Tulisan ini membahas secara singkat hubungan antara politik identitas dan populisme elektoral dalam Pemilu 2019. Argumen utama adalah bahwa eskalasi politik identitas menjadi populisme elektoral merupakan kreasi politik oligarki nasional sebagai taktik elektoral di tengah defisit kerja representasi partai politik selama lima tahun sebelumnya dan tidak tersedianya gerakan politik kewarganegaraan berbasis kelompok kepentingan.
Dalam rangka memperkuat praktek demokrasi pasca pemilu-pilpres tulisan ini menekankan pentingnya transformasi politik populisme elektoral dalam rangka konsolidasi kekuatan demokrasi dalam negeri dan mengantisipasi penetrasi geopolitik dunia terkonsentrasi di Asia satu dekade mendatang.
Tanpa adanya transformasi populisme elektoral berbasis identitas akan sangat beresiko bagi masa depan demokrasi Indonesia di tengah pergeseran geopolitik multipolar sebagaimana pengalaman terkini negara-negara di Timur Tengah dan Eropa Timur, serta kisruh politik berkelanjutan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan sejumlah negara di Amerika Latin. Pengalaman politik dalam negeri dan pengalaman negara-negara lain merupakan pembelajaran berharga untuk politik Indonesia pasca Pemilu 2019.
Kata Kunci: demokrasi, populisme, oligarki, identitas, geopolitik , Pemilu 2019
Joko Widodo dan Prabowo, Debat Perdana Pilpres 2019, dua sosok populisme elektoral untuk oligarki nasional (Sumber Foto: BBC)
Pendahuluan
Pertarungan politik elektoral 2019 telah berakhir dan mendapatkan apresiasi tinggi berkat kerja tata kelola pemilu yang kredibel dan partisipasi politik warga negara yang meningkat. Demikian pula sengketa terkait hasil pemilu diselesaikan dengan baik dan relatif tidak memicu eskalasi konflik menuju kekerasan kolektif. Kendati demikian, peristiwa politik ini menyisakan sejumlah pertanyaan penting mengenai masa depan demokrasi Indonesia. Hal ini penting dibahas karena dinamika kontestasi dan varian isu elektoral 2019 sangat berpengaruh terhadap konstelasi dan konsolidasi kebijakan nasional lima tahun mendatang, khususnya perumusan kebijakan terintegrasi antara isu demokrasi, pembangunan dan keamanan.
Masalah dan tantangan utama pasca pemilu kali ini mencakup polarisasi politik identitas, gerakan politik populisme, dan kebutuhan menghubungkan agenda pembangunan dan keamanan dalam-negeri dengan kepentingan geopolitik nasional di tingkat regional dan internasional. Harus diakui bahwa selama setahun proses elektoral berlangsung, wacana politik nasional diramaikan dengan isu identitas, khususnya agama, dan kecenderungan menuju gerakan populisme dua arah—populisme teknokratik-fasis dan populisme berbasis konservatisme religius.
Sementara pada saat yang sama diskusi publik dan debat kebijakan mengenai koneksi kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri relatif absen atau tidak menjadi menu politik utama. Hal ini tentu bukanlah tanpa sebab-sebab mendasar dan tugas kita adalah memberikan alternatif penjelasan dan mengantisipasi dampak buruk bagi masa depan demokrasi. Setidaknya agar tidak terjebak berlarut-larut dalam cara berpikir elektoralisme jangka pendek yang meniadakan percakapan politik jangka panjang mengenai pembangunan, demokrasi dan keamanan. Baik untuk konsolidasi kekuatan politik dalam negeri maupun untuk membekali agenda ekonomi-politik luar negeri kita dalam kancah geopolitik internasional yang bergeser dari model unipolar, bipolar menuju konstelasi multipolar.
Tantangan pasca pemilu di atas tentu bukanlah gejala demokrasi Indonesia semata. Apa yang terjadi di dalam negeri kita merupakan fenomena global dalam satu dekade terakhir. Negara-negara Eropa dilanda kisruh politik bernuansa populisme di mana pola lama gerakan politik kiri, tengah dan kanan bergeser ke dalam polarisasi populisme berakar pada nasionalisme dan anti-populisme bernuansa neoliberal-globalis sebagaimana tercermin dalam wacana politik Brexit di Inggris yang berlarut-larut dan perubahan kekuatan politik parlemen di Jerman, Italia, Prancis, Yunani, termasuk di Eropa Timur sebagaimana terjadi di Ukraina, Moldova dan Georgia.
Fenomena serupa berlangsung di sejumlah negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Brazil, dan khususnya Venezuela yang belakangan menjadi isu kritis dalam geopolitik internasional. Sementara pergeseran kekuatan politik di Timur-Tengah lebih kompleks dengan adanya faktor-faktor politik regional dan global yang sampai hari ini belum keluar dari konflik kekerasan berkepanjangan dengan polarisasi aliran agama dan etnik seperti di Suriah, Yemen, dan Libya.
Tulisan singkat ini bermaksud mengajak kita membaca tantangan pasca Pilpres/Pileg 2019, keluar dari jebakan berbahaya politik elektoralisme yang elitis dan melanggengkan kuasa oligarki dalam partai politik-parlemen dan mesin birokrasi pemerintah. Argumen utama tulisan ini adalah bahwa menguatnya populisme berwajah ganda, polarisasi politik identitas dan terputusnya koneksi wacana politik dalam-negeri dan luar-negeri merupakan gejala, simptom, dan implikasi konkrit dari krisis representasi politik yang bersifat substansial yang terus direproduksi, dirutinisasi, bahkan dinormalkan, dari periode pemilu pertama pasca Orde Baru sampai periode Pemilu 2019.
Untuk mengatasi jebakan elektoralisme dan elitisme politik 2019, kita perlu membaca tiga simptom tersebut dalam satu sapuan analisis dengan cara mendeteksi proses dan kualitas representasi politik yang tercermin dalam pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden-wakil presiden. Mengingat dalam pemilu kali ini, pada tingkat nasional, berlangsung komplikasi dan polarisasi yang relatif seragam antara kekuatan-kekuatan politik pilres dan pemilu.
Sejalan dengan itu, tiga gejala politik di atas memberikan kita peluang untuk memperbaiki demokrasi untuk memperkaya wacana ideologis pembangunan ekonomi-politik melalui reorientasi gerakan populisme yang terbentuk sebelum dan selama periode elektoral 2019. Tiga simptom tersebut menjadi pintu masuk menuju konsolidasi kekuatan politik yang telah terpolarisasi termasuk polarisasi politik dalam ruang publik nasional.
Sebagaimana diargumenkan dalam tulisan ini, kegagalan merumuskan antagonisme bersama dalam kancah geopolitik yang bergeser meloloskan cara berpikir dan cara berpolitik yang saling meniadakan demi merebut dan mempertahankan istana negara dan gedung parlemen. Politik identitas dan populisme bukanlah hal buruk, tetapi menyimpan paradoks dan ambivalensi politik, dalam arti, menanti untuk digarap, digeser dan ditransformasi untuk praktik demokrasi lima tahun yang lebih substansial tanpa meniadakan konflik politik yang sejatinya bersifat permanen dalam dinamika politik bernegara-bangsa.
Sesi berikutnya ‘Oligarki, Populisme dan Politik Identitas’ membahas secara ringkas saling terkait antara ketiga gejala politik nasional ini. Saling pengaruh di antara ketiganya tidak semata pertimbangan konseptual tapi terutama pertimbangan sosiologis politik kita sejak reformasi yang dikendalikan oligarki nasional dan absennya gerakan politik progresif memanfaatkan momentum strategis pilpres dan pemilu untuk mengarusutamakan wacana representasi politik dan kewarganegaraan aktif sebagai demos—kelompok kepentingan ekonomi-politik yang konkrit.
Tulisan diakhiri dengan pembahasan mengenai agenda nasional pasca pemilu-pilpres dalam sesi ‘Mengelola Populisme untuk Konsolidasi Demokrasi’. Pemilu-Pilres dimaksudkan sebagai arena debat dalam ruang publik untuk perumusan kepentingan nasional selama lima tahun. Ini merupakan catatan penting bagi kekuatan politik nasional khususnya komunitas pembuat kebijakan. Juga menjadi pekerjaan rumah bagi gerakan politik progresif di kalangan akademisi, aktivis, jurnalis dan gerakan mahasiswa peka-politik.
Oligarki, Populisme dan Politik Identitas
Dalam debat akademis dan diskusi ruang publik, ketiga istilah ini seringkali digunakan dan bahkan menjadi istilah populer untuk menjelaskan komplikasi isu dan dinamika politik nasional selama periode Pemilu 2019. Kendati demikian satu hal yang luput dibahas adalah penjelasan sosiologi politik mengenai titik temu ketiganya sebagai fenomena politik dalam kancah kontestasi pilpres-pemilu. Selain itu, ketiganya belum dibicarakan sebagai fenomena global yang menandai dinamika dan pergeseran kekuatan politik dan wacana demokrasi pada tingkat internasional sepuluh tahun terakhir. Alhasil, diskusi politik nasional selama Pemilu 2019 sangat kaya dengan retorika saling menistakan dengan membajak ketiga istilah ini tetapi sekaligus dikosongkan dari aspek sosiologis, historis dan geopolitik.
Oligarki merupakan fenomena politik, sekaligus cara kelola kekuasaan, di mana kendali ekonomi-politik berada di tangan segelintir orang karena kontrol penuh atas sumber daya politik, jaringan patronase dan kepemilikan teknologi-media propaganda, baik pada pada tingkat global maupun nasional. Dalam demokrasi, oligarki dikenal cerdik mambajak instrumen politik seperti kontrol partai politik, rekruitmen politisi, mendayagunakan komunitas intelektual-akademisi, dan sangat mengandalkan teknologi media untuk merekayasa isu-isu strategis termasuk pengalihan perhatian publik dari persoalan representasi politik.
Kelompok kecil ini bisa terlibat langsung dalam politik tetapi juga lebih sering menerapkan politik proksi, yaitu mengendalikan politik melalui kaki-tangannya dalam partai politik, parlemen dan birokrasi pemerintahan. Tergantung konteks kekuatan politik masing-masing negara, di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa dikenal dengan sebutan Military Industiral Media Complex. Di Indonesia sendiri oligarki menunjuk pada para pemilik partai politik, media massa, perusahaan-perusahaan nasional, yang membentuk kekuatan-kekuatan politik berbeda untuk, memberi kesan saling berseberangan, untuk merebut dan mempertahankan kontrol atas pemerintahan, populasi, teritori dan sumber daya ekonomi nasional.
Dengan pengertian singkat di atas, dapat dimaklumi bahwa dalam sosiologi politik oligarki bukanlah lawan atau antitesa demokrasi. Oligarki justru berkembang pesat dan berbiak dalam demokrasi prosedural dan rezim pemerintah yang merayakan teknokrasi. Dalam arus kuat neoliberalisasi politik satu dekade terakhir, oligarki nasional dalam negeri kita sangat dimungkiinkan untuk terus merebut dan mempertahankan kekuasaan melalui kepemlikan dan kontrol atas instrumen-instrumen demokrasi seperti partai politik dan media massa.
Prosedur demokrasi seperti pilpres dan pemilu merupakan arena paling efekfif dan efisien bagi oligarki untuk mendapatkan legitimasi politik dengan mempropagandakan visi-misi dan program pembangunan ekonomi dan sosial-budaya yang terkesan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Kunci kesuksesan propaganda adalah viralitas isu, popularitas aktor politik, dan seringkali menebarkan politik ketakutan (politics of fear) dengan menistakan kekuatan politik lain sebagai ancaman nasional.
Dalam pertarungan sebelum dan selama Pemilu 2019, oligarki berakar dan berbiak dalam dua kubu utama yang bertarung, kubu Jokowi dan Kubu Prabowo, dengan turunan partai-partai politik pendukung masing-masing. Selain munculnya partai-partai politik baru, Pilpres kali ini tetap memperlihatkan dominasi partai-partai konvensional. Yang justru menarik dari pertarungan oligarki adalah pergeseran isu utama politik yaitu pertama, menguatkan identitas sebagai matriks politik nasional dan kedua, eskalasi politik identitas tersebut menuju dua jenis populisme—populisme agama dan populisme teknokrasi. Formasi awal politik identitas sudah dimulai sejak pertarungan Jokowi-Prabowo pada pilpres-pemilu 2014.
Dalam perkembangannya, Pemilihan Ggubernur Jakarta 2017 merupakan momentum kristalisasi menjadi dua gerakan politik populis menuju puncaknya pada Pilpres/Pileg 2019. Dalam momen elektoral terakhir ini, wacana identitas membelah politik nasional ke dalam dua gerakan antagonis yang bertarung mendefenisikan Indonesia, Pancasila dan NKRI menggunakan semantik politik yang berbeda, sulit dipersatukan, dan sangat mengandalkan hasil elektoral untuk memastikan narasi politik yang paling absah di antara keduanya.
Terbentuknya dua artikulasi politik populis (populisme agama dan populisme teknokrasi) dan masuknya identitas ke dalam wacana politik elektoral 2019 tentu disebabkan banyak faktor. Dalam tulisan ini disebutkan dua faktor utama, yaitu, krisis representasi politik dalam kendali politik oligarki dan absennya percakapan politik mengenai agenda nasional di kancah geopolitik internasional. Kedua faktor ini saling berpengaruh satu sama lain dalam mengarakterisasi politik elektoral yang tajam saling menghujam ke dalam negeri sekaligus tumpul dan tak berdaya ke luar negeri.
Pertama, krisis representasi politik dimaksud adalah tidak berjalannya dialog politik antara rakyat sebagai kelompok kepentingan dan gerombolan politisi yang mengklaim mewakili warga negara. Harus diakui bahwa dua dekade pasca reformasi gerakan rakyat dalam politik belum terbentuk, atau jika pun tersedia, tidak dikawal dan dikembangkan menjadi gerakan nasional untuk bernegosiasi dengan oligarki.
Hal ini bisa dipahami mengingat struktur artikulasi politik kita yang berlapis-lapis dari kabupaten, propinsi sampai pusat—semuanya di bawah kendali oligarki ekonomi-politik nasional di Jakarta. Pemandangan umum selama pilpres-pemilu tak lain adalah elit politik mendatangi warga negera sebagai konstituen dengan sekian banyak segmentasi kelompok pemilih yang diciptakan mesin politik oligarki—parpol dan tim sukses. Mengingat periode elektoral yang terbatas, luasnya wilayah dapil dan tidak tersedia kelompok kepentingan—demos—di kalangan konstituen, para politisi memangkas jalur dialog dengan rangkaian kegiatan yang bersifat ceramah, pertunjukan reputasi diri atau partai politik, dan metode kampanye lainnya yang tidak bersifat mendidik untuk penguatan demokrasi.
Dalam praktek elektoral yang cepat bubar ini, tak ada sensasi lain selain membincangkan agama dan politik, baik dari kubu-partai pendukung Prabowo maupun kubu-partai pendukung Jokowi. Narasi Indonesia yang islamis dan Indonesia yang nasionalis menjadi kriteria pembeda di antara dua narasi tersebut. Retorika dan visualisasi dua jenis keindonesiaan itu dimanfaatkan secara maksimal oleh oligarki politik sembari menghindari pertanyaan politik penting mengenai kerja representasi kepentingan kelompok konstituen oleh partai politik dan anggota parlemen selama lima tahun sebelumnya, termasuk dikurangi diskusi penting dan evaluasi program pembangunan nasional di bawah kepemimpinan Jokowi.
Kedua kubu sama-sama mengunci diskusi politik nasional ke dalam narasi agama yang melahirkan sekian subnarasi turunan seperti isu mayoritas-minoritas, isu nasionalisme dan Islamisme, isu bahaya asing dan harga diri bangsa—yang sebetulnya merupakan lanjutan wacana dominan dalam Pilgub Jakarta 2017. Poin pentingnya adalah oligarki merekayasa wacana identitas dan mengarusutamakan wacana tersebut ke dalam ruang publik sebagai distraksi terhadap krisis kerja representasi selama lima tahun sebelumnya. Pengalihan isu ini berlaku semacam false flag atau smokescreen. Gejala ini berlangsung hampir di semua partai politik, dilakukan secara kolektif oleh para politisi petahana maupun pemula, di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten.
Eskalasi politik identitas pada tingkat nasional pada gilirannya menghadirkan dua jenis gerakan politik identitas yang kita namakan populisme teknokrasi-nasionalis untuk wacana politik yang diperagakan kubu-partai pendukung Jokowi dan populisme agama-Islamis di kalangan kubu-partai pendukung Prabowo. Di sini kita bertemu dengan realisme politik, bahwa dalam situasi antagonisme politik tanpa dialog demokratis, tidak ada pilihan lain yang tersedia selain mencari-cari perbedaan pandangan, visi dan misi membangun bangsa dan negara, baik melalui narasi optimis kubu Jokowi maupun narasi pesimis kubu Prabowo terhadap dinamika pembangunan lima tahun sebelumnya.
Jalan buntu yang dihadirkan dua narasi ini akhirnya sangat berharap pada hasil elektoral sebagai basis keberlanjutan politik nasional pasca pilpres-pemilu. Dengan kata lain, dua jenis populisme yang terbentuk ini tidak lebih dari sekedar populisme elektoral, yaitu, populisme hasil mobilisasi politik identitas oleh kekuatan oligarki nasional yang mendominasi pertarungan dua kubu merebut dan mempertahan kekuasaan di pusat dengan konsekuensi kelembagaan mengontrol kekuatan politik di tingkat provinsi dan kabupaten.
Kedua, absennya percakapan politik nasional mengenai peran dan kedudukan Indonesia di kancah geopolitik internasional. Aspek ini patut diperhatikan sebagai salah satu faktor kunci selain krisis representasi politik oleh oligarki nasional. Pengabaian ini, secara sadar ataupun tak sadar, merupakan amnesia politik yang terwariskan sejak Orde Baru. Bisa dipastikan bahwa selama periode elektoral 2019 isu-isu penting geopolitik tidak menjadi menu utama yang diangkat dan diperdebatkan dalam ruang publik politik nasional.
Hal ini terjadi persis pada saat struktur kekuatan geopolitik dunia—ideologi, militer dan ekonomi—sedang memasuki periode krusial dalam tatanan liberal internasional (liberal international order) pasca Perang Dingin. Dibutuhkan elaborasi tersendiri mengenai aspek ini meskipun demikian dalam analisis sosiologi politik absennya isu geopolitik dalam kontestasi politik nasional berkontribusi secara signifikan terhadap pengerasan antagonisme politik dalam negeri dan membatalkan dialog kebijakan berbasis orientasi ekonomi-politik nasional merespon pergeseran tata ekonomi-politik dan keamanan global terkini.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut dari tulisan ini, politik identitas dan populisme elektoral adalah kreasi oligarki, sebagai fenomena global dan nasional. Oligarki nasional adalah bagian integral dari sistem kapitalisme global dan kekuatan utama dalam negeri untuk mempromosikan neoliberalisme dalam kebijakan pembangunan sosial-ekonomi dan keamanan termasuk rekayasa kebudayaan yang mendukung penetrasi kapitalisme internasional. Politik identitas dan eskalasinya menjadi populisme elektoral dalam Pemilu pemilu 2019 tentu lebih menarik, terasa lebih aktual bagi populasi politik yang sekian lama tidak dibiasakan mendiskusikan nasib bangsa dalam kancah internasional.
Pemiskinan informasi dan pengetahuan geopolitik tidak saja berlangsung di kalangan masyarakat umum tetapi terbukti efektif membentuk kesadaran kolektif di kalangan kelas menengah terdidik yang terpapar neoliberalisme melalui pendidikan pro-pasar dan arus informasi lintas batas yang dikendalikan kekuatan oligarki global. Eskalasi politik identitas pasca reformasi tidak secara langsung diarusutamakan oleh kekuatan oligarki melainkan barisan kelas menengah terdidik yang menjadi bagian integral dari dua kubu dan simpatisan politik dalam ruang publik.
Mengelola Populisme untuk Konsolidasi Demokrasi
Politik identitas dan populisme elektoral adalah fenomena nasional sekaligus global. Para penstudi populisme berargumen bahwa populisme elektoral bisa memperkuat demokrasi dan bisa pula berujung pada oligarki fasis dan teokrasi yang sama-sama anti-pluralisme. Eropa satu dekade terakhir dan Amerika Serikat dalam empat tahun terakhir bergolak di mana politik populisme hadir sebagai reaksi rakyat terhadap manuver politik oligarki yang merugikan kepentingan nasional.
Sementara dalam negeri kita sendiri populisme lebih merupakan fenomena elektoral semata dan tidak sepenuhnya mencermin gerakan dari arus bawah yang terabaikan dalam representasi politik oligarki nasional. Dalam cara berbeda dikatakan populisme Indonesia adalah jalan buntu dari permainan politik oligarki nasional sementara populisme Eropa dan Amerika Serikat adalah bentuk perlawanan mayoritas kelas menengah ke bawah terhadap segelintir elit nasional berorientasi globalis-neoliberal.
Tantangan politik nasional pasca pemilu-pilpres 2019 adalah menggeser populisme elektoral berbasis identitas menuju representasi politik berbasis kelompok kepentingan konkrit dalam negeri dan berbasis kepentingan nasional di kancah geopolitik internasional.
Persis pada titik ini respon gerakan demokrasi harus berlangsung melalui dua arah. Yaitu, konsolidasi gerakan kelompok kepentingan—demos—dalam negeri bernegosiasi dengan oligarki nasional dan berikutnya, reaktivasi diskusi dan debat geopolitik pada tingkat nasional. Dua tugas ini tentu tidak bisa dikerjakan dengan sungguh-sungguh jika oligarki politik kita belum melakukan perubahan paradigma politik yang berdampak pada perumusan kebijakan nasional baik di parlemen maupun dalam birokrasi pemerintahan. Diseminasi paradigma baru mendesak dilakukan dalam partai-partai politik di tingkat nasional untuk menggeser secara bertahap sikap dan perilaku politik pragmatis menuju kerja representasi politik berbasis program pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.
Skenario perubahan perilaku politik elit di atas akan sangat efektif dan berdampak apabila dilakukan pendidikan politik kewarganegaraan yang aktif membentuk kelompok kepentingan dan melalui kerja advokasi politik menyatukan kekuatan-kekuatan progresif dalam satu atau lebih kerangka aksi kolektif. Dalam skenario kedua ini, gerakan pro-demokrasi harus proaktif melakukan kerja pembentukan kelompok kepentingan dan berperan aktif dalam kerja representasi oleh partai-partai politik.
Lebih dari itu, formasi aktor progresif yang diperlukan harus lahir dan dibesarkan dari kekuatan-kekuatan politik yang tersedia seperti gerakan keagamaan dan gerakan berbasis etnis-wilayah. Rekayasa kekuatan pembaharu tidak bisa datang dari ruang kosong melainkan dikembangkan dari dalam komunitas-komunitas yang sudah terbentuk. Dalam hal ini gerakan progresif berbasis identitas tidak menjadi antagonisme demokrasi tetapi sebaliknya digarap dengan visi dan misi Indonesia baru yang kuat ke dalam dan ke luar negeri.
Menggarap kekuatan-kekuatan politik berbasis identitas menjadi tantangan terdekat dan tersulit mengingat patronase politik oligarki melalui jalur ini sudah terlembaga dan berakar dalam cara pendistribusian sumber daya publik dari tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten. Taktik ini harus ditempuh sejak awal pasca pemilu-pilres untuk mengantisipasi tidak terulangnya mobilisasi politik identitas ke dalam populisme elektoral pada periode berikutnya.
Pelajaran penting dari populisme elektoral berbasis identitas pada tahun 2019 adalah kelalaian dan kekeliruan membaca gejala politik identitas yang mulai terbentuk pada Pemilu 2014 dan absennya kritik ideologi yang mendasar terhadap polarisasi politik nasional pada Pilgub Jakarta 2017. Kekeliruan dan kelalaian ini juga menjadi karakteristik gerakan pro-demokrasi di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat yang membuat gerakan ini terjebak dalam arus utama populisme berbasis identitas dan gagal berlaku sebagai kekuatan penyeimbang dalam pertarungan antar kubu oligarki.
Dalam perbandingan dengan kemunculan populisme di negara-negara lain selain di kawasan Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin, politik populisme di Indonesia tidak ditandai dengan konflik kekerasan berlarut-larut. Sangat sulit dibayangkan tranformasi gerakan populisme yang berdarah-darah menjadi gerakan demokrasi sebagaimana kita membandingkan dengan eksperimen politik populis yang melanda Timur Tengah dan Eropa Timur dalam satu dekade terakhir. Perlawanan rakyat terhadap rezim otoritarian di Libya, Suriah, Mesir, Yemen, dan Ukraina dibajak kekuatan oligarki global (Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, Turki, Arab Saudi dan Iran).
Di kawasan tersebut perlawanan rakyat berubah wujud menjadi gerakan bersenjata dan melayani agenda kekuatan regional dan superpower. Eskalasi konflik politik berujung pada perseteruan berdarah tak berkesudahan, menghancurkan fundasi politik multi-etnik yang melahirkan negara-bangsa poskolonial.
Berbeda dengan populisme arus bawah yang menjelma sebagai tragedi nasional di atas, populisme elektoral Indonesia bukanlah gerakan perlawanan rakyat yang disingkirkan rezim berkuasa melainkan hasil karya oligarki politik dari struktur politik-atas yang berusaha mendapatkan legitimasi politik melalui mobilisasi identitas agar terhubung dengan mayoritas warga negara pada struktur-bawah.
Kendati demikian, jika tidak segera ditransformasi, populisme elektoral ini berpotensi merusak demokrasi pasca Pemilu 2019 karena akan mereproduksi model representasi berbasis identitas dan membenarkan perilaku politik oligarki yang oportunis dan sektarian atas nama teokrasi dan nasionalisme ekonomi. Partisipasi politik yang tinggi melalui populisme elektoral menjadi catatan penting bahwa warga negara sejatinya tidak anti-politik atau tidak percaya kepada instrumen-mekanisme demokrasi. Sebagaimana ditegaskan, yang menjadi soal adalah kualitas wacana politik nasional untuk agenda geopolitik dan defisit kerja representasi ekonomi-politik yang berpihak pada kelompok kepentingan di tingkat akar rumput. Hal ini memberi sinyal kuat kepada gerakan politik progresif untuk merumuskan taktik-taktik demokratisasi terhadap partai-partai politik, konsolidasi dengan kelompok politisi pembaharu dan reaktivasi gerakan kelompok kepentingan sebagai kumpulan warga negara aktif dalam siklus pembuatan kebijakan.
Indonesia tidak sendirian mengalami artikulasi politik baru bernama populisme ini. Yang akan membedakan dari pengalaman negara-negara lain adalah kesigapan dan ketekunan kolektif melalukan transformasi politik pada tingkat nasional yang tentu berdampak pada politik tingkat provinsi dan kabupaten. Selain yang telah disebutkan di atas, alasan mendesak dilakukan transformasi tersebut adalah mengantisipasi konsentrasi pertarungan geopolitik dunia di kawasan Asia satu dekade mendatang. Indonesia menempati posisi strategis dan taktis bagi kekuatan multipolar yang bertarung dalam kancah ekonomi, budaya dan keamanan. Sinyal penting itu terdeteksi melalui dinamika perang dagang Amerika Serikat-Cina, restrukturasi kekuatan militer dunia antara NATO dan Rusia dan pertarungan memperebutkan hegemoni budaya antara globalisme dan nasionalisme.
Diskusi geopolitik ini perlu diarusutamakan pasca pilpres-pemilu 2019, mengantisipasi Indonesia nantinya sekedar arena pertarungan multipolar tersebut dengan resiko ekonomi-politik yang sangat mahal atau Indonesia menjadi kekuatan kunci sebagai penyeimbang dan penentu tren geopolitik di dunia yang terkonsentrasi di Asia. Jawaban atas dua skenario masa depan geopolitik Indonesia ini sangat ditentukan oleh aksi bersama gerakan progresif dalam pemerintahan, partai politik, parlemen dan masyarakat sipil. Transformasi populisme elektoral menjadi kekuatan demokrasi dan koreksi politik terhadap oligarki nasional yang mengutamakan kepentingan nasional menjadi kunci pembuka menuju Indonesia sebagai model demokrasi yang ditawarkan untuk demokrasi global yang tengah bergolak. Sekaligus memberi resiliensi multi-sektoral atau daya tahan ekonomi-politik dalam negeri terhadap dampak dan penetrasi pertarungan geopolitik di Asia satu dekade mendatang.
(Frans Djalong. Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Kemenkoinfo Edisi 29, 2019, hal 43-53)
Referensi
Acharya, Amitav. Indonesia Matters. Asia’s Emerging Democratic Power. World Scientific Publishing Company, 2014
Brigg, Morgan & Frans Djalong. “Diversity, Democratization and Indonesian Leadership”, dalam Australian Journal of International Affairs, Special Edition, Vol. 70, No.4, 2016, hal. 407-421
Djalong, Frans & Dana Hasibuan. “Post-Fundamentalist Islamism & the Politics of Citizenship in Indonesia”, dalam Kristian Stokke & Eric Hiariej Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 2017, hal. 305-308
_________________ “Tata Kelola Pemilu untuk Demokrasi: antara Liberasi & Emansipasi”, dalam Badan Pengkajian MPR RI Mengembangkan Sistem Perwakilan Politik Berintegritas.Jakarta: BP MPR RI, 2018, hal. 58-71
___________________‘Pluralisme dan Demokrasi: Menuju Politik Kewarganegaraan’, dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik—Depkominfo Penguatan Fundasi Multikulturalisme dalam Masyarakat Indonesia, Tahun IV, 2010, hal. 1-13
Hadiz, Vedi. Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press, 2016
Hamid, Shadi. The Role of Islam in European Populism. Policy Brief, Foreign Policy, Brooking Institute, 2019 //www.brookings.edu/topic/international-affairs/
Jones, Sidney. Sisi Gelap Demokrasi Indonesia: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2015, hal. 3-30
Laclau, Ernesto. On Populist Reason. London: Verso, 2005. Lihat uraian khusus Part I ‘Populism: Ambiquities & Paradoxes’, hal. 3-20
Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso, 2000. Lihat khusus uraian bab 1 ‘Democracy, Power and the Political’, hal. 17-35
Piconne, Ted. Rising Democracies, Burden-Sharing, and the International Liberal Order. Policy Brief, Foreign Policy, Brooking Institute, 2019 //www.brookings.edu/topic/international-affairs/
Panizza, Franscisco. Populism & the Mirror of Democracy. London: Verso, 2005
Philpott, Simon. Rethinking Indonesia. Postcolonial Theory, Authoritarianism & Identity. London: Macmillan Press, 2000
Pratikno & Cornelis Lay. “From Populism to Democratic Polity: Problems & Challenges in Solo, Indonesia”, dalam Kristian Stokke & Olle Tornquist Democratization in Global South. New York: Palgrave Macmillan, hal. 254-76
Trijono, Lambang & Frans Djalong. “Dislokasi Politik & Konflik Kebijakan”, dalam Jurnal Analisis CSIS Keresahan Sosial dan Politik Elektoral. Vol. 46, No.1, Kuartal Pertama 2017, hal 107-126
Wright, Thomas. The Opening of Europe Overton Window. Policy Brief, Foreign Policy, Brooking Institute, 2019 //www.brookings.edu/topic/international-affairs/