Suatu tindakan kekerasan disebut tindakan terorisme jika memenuhi tiga hal berikut. Pertama, ada pelaku yang menyelenggarakan tindakan kekerasan, ada strategi-taktik yang dipergunakan untuk mencapai tujuan dan ada ideologi yang memberi kerangka nilai secara keseluruhan.
Dari segi pelaku, tindakan dilakukan seorang diri, kelompok berjejaring dan bahkan negara. Pelaku bisa terlihat dan tak terlihat atau dilakukan seseorang atau sekelompok orang atas nama organisasi yang lebih besar, atas nama negara atau persekutuan negara.
Dari segi strategi dan taktik, tindakan kekerasan merupakan suatu pertunjukan yang bersifat strategis dan taktis sekaligus. Kill one, frighten ten thousands. Jadi tidak semata jumlah korban tetapi efek asosiatif yang meluas seperti satu agama, suku, ras, kelas ekonomi, golongan sosial dan seterusnya.
Strategi berkaitan dengan pencapaian tujuan yaitu seberapa jauh tindakan kekerasan dapat mengubah perilaku kelompok tertentu, kebijakan pemerintah atau kelas ekonomi-politik yang sedang berkuasa. Dengan itu taktik menjadi sangat penting. Yaitu dibuatnya pilihan tindakan kekerasan yang memiliki dampak teror yang paling besar untuk pencapaian tujuan strategis.
Dari segi ideologi, tindakan kekerasan dilakukan sepenuh hati dengan determinasi yang sangat tinggi. Diperagakan dengan kesungguhan yang hanya terbayangkan dalam medan perang antara kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesesatan, antara hidup dan mati. Dengan itu kekerasan merupakan tindakan ideologis, dalam arti menegaskan sistem nilai tertentu. Tanpa tindakan, ideologi hanya dogma mati, tak berdarah dan berdaging.
Dalam politik, ideologi terbelah ke dalam dua orientasi yang bertabrakan. Di satu pihak, ada ideologi perlawanan, bersifat revolusioner yang hendak mengubah sistem atau semata reaksi terhadap peristiwa tertentu. Dibungkus dalam slogan terkenal, your terrorist, my freedom fighter. Di pihak lain, ada ideologi kekuasaan, semata mempertahankan kuasa atau bahkan memperluas wilayah kekuasaan. Tersurat dalam propaganda Perang terhadap Teror, you are with us or with the terrorist, sebagai retorika membangun imperium demokrasi.
Akar-akar Terorisme
Di balik setiap tindakan terorisme tentu ada kondisi pembentuk yang hanya bisa terlihat kalau kita gunakan kacamata pembesar atau sudut pandang tertentu. Kita ringkaskan saja menjadi 3 kondisi utama lahirnya terorisme modern. Yaitu demokrasi dan otoritarianisme, pembangunan ekonomi dan globalisasi, dan agama dan dekulturasi.
Pertama, demokrasi dan otoritarianisme. Pemerintahan otoriter tidak saja menghasilkan kepatuhan tetapi juga lebih sering memicu perlawanan bersenjata, terbuka atau di bawah tanah, dengan mengunakan strategi-taktik teror. Sementara demokrasi tidak saja menghadirkan kebebasan tapi juga memberi ruang terbuka bagi berkembangnya gerakan politik yang menggunakan strategi dan taktik teror.
Dengan demikian, demokrasi maupun otoritarianisme memberikan peluang yg sama kepada munculnya terorisme. Dalam otoritarianisme, gerakan perlawanan meniru taktik teror yg digunakan pemerintah otoriter. Sementara dalam demokrasi, gerakan teorisme mendorong pemerintahan demokratis berubah menjadi rejim otoriter yang balik meneror warga negara atas nama ketertiban umum atau kedaulatan negara.
Kedua, pembangunan ekonomi dan globalisasi. Satu isu utama pembangunan ekonomi, yaitu kemiskinan atau pemiskinan, menjadi lahan subur, breeding ground, bagi lahir dan tumbuh kembang gerakan teroris. Sekelompok orang menyadari mereka sedang dimiskinkan oleh kelas berkuasa atau golongan sosial atau agama tertentu. Dikondisikan lagi dengan tidak bekerjanya perwakilan politik, strategi dan taktik teror menjadi satu-satunya teknologi politik yang tersedia.
Dalam konteks pembangunan ekonomi, globalisasi ikut menjadi sebab penting berupa fasilitasi, akselerasi dan eskalasi gerakan terorisme. Terbuka akses kepada informasi dan pengetahuan khususnya ajaran garis keras yang menentang monopoli kebenaran atau sebaliknya mengontrol wacana kebenaran. Demikian halnya lebih cepat dan mudah memperluas jaringan dalam negara dan lintas negara. Termasuk yg tak kalah penting, akses kepada instrumen kekerasan dan senjata pemusnah masal seperti senjata nuklir, biologis dan senjata kimia.
Ketiga, agama dan dekulturasi. Agama, sebagai kekuatan sosial dan politik, dapat berlaku sebagai sekolah gerakan teror yang paling solid dan efektif. Tafsir radikal atas ajaran agama terkondisikan juga oleh ketimpangan sosial-ekonomi dan diskriminasi politik. Radikalisme keagamaan tidak berdiri sendiri, tetapi terbentuk dalam ruang pergaulan, perjumpaan dengan perbedaan dan pengalaman yang melahirkan kekecewaan dan kebencian.
Membayangkan komunitasnya terancam sama artinya dengan ancaman eksistensial terhadap dirinya sendiri. Ditandai oleh situasi dekulturasi, yaitu hilangnya pegangan nilai, atau pegangan nilainya tidak lagi menjadi norma sosial. Belum terhitung apa yang disebut dislokasi ganda, khususnya di kalangan diaspora, perantau atau migran. Yaitu, terusir dari negeri asal karena perang atau kelaparan dan ditempat yang baru sulit menyesuaikan diri atau tetap diperlakukan sebagai orang asing dari suku, ras dan agama yang berbeda.
Anak Tangga Terorisme
Jalan menjadi teroris bisa sangat panjang dan berbelit tetapi bisa juga singkat, tidak rumit dan penuh kejutan. Ada banyak pandangan tentang peta jalan terorisme. Di bawah ini, kita gunakan saja analogi anak tangga yang dirumuskan Fathali Moghaddam, dalam bukunya From the Terrorist Point of View: What They Experience and Why They Come to Destroy.
Proses menjadi teroris dimulai dari Lantai Dasar. Orang-orang yang kecewa berkumpul dan berteriak, tapi suara mereka tidak didengar, diabaikan atau dipastikan tidak boleh terdengar. Tidak ada pilihan lain, mereka, dalam suasana galau dan ragu, merangkak ke Lantai Satu. Di sini kekecewaan menggumpal, terbentuk rasa malu sekaligus murka terhadap sistem atau kelompok tertentu.
Lalu mereka bergerak lebih cepat ke Lantai Dua. Dalam ruangan ini mereka semakin serius, merumuskan kambing hitam. Kita dan mereka berubah menjadi kawan dan musuh. Dari sana mereka bergegas ke Lantai Tiga, tempat tindakan kekerasan dibenarkan dengan cara pikir tujuan menghalalkan cara. Juga pemimpin gerakan dan jaringan makin aktif melakukan konsolidasi gerakan dan perencanaan.
Dari Lantai Tiga, mereka bergegas ke Lantai Empat. Lantai ini digambarkan sebagai ruang yang seluruhnya tertutup, pemantapan moral terorisme sudah selesai dan tak ada jalan kembali selain bergerak terakhir kalinya ke Lantai Lima. Di lantai tertinggi ini, tindakan kekerasan siap dilakukan kapan pun dan di mana saja sesuai agenda strategis organisasi. Bom bunuh diri adalah wujud paling banal dan paripurna dari penubuhan ideologi dan teknologi sekaligus.
Kejutan, Kecemasan dan Ketakutan
Tindakan terorisme adalah tindakan bertujuan dari pelaku dan organisasi yang memiliki perhitungan tertentu. Semacam diplomasi politik, dimediasi kematian, kerusakan dan kehancuran sambil menanti reaksi yang diharapkan. Ada musuh dekat, ada pula musuh jauh yang disasar dengan tindakan tersebut.
Tiga hal utama yang diharapkan dari tindakan teroris: mengejutkan, mencemaskan dan menakutkan. Kejutan, fright, adalah capaian pembuka dari tindakan teror. Tidak terduga, pada waktu dan tempat yang tak bisa ditebak dan juga menargetkan manusia atau sasaran bukan manusia yang tak terbayang sebelumnya. Tanpa kejutan, tindakan itu tidak akan menjadi tontonan menarik, memukau sekaligus mengerikan.
Setelah dikejutkan, reaksi publik melayani tujuan tindakan teror berikutnya yaitu kecemasan, anxiety. Kecemasan ini lebih sering muncul di kalangan tertentu atau warga negara tertentu yang dihubungkan dengan korban atau sasaran bukan manusia. Orang-orang mulai membayangkan diri mereka akan ditargetkan sebagai konsekuensi logis dari penyamaan diri mereka dengan korban, bangunan dan obyek simbolis lainnya.
Peristiwa kekerasan itu kemudian menjadi wacana penting, dari daerah di mana tindakan teror terjadi, membesar menjadi isu nasional dan internasional. Sekaligus sejumlah otoritas memberi tanggapan dan intervensi berupa pengamanan, penegakan hukum, anjuran moral dan perpecahan pandangan publik juga perpecahan di kalangan penyedia otoritas. Tujuan kedua ini tercapai, satu peristiwa teror mencemaskan masyarakat dan pemerintahan.
Kecemasan, meluas dan tak terkendali, memenuhi tujuan ketiga dari tindakan terror. Yaitu, terbentuknya masyarakat ketakutan, society of fear dan negara kedaruratan, state of exception. Persis ketika ketakutan menjadi psikologi publik, tindakan itu dianggap akan selalu terjadi dan setiap orang atau kelompok menerima dan menghidupi kerentanan yang permanen.
Dalam masyarakat yg takut dan tak berdaya, negara terpanggil untuk mencegah dan memberantas gerakan teroris. Persis di situ kita bertemu dengan kondisi paradoksal. Negara menjalankan peran pengamanan sebagai police state dan gerakan teroris mencapai tujuan tertinggi dari tindakan teroris. Negara semakin otoriter dan gerakan teroris menjadi wacana publik.
Demikian di atas diberikan gambaran terorisme untuk mengajak kita melihat tindakan teror dengan kerangka pikir yg lebih jelas. Di sana kita bertemu dengan topik yang selalu terabaikan dalam penanganan terorisme. Yaitu, kurangnya perhatian terhadap akar ekonomi, akar politik dan akar budaya di balik gerakan terorisme.
Karena sebagaimana diingatkan Hegel, filsuf pencerahan, eyes that see evil are part of evil. Mata yang menyaksikan kejahatan adalah bagian dari kejahatan itu sendiri. Mari kita pergi lebih jauh dan lebih dalam lagi. Bahwa makin banyak orang hidup dalam ketidakpastian, keputusasaan dan ketidakberdayaan. Di sana ada gugatan etis, kita ada di mana ketika seseorang atau sekelompok orang merangkak dari lantai dasar menuju lantai tertinggi dari gerakan yang kita labelkan terorisme.
Frans Djalong. 1 April 2021