Terorisme Sebagai Tindakan Politik: Strategi dan Metode (2010)

Strategi dan Taktik Terorisme Amerika Serikat, dalam kata-kata Pompeo, Menlu dan Direktur CIA: We Lied, We Cheated, We Stole’, 2019, (Sumber Foto: Vanity Fair)

Bagi sementara pengamat, terorisme bukanlah sebuah fenomena yang khusus yang terkait dengan kondisi sosial, ekonomi ataupun politik yang ada dalam masyarakat seperti yang diungkapkan oleh para pengkaji terorisme dari perspektif akar penyebab. Terorisme juga bukan produk dari individu yang memiliki semangat untuk melakukan kekerasan karena dorongan pemikiran tertentu yang sarat dengan kekerasan seperti yang ditampilkan oleh pengkaji terorisme dari perspektif aktor dan tindakan teror. Artinya, terorisme dan kekerasan yang menjadi esensi dari terorisme bukanlah produk dari kebencian ataupun ketidakwarasan pelaku teror dan bukan juga karena ketiadaan pilihan tindakan.

Terorisme adalah produk dari sebuah pilihan strategis, dengan pertimbangan yang rasional. Tindakan teror dianggap merupakan pilihan yang secara sadar dan sengaja diambil karena, berdasarkan pertimbangan rasional pelaku, dianggap memberikan hasil yang paling optimal bagi pencapaiak tujuan politik pelaku tindakan teror. Pertanyaan kuncinya adalah mengapa tindakan teror dipilih untuk mencapai tujuan politik. Terkait dengan pertanyaan ini adalah signifikansi kekerasan dalam tindakan teror: apa makna kekerasan dalam terorisme?

Teror Sebagai Strategi

Pengkaji terorisme dengan perspektif metode dan strategi memiliki kesamaan dalam memahami terorisme dalam kaitannya dengan perjuangan untuk mencapai agenda-agenda politik tertentu. Artinya tindakan-tindakan teror bukanlah merupakan tujuan, melainkan semata-mata strategi untuk mencapai tujuan yang diagendakan. Artinya, tujuan dati terorisme jauh lebih besar dan lebih jangka panjang daripada tindakan teror atau kekerasannya itu sendiri. Dengan kata lain,  tindakan teroris adalah tindakan bertujuan (purposive acts). Tindakan teror dipahami sebagai tindakan yang dilakukan dalam spektrum konflik. Mengikuti tesis Clausewitz, tindakan kekerasan dilakukan merupakan bentuk lain dari diplomasi politik.

Sebagai sebuah strategi, tindakan teror melayani dua tujuan: jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek, yang langsung dicapai melalui tindakan teror adalah kekacauan serta agitasi politik (Thornton 1964, 80-81). Agitasi politik ini merupakan sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih luas dalam jangka panjang, seperti misalnya pergantian rejim. Melalui tindakan teror, efek yang diharapkan adalah pergeseran posisi dari pihak lain — yang biasanya jauh lebih kuat — bergeser posisi ataupun diturunkannya taruhan yang dimiliki oleh pihak yang lebih kuat tersebut dalam sebuah hubungan konflik.

Tidak jauh berbeda dengan situasi konflik yang ditunjukkan oleh konfrontasi antara dua negara adidaya AS dan Uni Soviet selama Perang Dingin, tindakan teror dipahami sebagai sebagai ‘act of compellence’ (Neuman 2008, 77). Teror menjadi strategi yang digunakan untuk mengatasi lawan, sebagai sebuah upaya persuasi dengan kekerasan. Sebagai sebuah strategi politik, komponen utama dalam  terorisme adalah kekerasan. Kekerasan dieksploitasi untuk menimbulkan ketakutan dan mendorong munculnya perubahan. Seperti yang ditulis oleh Hoffman, misalnya, tindakan teror adalah “…a deliberate creation and exploitation of fear through violence or threat of violence in the pursuit of political change (Hoffman 2006, 40).

Berangkat dari pemahaman tentang tindakan teror sebagai sebuah strategi, pengkaji terorisme dari perspektif ini memahami terorisme melalui empat komponen penting: pertama, tujuan dan motif politik, kedua, kekerasan dan ancaman kekerasan, ketiga, tindakan teror atau tindakan untuk menciptakan rasa takut, keempat, organisasi dengan struktur komando yang jelas dan disatukan oleh tujuan tertentu di atas. Dilihat dari definisi ini, aktor dalam terorisme menjadi lebih luas. Bukan hanya aktor bukan negara, tetapi juga aktor negara.

Pemahaman tentang teror sebagai strategi memiliki implikasi yang sangat signifikan dalam pemahaman kita tentang terorisme. Kajian terorisme harus dilakukan dalam kerangka kajian strategis. Kerangka kajian strategis sangat menekankan pada pentingnya kalkulasi rasional sebagai dasar dalam setiap pembuatan keputusan. Termasuk dalam kategori ini adalah keputusan untuk menggunakan kekerasan atau teror. Dengan pemahaman ini, oleh karenanya, sulit bagi mereka yang mengkaji terorisme melalui perspektif metode dan strategi untuk memberikan perhatian kepada faktor-faktor struktural yang oleh banyak pengamat lain dilihat sebagai akar penyebab terorisme.

Pada saat yang sama, sebagai strategi, tindakan teror tidak mensyaratkan adanya kecenderungan untuk melakukan kekerasan sebagai faktor penting bagi tindakan teror. Artinya, mengkaitkan tindakan teror dengan pemikiran-pemikiran radikal ataupun pemikiran yang tidak normal, sangat tidak masuk akal bagi pengkaji terorisme dengan perspektif metode atau strategi. Pelaku teror adalah aktor-aktor yang sangat rasional, bukan sebaliknya.

The Face of State Terrorism, Source The Atlantic

Tindakan Teror: Fungsi, Simbol dan Taktik

Memusatkan perhatian pada tindakan teror, para pengkaji terorisme yang berangkat dengan perspektif strategi membedakan tiga makna teror dalam terorisme (Franks 2006, 18-19): fungsional, simbolik dan taktis. Dalam artian yang pertama,  fungsional, kekerasan atau tindakan teror memang dimaksudkan untuk secara langsung menghasilkan dampak tertentu. Tindakan teror dilakukan untuk menghasilkan kerusakan, kehancuran ataupun ketakutan dalam masyarakat dan menjadikan pemerintah tidak berdaya. Tindakan teror dalam kategori ini terutama menekankan pada skala tindakan teror.

Artinya, tindakan teror yang semakin besar dan menuntut upaya yang semakin besar dari pemerintah untuk menghadapinya mengindikasikan keberhasilan tindakan teror yang dilakukan. Sekalipun terutama ditujukan untuk mencapai tujuan jangka pendek, yakni melumpuhkan pemerintahan, bukan tidak mungkin tindakan teror ini juga menghasilkan atau dibarengi dengan tujuan jangka panjang atau tujuan lain yang tidak langsung. Rasa tidak aman yang semakin besar dan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah pada gilirannya bisa mendorong tuntutan akan pergantian rejim. Sementara pengkaji menyebut stretegi ini sebagai ‘strategic manipulation’ (Bell 1978, 50; Laquer 2001, 26).

Kekerasan atau tindakan teror juga seringkali dilakukan bukan dengan tujuan praktis jangka pendek seperti di atas, melainkan dengan tujuan yang lebih besar atau jangka panjang. Apa yang dihasilkan melalui kekerasan bukanlah merupakan tujuan akhir tetapi hanyalah sebagai sarana semata. Strategi ini dikenal sebagai coercive manipulation. Perhatian dari strategi kekerasan ini dipusatkan pada efek simbolik dari kekerasan, yakni menimbulkan rasa takut di kalangan audiens yang terutama dianggap memiliki identitas yang sama dengan korban kekerasan, misalnya identitas agama, kelas atau ras. Dengan pemahaman ini, terorisme kemudian dipahami sebagai ‘systematic of murder and destruction or threat of, to terrorize individuals, groups, communities and governments into conceding to terrorist’s demands’ (Wilkinson 2001, 46). Dalam kaitannya dengan makna simbolik kekerasan, Jongmans menulis lebih tegas lagi sebagai berikut,

… a method of combat in which random or symbolic victims serve as instrumental targets of violence. These instrumental victims share group or class characteristics, which form the basis for victimization. Other members of that group or class are put in a chronic state of fear (terror).. the purpose of which is to change attitudes or behavior favoring the interests of the user of method of combat (1988, 2).

Sebenarnya, gagasan menggunakan tindakan teror sebagai coercive  manipulation ini sebenarnya bukan merupakan gagasan yang eksklusif dalam kaitannya dengan terorisme gelombang keempat. Dalam sejarah, seorang ahli strategi dan filsuf Cina, Sun Tzu juga merekomendasikan strategi yang sama ketika dia menulis dalam karya monumentalnya, The Art of War, ‘Kill one and frighten ten thousand!.’ Dalam hal ini, terorisme menyerupai sebuah teater, tontonan yang mentransformasi keterkejutan (fright) dan kecemasan (anxiety) menjadi ketakutan (fear). Peran publikasi pun sentral dalam memainkan psikologi ketakutan terutama di kalangan orang-orang yang seidentitas dengan korban.

Akhirnya, tindakan kekerasan atau teror juga seringkali dilihat sebagai tindakan taktis semata. Dalam artian ini, terorisme mungkin bukan sebagai tujuan, melainkan semata-mata sarana. Tetapi berbeda dengan pengertian yang kedua di atas, tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan kekerasan atau teror ini adalah jangka pendek, seperti pembiayaan gerakan. Pandangan lain melihat tindakan teror sebagai tindakan taktis tetapi menjadi bagian dari strategi yang lebih besar atau luas.

Cara pandang kedua ini bersumber dari teori revolusi atau perang gerilya. Tindakan teroris adalah bagian dari agenda yang lebih besar, atau sebagai deklarasi pembukaan dari perjuangan politik dengan tujuan untuk mengkomunikasikan agenda perjuangan ke publik. Pengamat lain melihat tindakan terorisme sebagai tindakan taktis sebagaimana yang dipahami dalam kaitannya dengan strategic choice theory (Crenshaw 1992: 8, 71). Pengkaji terorisme dengan pandangan ini berargumen bahwa pelaku teror kekerasan adalah aktor rasional yang tahu persis dampak dari tindakanannya dan membuat pilihan rasional di antara alternatif lain dalam cara pikir strategis.

Terkait dengan ketiga makna kekerasan atau teror di atas, perspektif strategi dan metode juga berusaha membahas mengenai posisi dan signifikansi korban dalam tindakan teror. Dilihat dari pemahaman mengenai kekerasan atau tindakan teror sebagai strategi, korban tindakan terorisme sebenarnya memiliki dua peran yang berbeda. Peran pertama adalah peran instrumental. Korban menjadi sarana untuk meneror audiens yang lebih luas, yang biasanya terkait dengan korban (baik negara maupun masyarakat).  Yang paling penting dan dituju dalam tindakan kekerasan ini bukanlah korban tindakan teror iru sendiri, melainkan mereka yang tidak menjadi korban tetapi menyaksikan tindakan teror tersebut. Oleh karenanya, dalam terorisme berlaku prinsip sedikit korban, tetapi banyak penonton.

Peran korban yang kedua adalah sebagai sasaran. Tujuan dan target kekerasan adalah korban kekerasan itu sendiri, sekalipun tidak mengabaikan dampaknya bagi masyarakat yan lebih luas, terutama yang identik dengan korban (Perry and Negrin 2008, 4-5). Prinsipnya banyak korban, dan banyak penonton.

Dengan melihat posisi korban tindakan teror, para pengaji terorisme kemudian menarik garis pembatas yang tegas antara terorisme modern gelombang keempat dengan tiga gelombang sebelumnya (Weinberg ad Eubank 2006, 76-89). Dalam tiga gelombang terorisme sebelumnya—anarkhis/revolutioner, nationalis /anticolonialis dan Kiri Baru—korban sepenuhnya memainkan peran instrumental, yakni untuk melayani tujuan politik. Sedangkan dalam gelombang keempat, yakni terorisme agama, korban tidak saja diperlukan untuk meneror audiens tapi terpenting lagi untuk menebus kehidupan pelaku bom bunuh diri. Mati bersama korban yang dinilai sebagai jelmaan kejahatan merupakan tindakan sakramental para martir. Dalam terorisme gelombang keempat, dengan terlebih dahulu dipersepsikan jelmaan kejahatan, korban mengalami de-realisasi sebagai manusia sebelum dihabisi dalam selebrasi kematian itu.

Kekerasan sebagai Komponen Terorisme

Para pengkaji terorisme dengan perspektif strategi dan metode tidak terlalu banyak memberi perhatian kepada dimensi ideologi, politik dan konflik, dan lebih banyak menekankan kepada kajian mengenai kekerasan dan tindakan teror sebagai hakekat terorisme. Karena, seperti diuraikan di atas, penggunaan teror berbeda-beda, maka kajian terhadap hakikat teror menjadi sangat penting untuk  membedakan berbagai bentuk terorisme. Dengan basis perspektif ini, tujuan politik, tujuan taktis penggunaan kekerasan dan seleksi korban menjadi kriteria pendukung dalam tipologisasi tersebut.

Upaya alternatif untuk memahami terorisme melalui penekanan pada hakekat  kekerasan ini nampak sekali dalam karya yang dihasilkan oleh Thomas Mockaitis. Bagi Mockaitis, dengan memahami hakekat tindakan kekerasan atau teror ini dapat dilihat perbedaan antara ‘terrorist acts’ dan ‘terrorism’. Tanpa memahami perbedaan ini, pengkaji kekerasan politik tak bisa membedakan terrorism dari state-terror, insurgent-terror, dan criminal-terror sebagaimana kebiasaan menggunakan istilah terorisme negara atau terorisme menjadi ‘empty signifier’ yang dapat dilekatkan pada atau menjelaskan semua bentuk kekerasan politik (2007, 3-8). Tindak kekerasan yang berkapasitas meneror atau menimbulkan rasa takut dipergunakan berbagai aktor untuk mencapai tujuan. Teror negara untuk meredam resistensi; teror insurgent dengan perang gerilya dan propaganda untuk menggulingkan rejim atau membentuk negara; dan teror dalam praktik kejahatan biasa yang sangat selektif dalam rangka mencapai tujuan pragmatis dari organisasi kejahatan tersebut.

Pertanyaan sekarang adalah apa signifikansi pemahaman berbasis perspektif strategi dan metode bagi pemahaman tentang terorisme? Bagi Mockaitis, cara terbaik mendefinisikan terorisme adalah bukan dengan mencari motif di balik tindakan teror atau mengukur kerusakan dan jumlah kematian yang ditimbulkan, melainkan memeriksa seberapa besar ketergantungan pelaku kepada tindakan teror atau kekerasan (homisida) sebagai modalitas politik. Bagi Mockaitis satu-satunya karakteristik terorisme adalah tidak dapat dipisahkannya tindakan teror dengan tujuan politik pelaku teror. Tindakan teror adalah ‘the ultimate choice’ bagi kelompok teroris. Seperti ditulis oleh Mockaitis, “[only] an organization that lacks the capacity to do anything but carry out terrorist attacks deserves to be labelled ‘terrorist”(2007, 8). Dengan kata lain, semua kelompok selalu memiliki tujuan politik, tetapi bagaimana cara memperjuangkan tujuan tersebut, sangat menentukan apakah sebuah kelompok bisa disebut teroris atau tidak. Dan, kelompok teroris adalah mereka yang tidak memahami bahasa lain selain bahasa kekerasan.

Terkait dengan peran kekerasan atau tindakan teror dalam terorisme, terdapat dua karakteristik atau kriteria tambahan yang dpat digunakan untuk mengidenifikasi seseorang atau sebuah organisasi sebagai teroris. Pertama, memeriksa seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap perjuangannya. Apabila dukungan publik (masyarakat yang direpsentasikannya) berkurang atau tak ada lagi dan organisasi ini tetap melakukan tindakan kekerasan atau teror, maka terorisme dapat dikenakan pada organisasi ini. Kedua, memeriksa seberapa jauh ruang negosiasi telah dibuka dan bagaimana seseorang atau organisasi merespon tawaran negosiasi tersebut. Apabila pintu negosiasi telah dibuka lebar dan kelompok tersebut tetap tak mau berkompromi maka kelompok tersebut adalah kelompok teroris. Dengan kritieria ini, menurut Mockaitis, pengkaji terorisme bisa memahami transformasi berbagai gerakan dari gerakan insurgent-radikal hingga menjadi gerakan atau organisasi teroris.

Franz Fanon, Violence and Decolonization Project, Source The New Republic

Variabel-variabel Baru

Dalam kaitannya dengan perspektif strategi dan metode sejumlah pengkaji terorisme memberikan perhatian pada arti penting teknologi kekerasan yang dipergunakan organisasi teroris. Terorisme gelombang keempat atau terorisme kontemporer banyak dipengaruhi oleh atau difasilitasi oleh perkembangan teknologi komunikasi, transportasi dan teknologi persenjataan. Teknologi komunikasi modern, misalnya, memberikan dimensi non-terrestrial (Miller 1982) yang menjadikan struktur jaringan terorisme tak terikat pada wilayah melainkan tersebar.

Kapasitas non-terestrial membuat organisasi teroris memiliki banyak kaki di berbagai wilayah sekaligus menghadirkan agensi kekerasan yang bervariasi dalam posisi, peran dan fungsi. Teknologi komunikasi tidak semata-mata instrumen melainkan variabel penting baik mempengaruhi akselarasi, mobilisasi dan konsolidasi gerakan maupun mempengaruhi proliferasi persepsi publik tentang teror dan agenda politik gerakan Para penstudi dalam tema ini juga berargumen bahwa alih-alih membuat gerakan ini inteligibel, teknologi media massa dan internet menjadi ‘space of closure’ baik untuk kepentingan organisasi teroris yang menginginkan efek spektral dan untuk kepentingan birokrasi dan intelijen yang menghendaki fiksi menjadi kebenaran (Jenkins 2003). Isu lain yang dikaji para penstudi terorisme adalah teknologi persenjataan terorisme termasuk WMD yang mencakup senjata biologis, kimiawi, radioaktif (Melnick 2008).

Problematik Kekerasan

Sebagai sebuah alternatif untuk memahami terorisme, perspektif strategi dan metode memberikan kontribusi yang sangat signifikan terutama dalam kaitannya dengan pemisahan antara tindakan teror dengan terorisme. Artinya tidak semua tindakan yang menghasilkan teror harus dihadapi dengan strategi anti terorisme. Dan dalam artian ini, seperti yang dilakukannya, Mockaitis berhasil memberikan kontribusi dan solusi konkrit untuk menghindarkan kecenderungan memberi label semua tindakan kekerasan dengan tujuan politik sebagai tindakan yang terkait dengan terorisme. Dan pemisahan tindakan teror dari terorisme jelas membantu kita untuk memisahkan agenda-agenda ataupun tujuan-tujuan politik yang terkait dengan teror dan terorisme. Tidak dapat dipungkiri, dengan merancukan tindakan teror dengan terorisme, bukannya tidak mungkin kebijakan yang diberi label anti terorisme pada dasarnya adalah kebijakan yang sarat dengan tindakan teror, yang memiliki karakter konservatif atau berorientasi pada status quo dan dilakukan dengan biaya apapun.  

Di luar kontribusi signifikan yang diberikannya, perpektif strategi dan metode ini memiliki sejumlah kelemahan yang cukup mendasar. Keasyikannya dengan hakekat kekerasan menjadikan perspektif ini cenderung mengabaikan peran dan signifikansi konteks, proses dan pengkondisian sebuah gerakan hingga akhirnya memilih jalan jalan kekerasan. Padahal berbagai kajian menunjukkan bahwa justru di wilayah inilah kekerasan mengalami transformasi karakteristik, yang terjadi melalui akibat proses politik (mekanisme ataupun prosedur) yang tidak membuka tawaran untuk negosiasi menuju akomodasi atau bahkan konsensus bersama.

Patut dicatat, para pengkaji terorisme yang berangkat dari perspektif strategi dan metode lebih menekankan pada pentingnya memahami bagaimana kekerasan diproduksi dan direproduksi daripada memberi perhatian kepada pertanyaan mengapa kekerasan itu terus berlangsung dan dilakukan secara rutin. Dalam artian ini, perspektif strategi dan metode nampaknya berusaha untuk menutup ruang perdebatan mengenai hubungan antara radikalisme dan terorisme. Para pengkaji dengan perspektif ini melihat radikalisme sebagai gejala politik yang statis sementara transformasi radikalisme menuju terorisme semata-mata diukur dari karakteristik kekerasan yang menandai kedua fenomena tersebut.

Kecenderungan konseptual tersebut memungkinkan kajian-kajian para pengkaji dalam perspektif strategi dan metode dipergunakan para pegkaji dengan perspektif aktor ataupun akar penyebab. Penggunaan tersebut dalam rangka mendukung pertanyaan pokok dari masing-masing tersebut. Sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian ini, para pengkaji dengan perspektif aktor menggunakan hasil kajian para pengkaji dengan perspektif strategi untuk mendukung kecenderungan profiling sementara argumen-argumen konflik dan politik diabaikan. Singkatnya, dalam perspektif aktor, jenis-jenis teror dikedepankan untuk menegaskan kapasitas inheren aktor-organisasi untuk melakukan kekerasan.

Hal yang sama juga terjadi dalam kaitannya dengan yang dilakukan oleh para pengkaji dari perspektif akar penyebab. Para pengkaji dengan perspektif ini menggunakan tipologi kekerasan kajian yang berasal dari perspektif strategi untuk meloloskan argumen-argumen mereka tentang determinasi faktor-faktor struktural atas tindakan terorisme. Jika dalam perspektif strategi, jenis-jenis teror dimaksudkan untuk memperlihatkan agensi politik aktor atau organisasi, dalam perspektif akar penyebab, jenis-jenis teror atau kekerasan dipakai untuk menegaskan efek struktural konflik terhadap agensi kekerasan.