menjadikan kemiskinan sebagai semata-mata urusan pemerintah.

Agenda berikut yang sama mendesaknya adalah mengubah epistemologi politik. Dari sejumlah warisan buruk Orde Baru, cara memandang politik sebagai instrumen atau mekanisme merupakan warisan ideologis yang paling sulit disingkirkan dari nalar kolektif kita. Korporatisme negara versi Orde Baru mengajarkan kita bahwa politik itu urusan pemerintah dan kemajuan ekonomi bisa dicapai dengan cara kerja teknokrasi.

Kaum teknorat yang juga adalah politisi tanpa legitimasi itu yang paling tahu kebutuhan warga negara dan punya resep mujarab untuk menciptakan kemakmuran bagi semua lapisan masyarakat. Jalur-jalur artikulasi ‘dari bawah’ dibentuk ‘dari atas’ karena belajar dari sejarah Orde Lama ‘rakyat’ dianggap tak bisa dipercaya merumuskan kepentingannya sendiri. Politik kemudian diartikan semata-mata urusan pemerintah membuat kebijakan untuk rakyat. Dalam formula ini, warga negara berada di luar arena politik dan tinggal menikmati hasil-hasil karya pembangunan oleh rejim birokrasi-teknokrasi.

Dalam periode demokratisasi satu dekade terakhir, implikasi cara berpikir teknoratis di atas berjalan dalam rute yang berbeda. Alih-alih mereformasi birokrasi dan teknokrasi, mobiliasi warga negara ke dalam arena politik dalam prakteknya justru berlangsung dalam skenario politik identitas yang sarat antagonisme komunitarian. Peluang pragmatisme elit menjadi terbuka kembali dan politik pun dipahami sebagai urusan pemerintah dan dewan perwakilan. Dalam situasi ini, hal paling gampang yang bisa diperdebatkan dalam politik adalah urusan identitas dan pembagian kekuasaan karena pada dasarnya tak ada lagi bahan lain yang bisa diperdebatkan.

Dipilih berdasarkan konstituensi komunitarian, elit politik cenderung mendiskusikan dua hal; pertama, nasib politik dirinya atau partai politiknya sendiri, dan berikutnya, nasib rakyat dalam formulasi yang abstrak. Rakyat yang dibicarakanya adalah hasil abstraksinya, bukan intisari kekuatan riil politik yang diwakili dirinya maupun partai politik. Konsekuensi dari kondisi ini sulit dibantah bahwa warga negara sebagai konstituen diperlukan semata-mata dalam proses elektoral dengan pencitraan etnis, agama dan daerah yang kental, sementara dalam membuat kebijakan warga negara tak hadir dalam wujudnya yang konkrit dengan kepentingan dan aspirasi.

Agar dilema identitas dan warga negara bisa dikelola secara demokratis, diperlukan cara pandang berbeda mengenai politik. Dalam tradisi berpikir demokrasi radikal, politik dipahami sebagai momen formasi identitas berbasis kepentingan yang konkrit.

Radikalitas politik bukanlah penjelasan mengenai militansi warga negara dan elit untuk memperjuangkan dan membela kelompok identitas komunitariannya sendiri melainkan keterbukaan sikap dan tindakan terhadap pembaharuan dan perbauran cita-cita untuk mengusahakan kepentingan dan kebaikan bersama. Politik tidak semata-mata jalan menuju kekuasaan, tetapi terpenting adalah sebagai arena pembentukan identitas bersama tanpa meninggalkan partikularitas masing-masing kelompok kepentingan.

Mimpi tentang negara-bangsa Indonesia yang makmur dan adil tak bisa direalisasikan dengan epistemologi politik yang bersifat instrumental. Nalar politik instrumental hanya berujung pada dua fenomena secara simultan, yakni rejim otoriter-teknoratis dan masyarakat komunal-sektarian.

Di lain pihak, epistemologi politik radikal menganjurkan kita terlibat dalam politik sebagai momen percakapan antar partikularitas untuk mencari bentuk baru dan merumuskan substansi bersama, baik untuk menata perbedaan identitas maupun mendorong transformasi perbedaan itu menjadi kekuatan demokratis untuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Pandangan ini membuat politik menjadi produktif, membentuk subyek warga negara demokratis, dan menerjemahkan kedaulatan rakyat dalam aksi politik untuk kesetaraan dan keadilan ekonomi.

(Frans Djalong, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Oktober, Tahun IV, 2010 Depkoinfo RI)

Referensi

Agamben, Giorgio (1995) State of Execption. Bab 1 “State of Exception as Paradigm of Government”. Chicago: Chicago University Press. :1-31

Anderson, Benedict (1990) Language and Power: Exploring Political Cultures in Indoenesia. Bab 3 “Old State, New Society”: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”. Ithaca: Cornell University Press. Hal 99-109
________ (1983) Imagined Community: Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism. London: Verso .

Daniel Dhakidae (2003) Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Bab 3 “Orde Baru dan Rezim Neo-Fasisme Militer”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 193-258

Hiariej Eric (2010) “Pluralisme, Politik Identitas, dan Krisis Identitas”, dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean (editor) Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi-Yayasan Wakaf Paramadina. Hal 50-57

Foucault, Michel (1991) “Governmentality”, dalam Graham Burchell (eds) The Foucault Effect. London: Harvester Wheatsheaf. Hal 87-104

Klinken, van Gerry (2007) Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITVL-Jakarta, Obor Indonesia

Laclau, Ernesto (2005) On Populist Reason. Bab 2 “Constructing ‘the people’”. London: Verso. Hal 93-100, 157-171
______ (1992) “Universalism, Particularism and the question of Identity”, dalam October, vol.61, the Identity in Question. (Summer, 1992). hal 83-90
Larner Wendy (2004) Global Governmentality:Governing International Space. London:Routledge. Hal 1-7

Maarif, Ahmad Syafii (2010) ‘Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia’, dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Rizal Panggabean (editor) Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi-Yayasan Wakaf Paramadina. Hal 3-30

Mouffe, Chantal (2005) On the Political. Bab 2 “Politics and the Political”. London: Routledge. Hal 8-19
______ (2000) The Democratic Paradox. Bab 4 “For an Agonistic Model of Democracy”. London Verso. Hal 80-105
______ (1996) “Democracy, Power and the ‘Political’”, dalam Seyla Benhabib (ed) Democracy and Difference: Contesting the Boundries of the Political. Princenton: Princenton University Press. Hal 245-248

Nordholt, Henk Schulte (2004) “Decentralization in Indonesia: Less State, More Democracy?”, dalam John Harris (eds) Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization. New York: Palgrave Macmillan. Hal 42-47
Parsudi Suparlan (2004) “Masyarakat Majemuk Indonesia dan Multikulturalisme”, dalam Jurnal Nasion, Vol 1 No 2 Desember 2004. Hal 1-15

Pitkin, Hannah (1967) The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press. Hal 69-91

Priyono, AE (2007) Making Democracy Meaningful:Problems and Options in Indonesia. Yogyakarta: PCD Press

Robinson, Richard dan Vedi Hadiz (2004) Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge
Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw (2009) Demokrasi di Atas Pasir. Yogyakarta, PCD Press
Sen, Armatya (2006) Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Bab 2 “Making Sense of Identity”. London: Penguin. Hal 10-39