Terorisme Transnasional: Geopolitik Kekerasan dan Kepentingan Nasional Indonesia (2014)

Pasca Perang Dingin, terorisme muncul sebagai wacana politik paling kontroversial. Deklarasi ‘Global War on Terrorism’, GWOT, yang dikumandangkan Bush Jr pada pembukaan abad ke-21 terutama sejak kejadian tabrakan pesawat di Menara Kembar World Trade Center, New York, 11 September 2001. Deklarasi tersebut menjadi titik awal gerakan global menjadikan terorisme sebagai musuh bersama bagi masyarakat internasional. Indonesia sendiri mulai serius menangani terorisme sejak terjadinya Bom Bali I dan II Tahun 2002.  Sama seperti AS dan negara-negara lain, Indonesia menggabungkan pendekatan keras dengan dibentuknya DENSUS 88 pada Agustus 2004 dan pendekatan lunak dengan dibentuknya BNPT tahun 2010.

Studi terkini mengenai terorisme sebagai kejahatan transnasional berkembang beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh semakin berkembangnya jaringan teroris lintas negara dengan daya dukung komunikasi, jaringan dan teknologi kekerasan yang berdaya rusak tinggi. Globalisasi menjadi konteks penting yang memungkinkan infrastruktur kekerasan ini dapat diakses, disebarluaskan dan sulit dikontrol dengan metode penanganan konvensional. Di samping itu, konektivitas ideologi antar kelompok teroris juga menjadi faktor kunci dalam melembagakan perlawanan oleh para pelaku dan isu yang lintas-batas negara.    

Berangkat dari capaian dan keterbasan studi terorisme di Indonesia selama ini, kajian dimensi transnasional terorisme perlu diimbangi dengan upaya mencari tahu faktor struktural dan faktor pemicu terorisme itu. Dimensi transnasional terorisme mencakup ideologi, jaringan propaganda dan rekruitmen, mobilisasi aktor, dan teknologi kekerasan. Lebih jauh lagi, karakteristik terorisme transnasional merefleksikan saling pengaruh antara dinamika politik internasional dan dinamika politik domestik dalam negeri. Demikian pula halnya dengan fakta bahwa kebijakan counter-terorisme yang pada tingkat global dan domestik dipertanyakan efektivitas dan dampaknya karena terbukti dalam sejumlah kasus melanggar hak-hak asasi manusia dan hak warga negara.

Pengalaman terkini di Indonesia, misalnya, menunjukkan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap kinerja Densus dan BNPT yang dinilai tidak strategis untuk kepentingan nasional di kancah regional dan internasional. Pemberantasan dan pencegahan aksi-aksi teror tidak dipadu dalam kerangka kebijakan geopolitik nasional. Kerangka kerja pemberantasan terorisme belum menunjukkan adanya sinkronisasi antara isu keamanan negara dari terorisme dalam negeri dan kepentingan geopolitik Indonesia di pentas regional dan internasional. Tidak adanya sinkronisasi menimbulkan persepsi publik bahwa pertama, War on Terror di Indonesia merupakan perpanjangan proyek geopolitik AS dan kedua, War on Terror merupakan Kuda Troya kepentingan memperkuat peran polisi dan militer di Indonesia pasca transisi dari Orde Baru. 

Untuk memperjelas persoalan terorisme di Indonesia dan dampaknya bagi kepentingan nasional, laporan ini secara khusus membahas faktor-faktor penyebab, karakteristik transnasional terorisme, capaian dan keterbatasan respon pemerintah dan rekomendasi praktis ke depan. Analisis dalam penelitian ini bersifat kualitatif menggunakan data sekunder seperti berita media massa, dokumen resmi, dan literatur yang terkait terorisme dan radikalisme. Rekomendasi yang ditawarkan adalah hasil analisis makro, bersifat strategis, semacam panduan kebijakan. 

 Bali Bombing, 12 October 2002, Source South China Morning Post

Politik Global dan Dinamika Nasional   

Politik Global

Masalah krusial di balik debat kebijakan War on Terror di berbagai negara termasuk Indonesia adalah belum adanya konsensus tunggal tentang terorisme di tingkat internasional. Konsensus lebih mengacu pada 16 resolusi-resolusi PBB yang di dalamnya tidak tersedia defenisi tentang terorisme. 

 Instrumen Hukum Internasional
 Amendments to the Nuclear Material Convention 2005
 Aircraft Convention 1969
 Unlawful Seizure Convention 1971
 Civil Aviation Convention 1973
 Diplomatic Agents Covention 1977
 Hostage Taking Convention 1983
 Nuclear Material Convention 1987
 Maritime Convention 1992
 Protocol to the Maritime Convention 2005
 Fixed Platform Protocol 1992
 Protocol to the Protocol on Fixed Platform
 Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection 1998
  Nuclear Terrorism Convention 2007
 Terrorist Bombing Convention 2001
 Terrorist Financing Convention 2002
 Airport Protocol 1989

Definisi tentang terorisme internasional merupakan topik panas sejak tahun 1972. Pembunuhan sejumlah atlet olimpiade Israel di Munich, Jerman, menjadi pemicu awal perdebatan di PBB. Perdebatan tentang definisi terorisme dan terorisme internasional tak menghasilkan kesepakatan di antara negara-negara anggota. Dalam sudut pandang realisme politik internasional, hal ini tentu dapat dimaklumi.

Setiap negara memiliki kepentingan dengan definisi yang pasti. Dalam hal ini kepastian yang menjustifikasi negara dalam memberantas terorisme yang disepakati tersebut. Kepastian definisi adalah hukum yang meklasifikasi dan mendeskripsikan obyek (kelompok teroris dan tindakan teroris), korban (warga sipil atau non kombatan) dan tujuan politiknya serta kepastian bentuk dan cakupan tindakan-tindakan negara dalam memberantas terorisme.

Dalam studinya tentang perdebatan ini, Jorg Friedrich (2006:69-91) menyimpulkan bahwa substansi perdebatan tak lain adalah memastikan siapa atau kelompok apa yang menjadi musuh masyarakat internasional. Terorisme adalah nama lain dari musuh yang hendak dirumuskan dalam debat tersebut. Dalam bahasanya: “defining international terrorism means first of all determining international public enemy”. Studinya memilahkan dua periode perdebatan, pertama perdebatan tahun 1972-1979 pasca insiden Munich dan kedua perdebatan tahun 2000an pasca 9/11.

Dalam perdebatan pertama, usulan Amerika, Inggris, Israel dan sejumlah negara Barat lain ditentang keras oleh negara-negara Dunia Ketiga, mengingat pada masa itu sejumlah negara di Asia, Timur Tengah dan Afrika sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Yang dicemaskan negara-negara ini justru dengan adanya konvensi internasional terorisme akan memberi justifikasi kekuatan kolonial dalam meredam perjuangan determinasi-diri.

Wacana terorisme dilihat sebagai skenario kolonialis yang hampir tumbang (terutama Prancis dan Inggris). Meskipun telah dibentuk Ad Hoc committee on International Terrorism tahun 1973 melalui resolusi dewan Keamanan, draft konvensi tak kunjung menghasilkan konsensus. Debat berkisar soal definisi dan konseptualisasinya. Sejumlah besar negara Dunia Ketiga, terutama Algeria, memandang perlu mendefinisikan terorisme berdasarkan ‘root cause’ dan motif di balik tindakan teror.

Di lain pihak, negara-negara pengusul draft konvensi menekankan jenis tindakan teror, korban dan dampak kolateralnya. Sampai tahun 1979, konsensus tak tercapai tidak saja pada tingkat Sidang Umum tetapi juga perwakilan-perwakilan negara dalam komite. Sejak itu soal terorisme internasional hanya dirumuskan melalui resolusi-resolusi dewan keamanan di mana negara-negara besar membangun kesepakatan terpisah.      

Dalam catatan Friedrich, perdebatan tahun 2000-an memiliki karakteristik berbeda. Kali ini hampir seluruh negara anggota memandang terorisme sebagai ancaman bersama. Baik AS, Israel dan negara-negara Eropa maupun sebagian besar negara Timur Tengah, Asia, Amerika Latin dan Afrika bersepakat mengenai ancaman nyata ini. Yang membuat konvensi tak berhasil dirumuskan dan disepakati justru isu krusial tentang bagaimana musuh itu (terorisme) ditentukan.

Komponen isu tersebut antara lain, (1) apakah konvensi harus memiliki definisi yang jelas dan pasti mengenai terorisme, (2) apakah gerakan bersenjata (armed forces) dalam konflik bersenjata dapat diklasifikasi sebagai terorisme, dan terpenting (3) apakah gerakan pembebasan dari okupasi asing masuk dalam kekerasan kategori ini.

Lima puluh enam (56) anggota organisasi negara-negara Islam bersikukuh mengeluarkan gerakan liberasi nasional bersenjata dari definisi dan cakupan terorisme, sementara Amerika dan Inggris termasuk Israel bersikeras memasukkan kelompok ini dalam kategori terorisme. Salah satu pertaruhan dalam isu ini adalah konflik Israel-Palestina terkait perjuangan bersenjata Hamas.

Kendati demikian, sejumlah negara Timur Tengah tetap memandang perlu konvensi terorisme terutama berkaitan dengan kepentingan domestik dari rejim konservatif dan autoritarian. Adanya Konvensi internasional memungkinkan negara-negara ini memberangus faksi-faksi oposisi dalam negeri.  

Kerumitan lain dalam mendefinisikan terorisme adalah soal penentuan siapa dan kelompok yang masuk ke dalam kategori teroris. Negara-Negara dunia ketiga menginginkan kepastian terorisme dalam konvensi. Kepastian itu harus diterima semua negara sebagai basis konsensus politik antar-negara dalam mengidentifikasi dan menangani terorisme. Hal ini ditekankan untuk mengantisipasi kesewenangan negara-negara besar dalam menentukan dan memobilisasi perang terhadap terorisme yang didefinisikan sendiri dan berpotensi melanggar kedaulatan negara lain. Di pihak lain, Amerika dan Inggris menghendaki penentuan gerakan teroris melalui formula ‘on case-by-case basis’ (Lee, 2007:137-153).

Dengan formula ini, negara-negara bisa menentukan dan memerangi terorisme dengan menggunakan model ekstrapolasi pasal-pasal dari konvensi-konvensi internasional lain untuk menentukan kelompok dan tindakan teroris. Dengan cara ini negara bisa menentukan sendiri sebab-sebab terorisme, alasan memberantas terorisme dan melakukan aksi-aksi anti-terorisme dan counter-terorisme. Intisari perdebatan: negara-negara besar tidak menginginkan adanya definisi terorisme yang baku dan mengikat sementara negara-negara lain menginginkan kejelasan untuk meminimalisir kesewenangan negara-negara besar.

Pasca 9/11 negara-negara besar sebetulnya tak menginginkan adanya konvensi internasional terorisme. Kalaupun konvensi itu disepakati, maka entitas (kelompok teroris dan tindakan teroris) tidak dipastikan terlebih dahulu melainkan menjadi urusan negara (kebijakan unilateral) mendefinisikan kelompok dan tindakan tersebut. Menyiasati kebuntuan ini tak lain adalah dengan menggelontorkan resolusi-resolusi yang memungkinkan ‘ekstrapolasi fungsional’. Tanpa konvensi terorisme, resolusi mengacu pada 16 instrumen hukum internasional.

Dari sejumlah resolusi terkait terorisme,  Resolusi Dewan Keamanan 1566 (S/RES/1566/2004) relatif lebih lengkap menuliskan definisi terorisme. Terorisme didefinisikan sebagai berikut:    

“..criminal acts, including against civilians, committed with the intent to cause death or serious bodily injury, or taking of hostages, with the purpose to provoke a state of terror in the general public or in a group of persons or particular persons, intimidate a population or compel a government or an international organization to do or to abstain from doing any act, which constitute offences within the scope of and as defined in the international conventions and protocols relating to terrorism, are under no circumstances justifiable by considerations of a political, philosophical, ideological, racial, ethnic, religious or other similar nature, and calls upon all states to prevent such acts and, if not prevented, to ensure that such acts are punished by penalties consistent with their grave nature”.

(Bahan diambil dan dipelajari dari Security Council, Counter-Terrorism Committe)  

Densus 88, Sumber Detik.com

Dinamika Nasional

Tersituasikan dalam perdebatan internasional di atas, Indonesia tampaknya mengikuti arus dominan di pentas internasional. Merespon Bom Bali I dan II tahun 2002, Pemerintah meningkatkan respon dengan membentuk UU NO 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU ini adalah pengembangan lebih lanjut dari PP No 1 Tahun 2002. Pada awalnya publik nasional tidak banyak mempersoalkan landasan berpikir dan implementasinya karena tergerus isu konflik horisontal di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan konflik vertikal di Aceh. Barulah ketika dibentuknya Densus 88 tahun 2004 publik nasional mulai mendiskusikan dan mengawal secara kontinyu kebijakan dan implementasi pemberantasan terorisme di dalam negeri.

Dalam perkembangan selanjutnya sejak tahun 2005, Indonesia kembali mengikuti tren masyarakat internasional khusus AS dan negara-negara Eropa dengan memberi perhatian pada pencegahan tindak terorisme melalui paket kebijakan yang disebut de-radikalisasi. Paket kebijakan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari publik nasional khususnya komunitas atau organisasi Islam. De-radikalisasi dinilai menyamakan Islam dengan terorisme sebagaimana dipahami rejim liberal di AS dan Eropa. Masalah ini menjadi isu publik nasional dan sampai hari ini belum dituntaskan.

Dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan pada tahun 2010 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap eskalasi gerakan radikal dan dampak terorisme terhadap citra Indonesia di dunia internasional. BNPT menjalankan fungsi penyusunan kebijakan strategis dan koordinasi antar instansi pemerintah untuk penanggulangan terorisme. Kendati demikian, belum ada studi dan evaluasi terhadap efektivitas dan kinerja BNPT termasuk mengkaji integrasi program kerjanya dengan kebijakan luar negeri RI di bidang pertahanan dan ekonomi politik.  

Hal lain yang patut dicermati adalah Pemerintah cenderung melokasir isu terorisme menjadi isu domestik yang tidak dikaitkan dengan dinamika geopolitik yang selama ini menjadi sebab struktural dan pemicu. Dinamika geopolitik, terutama Timur Tengah dan Asia Selatan, memainkan peran signifikan bagi munculnya organisasi teroris dan mendorong transformasi gerakan radikal menuju organisasi terorisme. Absennya perhatian terhadap korelasi antara dinamika geopolitik dan domestik membuka ruang tafsir publik ke dalam tiga persepsi publik berikut.

Pertama, terorisme di Indonesia tak lain pekerjaan polisi khususnya TNI untuk menaikkan daya tawar di pentas nasional pasca reformasi. Kedua, Pemerintah Indonesia dinilai tidak berdaya menghadapi tekanan dan kepentingan AS, Australia dan negara-negara Eropa. Ketiga, Islam semakin dicitrakan buruk baik di dalam negeri maupun di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan.

Ketiga persepsi publik di atas bukanlah penolakan terhadap agenda nasional pemberantasan tindakan terorisme. Pesan dari kritik tersebut adalah alih-alih mencapai tujuan menciptakan rasa aman warga negara dan citra negara di mata internasional, kampanye berdarah melawan terorisme secara akumulatif telah menimbulkan polarisasi internal karena tak berhasil membangun konsensus nasional khususnya di kalangan umat Muslim Indonesia. 

Hal ini ditunjukkan oleh eskalasi protes di ruang publik seperti media dan di jalanan serta meningkatnya jumlah ormas yang menyuarakan pembubaran Densus 88 dan BNPT. Di pihak lain, kampanye tersebut mendapatkan dukungan mutlak dari gerakan ‘Islam Liberal’ dalam berbagai forum nasional yang menimbulkan persepsi bahwa faktor utama di balik aksi-aksi terorisme adalah ideologi agama khususnya ideologi Islam tertentu yang dicap radikal.

Oleh karena itu diperlukan gambaran mengenai saling pengaruh antara geopolitik internasional-regional dan dinamika politik dalam negeri yang mengkondisikan tumbuh suburnya gerakan radikal yang menggunakan strategi dan taktik teror untuk mencapai tujuan atau menyampaikan pesan politik mereka. Berikutnya, perlu dicermati transformasi terorisme di Indonesia dari fase awal terorisme yang merespon isu regional-internasional menjadi ‘terorisme’ yang tujuan dan isu penyebabnya berlokasi di dalam negeri. Dari situ barulah bisa disimpulkan dampak negatif terorisme terhadap kepentingan nasional dan rekomendasi strategis agar penanganan terorisme berkontribusi bagi penguatan kapasitas geopolitik Indonesia di pentas internasional.

Terorisme dan Radikalisme: Melacak Akar Masalah   

Kekerasan Terorisme

Hubungan terorisme dan radikalisme bukanlah hubungan sebab-akibat. Di Indonesia maupun di negara-negara lain di Asia, Eropa, Afrika dan Amerika terdapat banyak ormas yang dicap radikal tetapi sebagian kecil saja dari ormas tersebut menjadi breeding ground bagi aktivitas teroris. Karakteristik utama radikalisme adalah pengutamaan ideologi tertentu, baik ideologi agama maupun identitas etnis dan wilayah, dan menolak keberagaman cara pandang dan norma.

Gerakan radikal barulah menjadi gerakan teroris jika menggunakan kekerasan sebagai instrumen strategis atau instrumen taktis dalam perjuangan mencapai tujuan ideologis mereka. Sepanjang metode dan instrumen kekerasan tidak dilibatkan, suatu gerakan radikal bukanlah gerakan teroris. Dalam alam demokrasi liberal kelompok radikal berhak secara konstitusional untuk memiliki perbedaan ideologi, pola pikir, dan cara hidup. 

Para penstudi terorisme terkini bersepakat bahwa aspek kunci yang menhubungkan radikalisme dan terorisme adalah kekerasan. Kekerasan bagi gerakan teroris adalah metode dan sama pentingnya dengan aspek lain seperti tujuan dan motif politik, ideologi, organisasi serta struktur komando, dan efek teror yang dihasilkan. Bagi gerakan teroris, kekerasan sebagai metode teror jangka pendek melayani agitasi politik jangka panjang (Thornton, 1964).

Teror adalah efek yang hendak didapatkan dari eksperimentasi kekerasan agar pihak lain—biasanya jauh lebih kuat—bergeser posisi dan menurunkan taruhannya dalam konflik tersebut. Meniru model konfrontasi Negara Adidaya selama Perang Dingin, terorisme dipandang sebagai ‘act of compellence’ (Neuman, 2008; Hoffman, 2006).

Kekerasan yang dilakukan gerakan teroris ditandai 3 dimensi penting. Pertama, dilihat dari fungsi tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan dimaksudkan untuk menciptakan teror sedemikian dashyatnya sampai pemerintah gagal meredam rasa tak aman masyarakat. Tujuannya adalah menimbulkan ketidakpercayaan rakyat pada negara dan menuntut pergantian rejim. Dimensi ini disebut juga ‘strategic manipulation’ (Bell, 1978; Laquer, 2001).

Kedua, tindakan kekerasan sebagai ‘coercive manipulation’. Tindakan teror dilakukan untuk menghasilkan efek simbolik dari kekerasan, yakni menimbulkan rasa takut di kalangan populasi atau masyarakat yang dianggap seidentitas (agama, kelas, ras) dengan korban tindakan teror. Dalam definisi Wilkinson (2001), terorisme adalah “the systematic of murder and destruction or threat of, to terrorize individuals, groups, communities and governments into conceding to terrorist’s demands”.

Falsafah dasarnya adalah manifesto Sun Tzu dalam The Art of War: Kill one and frighten ten thousand! Terorisme menyerupai sebuah teater, tontonan yang mentransformasi keterkejutan (fright) dan kecemasan (anxiety) menjadi ketakutan (fear). Peran publikasi media pun sentral dalam memainkan psikologi ketakutan di kalangan orang-orang yang seidentitas dengan korban.

Ketiga, varian yang memandang terorisme sebagai taktik. Dalam varian ini, ada dua cara pandang yang dominan. Pertama, terorisme dipandang sebagai sarana/cara terbatas untuk mencapai tujuan jangka pendek seperti pertukaran tawanan atau merampok bank untuk membiayai gerakan. Kedua, terorisme dipandang sebagai taktik dalam kerangka strategi yang lebih luas.

Cara pandang kedua ini bersumber dari teori revolusi atau perang gerilya. Tindakan teroris adalah bagian dari agenda yang lebih besar, atau sebagai deklarasi pembukaan dari perjuangan politik. Bertujuan mengkomunikasikan agenda perjuangan ke publik. Varian ketiga ini tak jauh beda dari ‘strategic choice theory’ (Crenshaw, 1992). Terorisme menunjukan bahwa pelaku teror kekerasan adalah aktor rasional yang tahu persis dampak dari tindakanannya dan membuat pilihan rasional di antara alternatif lain dalam cara pikir strategis.

Pasca Perang Dingin, gerakan teror khususnya yang mengatasnamakan ideologi Islam tertentu menggabungkan kekerasan sebagai bagian dari taktik, strategi dan juga kekerasan sebagai tujuan itu sendiri (Mockaitis, 2010; Moghaddam, 2006). Inilah fenomena gerakan teroris jaringan internasional seperti Al-Qaeda sejak pertengahan tahun 1990-an jaringan terorisnya di Indonesia sejak tahun 2002. Fenomena bom bunuh diri (suicide bombing) merupakan bagian dari taktik politik sekaligus tindakan itu dibenarkan secara ideologis sebagai pemurnian diri pelaku di hadapan Allah melalui Jihad. Bom bunuh diri dipersepsikan sebagai peristiwa politik dan peristiwa transenden sekaligus.

Aksi Teror, Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, 17 Juli 2009, Source IDenesia.id

Gerakan Teror di Indonesia

Kelompok teroris di Indonesia sebagian besar bersumber dari sejumlah gerakan radikal. Yang paling terkenal adalah Jamaah Islamyiah (JI) yang merupakan ormas radikal di balik tragedi Bom Bali I & II dan tragedi Bom JW Mariot dan Kedubes Australia tahun 2004. Selain JI, terdapat juga NII (Negara Islam Indonesia), Al-Amin (Angkatan Muda Islam Nusantara),  MIT (Mujahidin Indonesia Timur) dan JAT (Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang merupakan anak bentukan baru setelah JI dibekukan pemerintah dan pada tahun 2013-2014 berada di balik propaganda ISIS (Islamic State of Irak & Syria) di Indonesia.

Ketiga ormas di atas selama ini dikenal sebagai basis gerakan teroris domestik dengan jaringan regional dan internasional seperti Al-Qaida. Sementara BNPT menyebutkan   3 kelompok besar terorisme di Indonesia antara lain Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Islamiyah (JI), dan Jemaah Anshorut Tauhid (JAT). Ketiga kelompok besar tersebut lalu berubah menjadi belasan organisasi atau kelompok yang lebih kecil seperti Mujahidin Indonesia Barat, Mujahidin Indonesia Timur, Imhisbah, Taliban Melayu, dan Al-Qaeda Indonesia. Baik laporan BNPT maupun hasil-hasil kajian terorisme di Indonesia menyimpulkan bahwa semua kelompok yang dicap teroris atau telah melakukan tindakan teror bertujuan politik yakni membentuk Negara Islam atau  Negara Syariat Islam.

Di lain pihak, ada pula gerakan atau ormas yang dicap radikal tetapi tidak bertransformasi menjadi gerakan teroris. Bisa disebutkan antara lain  seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin (IM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah. Kendati kerap melakukan aksi kriminal dan premanisme, ormas domestik seperti FPI dan ormas transnasional seperti Hizbut Tahrir tidak menggunakan instrumen kekerasan berskala massif dan membahayakan keamanan negara.

Sementara itu terdapat juga banyak ormas Islam yang dianggap moderat, nasionalis dan liberal seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bermarkas di Utan Kayu dan kelompok lain yang memiliki agenda sama, seperti Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Wahid Institute (WI), Perhimpunan dan pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Rahima, Fahmina (Cirebon), Forum Lintas Agama (FLA) Surabaya, LAPPAR Makasar. Organisasi di atas mengadvokasi toleransi antar umat beragama dan seringkali berseteru dengan kelompok yang dicap radikal terkait isu diskriminasi terhadap minoritas dan terorisme itu sendiri.

Dari berbagai sumber resmi yang dirujuk, aksi-aksi terorisme bersumber secara ideologis dan operasional-organisasi dari ormas atau kelompok aliran yang memiliki kesamaan ideologis dengan gerakan-gerakan insurgensi di Timur Tengah dan Asia Selatan. Selain itu ormas radikal tersebut memimiliki wawasan geopolitik yang kritis terutama yang terkait isu agresi AS di Timur Tengah, konflik Israel-Palestina, diskriminasi minoritas Muslim di sejumlah negara non-Muslim di Asia Selatan seperti Thailand (isu Pathani), Mianmar (isu Rohinya), dan Filipina ( isu Minandao-Moro). Terkini muncul gerakan ISIL di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disinyalir JAT berada di balik upaya mengalang dukungan dan rekruitmen sukarelawan untuk perjuangan ISIS di Irak.

Tahun                            Aksi-Aksi Teror 
2002Bom Malam Tahun Baru 2002 (1 Januari 2002) Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Korban : 1 orang tewas dan 1 orang terluka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa. Bom Bali (12 Oktober 2012) Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali diguncang bom. Dua bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05 Wita. Korban : 202 orang tewas dan 300 orang terluka. Mayoritas korban adalalah warga negara Australia. Pada pukul 23.15 Wita, bom meledak di Renon, berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.Bom Restoran Mc Donald’s Makasar (5 Desember 2002) Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s Makassar. Korban : 3 orang tewas dan 11 orang terluka.
2003Bom Kompleks Mabes Polri Jakarta (3 Februari 2003) Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa. Bom Bandara Cengkareng Jakarta (27 April 2003) Bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Korban : 10 orang terluka (2 orang luka berat) Bom JW Marriot (5 Agustus 2003) Bom menghancurkan sebagian hotel  JW Marriott. Korban : 11 orang tewas dan 152 orang terluka.
2004Bom Palopo (10 Januari 2004) Bom café di Palopo Sulawesi.  Korban : 4 orang tewas Bom Kedubes Australia (9 September 2004) Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. Korban : 6 orang tewas dan ratusan orang terluka Bom Gereja Palu (12 Desember 2014) Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah. Tidak ada korban jiwa.
2005Bom Ambon – 21 Maret 2005 Dua Bom meledak di Ambon. Tidak ada korban jiwa. Bom Tentena Poso- 28 Mei 2005 Bom meledak di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Korban : 22 orang tewas. Bom Pamulang Tangerang – 8 Juni 2005 Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa. Bom Bali 2005 – 1 Oktober 2005 Bom kembali meledak di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Korban : 22 orang tewas dan 102 orang terluka Bom Palu 2005- 31 Desember 2005 Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah. Korban : 8 orang tewas dan 45 orang terluka
2006Bom Poso 2006 -10 Maret 2006 Ledakan bom di rumah penjaga Kompleks Pura Agung Setana Narayana di Desa Toini, Poso. Tidak ada korban jiwa. Bom Poso 2006 -22 Maret 2006 Sekitar pukul 19.00 WITA, bom meledak di pos kamling di Dusun Landangan, Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir. Tidak ada korban jiwa. Bom Gereja Poso 2006 – 1 Juli 2006 Bom meledak di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Eklesia Jalan Pulau Seram, Poso, Sabtu (1/7), sekitar pukul 22.15 Wita yang cukup keras hingga terdengar dalam radius tiga kilometer. Tidak ada korban jiwa Bom Stadion Poso – 3 Agustus 2006 Sekitar pukul 20.00 WITA, bom kembali meledak di Stadion Kasintuwu yang terletak tepat di samping Rumah Sakit Umum Poso. Tidak ada korban jiwa.
2009Bom Jakarta 2009- 17 Juli 2009 Bom Jakarta 2009, 17 Juli 2009, dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 7.45 WIB. Korban : 12 orang tewas dan puluhan orang terluka
2010Penembakan Warga Sipil Aceh (Januari 2010) Perampokan Bank CIMB Niaga (September 2010)
2011Bom Cirebon – 15 April 2011 Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya. Bom Gading Serpong – 22 April 2011 Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI Bom Solo – 25 September 2011 Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka.
2012Bom Solo, 19 Agustus 2012 Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah. Ledakan ini mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak.
2013Penggebrekan Cigondewah, Bandung, Jawa Barat (8 Mei 2013). Terjadi baku tembak antara tim Densus 88 dan sejumlah terduga teroris. Penangkapan dua terduga teroris yang membawa lima bom pipa untuk diledakkan di Kedutaan Myanmar. Motif: balas dendam terhadap kekerasan Muslim Rohingya, Myanmar. Bom bunuh diri di halaman Mapolres Poso, Sulawesi Tengah – 3 Juni 2013. Seorang pria yang belakangan diketahui bernama Zainul Arifin, mengendarai sepeda motornya masuk ke halaman Mapolres Poso dan meledakkan diri. Beruntung, tak ada anggota polisi yang terluka dalam insiden tersebut karena anggota kepolisian baru saja selesai melaksanakan apel pagi.Penembakan anggota polisi: 27 Juli 2013: penembakan anggota Satuan Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat, Aipda Patah Saktiyono. Ia selamat dari aksi penembakan ini.7 Agustus 2013: penembakan terhadap Aiptu Dwiyatno di Ciputat, Tangerang Selatan. Aiptu Dwiyatno tewas dalam penembakan ini. Sepekan kemudian, Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Ponok Aren, Banten.10 September 2013: Aipda (Anumerta) Sukardi tewas ditembak orang tak dikenal ketika sedang mengawal enam truk di depan Gedung KPK.
2014Penggrebekan teroris di Ciputat (1 Januari 2014), semua terduga teroris tewas ditembak. Penangkapan dua terduga teroris di Ngawi (8 Agustus 2014), Guntur Pamungkas dan Kardi yang diduga terkait dengan jaringan teroris Poso dan mendukung ISIS (Islamic State of Irac and Suriah)

Al-Qaida Leader Osama Bin Laden and ISIS Chief, Abu Bakar Baghdadi, Source India TV News

ISIS sebagai Ilustrasi Geopolitik

Wacana terkini terkait mobilisasi sukarelawan untuk ISIS menarik untuk dijadikan ilustrasi dalam penelitian ini. Respon pemerintah, khususnya BNPT dan Densus, dan publik media yang terkesan agresif memojokkan simpatisan ISIS menimbulkan persepsi bahwa respon tersebut tidak strategis dan tidak berbasis evaluasi lesson learned dari pengalaman pemberantasan terorisme pada tahun-tahun sebelumnya. Tampak tidak dipisahkan antara hak warga negara bersimpati pada isu global umat Muslim dan tingkat ancaman terhadap kepentingan nasional baik dalam negeri maupun di pentas internasional.

Dalam studi terorisme, respon tersebut mengikuti logik self-fulfilling prohecy, dalam arti respon yang bersifat reaktif berpotensi mendorong gerakan simpatik menjadi gerakan teror di dalam negeri terutama karena kekecewaan terhadap ‘ketidakberpihakan’ negara terhadap masalah politik dan kemanusiaan di tingkat regional dan internasional. Logik bermasalah ini telah diterapkan AS melalui invasi dan pendudukan secara unilateral terhadap Afganistan Tahun 2001 dan Irak tahun 2003  dengan slogan ‘regime change’ dan ‘global war on terrorism’.  

Konsekuensinya sangat destruktif terhadap kepentingan geopolitik AS di Timur Tengah dan keamanan dalam negeri sejumlah negara termasuk Indonesia. Tidak saja hancurnya bangunan negara-bangsa baik di Irak maupun Afganistan, perang sipil antar faksi politik Suni dan Syiah justru mendorong eskalasi gerakan teroris di kedua negara dan memicu aksi-aksi teror di berbagai negara termasuk Indonesia khususnya pada tahun 2002-2005 melalui jaringan JI dan Al-Qaida.   

Laporan IPAC 2014 (Institute for Policy Analysis of Conflict) patut dijadikan rujukan. Laporan tersebut mengarisbawahi pentingnya pencegahan simpatisan dan kader ormas JAT dan lainnya bergabung ke dalam gerakan ISIS di Irak. Berangkat dari pengalaman terorisme generasi Amrozi dan Imam Samudra yang merupakan produk Perang Afganistan, besar kemungkinan pejuang ISIS asal Indonesia akan kembali tanah air dan melakukan aksi teror entah karena melampiaskan dendam terhadap respon Pemerintah Indonesia maupun karena ingin menegakkan cita-cita JI membentuk satu Kekhalifaan Islam yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina.  Pada Bulan Desember 2013 Kementerian Luar Negeri memperkirakan sebanyak 50 warga negara Indonesia terlibat bersama ISIL di Irak dan diperkirakan jumlah ini meningkat di awal tahun 2014. 

Pesan penting dari laporan IPAC adalah Pemerintah Indonesia dan publik media perlu berhati-hati dalam bertindak dan bersikap terhadap gerakan tersebut. Yang diperlukan adalah upaya sistematis berupa pendekatan lunak atau persuasi agar masyarakat tidak mudah termakan propaganda ISIS dan dilakukan tindakan monitoring dan pencegahan yang sistematis pula terhadap mobilitas simpatisan menuju Irak, Syria, dan Palestina. Tindakan tegas terhadap simpatisan berupa pelarangan dan penangkapan barangkali bukanlah langkah preventif yang efektif dan strategis. Hampir tak ada bukti yang meyakinkan di berbagai negara bahwa pencegahan dengan instrumen kekerasan dapat mengendalikan dan mengurangi resiko arus balik yang destruktif dari gerakan atau kelompok militan yang kembali ke tanah air mereka.

Berbeda dari agenda aksi kelompok teroris Indonesia produk Perang Dingin di Afganistan, bakal teroris produk guncangan geopolitik Timur Tengah pasca tahun 2010 tidak hanya menjadikan negara sebagai sasaran teror tetapi terlebih lagi warga negara yang berbeda aliran dan kaum minoritas. Pengalaman aksi ISIS di Syria dan Irak menjadi preseden bahwa arus balik militan Indonesia berpotensi menimbulkan ancaman langsung ke ruang publik terkait hubungan antar umat beragama. Boleh jadi sasaran teror tidak sepenuhnya lembaga negara seperti polisi dan simbol keras dan lunak dari kekuatan asing ‘kafir’ seperti bangunan kedutaan dan warga negara asing. Ketika ancaman teror langsung diarahkan pada warga negara atau sesama anak bangsa bisa dipastikan mobilisasi sumber daya legal dan ekstra-legal untuk pemberantasan akan sangat mahal dan memicu eskalasi konflik kekerasan horisontal di berbagai wilayah di tanah air. Di titik itu ancaman terhadap keamanan nasional atau disintegrasi menjadi nyata dan menakutkan.

Diletakkan dalam spektrum teori-teori mutahkir tentang akar-akar terorisme, hampir bisa dipastikan sejumlah pendekatan klasik yang marak sejak 2001 tidak memadai lagi untuk mengkaji tren terkini gerakan teroris. Pendekatan klasik di balik kampanye ‘Global War on Terror’ baik yang diterapkan AS, mayoritas negara di dunia termasuk Indonesia adalah kombinasi cara pandang struktural (kemiskinan sebagai penyebab), cara pandang demokrasi liberal (otorianisme dan Islam radikal sebagai penyebab) dan  cara pandang kultural (alienasi budaya sebagai penyebab).

Fenomena ISIS membatalkan kesahihan pendekatan klasik tersebut karena gerakan ‘terorisme’ ini justru memperlihatkan dimensi politik perebutan kekuasaan negara dan kontrol atas ruang publik yang mutlak dengan menggunakan strategi dan taktik insurgensi. Fenomena ini hanya bisa dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalis Asia dan Afrika yang menggunakan teknologi teror pada periode dekolonisasi tahun 1920 sampai tahun 1950an.

Poin penting dari penjelasan di atas adalah Pemerintah, khususnya Densus dan BNPT, harus cerdas memahami dinamika terkini dari politik gerakan radikal di kawasan hot spot seperti Timur Tengah. Pemahaman yang tepat terhadap faktor, aktor dan jaringan serta konteksnya setali tiga uang dengan kapasitas prediktif  dan sanggup mengorientasikan kebijakan penanganan terorisme yang efektif baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Pengalaman buruk AS di Timur Tengah adalah invasi dan campur tangan unilateral terhadap urusan domestik negara berdaulat dan multi-etnik mengubah kelompok spektator menjadi aktor dominan dalam perang sipil dan ekspansi gerakan radikal ke negara-negara tetangga termasuk menjangkau Asia Selatan.

Gerakan teror bertujuan politik sebagaimana ISIS di Irak-Suriah dan juga Hamas di Jalur Gaza menunjukkan orientasi, basis material dan proksimasi geopolitik yang berbeda. Kekuatan semacam ini menjadi sangat berpengaruh dan punya daya tarik yang kuat terhadap dukungan masyarakat dalam kondisi negara yang hampir gagal (failed state). Gerakan Hamas lahir dan berkembang dalam proyek de-kolonisasi dan menjadi bagian integral dari keterbatasan PBB sebagai arena geopolitik superpower. Sementara ISIS adalah warisan proksi geopolitik Amerika Serikat dalam membendung Uni Soviet melalui Al-Qaida yang sebagian besar elemennya kemudian berubah menjadi ISIS untuk memerangi negara-negara sekuler anti-AS sekaligus menghadang pengaruh Rusia di Timur Tengah.  

Kendati demikian, keduanya lahir dalam periode kegagalan agenda nasionalis: Hamas adalah produk kegagalan perjuangan PLO dan efek menular dari Revolusi Iran 1979, sementara ISIS adalah produk kegagalan restorasi politik Irak pasca perang sipil tahun 2004-2005 dan efek kemelut Syria yang berlarut-larut sejak 2011. Dari sisi efektivitas perjuangan, gerakan semacam ini lebih menekankan strategi dan taktik dengan memanfaatkan momentum krisis dalam negeri dan menggunakan kekuatan proksi daripada kekuatannya sendiri. Fakta ini tidak hanya ditemukan dalam penerapan praktis di arena konflik tetapi juga terbaca di sejumlah website gerakan teroris selama dua tahun terakhir termasuk translasi dalam bahasa Indonesia buku panduan gerilya kota karya Carlos Marighella. 

Mengubah Paradigma

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa kebijakan nasional yang didasarkan pada kajian populer yang mengkaji aktor, organisasi, pendanaan, dan jaringan terorisme tidak banyak membantu kapasitas kebijakan jika mengabaikan konteks dan faktor dinamika geopolitik. Sebagian besar aksi teror di Indonesia sejak Reformasi 1998 berkorelasi dengan dinamika politik di Timur Tengah dan Asia Selatan seperti Afganistan dan Pakistan.  

Dari catatan berbagai sumber, Densus 88 dan BNPT telah menahan 907 tersangka teroris, 644 dibawa ke pengadilan dan 3 terpidana mati Bom Bali telah dieksekusi. Pada tahun 2013 terdapat 87 tersangka teroris yang ditahan, sedikit berkurang dibanding tahun 2012 sebanyak 89 tersangka.  Sementara terdapat 103 teroris dan terduga teroris yang ditembak mati dalam penyergapan maupun baku tembak dengan Densus 88 selama satu dekade terakhir. Demikian halnya ditembaknya Dr Azahari tahun 2005 dan Nurdin M Top tahun 2009 tidak menghentikan transformasi gerakan  dan aksi-aksi teror sejak tahun 2010.

Sampai tahun 2014 ini pola pikir pemangku kebijakan dan penstudi terorisme di Indonesia tidak banyak berubah dan masih didominasi pendekatan klasik yang disebutkan sebelumnya. Bahkan diberitakan luas oleh BNPT dan KEMENKOPOLHUKAM bahwa model penanganan terorisme di Indonesia menjadi rujukan penanganan terbaik karena menekankan ‘supremasi hukum’ dan dianggap paling lunak dibanding negara-negara lain. Persepsi hasil evaluasi sepihak ini bertentangan dengan pendapat dan persepsi publik yang dipelajari dalam penelitian ini.

Penilaian masyarakat beragam mulai dari ketidakjelasan tujuan penanganan terorisme, konpirasi AS dan elit nasional Indonesia, sampai pada isu terorisme sebagai pintu masuk militer ke dalam urusan sosial politik Indonesia di masa datang. Penanganan terhadap tersangka atau yang diduga teroris dipertanyakan karena dalam hampir semua kasus terduga dan tersangka ditembak mati yang tentu mengurangi peluang mendapatkan informasi mengenai jaringan gerakan terorisme. 

Hal yang paling merisaukan adalah fakta bahwa tren gerakan teror pasca 2010 dianggap sebagai pembenaran terhadap pendekatan klasik mengenai hubungan kausalitas antara ideologi dan tindakan teror. Hal ini mendorong peningkatan program kerja de-radikalisasi baik di pesantren, kampus, sekolah-sekolah negeri, forum-forum dan ormas. Dukungan MUI juga tampak signifikan dengan mengeluarkan sejumlah fatwa dan pendapat yang membuat garis batas tegas antara ideologi Islam yang benar dan yang tak benar, atau muslim yang baik (good moslem) dan muslim yang buruk (bad moslem).

Satu hal yang pasti bahwa tren persepsi di kalangan pemangku kebijakan, penstudi terorisme, dan masyarakat sipil dari kalangan kelas menengah bertolak dari paradigma liberal yang ditandai dua postulat utama, yakni pertama, pemisahan agama dari politik atau agama adalah urusan privat dan kedua, tekanan pada individu sebagai sumber agensi dibanding relasinya dengan konteks sosial dan politik atau struktur kekuasaan.    

Pada level makro kebijakan nasional, bisa disimpulkan belum ada konsensus bersama antar para pemangku kebijakan atau lembaga terkait isu terorisme. Urusan pemberantasan terorisme masih menjadi previlese lembaga keamanan dan pertahanan. Belum muncul debat politik kebijakan yang komprehensif terkait seberapa jauh tindakan teror dan ancaman terorisme (kapasitas organisasi, jaringan, aktor, instrumen kekerasan, dan finansial) membahayakan kepentingan nasional baik di dalam maupun di luar negeri sebagaimana jika dibandingkan kerangka kebijakan anti-terorisme di AS, Australia, Singapura dan sejumlah negara  di Eropa. Hal ini menunjukkan masih kuatnya paradigma kedaulatan atau pertahanan negara warisan Orde Baru dalam kebijakan anti-terorisme Indonesia satu dekade terakhir.

Defisit wawasan dan intervensi geopolitik di balik kebijakan anti-terorisme kita dibayar mahal dengan ketidakberdayaan Indonesia menurunkan tren gerakan radikal yang bertransformasi menjadi gerakan teroris di dalam negeri. Dalam konteks hubungan internasional, program aksi pemerintah hanya sebatas melakukan kerja sama dan kemitraan untuk pencegahan dan pemberantasan terorisme dengan sejumlah negara termasuk AS, Filipina, Jerman dan Australia.

Fakta geopolitik menunjukkan hal sebaliknya. Indonesia hanya mengurus eksternalitas dari kericuhan geopolitik di Timur Tengah dan Asia Selatan. Defisit dan ketidakberdayaan daya tawar membuat pemangku kebijakan tidak bergeser ke arena debat keamanan internasional-global di mana Indonesia bisa berbagi resiko dengan negara-negara adidaya seperti AS, Australia dan EU yang dalam satu dekade terakhir terlibat aktif merusak tatatan sosial politik sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan.

Dengan kata lain, kebijakan anti-terorisme kita sampai saat ini menunjukkan dua hal penting.

Pertama, paradigma pertahanan dan kedaulatan lebih dominan dalam penanganan dan pencegahan terorisme. Paradigma ini menghasilkan pendekatan yang bersifat taktis jangka pendek dan bukan strategis untuk jangka panjang. Pendekatan taktis tidak memiliki kapasitas untuk melakukan evaluasi strategis apalagi menghasilkan agenda aksi yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia di level regional dan internasional.

Sebabnya adalah memandang sumber dan penyebab terorisme hanya dalam spektrum dalam negeri dan tidak memberi perhatian pada interaksi antara dinamika geopolitik internasional dan dinamika politik nasional. Tampilan eksplisit dari pendekatan minimalis ini adalah penanganan terorisme sebatas pendekatan hukum sebagaimana rutin dilakukan Densus 88 dan pendekatan lunak yang bersifat normatif sebagaimana dilakukan BNPT.  

Kedua, arena bertarung atau negosiasi (level of playing field) dari kebijakan anti-terorisme kita masih berkutat masalah pertahanan, keamanan, dan sosial politik dalam negeri. Gerakan teroris pasca Perang Dingin dan pasca tahun 2010 menunjukkan signifikansi geopolitik terhadap tren gerakan teroris di Indonesia. Di sini terbaca lemahnya soft power kebijakan nasional anti-terorisme dalam kancah internasional khususnya berhadapan dengan AS, Australia dan EU.

Rekomendasi

Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, laporan ini mengemukan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi bersifat strategis dalam arti memberi input bagi pembaharuan kerangka kebijakan pencegahan dan penaganan terorisme yang efektif untuk jangka panjang. Intervensi praktis yang selama ini dilakukan BNPT dan Densus 88 diletakan kembali dalam spektrum kerangka kebijakan strategis. Penelitian ini menilai kerangka kebijakan strategis tersebut paling relevan dan signifikan jika diinisiasi dan dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri.

Pertama, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia perlu melakukan review dan evaluasi komprehensif mengenai capaian dan keterbatasan dari kebijakan pencegahan dan pemberatasan terorisme dan radikalisme di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Evaluasi terpadu ini dimaksudkan untuk menakar tingkat signifikansi terorisme terhadap kepentingan nasional Indonesia di luar negeri, baik di level kawasan maupun di level internasional.

Kedua, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia perlu menginisiasi dan mengkoordinasi suatu forum koordinasi pemangku kebijakan/lembaga negara yang terkait pencegahan dan pemberantasan terorisme di Indonesia. Tujuan pembentukan forum koordinasi ini adalah menggalang konsensus dan agenda aksi bersama pencegahan dan penanganan terorisme yang berkontribusi terhadap kepentingan nasional Indonesia di luar negeri.

Ketiga, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia  perlu melakukan aksi-aksi proaktif  dan responsif terhadap persoalan geopolitik kawasan dan geopolitik internasional yang secara faktual berdampak pada tren terorisme di Indonesia.  Aksi-aksi proaktif dan responsif berupa memanfaatkan fora regional seperti ASEAN dan fora internasional untuk mendiskusikan secara intensif eksternalitas geopolitik yang berdampak pada tren terorisme di Indonesia. Akan efektif jika negara-negara yang terlibat dalam fora tersebut adalah negara-negara yang juga mengalami eksternalitas serupa. 

Keempat, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia perlu melakukan aksi-aksi proaktif di berbagai forum PBB secara unilateral maupun multilateral membahas masalah geopolitik keamanan internasional yang berdampak pada gangguan terorisme di Indonesia maupun negara-negara lain yang mengalami eksternalitas serupa.

Frans Djalong. Research Paper, CSPS UGM-Kemenlu RI, November 2014 (Studi Kebijakan Penanganan Terorisme 2002-2014)

Referensi

Alan, eds. (2010), International Terrorism: Current Research and Directions. Wayne, N.J.: Avery

Asad, Talal (2007), On Suicide Bombing, New York: Columbia University Press.

Atanas, Gotchev (2006 “Terrorism and Globalization”, in Richardson Louise (eds) Roots of Terrorism. New york: Routledge hal 103-116

Bar, Shmuel (2008) “The Religious Sources of Islamic Terrorism”, dalam Perry, Martin and negrin Howard, eds (2008) Theory and Practice of Islamic Terrorism: an Antology. New York: Palgrave Macmillan, pp 11-20

Bjorgo, Tore eds., (2005) Root Causes of Terrorism: Myths, Reality and Ways Forward. New York: Routuledge

Carrillo-Salcedo, Juan Antonio (2009) “Terrorism and General Principles of International Law”, in Pablo Antonio Fernández-Sánchez, eds, International Legal Dimension of Terrorism. Leiden: Martinus Nifhoff Publishers, pp 9-13 

Chomsky, Noam (1991) “International Terrorism: Image and Reality” in George A ed., Western State Terrorim. Cambridge: Polity Press

Chomsky, Noam (2003) Hegemony or Survival: America’s Quest for Global Dominance .New York: Henry Holt & Company                                         

Crenshaw M (1992) “The Logic of Terrorism: Terrorist Behavior as a Product of Strategic Choice”, in Reich W ed., Origins of Terrorism. Cambridge: Cambridge University Press

Crenshaw M (1992) ”How Terrorist Think: What Psychology can Contribute to Understanding Terrorism”, in Howard L ed., Terrorism: Roots, Impact and Responses.

Esposito, john (2006) “Terrorisme and the Rise of Political Islam”, in Richardson louise (eds) Roots of Terrorism. New york: Routledge hal 145-158

Flory, Maurice (2003) “International Law: an Instrument to Combat Terrorism”, in Rosalyn Higgins and Maurice Flory, eds,Terrorism and international Law. London: Routledge, pp 30-39

Frank, Jason (2006), Rethinking the roots of terrorism. New York: Palgrave Macmillan.

Friedrich, Jorg (2006) “Defining the International Public Enemy”, Leiden Journal of International Law, 19, 2006, pp 69-91

Gunaratna (2002) Inside Al-Qaeda: Global Network of Terror. London: Hurst Press

Hadiz, Vedi (2008), “Towards a Sociological Understanding of Islamic radicalism in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 38, No. 4, November 2008, pp. 638–647.

Higgins, Rosalyn (2003) “The General International Law of Terrorism”, in Rosalyn Higgins and  Maurice Flory, eds, Terrorism and international Law. London: Routledge, pp 13-29

Hoffman, Bruce (2006) Inside Terrorism. Cambridge: University Press

Juergensmeyer, Mark, (2006) “Religion as Root Cause of Terrorism”, in Richardson louise (eds) Roots of Terrorism. New york: Routledge, pp 133-144

Kinzer, Stephen (2003) All the Shah’s Men. An American Coup and the Roots of Middle East Terror. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc

Knight, Charles and Murphy Melissa (2003) “The Sources of Terrorism”, International Security, Vol. 28, No. 2, Autumn  2003, pp 192-198

Laquer W (2001) New Terrorism. Oxford: Phoenix Press

Lara, Maria Pia (2003) “Innocent of Terror: the Vertigo of  Secularization”, Hypatia, Vol 1, Number 1, Feminist philosophy and the Problem of Evil (winter, 2003) pp 183-196

Leheny, David (2005) “Terrorism, Social Movement and International Security: How Al-Qaeda Affects Southeast Asia”, Japanese Journal of Political Science, 6 (1), 87-109

Lutz, James and Brenda  Lutz (2010). “Democracy and Terrorism”, Perspectives on Terrorism, Volume 4, Issue 1, March 2010. pp 63-74

Mamdani, Mahmood (2002), “Good Moslem, Bad Moslem: A Political Perspective on Terrorism”, American Anthropologist, Vol. 104, No. 3 (Sept, 2002), pp. 766-775.

Marks, Edward (2006) “Terrorism in Context: From Tactical to Strategic” Mediterranean Quarterly, Vol 17, Number 4, Fall 2006, pp 46-59 

McGlinchey, Eric Max (2005) “The Making of Militants: The State and Islam in Central Asia”, Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, Volume 25, Number 3, 2005, pp. 554-566

Mockaitis, Thomas 2007) The ‘New’ Terrorism: Myth and Reality. London: Praeger Security International

Moghaddam, Fathali (2006), From the Terrorists’ Point of View: What They Experience and Why They Come to Destroy. Westport: Preager Security International. 

Neuman, Peter (2008) The Strategy of Terrorism: How It Works and Why It Fails. London: Routledge 

Oliver, Roy (2006) “Terrorism and Deculturation”, in Richardson Louise (eds) Roots of Terrorism. New york: Routledge, pp 159-170           

Pieth Mark (2009) Financing Terrorism. New York: Kluwer Academic Publishers.

 Richardson, Louise, ed. (2006), The roots of terrorism. London: Routledge.

Saul, Ben (2005) “Attempts to Define ‘Terrorism’ in International Law”, Netherlands     International Law Review, LII: 57-83

Schmid A and Jongman A (1988) A Political Terrorism: A Guide to Actors, Authors, Concepts, Data Bases, Theories and Literature. Oxford: North Holland

Schmid Alex (2005) “Prevention of Terrorism” in Bjorgo Tore ed., Root Causes of Terrorism: Myths, Reality and Ways Forward. New York: Routledge, pp 223-240

Schultz, Richard (1980) “Conceptualizing Political Terrorism: A Typology,” in Buckely

Sidel, J.T. (2006) Riots, Pogroms and Jihad: Religious Violence in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press.

Sukma, Rizal (2004) “War on terror: Islam and the Imperative of Democracy”, Asia Europe Journal , 2004, 2: 85–93

Thornton T (1964) “Terror as a Weapon of Political Agitation’, in Eckstein Harry ed., Internal War. New York: Free Press, 

Wilkinson, Paul (1974) Political Terrorism. London: MacMillan

Wilkinson, Paul (2001) Terroism Versus Democracy: Liberal State Response. New York: Routledge.

Dokumen-dokumen PBB: Perdebatan Terorisme

1. UN Doc. A/C.6/L.850 (25 Sept. 1972): draft convention; Department

of State, ‘U.S. Votes against U.N. General Assembly Resolution

Calling for Study of Terrorism’;

2. UN Doc. A/RES/3034 (18 Dec. 1972): GA resolution;

3. UN Doc. A/9028 (1973): report of the Ad Hoc Committee;

Daftar Pustaka| 132

4. UN Docs. A/32/37 (28 April 1977); A/34/37 (17 April 1979);

A/AC.160/SR.11–19 (1979): reports and summary records of

theAdHocCommittee;

5. UN Doc. A/9028 (1973): report of the Ad Hoc Committee, annex 7b;

6. UN Doc. A/C.6/SR.1355–1374 (November 1972): verbatim records of

the Sixth Committee; 13.

7. UN Doc. A/32/37 (28 April 1977): report of the AdHocCommittee;

8. UNDocs.A/AC.160/1(16May1973);A/AC.160/1/Add.1(12June1973);

A/AC.160/2(22June1973):

9. UN Doc. A/32/37 (28 April 1977): report of the Ad Hoc Committee.

Bahan-bahan perdebatan periode 2000an  dapat dilihat dalam dokumendokumen berikut:

1. UN Doc. A/RES/54/110 (2 Feb. 2000): GA resolution;

2. UN Doc. A/C.6/55/1 (28 Aug. 2000): revised draft convention; cf.

UN Doc. A/C.6/51/6 (11 Nov. 1996): original version;

3. UN Doc. A/59/894 (12 Aug. 2005): letter containing Draft

Comprehensive Convention on International Terrorism;

4. UN Doc. GA/L/3008 (4 Oct. 1996): press release; OIC Resolution

No. 64/27-P (June 2000); Reports of

theAdHocCommittee:UNDocs. A/56/37 (27April 2001); A/57/37

(21 Feb. 2002); A/58/37 (25April 2003); A/59/37 (22 July 2004);

A/60/37 (18May 2005); Reports of theWorking Group:

5. UN Docs. A/C.6/55/L.2 (19 Oct. 2000); A/C.6/56/L.9 (29 Oct. 2001);

A/C.6/57/L.9 (16 Oct. 2002); A/C.6/58/L.10 (10 Oct. 2003);

A/C.6/59/L.10 (8 Oct. 2004); A/C.6/60/L.6 (14 Oct. 2005).

6. UN Doc. A/56/PV.12 (1 Oct. 2001)

Sumber Website dan Berita di Internet

  1. Stigma RI Negara Teroris Kian Melekat

www.inilah.comon

  • Dampak-dampak terorisme terhadap pertahanan Negara

http://bgazacha.blogspot.com/2012/06/dampak-terorisme-terhadap-pertahanan.html

  • Munculnya Terorisme dan Dampaknya terhadap Sistem Sosial Budaya Indonesia

http://mohammad-darry-fisip12.web.unair.ac.id

  •  cKonspirasi Bisnis Melawan Teroris

www.kompas.com

  • Pengaruh Terorisme terhadap Sistem Politik Indonesia

http://politik.kompasiana.com

  • Terorisme global

http://www.antaranews.com/

  • APEC Hari Pertama Bahas Efek Terorisme terhadap Arus Dagang

http://news.detik.com/

  •  Bom di Bali dan Skenario Ekonomi Makro

http://www.suaramerdeka.com

  • Efek Bola Salju Bom Bali

http://news.liputan6.com/read/443816/efek-bola-salju-bom-bali

  1. ]BKPM: Korupsi dan Terorisme Tidak Pengaruhi Investasi

http://www.beritasatu.com

  1. Dampak-ekonomi-seputar-bom-di-jw-marriott-dan-ritz-carlton-jakarta

http://budirich.wordpress.com/

  1. Dampak Bom Bali Terhadap Pariwisata

Dampak buruk serangan bom Bali 1 Oktober lalu terhadap industri pariwisata Bali, menjadi perhatian dunia.

http://www.dw.de

  1. Ekonomi Indonesia Pasca Teror Bom

Diposting pula di Kompasiana

  1. JK: Dampak Seminar, Wisata Bali Normal Dalam 6 Bulan

http://www.kabar3.com/

  1. Penembakan Teroris Dongkrak Citra Pariwisata

http://www.sinarpos.com/

  1. Konsepsi Pencegahan Dan Penanggulangan Terorisme Di Indonesia Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI

http://www.balitbang.kemhan.go.id

  1. Pemimpin umat Muslim: teroris harus berhenti merusak citra Islam

“Seorang saksi dalam persidangan terdakwa perakit bom Umar Patek mengatakan bahwa kaum ekstrimis telah merenggut nyawa banyak orang Muslim yang tidak bersalah dan sudah merusak citra Islam.Oleh Elisabeth Oktofani untuk Khabar Southeast Asia di Jakarta”

http://khabarsoutheastasia.com/

  1. Tiga Kelompok Besar Teroris di Indonesia

http://news.metrotvnews.com

  1. Polri Tangani 12 Kasus Terorisme Sepanjang 2013 Laporan: Desi Angriani

http://microsite.metrotvnews.com

  • Api teror terus menyala sepanjang 2013

http://www.antaranews.com

  • Penyebab Terorisme Tumbuh Subur di Indonesia

http://www.republika.co.id

  • Teroris Berhubungan dengan Kelompok Garis Keras

http://www.beritasatu.com/

http://www.damailahindonesiaku.com

  • Wakapolri: Faktor Ekonomi Penyebab Aksi Kekerasan di Poso

http://regional.kompas.com

  • Pemicu Terorisme, Radikalisme Atas Nama Agama Akar kegiatan terorisme di Indonesia belum berhasil diredam.

http://nasional.news.viva.co.id/

  • Empat Penyebab Gerakan Teroris Melemah  

http://en.tempo.co/

  • Polri: Motif Teroris Solo Balas Dendam

http://nasional.kompas.com/

  • Polisi Temukan Motif Teror Solo

http://www.lensaindonesia.com

  • Ansyad Mbai: Hukuman Lembek, Indonesia ‘Surga’ Teroris

http://www.republika.co.id

  • Peta Konsentrasi Jaringan Teroris di Indonesia

http://www.tempo.co/

  • Polri Klaim Pendukung ISIS Tak Banyak

http://www.tempo.co/

  • cISIS Indonesia Tak Terafiliasi ISIS Irak-Suriah

http://www.tempo.co/

  • Strategi Badan Penanggulangan Terorisme Atasi ISIS

http://www.tempo.co/

  • Tiga Cara Antisipasi Penyebaran ISIS

http://www.tempo.co/

  • Polisi: Penangkapan Teroris Jatiasih Terkait ISIS

http://www.tempo.co/

  • Ini Sosok Terduga Teroris Pendukung ISIS

http://www.tempo.co/

  • Begini Kronologi Penangkapan Pendukung ISIS

http://www.tempo.co/

  • Danai Teroris Aceh, Pendukung ISIS Dicokok Polisi

http://www.tempo.co/

  • Benarkah ISIS Terkait dengan Jaringan Terorisme Internasional?

http://www.republika.co.id

  • Menag: Masalah ISIS Harus Dihadapi secara Serius

http://www.beritasatu.com/

  • Berapa jumlah anggota dan kekuatan ISIS di Indonesia?

https://id.berita.yahoo.com

  • Ini Sebaran Simpatisan ISIS di Indonesia

http://news.detik.com/

  • MUI: Gerakan ISIS di Indonesia Berpotensi Goyahkan NKRI dan Pancasila

http://news.detik.com/

  • Ini Rangkuman Data Lengkap Jejak ISIS di Indonesia

http://jateng.tribunnews.com/

  • Ada Tiga Pintu Masuk ISIS di Indonesia?

 http://www.republika.co.id/

  • BNPT: ISIS Bukan Gerakan Teroris Baru di Indonesia

 http://Liputan6.com

  • Ini Blue Print Pencegah Paham ISIS di Indonesia

 http://Liputan6.com

  • Penangkapan Afif Terkait Pendanaan Terorisme

http://www.tempo.co/

  • Pemerintah Tegaskan ISIS Organisasi Teroris

http://www.koran-sindo.com

  • Anggota ISIS di Indonesia Diperkirakan 1.000 Orang

http://www.tempo.co/

  • Pendanaan Teroris Indonesia Tak Lagi dari Al-Qaidah

http://www.tempo.co/read

  • Menutup sumber dana terorisme dengan RUU baru

http://www.merdeka.com

  • Jailed Indonesian terrorist Abu Bakar Bashir has been funding ISIS: Anti-terrorism chief

http://www.straitstimes.com/

  • Indonesian Terrorism Financing: Resorting To Robberies – Analysis

http://www.eurasiareview.com

  • cemaah Islamiyah Resources

http://web.stanford.edu

  • Aksi Kekerasan di Indonesia Meningkat

http://megapolitan.kompas.com/

  • Radikalisme masih ada di Indonesia

http://www.bbc.co.uk/

  • Survei: RI Masih Rawan Aksi Radikalisme dan Terorisme

http://www.suarapembaruan.com/

  • Indonesia Dinilai Rawan Radikalisme dan Terorisme

http://www.tempo.co

  • Potensi Radikalisme dan Terorisme Masih Tinggi di 2012

http://www.tribunnews.com/

  • Kapolri sebut teroris Indonesia didanai jaringan internasional

http://www.suaramerdeka.com

  • Kepala BNPT: Banyak teroris Malaysia yang lari ke Indonesia

http://www.suaramerdeka.com

  • BNPT: Teroris di Indonesia berada dalam satu kelompok besar

http://www.suaramerdeka.com

  • Ansyaad Mbai Mengurai Jaringan Teroris di Indonesia

http://www.suaramerdeka.com

  • Begini Cara Pendanaan Terorisme di Indonesia

http://www.tribunnews.com/

  • Pemberantasan Pendanaan Terorisme

http://www.tribunnews.com/

  • Pendanaan Teroris Indonesia Tak Lagi dari Al-Qaidah

http://www.tempo.co

  • Sumber pendanaan teroris mulai menyusut

http://www.Sindonews.com

  • Meluasnya Jaringan Baru Teroris Muda Indonesia Perlu dilakukan pemetaan jaringan teroris secara mendetail.

http://vivanews.com/

  • Jaringan Teroris Berkantong di 14 Daerah di Indonesia

Kepolisian, TNI dan Kejaksaan, Senin, menggelar rapat koordinasi soal penanggulangan terorisme di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebut terdapat 14 daerah di Indonesia yang diidentifikasi sebagai kantong jaringan teroris.

http://vivanews.com/

  • BNPT: Jaringan Teroris di Indonesia Mirip Jaring Laba-Laba

http://vivanews.com/

  • “Jaringan lama dan wajah baru” rencanakan teror di Indonesia

Sel-sel ekstrimis yang diringkus dalam serangkaian penggerebekan terlibat dalam sejumlah aksi perampokan bank, tampaknya dirancang untuk mengumpulkan dana bagi sebuah kamp pelatihan teror dan operasi lainnya.

http://khabarsoutheastasia.com

  • Jaringan Teroris di Indonesia Satu Simpul Besar

http://www.beritasatu.com

  • Kepala BNPT Kuak Peta Sarang Teroris di Indonesia

http://news.liputan6.com

  • Pemberantasan Teror Dipuji

http://www.jclec.com/

  • Pemberantasan Terorisme dan Kejahatan Transnasional dalam Pembangunan Keamanan Asia Tenggara

http://funpoliticswhynot.blogspot.com/

  • RI-Jerman Tingkatkan Penanganan Terorisme dan Kejahatan Transnasional

http://news.detik.com

  • RI-Filipina Kerja Sama Atasi Terorisme

http://internasional.kompas.com/

  • Ada Hubungan Erat Antara Pendanaan Kelompok Teroris dengan Kejahatan Narkotika

http://www.dnaberita.com/

  • Kasus-Kasus Transnational Crime Asia Tenggara

http://1142500352-lisafebriani.blogspot.com  

  • Kejahatan Transnasional dan Human Security Oleh Andi Purwono

http://www.suaramerdeka.com

  • FBI-Polri Akan Kerjasama Tangani Terorisme

Selama ini, Polri juga telah mengirimkan anggotanya untuk belajar ke Amerika Serikat.

http://nasional.news.viva.co.id/

  • Polri Waspadai Empat Kejahatan Transnasional Pada 2013

http://www.komisikepolisianindonesia.com/  

  • Tingkatkan Kerja Sama Penanggulangan Terorisme

http://www.investor.co.id

  • Menhan Purnomo: Lawan Terorisme dengan Tingkatkan Kerja Sama antar Negara

http://jaringnews.com/

  • Raids in Indonesia dent  ‘ring’ of terror groups

http://www.thejakartapost.com