Sejarah dunia memberi kita pelajaran dan perbandingan peristiwa. Kita dapat bertolak dari cerita sejarah untuk semakin paham dengan hadirnya pandemi Covid 19 di dalam transformasi sejarah dunia dan benturan geopolitik. Pandemi harus diberi konteks ekonomi-politik dan geopolitik. Dari sana, tanpa kesimpulan pasti, pertanyaan baru dirumuskan lagi dan pengetahuan mendapat tempat dalam kebijakan dan diskusi publik. Komplikasi kepentingan adidaya dalam struktur dan sistem internasional hari ini mengingatkan kita pentingnya sejarah dan geopolitik. Dari situ kita makin paham, penyakit dan kesehatan tubuh mulai dihadirkan sebagai isu dunia, seperti dalam dua abad terakhir, berganti dari supremasi ras selama masa kolonial, ideologi selama perang dingin dan agama dua puluh terakhir sebelum tubuh dan alam dipaksakan sebagai matriks biopolitik global. Namun demikian, baik negara dengan konstruksi nasionalisme maupun tata dunia dengan internasionalisme, tetap menjadi dua paradigma politik, yang bertarung dan menentukan ,berlanjut atau berakhirnya pandemi covid-19 sebagai narasi proksi, di dalam dan di luar negeri.
๐๐ผ๐น๐ผ๐ป๐ถ๐ฎ๐น๐ถ๐๐บ๐ฒ, ๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐๐๐ป๐ถ๐ฎ ๐-๐๐, ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐ฅ๐ฎ๐๐ถ๐๐บ๐ฒ
Sejarah dunia bukan hanya sejarah berkuasa tapi juga sejarah perlawanan. Tarik menarik antara keduanya, itulah yang membentuk cerita setiap periode, satu atau lebih generasi. Dalam ingatan kita, sejarah kolonialisme sampai sejarah dunia dalam pandemi Covid 19, tak lebih dari pertarungan merebut, menguasai dan membebaskan tubuh, teritori dan sumber daya dari monopoli kebenaran atau kuasa ekonomi-politik tertentu. Dalam setiap periode sejarah modern itu, kehidupan dan kematian memiliki pengertian yang khusus. Demikian halnya dengan penderitaan dan kebahagian, atau kemajuan, kemunduran dan keterbelakangan.
Sejarah kolonial adalah cerita besar tentang penemuan benua-benua baru bagi Eropa yang bangkit dari gulita Abad Pertengahan dan memuja pencerahan bernama pengetahuan. Sekaligus cerita lima ratus tahun tentang genosida, perbudakan lintas benua dan penindasan di tanah terjajah. Kota-kota dagang bertumbuh di pesisir pantai kontinen bersalju dan London jadi pusat dunia, berbagi koloni dengan Lisbon dan Paris.
Settler Colonial Plantation and Slavery, Source DGTCom
Di negeri jajahan, manusia dan ekonomi disetel ulang. Konsep waktu dan ruang pun bergeser, mengikuti pola perekonomian kolonial. Populasi dibagi ke dalam kelas-kelas baru, dimulai dari strata atas kulit putih, warga negara kelas dua kulit berwarna dan kelas inlander dari penduduk setempat atau didatangkan dari wilayah sekitar. Suatu model pengaturan ekonomi yang nantinya bertanggung jawab lahirnya masyarakat baru atau campuran, bernama penduduk asli, penduduk pribumi dan pendatang jauh. Tiga tipologi manusia yang melahirkan nasionalisme anti-kolonial sekaligus berperang saling meniadakan, merebut tampuk pemerintahan, di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, setelah kemerdekaan sampai hari ini.
Jurus utama kuasa kolonial adalah konsep ras, membentuk masyarakat dan ekonomi berbasis ras. Tidak ada perbudakan kolonial tanpa rasisme. Kolonialisme abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, adalah puncak kekejaman rasime di perkebunan, pabrik dan pertambangan. Amerika Serikat adalah ilustrasi terbaik sebuah negara koloni migran Eropa dari segala golongan, dibangun dengan meniadakan penduduk asli termasuk melalui pandemi penyakit dan ditopang ekonomi perbudakan kulit hitam sampai tahun 1960.
Sementara di Amerika Latin tak kalah bengisnya, menghasilkan dua jenis ras, murni dan bercampur, bertarung sampai hari ini dalam politik negara-negara selatan kontinen tersebut. Afrika tidak hanya dijajah, manusianya dikapalkan ke seberang Antlantik, menjadi budak lintas generasi. Bahkan Afrika Selatan baru dilepaskan dari model bernegara kolonial, apartheid, tahun 1994. Sementara Indonesia mengalami kekejaman tanam paksa, 1830-1870, sebelum akhirnya diakhiri dengan politik etis yang memberi insentif bagi nasionalisme anti-kolonial.
Lain halnya Vietnam, lokasi strategis bagi geopolitik, baru berhasil mengusir Perancis tahun 1954 sekaligus memasuki perang geopolitik blok komunis dan kapitalis sejak 1961 sampai 1975. Di ujung barat Asia, Palestina menjadi koloni kekejaman Israel sejak 1948 sampai hari ini. Sementara negara-negara di sekitarnya terbentuk saat kejayaan Otoman di Turki berakhir setelah Perang Dunia Pertama.
Rasisme, ekonomi-politik berbasis diskriminasi ras, membentuk apa yang disebut Barat dan Timur. Berlangsung produksi pengetahuan, jenis manusia dan masyarakat dengan ras sebagai matriks atau register biologis, ekonomi dan etis-politik sekaligus. Teori evolusi Darwin dibajak untuk membenarkan penindasan atas nama pencerahan di Timur dan kemakmuran ekonomi di Barat. Bahkan kitab suci ditafsir sesuai selera burjuis dan hasrat berkuasa. Timur adalah kegelapan, dikendalikan magis dan mitos, sementara Barat adalah cahaya, membawa perubahan dan peradaban. Dalam periode ini, biologi dan teologi disatukan menjadi bahasa kuasa, tak terbantahkan.
Di lain pihak, dalam periode kolonial ini, cerita Barat yang berdarah, perang silih berganti atas nama agama dan ekspansi kerajaan, sampai Perang Dunia I dan Perang Dunia II, tidak mendapat tempat dalam buku resmi sejarah dunia. Dengan kedok sebagai sejarah dunia, kebiadaban perang 3 abad, berebut membentuk Eropa dari dalam dirinya, digantikan cerita pencerahan, filsafat, sastra dan penemuan ilmiah. Etnologi dan antropologi dikerahkan, sebagai instrumen koleksi data dan analisis terhadap sistem budaya, ekonomi dan sosial masyarakat koloni. Sementara sosiologi muncul untuk memahami krisis sosial dari masyarakat ekonomi transisi di dalam Eropa dan psikologi-psikiatri untuk memahami dan mendisplinkan kegilaan dari masyarakat industrial baru.
Satu abad setelah Perang Napoloen mencabik-cabik kontinen ini, 1810-1815, Eropa berdarah dengan Perang Dunia I. Perang ini, 1914-1918 mengubah konstelasi imperium internal Eropa, menyeret masuknya Tsar dan Rusia dalam pertarungan itu. Pandemi Flu Spanyol mengakhiri perang, membunuh jutaan tentara di parit-parit pertahanan, yang akhirnya menjadi garis batas negera-negara baru. Dalam perang ini, Amerika Serikat bergabung dan membawa malapetaka pandemi ke negerinya sendiri. Sementara Lenin mendapatkan kesempatan emas melancarkan revolusi Bolshevik 1917 melahirkan Uni Soviet Desember 1922, blok geopolitik dunia sampai berakhirnya Periode Perang Dingin tahun 1989.
Dua dekade kemudian, 1939-1945, rasisme kolonial balik memakan tubuh Eropa dari dalam dirinya sendiri. Hitler dan Jerman yang dipermalukan perjanjian Versailles 1919, membangun kekuatan militer dan mulai menggasak Polandia September 1939. Berbekal aliansi dengan Spanyol dan Italia, Eropa ditaklukan dan Inggris disasar. Tapi perang sesungguhnya adalah pertempuran 4 tahun di wilayah Uni Soviet, disebut Front Timur, membunuh 24 juta penduduk dan tentara Stalin. Perang di front inilah, terutama di kota Stalingard, yang mengakhir ambisi ras unggul Hitler. Musim dingin dan penyakit membuat Jenderal Paulus dan tentara Nazi menyerah dan dimulai ekspansi Stalin dan Jenderal Georgy Zhukov balik menuju Berlin, membebaskan satu persatu negara menuju Jerman.
Amerika Serikat dan Inggris datang terlambat, atau setidaknya hanya mempercepat kejatuhan Jerman di front barat dan selatan yang tak sepenuhnya diperkuat Hitler. Amerika Serikat bergerak di dua front sekaligus, Eropa dan Asia. Serangan Pearl Harbour Desember 1941, membawa Franklin Roosevelt dan AS ke Asia sampai hari ini, dengan memukul mundur tentara Jepang dari Pasifik, dan menjatuhkan bom atom pertama kali di Hirosima dan Nagasaki, membunuh dua ratus ribu lebih penduduk tak bersalah. Kekalahan Jepang di Asia sepenuhnya tak terlepas dari perlawanan kaum nasionalis dalam negeri-negeri terjajah, tetapi terutama perlawanan rakyat China dengan 10 juta jiwa terbunuh, melemahkan logistik dan ketersediaan tentara bagi Kaisar Hirohito di berbagai kawasan termasuk Indonesia.
Dengan itu, Perang Dunia Kedua adalah peristiwa terpenting bagi sejarah dunia sampai hari ini. Bagi Eropa Kolonial dan bagi Koloni-koloni jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan. Tak terduga, Hitler merusak Barat kolonial-rasis dengan rasisme internal di dalam tubuh Eropa sendiri. Eropa kolonial yang berantakan1939-45, membuka peluang bagi terbentuknya kesadaran nasional di negeri-negeri terjajah. Tumbuh rasisme revolusioner, menggunakan ras atau bangsa sebagai konsep kemerdekaan dan konsolidasi perlawanan terhadap kekuatan kolonial yg sudah dilemahkan Hitler. Hadirnya Nippon di Asia tak lebih dari hitungan taktis, menaklukan koloni-koloni yang tak bertuan, dan memberi janji merdeka bagi kaum nasional yang sudah terbentuk, asalkan membantu Hirohito menghadang Jenderal Douglas MacArthur dan tentara AS dari Pasifik.
Koloni-koloni yang merdeka selama dan sesudah PD II merupakan produk dari proses geopolitik. Itulah sebabnya para pendiri negara-bangsa pasca kolonial memiliki pengetahuan sejarah dan geopolitik dunia pada masanya. Demikian halnya, terbentuknya Indonesia tidak terlepas dari kecerdasan Sukarno dan kesadaran gerakan nasionalis, memproklamirkan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, setelah Jerman menyerah Mei 1945 dan Jepang mengakui kekalahannya 14 Agustus 1945. Proyek dekolonisasi berlangsung serempak di Asia dan Afrika, sampai memasuki periode Perang Dingin, antara blok Kapitalis dan blok komunis. Sementara negeri-negeri di Amerika Latin sebagian besar sudah terlebih dahulu merdeka di akhir abad ke-19.
Uni Soviet Victory over NAZI Germany, 1945, Source National Geographic
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด ๐๐ถ๐ป๐ด๐ถ๐ป, ๐๐น๐ผ๐ธ ๐๐ฎ๐ฝ๐ถ๐๐ฎ๐น๐ถ๐ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐น๐ผ๐ธ ๐๐ผ๐บ๐๐ป๐ถ๐
Periode Perang Dingin, sangat panjang, empat dasawarsa, sejak Oktober 1945 PBB didirikan sampai bubarnya Uni Soviet oleh Gorbachev Desember 1991. Jerman dibagi dua, barat dan timur, sekaligus membagi Eropa mengikuti garis ideologi dan geopolitik tersebut. Blok Timur dikendalikan Kremlin, mencakup negara-negara yang dibebaskan Stalin dari NAZI, antara lain Jerman Timur, Polandia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hungaria dan Rumania. Sementara Blok Barat dikendalikan Washington di seberang Antlantik, mencakup Jerman Barat, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Portugis, dan Belanda. Jelas, Eropa kembali terbelah dan ikut membelah dunia bersamanya. Sementara Jepang yang kalah perang tak lebih dari proksi Barat, dilucuti kekuatan militernya, sampai hari ini.
Periode perang ideologi dimulai, kendati pun Hak Asasi Manusia dideklarasikan tahun 1948. Berbagi hak veto lima negara pemenang tak lebih dari diplomasi sambil lalu, seraya memperkuat perkubuan di dunia dan memperkeruh pertarungan politik di negara-negara pascakolonial. Bukannya menghentikan perang dunia, sebaliknya, dunia dibuat berdarah dengan perang saudara dalam negeri di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Lalu disebut perang dingin, karena dua monster, AS dan Uni Soviet, itu tak mau beradu kepala nuklir di muka bumi. Nuklir, senjata pamungkas akhir masa, diperbanyak dan semakin canggih, hanya untuk saling mengancam dan berganti perang proksi berebut pengaruh di lima benua.
Perang ideologi bergolak di seluruh kawasan dunia. Amerika Latin memulai dengan Fidel Castro dan Kuba tahun 1959. Ideologi kiri itu menjalari separuh kontinen dan Amerika Serikat memulai politik junta militer, memasang pemerintahan bengis, menyelamatkan bisnis tanaman komoditas dan minyak. Argentina, Guetemala, Equador, Kolombia sampai Cili, Bolivia dan Argentina, menyimpan sejarah berdarah itu sampai hari ini dan berulang dalam pertarungan politik terkini. Termasuk peristiwa membahayakan dunia, tahun 1961, ketika Khrushchev dan Kennedy nyaris beradu rudal nuklir di Teluk Babi, antara Kuba dan Florida. Dari segi lain, Katolik Amerika Latin dibelah ke dalam pertarungan ideologis, antara hispanik kelas atas dan kelas pekerja, pertarungan yang terus berlanjut hari ini dalam kotak suara, kudeta miiter dan pemaksulan.
Di Asia Barat atau Timur Tengah, tarung ideologi menempuh dua periode berdarah. Dimulai dengan kudeta militer terhadap pemerintah sosialis-sekuler Mosaddegh di Iran tahun 1955. Kudeta terbuka ini dirancang CIA dan M16, serta menempatkan Reza Shah Pahlavi, aristoktat warisan Persia, sebagai presiden boneka sampai munculnya Khomeni dengan Revolusi Islam tahun 1979. Sebagian besar negara-negara Timteng adalah sekuler dan berorientasi sosialis. Membentuk Pan-Nasionalis Arabia, menghadang Israel yang berusaha meniadakan Palestina, secara terbuka dan terselubung. Arab Saudi masih bersekutu dalam barisan ini. Dalam periode blok Arabia ini, Washington dan Kremlin, bermain aman, sampai kekuatan pelobi Israel AIPAC terbentuk 1963, berurat berakar dalam sistem politik AS satu dekade berikutnya dengan Perang Enam Hari 1967 dan Perang Ramadhan-Yom Kippur tahun 1973.
Kekalahan dalam perang 1973 itu mengubah secara dramatis tekstur politik negara-negara Arab, termasuk mengubah orientasi ideologis perlawanan Palestina, dari nasionalis PLO menjadi Intifada menuju Hamas. Kecewa dengan nasionalisme Arabia, aspirasi politik menghadirkan revolusi Islam dan Khoemeni di Teheran. Pahlevi diusir dari Iran dan kedutaan AS disandera selama 14 bulan, peristiwa geopolitik terpenting yang memalukan Jimmy Carter dan AS sampai hari ini. AS kemudian mendorong Saddam Husein dan mempersenjati Irak, berperang dengan Iran di perbatasan selama 8 tahun, 1980-1988. Sementara di Afganistan yang sekuler, pemerintah sosialis-komunis di Kabul meminta bantuan Uni Soviet menghadang Mujahidin dan Taliban yang disponsori Arab Saudi dan Amerika Serikat, selama 14 tahun, 1978-1992, sebelum akhirnya dimenangkan Mujahidin.
Berbede dari gejolak ideologis nasionalisme menuju Islamisme di Timteng, Indocina menjadi arena pertarungan terbuka antara Kremlin-Beijing dan Washington di Vietnam termasuk Laos dan Kamboja. Terusirnya Perancis dari Vietnam Utara oleh nasionalis-komunis 1957, mendorong Amerika Serikat terjung langsung ke hutan dan lembah, sejak 1961 pasca terbunuhnya Kennedy digantikan Lyndon Jhonson sampai pemerintahan Nixon menuju Ford tahun 1974. Perang geopolitik ini, kekalahan terbesar AS di Asia, membunuh 2 juta penduduk Vietnam dan 56 ribu tentara AS. Lalu dunia disuguhi tentara superman, Rambo, cerita khayal yang terus dipertontonkan sampai hari ini.
AS terusir dari Indochina meski satu dekade sebelumnya bergembira setelah militer Indonesia yang disponsori dengan murah meriah berhasil menumbangkan PKI dan Sukarno antiโimperialisme yang bisa mengunci Australia, Singapura dan Malaysia.Terbunuh sekitar 500 ribu sampai 2 juta anggota dan simpatisan PKI, serta mengubah politik Indonesia dari negara pelopor aliansi geopolitik non-blok menjadi negara boneka blok Barat sampai tumbangnya Soeharto 1998.
Periode ideologis Perang Dingin dinyatakan berakhir dengan keputusan geopolitik penting di akhir abad keโ20 oleh Gorbachev dan Polit Biro tahun 1991. Mengubah Uni Soviet menjadi 14 negara otonom termasuk Rusia. Di perbatasan Eropa Timur terdapat Ukraina, Belarusia, Latvia, Estonia, Lituania, yang kemudian basis konflik EU-AS dan Rusia pada periode Global War on Terrorism sampai sekarang. Sementara di bagian selatan terdapat Kazakstan, Uzbekistan, Kyrgistan, Turkmenistan dan Tajikistan, yang menjadi basis konsolidasi China dan Rusia dalam periode GWOT sampai hari ini.
Perubahan di atas disambut gembira blok-Barat dan dimulai upaya memasukan negara-negara satelit ke dalam Uni Eropa dan aliansi militer NATO. Sementara pergolakan akhir perang dingin di Yugoslavia berujung seteru berdarah atas nama ras dan agama. Perang 4 tahun itu, 1991-1995, membagi negeri Josep Tito itu ke dalam 5 negara berdaulat, antara lain Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Makedonia dan belakangan Montenegro dan Kosovo. Perang ini nyaris mempertemukan AS dan Rusia dalam konflik terbuka.
Lain halnya di Afrika, akhir Perang Dingin membuka perang saudara antar suku di Rwanda 1994, Somalia 1992-3, Kongo 1998 dan berakhirnya pemerintahan Apartheid di Afsel 1994. Perang di Afrika tidak berpengaruh secara geopolitik tetapi memicu atensi internasional dengan tanggap krisis kemanusiaan. Patut dicatat sebagian Afrika selama Perang Dingin menjadi eksperimentasi pembangunan ekonomi blok-Barat dan terbukti gagal. Afrika ditinggalkan AS dan blok Barat yang lalu perlahan dikendalikan ekonomi China selama GWOT sampai hari ini, terutama setelah Libya, negara paling makmur dan pelopor Afrika bersatu dihancurkan AS dan NATO tahun 2011.
Twin Tower, World Trade Center, 11 September 2001, Source Los Angeles Times
๐ ๐ผ๐บ๐ฒ๐ป ๐จ๐ป๐ถ๐ฝ๐ผ๐น๐ฎ๐ฟ, ๐๐ผ๐ป๐๐ผ๐น๐ถ๐ฑ๐ฎ๐๐ถ ๐๐ฒ๐ธ๐๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐๐น๐ผ๐ฏ๐ฎ๐น๐ถ๐
Periode 1990-2001 adalah momen unipolar dalam geopolitik dunia di mana Amerika Serikat, pusat blok kapitalis, menjadi pusat dengan sekutu Uni Eropa dan NATO di seberang Atlantik. Rusia berantakan di tangan Yeltsin, ekonomi dikendalikan oligarki transnasional selama satu dekade dan perang chechnya 4 tahun, 1994-1999, dikompori CIA dan Arab Saudi membiayai jihadis dari kawasan Kaukus. Sementara Timur Tengah absen dari perang proksi setelah Irak menduduki Kuwait dan diusir AS tahun 1991.
Dalam momen unipolar ini, agenda globalisasi ekonomi dunia berlangsung di bawah kendali Bill Clinton selama 2 periode pemerintahannya, estafet kebijakan ekonomi neoliberal warisan Reagan dan Thatcher sebelum Perang Dingin berakhir. China menjadi rekan bisnis kekuatan globalis Barat, tempat produksi manufaktur dan teknologi. Perusahaan multi-nasional berkembang biak dan China termasuk India dijadikan markas produksi, padat karya dan berbiaya murah, dalam rantai ekonomi global.
Konsolidasi ini pun mengikat negara-negara Uni Eropa termasuk Inggris yang memperkenalkan ekonomi jalan ketiga di bawah kendali John Brown dan Tony Blair dari Partai Buruh, 1997-2010. Sementara di AS sektor industri manufaktur berlahan beralih ke Cina dan negara-negara lain. Sementara industri jasa dan teknologi informasi berkembang pesat di bawah Bill Gates, Soros, termasuk tentakel media massa sebagai corong propaganda globalisasi.
Sampai akhir periode terbentuk satu kekuatan globalis dalam momen unipolar di blok-Barat. Partai politik dan korporasi transnasional bersekutu dalam suatu barisan bersama aparatus ideologis seperti NGO internasional, universitas dan lembaga-lembaga Think Tank. Aliansi keamanan lama, NATO, tampil kokoh sendiri, sementara Uni Eropa makin berakar dalam sistem ekonomi-politik neoliberal yang dikendalikan Washington.
Dalam semangat American Exceptionalism di tahun pertama abad ke-21, kekuatan kekuatan globalis, dengan AIPAC sebagai pengendali, menargetkan Republik Islam Iran. Dibutuhkan ancaman global untuk mengepung dan menghabisi Khomeini yang anti Israel, membiayai Hamas dan Hezbollah di selatan Libanon. Demikianlah dunia disuguhkan aksi teror Twin Tower di New York, pusat ekonomi global, 11 september 2001. Dibuka periode perang terhadap terorisme, yang telah disiapkan matang, menghabisi 7 negara Islam sekuler anti-Amerika, menuju Iran, sebagaimana testimoni Jenderal Wesley Clark, mantan Komandan NATO, pada tahun 2003.
Periode Global War on Terrorism, GWOT, dimulai dengan deklarasi Bush seminggu setelah kejadian, 20 September 2001. Osama bin dan Alqaida dikejar tapi tidak ditangkap dan dihancurkan sekejab. Dibiarkan menakuti dunia bertahun-tahun, lalu diberantas setelah tak lagi berguna. Tujuan utama menguasai Afganistan, sebagai basis di Asia Tengah menuju Timur Tengah dan membendung bakal pengaruh Rusia di bawah Putin yang anti-globalis sejak ditunjuk sebagai Presiden pada Mei 2000. Kendati Rusia dan China mendukung GWOT, dukungan itu memiliki tujuan geopolitik berbeda untuk kedua negara. Rusia butuh koalisi dengan AS untuk perangi teroris di Kaukus, tentu dengan sikap waspada akan muslihat CIA, sementara China mendapat sinyal masuk ke WTO tahun 2002 sekaligus mengantisipasi Xinjiang Uighur, provinsi otonom paling barat yang kaya minyak dan gas itu, menjadi sarang gerakan teroris.
Tak jelas hasil 2 tahun di Afganistan, sekretaris negara, Collin Powel, menyatakan perang terhadap Irak dengan dalil memiliki WMOD dan mendukung teroris. Kebohongan terbuka di depan Dewan Keamanan PBB, mengawali penghancuran kota Baghdad tahun 2003, memicu perang sipil Suni-Siah 2004-2006, dan Saddam dihukum gantung tahun 2005.Pemerintahan koalisi berganti-ganti dan perang sipil terus berlanjut sampai 2009, membuka kesempatan radikalisasi gerakan islamis wahabi, sampai menjelmakan ISIS di bawah pengawasan AS di kota Mosul.
Sebelum ISIS dihadirkan, percobaan Arab Spring dilakukan dengan kemasan berita dan monopoli informasi. Facebook, milik Zukenberg, menjadi sarana konsolidasi gerakan anti-Qaddafi, anti-Mubarak dan anti-Assad, tiga pemimpin sekuler yang kritis terhadap agenda koalisi AS, Uni Eropa, NATO, Arab Saudi dan Israel. Gerakan ini awalnya tidak memuaskan AS di Kairo karena meloloskan Morsi dari Ikhwanul Muslim sebagai presiden 2012 yang kemudian dikudeta Fatah El-Sisi tahun 2013.
Berhasil menjatuh Qaddafi di Tripoli, menggunakan kelompok jihadis di Benghazi dengan dukungan bom udara NATO sekaligus dibayar dengan dibunuhnya Duta Besar AS Cristopher Stevens di kota tersebut dan hancurnya Libya pasca Qaddafi. Kegagalan politik luar negeri AS dan Hillary Clinton, sekretaris negara kala, sekaligus salah satu isu utama di balik ketidakpercayaan publik terhadap dirinya dalam Pilpres 2016. Skandal ini merapatkan barisan CIA, FBI, partai Demokrat dan Media Massa globalis, menghadang Trump dengan propaganda russiagate dan memburu jurnalisme investigatif seperti Wikileaks dan Julian Assage yang dijadikan sumber informasi membongkar kelalaian dan kejahatan Hillary lainnya.
Aleppo, Syria, Superpower-Regional Proxy War 2016, Source New York Times
๐ ๐ผ๐บ๐ฒ๐ป ๐ ๐๐น๐๐ถ๐ฝ๐ผ๐น๐ฎ๐ฟ, ๐ฅusia ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ต๐ถ๐ป๐ฎ
Selama dekade kedua GWOT, 2011-2019, perilaku geopolitik kekuatan globalis semakin tidak terkendali. Bersembunyi di balik paras lugu Obama, intervensi militer dan manipulasi diplomasi dilakukan di titik-titik sentral geopolitik. Kekuatan ini, bukannya menghancurkan ISIS, malah menggunakan gerakan teror ini sebagai proksi angkatan darat AS, bergerak melewati perbatasan dari Irak bagian utara menuju Damaskus. Ibu kota Suriah ini terancam sementara Raqqa, separuh Alepo, Daraa dan Der-Zoir sudah dikuasai tentara bayaran berjubah hitam ini. Tentara Assad yang sedang menggempur atau menghadang serangan, berkali-kali dibom dan menjadi skandal tetapi ditutupi media global.
Invasi globalis ke Suriah, bertopeng ISIS, membuat berang Rusia dan Iran, dengan kepentingan berbeda. Atas permintaan resmi Assad, SU 27 dan SU 35 dari pangkalan militer Rusia di lepas pantai Latakia mengusir pesawat-pesawat udara AS yang berkeliaran di langit Suriah. Sejak September 2015, peta pertarungan geopolitik di Suriah berbalik arah, memperkuat pengaruh Putin di Timur Tengah. Erdogan yang pelin-pelan terpaksa bergandeng tangan dengan Khomeini bersama Putin. Turki, kedua terbesar di NATO, merapuhkan konsolidasi sayap militer globalis. Dari situ, publik disuguhi berita dari corong propaganda tentang White Helmet, organisasi teroris berkedok aktivis tenaga medis yang dibiayai resmi AS dan Inggris, Assad menggunakan senjata biologis, atau Assad membombardir rumah sakit, dan propaganda lainnya.
Eksperimen gagal di Suriah tidak terlepas dari eksperimen globalis yang terlalu berani di Ukraina, negara batas antara Rusia dan Eropa versi globalis, tahun 2014. Sama seperti kejadian di Suriah 2011, Victoria Nuland, dubes AS, turun ke jalan bersama demostran fasis di Kiev. Demonstrasi didanai, disiapkan matang sebelumnya, akhirnya menjatuhkan Yanokovitch pro-Rusia dengan dugaan korupsi. Ukraina berdarah, wilayah timur, Donetsk dan Luganks, berontak memisahkan diri, dan Crimea, wilayah paling strategis bagi geopolitik Kremlin, diambil Putin dari Ukraina. Dipasangnya Poroshenko, presiden boneka EU-NATO, justru semakin melemahkan pengaruh globalis di kawasan Eropa Timur dan memaksa Angela Merkel Jerman dan Immanuel Macron Perancis bernegosiasi dengan Vladimir Putin, sampai hari ini.
Pertarungan geopolitik di Suriah dan Ukraina adalah terakhir dan paling berbahaya bagi dunia, dibandingkan upaya globalis menggantikan Maduro di Venezuela atau upaya memisahkan Hongkong dari China. Timur Tengah dan Eropa Timur merupakan kawasan strategis dan taktis bagi kepentingan ekonomi, politik dan kemanan Rusia dan China, dua negara pemegang veto yang kian kompak sejak 2011. Dalam seteru ini, pada akhirnya Iran, Rusia dan Turki bersatu sementara AS, Arab Saudi dan Israel keluar dari gelanggang dengan sejumlah trik yang tak berguna. Sekali lagi, disebut seteru paling berbahaya pasca Perang Dingin terutama karena ancaman perang nuklir sangat nyata antara Putin dan kekuatan globalis di balik Obama.
Dalam arsitektur geopolitik baru itu, Rusia bermain dengan apik, termasuk bernegosiasi dengan bin salman dan netanyahu. Ankara membeli sistem pertahanan udara tercanggih, S-400, dan Moscow membangun reaktor nuklir untuk Turki. Guncangan terbesar di dalam NATO setelah upaya kudeta terhadap Erdogan tahun 2016. Sementara dalam kaitan dengan seteru abadi antara Iran dan Israel, Rusia mengambil posisi penyeimbang kendati pun tahu persis Benyamin Netanyahu menggunakan Trump, membatalkan Kesepakatan Nuklir Iran warisan Obama dan NATO.
Dengan demikian memasuki periode akhir dekade kedua GWOT ini, Rusia menjadi kunci stabilitas keamanan global, termasuk kawasan Eropa. Di saat bersamaan, China menjadi kekuatan ekonomi dunia terbesar kedua. Aliansi keamanan dan integrasi ekonomi antara Rusia dan China terbentuk selama periode ini. Manuver globalis selama satu dekade mendorong Putin dan Xi Jinping bersekutu, suatu persekutuan yang diprediksi akan bertahan 5 sampai 10 tahun ke depan. Aliansi ini juga nantinya bergantung kepada hasil akhir pertarungan globalis di balik Joe Biden melawan Donald Trump melalui pandemi Covid 19, menuju peristiwa paling menentukan geopolitik dunia 2020, yaitu pemilihan presiden AS November 2020.
Putin dan Xi Jinping memegang kartu penentu masing-masing, dalam berhadapan dengan Trump maupun kekuatan globalis di balik partai Demokrat. Putin dan Xi akan terus berkuasa setidaknya 4 tahun ke depan, menanti orientasi geopolitik AS pasca pilpres AS. Sebagaimana akan diuraikan pandemi covid 19, adalah taruhan hidup mati dua kubu mewakili AS ke masa depan geopolitik baru. Karena itu, perhatian terhadap pandemi Covid di AS memiliki arti sangat penting bagi masa depan ekonomi dunia, terutama masa depan kematian dan kehidupan dari hasil dan proses pertarungan geoplitik terkini membajak virus corona.
Postingan Facebook, 3 Mei 2020