Tata Kelola Pemilu untuk Demokrasi: Antara Liberasi dan Emansipasi (2018)

Tata kelola penyelenggaraan Pemilu merupakan topik sentral bagi praktek demokrasi substansial. Tata kelola tersebut memastikan terselenggaranya sistem politik yang menjamin keberlanjutan formasi kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Tulisan ini bertolak dari dua argumen. Pertama, tata kelola Pemilu sebagaimana tercermin dalam regulasi dan praktek elektoral pasca Reformasi menekankan aspek liberasi politik, yaitu penjaminan hak dan partisipasi politik. Kedua, kondisi dislokasi atau krisis demokrasi terkini menuntut transformasi dari aspek liberasi menuju aspek emansipasi, yaitu penekanan pada pedagogi dan praksis politik berbasis gerakan kolektif yang digarap oleh seluruh stakeholder Pemilu.

Argumen ini dibangun dalam rangka mendorong prinsip dan praktek tata kelola Pemilu yang selaras dengan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam demokrasi Pancasila, rakyat merupakan agregasi individu yang membentuk gerakan politik kolektif. Tanpa emansipasi, tata kelola Pemilu terjebak dalam dua kecenderungan umum, yaitu demokrasi liberal dan monopoli oligarki terhadap institusi dan sumber daya politik.

Kata Kunci: Tata Kelola, Pemilu, UUD 1945, Pancasila, UU Pemilu, Liberasi,  Emansipasi

Pilpres 2019, pesta politik identitas, kombinasi unik antara developmentalisme teknokratis dan nasionalisme ekonomi otoritarian, (Sumber Foto: CNBC Indonesia)

Pendahuluan: Melacak Urgensi Tata Kelola Pemilu   

Pemilihan Umum adalah bagian integral dari demokrasi. Sistem politik tanpa pemilu sudah tentu tidak demokratis. Bisa dikatakan Pemilu menjadi fundamen praktis dan teknis dari keseluruhan operasi sistem politik demokrasi. Dalam studi politik dan demokrasi, pendapat ini berlaku mutlak. Mengingat hanya melalui pemilihan umum rakyat sebagai warga negara berinteraksi, bernegosiasi dan menentukan pemimpin pemerintahan nasional dan lokal, baik untuk formasi kepemimpinan birokrasi maupun parlemen (O’Donnel, 1997; Dye & Zeigler, 1997). Sekaligus praktek ini menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi dan konsolidasi demokrasi selama 5 tahun berikutnya.

Satu isu pokok dalam Pemilu adalah tata kelola dan penyelenggaraan. Hari ini isu ini semakin penting untuk kembali dibahas. Urgensi isu ini dalam negeri juga sebagian terbesar didorong oleh situasi politik global terkini. Kisruh pemilihan umum terjadi di berbagai negara, di kawasan Eropa, Asia dan Amerika Utara dan Amerika. Amerika Serikat, misalnya, dilanda krisis politik sampai sekarang yang berpangkal pada kisruh pilpres tahun 2016. Dipicu oleh berbagai isu terutama isu tidak netralnya pemerintah yang berkuasa, intervensi asing melalui peretasan sistem teknologi pemilu sampai ke percakapan publik dunia tentang hoax, fake news dan post-truth. Hal serupa juga terjadi di Venezuela, Inggris dan Perancis. Singkatnya, isu tata kelola saat ini adalah topik politik global terdepan, sebagai masalah dan tantangan bagi praktek demokrasi substansial.

Dalam negeri kita sendiri, diskusi publik tentang tata kelola penyelengaraan pemilu dipicu penerapan UU No 7 2017 tentang Pemilu. Secara umum diskusi tersebut masih berkisar tentang terselenggaranya pemilu yang efisien dan efektif. Hal ini bisa dimaklumi mengingat para shareholder pemilu menjalankan peran politis dan peran kelembagaan berdasarkan rujukan dan dalam koridor regulasi tersebut.

Di lain pihak, debat akademis mengajak publik untuk memeriksa kaitan antara tata kelola yang efektif dan terealisasinya substansi demokrasi (Tornquist & Stokke, 2009; Beetham, 2007); Lay, 2006). Khusus demokrasi Pancasila, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kendati masih terbatas kajian akademis, dirasa sangat mendesak untuk memastikan performa regulasi tata kelola memfasilitasi partisipasi aktif warga negara dan terbentuknya formasi kepemimpinan dan perwakilan politik yang representatif dan agregatif, selain integritas moral dan kecakapan teknis.

Bertolak dari pokok pikiran di atas, tulisan ini hendak menegaskan kembali kedaulatan rakyat yang dijamin UUD 1945. Bahwa tata kelola penyelengaraan pemilu tidak hanya memastikan kebebasan politik warga negara tetapi terpenting lagi warga negara merealisasikan hak politiknya sebagai kekuatan politik kolektif untuk keadilan ekonomi dan kesetaraan politik selama dan sesudah pemilu. Argumen utamanya adalah bahwa tata kelola pemilu yang efektif akan berkontribusi bagi pendalaman demokrasi sepanjang berdaya transformasi kebebasan politik—liberasi menjadi pemberdayaan politik—emansipasi.

Dalam diskusi tentang tata kelola, tarik menarik antara liberasi dan emansipasi perlu dipertegas, diperlihatkan dan dijadikan acuan untuk eksperimentasi demokrasi berkelanjutan (Mouffe, 2005; Tambaki, 2010; Stokke, 2013). Intisari tata kelola adalah memfasilitasi berlangsungnya kerja kelembagaan pemangku pemilu agar terjadi transformasi kebebasan individu warga negara menjadi gerakan politik kolektif berbasis kepentingan konkrit seperti kepentingan kelas pekerja, kelompok profesional, perkumpulan petani, nelayan, kalangan pendidik, kaum muda kreatif, kalangan pelajar dan mahasiswa pergerakan. Tata kelola tidak lagi minimalis atau sekedar instrumen-prosedur tapi arena transformasi, sebagai instrumentasi demokrasi substansial, menghubungkan struktur-atas formasi elit dan struktur-bawah gerakan rakyat/demos selama dan sesudah pemilihan umum.  

Tulisan ini dibuka dengan penegasan konteks, urgensi dan argumen pokok. Pengantar ini penting untuk mendasari pembahasan selanjutnya Pada Sesi Potret Terkini Tata Kelola Pemilu diuraikan rezim tata kelola yang mencakup stakeholder dan proses. Uraian bersifat deskriptif sekaligus menghantar pada diskusi tarik menarik antara liberasi dan emansipasi pada bagian berikutnya. Sesi ketiga, Masalah dan Tantangan Tata Kelola Pemilumembahas tantangan dan peluang bagi tata kelola untuk demokrasi substansial. Krisis demokrasi terkini perlu menjadi perhatian tata kelola pemilu. Perhatian ditujukan pada dua aspek fundamental demokrasi, yaitu pertama pendidikan politik menjamin liberasi dan kedua, kerja politik emansipasi menggarap demos—gerakan politik kolektif. Tulisan ini diakhiri dengan sejumlah catatan penting untuk praktek tata kelola pemilu berdimensi emansipatoris. 

Potret Terkini Tata Kelola Pemilu

Tata kelola penyelenggaran Pemilihan Umum (Pemilu) memiliki pendasaran hukum dan politis melalui regulasi terkini. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pemilu, Pemilu adalah  proses pemilihan anggota DPR RI, anggota DPD RI, pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, dan anggota DPRD, yang diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL). Sementara pengaturan penyelenggaraan pemilu dijalankan oleh dan melibatkan berbagai elemen negara serta melalui berbagai tahapan disebut sebagai tata kelola Pemilu. Tata kelola Pemilu di Indonesia berkaitan dengan dua dimensi utama, yakni Stakeholder Pemilu (electoral stakeholders) dan Proses Pemilu (electoral process). Stakeholder berkaitan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu, sementara Proses Pemilu berkaitan dengan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu.  

Pemangku Pemilu

Pemangku pemilu di Indonesia, sejauh yang disebutkan dalam UU Pemilu dan secara faktual terlibat dalam penyelenggaraan pemilu selama ini, setidaknya meliputi sejumlah pihak berikut:

  1. Pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat yang bertugas menyusun regulasi kepemiluan dan berkewajiban menyelenggarakan pemilu secara rutin.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat, yang bersama pemerintah menyusun regulasi kepemiluan.
  3. Penyelenggara pemilu, yang meliputi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya di daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajarannya di daerah, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
  4. Aparat penegakan hukum pemilu, yang bertugas mengamankan penyelenggaraan pemilu serta menyelesaikan sengketa kepemiluan tertentu, yang meliputi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan jajarannya, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung beserta jajarannya.
  5. Peserta pemilu, yang merupakan konstestan dalam pemilu serta meliputi partai politik dan perseorangan.
  6. Pemilih, yakni warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi persayaratan sebagai pemilik hak suara dalam penyelenggaraan pemilu.
  7. Pihak lainnya, misalnya pengamat dan pemantau independen, media dan institusi-institusi khusus lainnya.

Lebih lanjut, stakeholder Pemilu dapat dikelompokkan menjadi tiga klaster utama, yakni (1) elemen negara, meliputi pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP), dan aparat penegakan hukum pemilu; (2) elemen partai politik dan perseorangan, sebagai kontestan atau peserta pemilu; dan (3) elemen pemilih, sebagai pemegang kedaulatan yang dikonversi menjadi suara dan kursi bagi kontestan melalui pemilu. Ketiga elemen utama stakeholder ini berperan sangat vital menentukan terciptanya pemilu yang efisien dan efektif dan demokratis berdasarkan asas LUBER JURDIL, memastikan berjalannya pemilu sebagai mekanisme demokrasi prosedural sekaligus substansial, menciptakan pemerintahan yang absah pasca pemilu serta memastikan adanya artikulasi dan agregasi kepentingan warga negara dalam pemerintahan tersebut.

Proses Pemilu

Penyelenggaraan pemilu berdasarkan UU Pemilu meliputi 11 tahapan. Dimulai dengan tahapan penetapan program, anggaran dan penyusunan peraturan pelaksanaan pemilu hingga tahapan pelantikan dan pengambilan sumpah pemenang pemilu. Proses ini mencakup tiga tahapan utama yang menjadi dasar penting pelaksanaan pemilu demokratis. Disebutkan sebagai berikut.

  1. Tahap Partisipasi

Diselenggarakan KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Tahap ini berisikan rangkaian kegiatan penetapan calon pemilih dan pendaftaran pemilih. Tahap ini menarget warga negara Indonesia yang telah memenuhi persyaratan untuk menggunakan hak pilih dalam pemilu. Disebut partisipasi atau liberasi karena tahapan ini mensyaratkan keterlibatan warga negara dalam memberikan pilihan politik pada kandidat atau konstestan pemilu.

Tahap partisipasi, sebagai domain kerja penyelenggara pemilu, meliputi tahap pendataan kependudukan, pendataan penduduk potensial pemilih dalam pemilu, pemutakhiran data pemilih, penyusunan daftar pemilih sementara, penyusunan daftar pemilih tetap dan rekapitulasi daftar pemilih tetap. Tujuan utama liberasi politik melalui pemilu adalah menciptakan pemerintahan yang sah berbasis dukungan warga negara. Tingkat partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator pemilu demokratis.

Rangkaian aktivitas penyelenggara pemilu dalam memastikan partisipasi-liberasi politik warga negara melalui pemilu adalah upaya menciptakan pemilu demokratis yang kemudian berdampak pada pemerintahan pasca pemilu yang kuat secara hukum dan politis. Liberasi politik melalui pemilu di Indonesia menyasar warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu, seperti telah berusia 17 tahun, telah menikah atau pernah menikah, atau mempunyai hak politik berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu. Pada tahap ini, penyelenggara pemilu seperti KPU/KPUD dan Bawaslu berkoordinasi dengan pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Daerah, dalam hal pendataan kependudukan dan data penduduk potensial pemilih.

  • Tahap Kandidasi

Meliputi proses seleksi calon kontestan pemilu. Tahap kandidasi ini menyasar partai politik dan perseorangan, serta pasangan calon untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Tahap kandidasi berdimensi administratif dan politis. Kandidasi administrasi adalah domain kerja penyelenggara pemilu yang berwenang menilai kelayakan dan menetapkan partai politik/perseorangan sebagai kontestan pemilu. Sementara itu, kandidasi politis dilakukan oleh partai politik dan atau gabungan partai politik dalam melakukan seleksi atas perseorangan atau pasangan calon presiden dan wakil presiden agar layak diusung sebagai kontestan pemilu.

Tahap kandidasi, sebagaimana telah kita bahas, menjadi domain kerja berbeda berdasarkan dimensi adminitratif dan politis. Tahap kandidasi mempunyai tata cara berbeda untuk pemilihan anggota DPR/DPRD, pemilihan anggota DPD, dan pemilihan presiden dan wakil presiden baik dalam dimensi administratif maupun dimensi politis. Dimensi administratif menjadi domain kerja penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU/KPUD dan Bawaslu.

Proses kandidasi administratif oleh penyelenggara pemilu meliputi penerimaan pencalonan kontestan pemilu (partai politik, pasangan calon presiden/wakil presiden, calon anggota DPR/DPRD, dan calon anggota DPD), verifikasi dokumen persyaratan pencalonan, penetapan partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon sementara untuk DPR/DPRD dan DPD, penetapan daftar calon tetap untuk DPR/DPRD dan DPD, dan penetapan pasangan calon untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

KPU/KPUD bertugas menerima pendaftaran kontestan pemilu, melakukan verifikasi dokumen persyaratan serta melakukan penetapan kontestan. Sementara Bawaslu bertugas melakukan pengawasan terhadap proses verifikasi pencalonan kontestan oleh KPU/KPUD. Dalam beberapa bagian, penyelenggara pemilu berkoordinasi dengan Kepolisian Republik Indonesia dan pengadilan dalam proses kandidasi administratif (Pasal 254 dan Pasal 255 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu).

Proses kandidasi politis pada pemilu merupakan domain kerja partai politik, gabungan partai politik dan perseorangan tergantung jenis pemilu yang diikuti. Dalam pemilihan presiden/wakil presiden, kandidasi politis dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang telah melewati ambang batas pengajuan calon presiden/wakil presiden, yakni mencapai perolehan kursi minimal 20% di DPR atau memperoleh 25% dari total suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (Pasal 222). Pada pemilihan anggota DPR/DPRD, kandidasi politis dilakukan oleh partai politik peserta pemilu terhadap calon perseorangan yang melamar melalui partai politik (Pasal 241). Sementara itu, dalam pemilihan anggota DPD, kandidasi politik dilakukan oleh perseorangan dengan berbasis pada dukungan suara minimal untuk menjadi kontestan (Pasal 258 dan Pasl 260).

Kandidasi politis oleh partai politik atau gabungan partai politik adalah  domain yang seringkali tidak bisa dimasuki penyelenggara pemilu karena adanya perbedaan mekanisme kandidasi pada masing-masing partai politik peserta pemilu dan juga sepenuhnya menjadi hak partai politik atau gabungan partai politik. Demikian juga dengan kandidasi perseorangan untuk anggota DPD. Meski dalam UU Pemilu diatur tentang larangan partai politik atau gabungan partai politik menerima imbalan apapun dari pasangan calon presiden/wakil presiden dan calon anggota DPR/DPRD yang diusung, tidak ditemukan landasan hukum yang cukup kuat bagi penyelenggara untuk kemudian dapat membuktikan dan memberikan sanksi kepada para kontestan pemilu.

Hal sama berlaku untuk kandidasi perseorangan untuk pemilihan anggota DPD. Tidak ada landasan hukum kuat bagi penyelenggara pemilu untuk menelusuri lebih lanjut kemudian membuktikan apakah proses penjaringan dukungan minimal dilakukan melalui praktik-praktik tidak demokratis dan kemudian memberikan sanksi kepada calon kontestan. Verifikasi administratif oleh penyelenggara sejauh ini hanya mencakup tercapainya dukungan minimal pencalonan.

  • Tahapan Kontestasi

Tahap terakhir dari proses elektoral adalah tahap kontestasi, yang meliputi tahapan kampanye ketika para kontestan pemilu mulai melakukan pendekatan kepada pemilih, tahap pemungutan suara, tahap penghitungan dan rekapitulasi suara, penyelesaian sengketa hasil pemilu hingga penetapan pemenang pemilu. Dalam tahapan ini, penyelenggara pemilu kembali memainkan peran penting memastikan jalannya kontestasi hingga tahap akhir. Tahap kontestasi ini merupakan puncak dari penyelenggaraan pemilu dan mensyaratkan saling terhubungnya aktivitas ketiga elemen utama electoral stakeholders: negara (termasuk penyelenggara), kontestan pemilu (partai politik, pasangan calon dan perseorangan) dan pemilih (warga negara).

Peran elemen negara, termasuk penyelenggara pemilu, sangat krusial dalam memastikan berlangsungnya pemilu demokratis dengan dukungan kontestan pemilu dan pemilih. Kesuksesan penyelenggaraan pemilu yang demokratis sangat ditentukan oleh proses kontestasi ini. Melalui proses inilah indikator-indikator pemilu demokratis diukur: tingkat partisipasi pemilih, kampanye damai, pemungutan suara yang LUBER JURDIL, penyelenggaraan pemilu independen, penyelesaian sengketa hasil pemilu yang efektif dan adil, dan pembentukan pemerintahan yang sah secara hukum dan politis.  

Uraian di atas merupakan gambaran praktik terkini tata kelola pemilu di Indonesia berdasarkan UU Pemilu terbaru yang akan dijalankan mulai tahun 2019. Beberapa poin penting pembahasan di atas, antara lain (1) tata kelola pemilu sangat terkait dengan electoral stakeholders dan electoral process; (2) Stakeholder Pemilu dapat dikelompokkan ke dalam tiga elemen utama: negara (termasuk penyelenggara), kontestan pemilu dan pemilih; dan (3) Proses Pemilu dapat dibagi ke dalam tiga tahapan utama: tahap partisipasi-liberasi politik, tahap kandidasi administratif dan politis dan tahap kontestasi.

Masalah dan Tantangan Tata Kelola: Dari Liberasi menuju Emansipasi Politik

Potret tata kelola pemilu di atas patut dibenturkan dengan praktek politik elektoral terkini. Para penstudi politik dan demokrasi sepakat bahwa politik elektoral Indonesia ditandai sejumlah persoalan fundamental. Persoalan tersebut dapat diringkas ke dalam 4 masalah utama berikut: (i) menguatnya oligarki elit politik, (ii) depolitisasi warga negara (iii) meningkatnya wacana politik identitas, dan (4) absennya gerakan atau blok politik (Hadiz, 2016; Heffner, 2002; Robison, 2004; Klinken, 2007). Pertanyaan fundamentalnya adalah bagaimana menjadikan tata kelola pemilu sebagai instrumentasi administratif-politis untuk mendorong transformasi liberasi politik yang berbasis hak menuju emansipasi politik berbasis gerakan kelompok kepentingan konkrit di kalangan warga negara.  

Tata kelola pemilu di Indonesia cenderung mengedepankan prinsip demokrasi prosedural dengan kuatnya upaya liberasi politik warga. Hal ini tentu penting sebagai infrastruktur demokrasi. Kendati demikian, tampak jelas proseduralisme tata kelola  belum membahas substansi demokrasi, yaitu emansipasi politik warga negara sebagai subyek politik berupa kelompok kepentingan berdaya tawar kuat dalam interaksi politik dengan partai dan elit politik. Kentalnya aroma demokrasi prosedural melayani agenda liberasi tampak dari upaya terukur setiap stakeholder untuk menciptakan tahapan-tahapan pemilu yang legal secara hukum dan melibatkan mobilisasi partisipasi pemilih dengan tujuan utama membentuk formasi kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Tata kelola pemilu dimaksud tidak mampu memastikan bahwa demokrasi substansial dan emansipasi politik tercapai. Demokrasi substansial dan emansipasi politik memuat gagasan bahwa gerakan politik warga negara beserta kepentingan-kepentingan sebagai pemilih terintegrasi ke dalam tata kelola pemilu. Di satu sisi, warga negara memperoleh hak politik dan dijamin realisasinya melalui tata kelola pemilu yang efisien dan efektif saat ini, mengingat digalakkannya berbagai upaya penyelenggara pemilu untuk meningkatkan tingkat partisipasi secara fisik dan numerik. Namun di sisi lain, sebetulnya terjadi penurunan tingkat partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu. Fenomena ini mencerminkan tata kelola pemilu dianggap tidak akomodatif oleh pemilih dan cenderung menguntungkan oligarki politik tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.

Selain itu, tata kelola pemilu di Indonesia belum mampu memastikan apakah pemerintahan yang terbentuk pasca pemilu (pemerintah, DPR/DPRD dan DPD) benar-benar mencerminkan berbagai kepentingan dan gerakan politik warga negara dan kemudian menjadi alat artikulasi dan agregasi kepentingan-kepentingan tersebut. Pemilu kemudian dipandang hanya bertujuan membentuk pemerintahan melalui proses pemilihan yang legal dan absah secara politis. Namun Pemilu dianggap belum mampu membentuk dan menghadirkan formasi kepemimpinan dan penyelenggaraan birokrasi pemerintahan yang mampu mengatasi persoalan krusial pembangunan. Persoalan klasik tersebut antara lain pengentasan kemiskinan, distribusi merata akses ke sumber daya publik dan tata kelola kebijakan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dari perencanaan sampai evaluasi program pembangunan.

Dirumuskan secara berbeda, fokus tata kelola pemilu yang bersifat teknis-administratif pada tiga tahap—partisipasi, kandidasi, kontestasi—memberi arena yang makin tak terkontrol bagi konsolidasi oligarki melalui monopoli terhadap kandidasi internal partai politk dan depolitisasi terhadap pemilih melalui pencitraan politik elit dan diseminasi wacana identitas, khususnya isu SARA dalam membentuk konstituensi politik. Dengan kata lain, tata kelola yang terlampau teknis paling diminati oportunis politik, memicu konsolidasi oligarki dan terabaikkannya kerja politik agregasi kepentingan warga negara melalui ajang elektoral. Lalu pada gilirannya, pemilu dipandang sekedar momen berkala perjumpaan antara kawanan elit politik dan konstituen yang berserakan tanpa daya tawar memadai dalam penyelenggaraan pembangunan lima tahun pasca pemilu.

Tata kelola Pemilu dan Dislokasi Politik

Tantangan terbesar tata kelola pemilu menuju emansipasi politik setidaknya dapat dilacak melalui dua kondisi terkini praktek politik elektoral, yaitu (1) absennya kerja agregasi-representasi oleh partai politik dan (2) absennya blok politik di kalangan warga negara. Dua kondisi ini saling berpengaruh dan memberi tantangan tersendiri bagi tata kelola pemilu untuk demokrasi substansial.

Krisis kerja representasi oleh partai politik bukan isu baru dalam praktek politik Indonesia. Partai politik sejauh ini masih berlaku sebagai kendaraan politik elit atau petualang politik baru tanpa menggarap kerja politik agregasi kepentingan. Hal tersebut dalam prakteknya terdeteksi pada dua tahap dalam proses elektoral, yaitu tahap kandidasi dan kontestasi. Kandidasi, misalnya, tidak dirancang melalui kaderisasi dan pembekalan politik memadai dalam agenda kerja tahunan partai. Konsekuensi jelas bahwa partai politik melakukan kandidasi mendadak dengan mengutamakan figur-figur populer tanpa basis gerakan politik akar rumput.

Dampak lanjutan dari krisis kerja representasi terbaca dengan jelas pada tahap kontestasi. Terlepas dari regulasi yang bersifat teknis dan dikawal ketat, interaksi antara kandidat/partai dan pemilih berisikan mobilisasi dan konsolidasi konstituen politik berbasis komunal SARA dan diramaikan dengan kampanye program bombastis dan tak sikron satu sama lain. Hal ini tidak saja disebabkan oleh tidak adanya ideologi politik partai politik yang jelas atau kerangka kebijakan makro, tetapi juga diperparah oleh rendahnya kapasitas dan kompetensi para kandidat sebagai bakal pejabat publik. 

Dislokasi atau krisis representasi partai politik sejalan dengan absennya blok politik di kalangan warga negara pemilih. Blok politik merupakan istilah standar untuk menerangkan adanya kelompok kepentingan dalam mana warga negara/pemilih membentuk asosiasi-kelompok kepentingan sebagai prasyarat substansial dari praktek demokrasi modern. Adanya blok politik warga negara dapat berkembang menjadi aliansi politik antar blok kepentingan yang semakin menunjukkan kematangan sistem politik demokrasi.

Sejak Reformasi baik blok maupun aliansi antar blok kepentingan belum menjadi fokus pendidikan politik baik oleh partai politik maupun oleh kalangan pegiat demokrasi. Blok politik berbasis kepentingan konkrit sejatinya adalah imperatif kerja partai politik. Akan tetapi, ketatnya kompetisi politik dan minimnya asosiasi kepentingan warga negara semakin mengabaikan pentingnya pendidikan dan konsolidasi politik berbasis gerakan. 

Keluar dari Kemelut Liberasi

Dua kondisi dislokasi politik tersebut perlu dipandang sebagai tantangan dan peluang bagi peningkatan peran stakeholder pemilu, khususnya penyelenggara, kontestan dan pemilih. Bagi pihak kontestan menggarap konstituen politik berbasis  gerakan atau blok kepentingan akan lebih memastikan pencapaian elektoral secara lebih terukur dan berkelanjutan pasca pemilu. Bersamaan dengan itu muncul dan terpelihara afiliasi ideologis pemilih dan apresiasi publik terhadap partai politik dan kandidat. Termasuk di dalamnya, terpelihara hubungan representasi selama lima tahun pasca pemilu. Selain memperkuat performa partai politik, berlangsungnya kerja agregasi tersebut memastikan partai politik dan politisi merawat tugas perwakilan politik secara berkelanjutan dalam arena pembuatan kebijakan pembangunan selama lima tahun.

Bagi penyelenggara pemilu—KPU, Bawaslu dan DKPP—kerja liberasi politik perlu dihubungkan dengan agenda emansipasi di atas. Hal ini perlu dipertegas karena, sebagaimana diargumenkan sebelumnya, liberasi politik tanpa emansipasi hanya menjadikan tata kelola pemilu sebagai pentas politik oligarki nasional dan patronase lokal semata. Tantangan ini tentu berat sekaligus sebuah keniscayaan mengingat baik kontestan maupun warga negara-pemilih masih terkunci pada isu liberasi—hak dan partisipasi.

Pendidikan dan advokasi politik bagi kontestan dan warga pemilih tidak harus selalu bersifat negatif dalam arti berupa larangan dan pembatasan. Sebaliknya juga memainkan peran positif dalam arti menawarkan atau mengusulkan model dan wacana elektoral yang kontekstual terkait pembangunan ekonomi, pelayanan publik dasar dan kohesi sosial. Hal ini tentu mensyaratkan penyelenggara pemilu dibekali wawasan dan kompetensi memadai, menggeser perannya dari sekedar teknisi-birokrat demokrasi menjadi pegiat-aktivis demokrasi substansial. 

Di tengah krisis representasi dan agregasi oleh kontestan, warga negara pemilih perlu mengambil langkah tersendiri atau inovasi politik pada tingkat akar rumput. Konstitusi dan regulasi pemilu sejatinya mendaulatkan rakyat sebagai subyek politik. Tentu hal ini bukan hal yang mudah dilakukan mengingat warga negara terkotak-kotak dalam identitas dan kepentingan yang beragam.

Inovasi politik membangun gerakan pemilih berbasis kelompok kepentingan merupakan pekerjaan rumah bagi pegiat demokrasi khususnya masyarakat sipil yang melakukan adovokasi pembangunan sektoral dan lintas sektoral, seperti NGO, lembaga pendidikan tinggi dan media massa. Tantangan terkini bagi para pegiat demokrasi di luar penyelenggara adalah konsolidasi gagasan dan koordinasi kerja advokasi di antara mereka pada tingkat akar rumput. Hal ini pun mensyaratkan tidak hanya kompetensi teknis tetapi kecakapan politik membangun kesadaran dan gerakan politik warga negara secara kolektif.

Dari penjelasan di atas, segera terbaca bahwa perhatian pada aspek emansipasi politik oleh para stakeholder pemilu dipastikan membawa empat konsekuensi fundamental pasca elektoral bagi demokrasi substansial.

Pertama, hasil pemilu menjadi kredibel dalam arti ruang bagi sengketa pemilu semakin terbatas. Emansipasi politik menekankan visibilitas proses dan pertarungan kepentingan yang jelas dan terukur di dalam mana manuver atau oportunisme elit selama rangkaian tahapan pemilu mudah terdeteksi dan diatasi.

Kedua, psikologi politik pasca pemilu bersifat mendukung formasi kepemimpinan baru dan penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun. Kalah-menang dalam ajang elektoral tidak berpengaruh pada transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah pasca pemilu. Demikian halnya kohesi sosial di kalangan pemilih atau kelompok kepentingan tidak mewarisi eskalasi politik selama pemilu.

Ketiga, kredibilitas penyelenggara pemilu terjaga dengan baik sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dan kepercayaan rakyat terhadap sistem politik demokrasi itu sendiri.  

Catatan Penutup

Keseluruhan uraian dalam tulisan ini menegaskan pentingnya menghubungkan aspek liberasi dengan aspek emansipasi dalam tata kelola pemilu di Indonesia. Pemilihan umum mempertaruhkan kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin UUD 1945 dan Pancasila. Argumen dalam tulisan ini tidak menolak pentingnya aspek liberasi yang selama ini menjadi fokus dari tata kelola pemilu. Sebaliknya, aspek liberasi yang tercermin dalam tiga tahap pemilu—partisipasi, kandidasi, dan kontestasi—harus ditransformasi dengan penekanan pada aspek emansipasi. Hal ini mengingat tata kelola pemilu berlangsung dalam kondisi dislokasi politik Indonesia, baik tingkat lokal maupun nasional.

Transformasi menuju demokrasi substansial mensyaratkan diskusi politik yang berkelanjutan mengenai emansipasi politik. Indonesia menganut paham demokrasi Pancasila, mendaulatkan rakyat sebagai subyek politik—dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat dalam arti suatu kolektivitas politik, tercermin dalam gerakan politik berbasis kelompok kepentingan atau blok politik.

Hal ini dalam rangka mengatasi fenomena politik elektoral di mana rakyat sekedar obyek manipulasi elit politik dan sasaran propaganda media oligarki. Hanya dengan memperkuat emansipasi politik berbasis gerakan kolektif yang digarap oleh seluruh stakeholder pemilu, demokrasi Pancasila dapat mengelola ketegangan permanen antara kecenderungan demokrasi liberal yang merayakan kebebasan individu dan teknokrasi yang melanggengkan oligarki di Indonesia.      

 (Frans Djalong. Bab IV, Buku Mengembangkan Sistem Perwakilan Politik Berintegritas, Badan Pengkajian MPR RI, 2018, hal 58-72 ) 

Referensi

Beetham, David. Democracy and Human Rights. Cambridge: Polity Press, 2007

Dahl, Robert ed. The Democracy Sourcebook. Massachusetts: MIT, 2003

Dye, Thomas dan Harmon Zeigler. ‘The Irony of Democracy’, dalam Eva Etzioni-Halevy (ed) Classes and Elites in Democracy and Democratization. New York: Garland Publishing

Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Singapore:     Equinox Publishing, 2007 

Hadiz, V. R. 2016. Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press.

Heffner, Robert. 2002. “Global Violence and Indonesia Muslim Politics”. American Anthropologist, New Series, Vol.104, No.3 (Sep.), pp 754 – 765

Hiariej, Eric dan Stokke, Kristian ed. Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Buku Obor, 2017

Laclau, Ernesto. Emancipation(s). London: Verso, 1996

Lay, Cornelis. Involusi Politik: Esei-Esei Transisi Indonesia. Yokyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2006

Mouffe, Chantal. On the Political. London: Routledge, 2005

O’Donnel, Guillermo. ‘Delegative Democracy’, dalam Eva Etzioni-Halevy (ed) Classes and Elites in Democracy and Democratization. New York: Garland Publishing

Robison, R. and V. R. Hadiz. 2004. Reorganisation of Power in Indonesia: The Politics of Oligharchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon

Stokke, Kristian dan Olle Tornquist. Democratization in the Global South: The Importance of Transformative Politics. New York: Palgrave Macmillan,2013

Tambakaki, Paulina. Human Rights or Citizenship?. New York: Birbeck Law Press, 2010 

Tornquist, Olle dan Kristian Stokke (ed). Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave MacMillan, 2009

Van Klinken, Gerry. 2007. Renegotiating Boundries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia.Leiden: KITLV Press, 2007 

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD

Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik