Tragedi 1965 belum tuntas dibahas. Kita lebih sering bertengkar daripada mencapai kata sepakat. Diskusi akademik dan debat publik tidak mencerdaskan generasi muda. Bukan karena tafsir saling bertabrakan, tapi gagal paham kisruh politik nasional dan dunia yang melahirkan tragedi terburuk dalam sejarah bangsa. Yaitu, Indonesia dalam kemelut Perang Dingin (Cold War).
Salah satu sebab utamanya adalah kegagalan kita memahami Sukarno dan para petualang politik dalam drama tersebut. Sukarno berpikir tentang Indonesia yang besar di pentas dunia yang bergolak, sementara 3 kekuatan Nasakom bersiasat saling menjegal menjadi yang paling berkuasa dalam negeri. Hal ini sudah berlangsung sejak KTT Non-Blok dan Pemilu pertama kali tahun 1955. Dua arus tak sejalan, bertemu di Lubang Buaya, satu dasawarsa berikutnya.
Sampai bulan September 1965, Sukarno berpikir geopolitik untuk menjaga persatuan Indonesia. Dia sibuk menyatukan Islam, Nasionalis dan Komunis. Persatuan itu coba digarap dengan mobilisasi tiga kekuatan mengusir Belanda dari Papua, Trikora 1961-1962, dilanjutkan dengan Inggris kita linggis, Amerika kita setrika di perbatasan Indonesia-Malaysia, Mandala Siaga 1962-1966.
Bagi Sukarno, revolusi belum selesai. Bangsa ini terbentuk karena ada musuh bersama kolonialisme dan harus terus dijaga dengan menghadang neo-imperialisme Barat dalam Perang Dingin. Sampai tragedi terjadi, Sukarno tak berubah, menggarap revolusi yang belum selesai. Pidato-pidatonya makin menggelegar, menerjang luar-dalam Indonesia. Karena dia sadar dan awas, infiltrasi kiri dan kanan sudah merasuk ke dalam tiga pilar Nasakom.
Sukarno tak sadar sepenuhnya, tiga kekuatan politik menikamnya dari belakang. Dengan skenario lempar batu sembunyi tangan, yang salah kaprah dinamakan kudeta. Mereka saling menjegal di hadapan Sukarno yang berpikiran besar dan tubuhnya kian melemah.
Agenda PKI, bersama elemen tertentu dalam AU, menjadikan Indonesia negara satelit Komunis Internasional. Agenda Islam politik, bersama elemen tertentu dalam AD, memberantas PKI yang punya massa rakyat seantero Jawa. Sementara agenda Nasionalis, bersekutu juga dengan AD dan Islam politik, mengamankan kelas ekonomi kota-desa dan kasta birokrasi-aristokrasi. Di berbagai front, aksi saling menjegal berlangsung. Rapat akbar, di mana-mana, ajak konfrontasi, surat kabar menyulut perpecahan, dan para pihak perkuat aliansi berbeda dengan poros Jakarta-Peking dan poros Jakarta-Washington.
Sukarno lengah, seruan tiga pilar bersatu tak lagi bertenaga. Para oportunis kelas kakap sudah lama bergerilya dalam medan politik. Mereka, para tokoh dari tiga kekuatan, saling membajak peristiwa genting selama 2 hari itu, 30 september-1 Oktober. Yang jadi pemenang adalah yang paling cerdik di antara ketiganya.
Intinya, geopolitik Sukarno membentuk dan membesarkan negara-bangsa dikalahkan oportunisme politik. Oportunisme itu, karma politik, diwariskan sampai hari ini. Yaitu, politik elit–politik itu urusan elit. Tanpa rakyat, tanpa sosok Sukarno–politik tanpa Pancasila yang otentik.
Sekali lagi, mari belajar dari sejarah, dengan ketekunan, kepala dingin dan hati terluka, atas kematian anak bangsa, delapan ratus ribu sampai dua juta jiwa terbunuh dalam tragedi politik ini. Jasmerah, kata Sukarno, dalam pidato 17 Agustus 1966. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!!
(Frans Djalong. 29 September 2020)