Tuang dan Roeng: Patronase sebagai Teknologi Kuasa (2011)

Bab ini bercerita tentang bagaimana Developmentalisme dan Kairos melembagakan patronase sebagai praktik dan model hubungan sosial, ekonomi dan politik di Manggarai kontemporer. Singkatnya, patronase sebagai bentuk dan cara yang melaluinya relasi-kuasa  berlangsung dalam spektrum wacana. Karena itu, perhatian kita tertuju pada bagaimana dan dalam cara apa dua wacana hegemonik tersebut beroperasi dan dioperasikan di Manggarai. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya Developmentalisme beroperasi secara ekstensif dan intensif melalui visi-misi dan program-program pembangunan Pemerintahan Kabupaten Manggarai sejak tahun 1970-an sampai saat ini. Begitu pula Kairos diartikulasikan secara intensif melalui program-program dan aktivitas kegerejaan Keuskupan Ruteng. Kedua wacana ini terselenggara dengan logik kuasa-pengetahuan dan pengetahuan-kuasa yang identik, meskipun beroperasi dalam ragam ritual, teknik dan prosedur yang berbeda dalam hubungan birokrasi keuskupan-umat, birokrasi pemkab-warga negara, birokraksi partai politik-konstituen. 

(Ilustrasi: Hery Nabit, Bupati Manggarai, menegaskan dirinya sebagai pemimpin buat roeng, demi kepentingan roeng Manggarai, menyikapi penolakan keras warga Poco Leok bakal terdampak proyek geotermal, 2023, sumber foto: Pos-kupang.com)

(1) Konseptualisasi Patronase sebagai Teknologi Kuasa

Sebelum membahas kasus-kasus praktek patronase, perlu kiranya diargumentasikan kembali hubungan konseptual antara wacana, governmentalitas dan patronase. Eisenstadt dalam studi komparatifnyaa tentang praktek-praktek patronase di Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin menunjukkan bahwa patronase merupakan aspek fundamental dalam pelembagaan dan pelintasbatasan hubungan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat post-kolonial.[1] Patronase tidak hanya terkait dengan penstrukturan arus distribusi dan pengelolaan sumber daya, tetapi lebih penting lagi, melalui praktek ini berlangsung  penstrukturan hubungan inter-personal, jaringan-jaringan sosial-politis, dan hubungan kuasa dalam masyarakat. Melalui patronase, kepentingan ekonomi, sosial dan politik bercampur sedemikian rupa, yang diselenggarakan dengan ritual, teknik, dan prosedur tertentu yang menggabungkan elemen-elemen kelembagaaan korporatis dan simbolis.

Kendati bersifat partikular dan berwujud praktek sosial yang beragam, patronase dari waktu ke waktu menjadi terlembaga bukan hanya dalam tabiatnya melayani kepentingan ekonomi and politik patron-klien tetapi juga untuk memastikan bahwa solidaritas sebagai sebuah kelompok selalu terpelihara dalam pranata etis-moral yang khas terkait kebaikan dan tanggung jawab, atau hak dan kewajiban di antara patron dan klien. Dalam pranata itu, sentimen, identitas dan martabat diri-kelompok terpelihara secara konkrit dan simbolis. Menurut Eisenstadt, dalam model pertukaran sosial ini, kita akan selalu menemukan kontradiksi-kontradiksi yang menjadi terbenarkan secara etis-moral, seperti ketidaksamaan kuasa (akses dan kontrol atas sumber daya) yang terbungkus dalam sentimen kelompok. Dominasi sosial-politis para patron dibungkus dengan pengakuan simbolik-keagamaan bahwa perbedaan kuasa antara memimpin-mengontrol dan dipimpin-dikontrol merupakan sesuatu yang mutlak dan tak dapat diubah. Singkatnya, hubungan-kuasa ternetralisasi.

Kendati demikian, kajian patronase di Manggarai tidak sepenuhnya bertolak dari asumsi-asumsi tentang patronase sebagai model pertukaran sosial. Dalam kerangka berpikir studi ini, patronase di Manggarai dibaca sebagai ekses sekaligus cara mengartikulasikan Developmentalisme and Kairos. Patronase adalah model artikulasi wacana yang di dalamnya patron dan klien tersandera nalar dan fantasi kepatronan dan keklienan. Membaca patronase dalam spektrum wacana berarti membaca kelahiran dan keberlangsungannya dalam domain ‘regime of truth’ tertentu. Bertolak dari hubungan antara wacana dan govermentalitas yang dikembangkan Foucault,[2] rutinisasi praktek patronase hanya mungkin eksis dan beroperasi dalam wacana tertentu dan terkondisikan oleh struktur sosial-politik dalam mana wacana tersebut diterjemahkan melalui aktivitas dan program-program kelembagaan. Terpenting dari penjelasan ini adalah patronase lebih dari sekadar teknik atau pola. Praktek ini menyingkapkan tiga sifat hubungan ko-eksistensial yang menolak demokrasi, yaitu, dominasi, eksploitasi dan subjugasi. Dalam proses ini penerimaan dan pengakuan tentang pentingnya patronase menjadi bagian integral dari kesadaran diri dan kelompok, mengkarakterisasi suatu jenis kesadaran yang ter-‘governmentalisasi’ oleh Kairos dan Developmentalisme.

Developmentalisme dan Kairos merupakan praxis ideologi yang melanggengkan praktek patronase di Manggarai. Keduanya diartikulasikan negara dan gereja sejak pembukaan abad ke-20. Secara genealogis, negara melalui birokrasi pemkab dan gereja Katolik melalui Keuskupan Ruteng bekerja dengan rasionalitas politik yang identik. Keduanya beroperasi dengan sebuah tujuan besar mengontrol dan mengendalikan orang-orang Manggarai, teritori dan sumber daya mereka untuk tujuan-tujuan kelembagaan yang beragam. Kontrol dan konstruksi manusia merupakan karakteristik paling halus yang dalam perkembangannya membuat manusia Manggarai sanggup mendefinisikan, mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri dalam peristiwa sosial yang diskriminatif itu—patronase. tidak saja memainkan peran ‘kepublikan’ yang berbeda-beda, mereka didistribusikan ke dalam-ruang-ruang Developmentalisme dan Kairos yang berbeda pula yang diintegrasikan melalui patronase sebagai model hubungan ko-eksistensial.[3] Dalam konteks studi ini, kombinasi Analisis Wacana dan govermentalitas digunakan untuk membaca bagaimana birokrasi 3 pemkab Manggarai dikendalikan nalar politik Developmentalisme dan bagaimana birokrasi Keuskupan Ruteng dikendalikan nalar politik Kairos. Pengendalian itu berlangsung melalui praktek patronase.   

 Seluruh kasus praktek patronase yang dipelajari selama peneltian lapangan menunjukkan secara meyakinkan bahwa praktek-praktek tersebut terhubungkan secara langsung dengan hegemoni Developmentalisme dan Kairos. Apa artinya? Praktik patronase telah tergovermentalisasi oleh dua wacana tersebut. yang berkepentingan dengan praktek ini sebetulnya bukan birokrasi pemkab, birokrasi Keuskupan atau partai politik dalam kapasitas sebagai lembaga ‘otonom’ dan ‘berdaulat’, melainkan keberlangsungan dua wacana itulah yang dipertaruhkan. Karena itu, pelacakan praktek patronase pada lembaga-lembaga ini tidak bertolak dari asumsi otonomi dan kepentingan kelembagaan tetapi kepentingan besar Developmentalisme dan Kairos. Ketiga lembaga ini dibaca sebagai arena diskursif semata, contact zones. Mengapa? Praktek-praktek yang diperiksa itu ternyata saling terkait. Praktek patronase dalam relasi pemerintahan kabupaten-masyarakat setali tiga uang dengan praktik patronase dalam relasi Keuskupan-umat, dan terkait juga dengan praktik patronase dalam relasi partai politik-konstituen. Tuang pemerintah-patron birokrasi dan roeng-klien birokrasi adalah kelompok manusia yang sama dalam kategori tuang partai-patron politisi dan roeng-klien politisi. Begitu pula kelompok serupa kita temukan dalam kategori tuang pastor-agen pastoral (termasuk awan handal, tokoh agama) dan roeng-umat. 

(2) Privatisasi Negara: Tuang Pegawe & Roeng Pembangunan

Uraian dalam Bab 3, bagian pertama “Developmentalisme: Negara Pembangunan”, telah memberikan gambaran peralihan model penguasaan politik dari penguasaan tak langsung pada periode Manggarai Kolonial menuju Manggarai Post-Kolonial khususnya pasca pembentukan kabupaten Manggarai tahun 1958. Peralihan penguasaan tersebut bercerita tentang transformasi dan regenerasi patron-patron birokrat setempat yang sebagian terbesarnya berasal dari keluarga aristokrat yang terdidik dan berada dalam lingkaran kekuasan politik di Manggarai. Pelacakan biografis selama riset terhadap beberapa tokoh berpengaruh dalam birokrasi seperti bupati, mantan bupati, kepala dinas dan staf pada dinas strategis pemda membuktikan hal ini. Mereka sebagian besar bekerja dan memantapkan karier birokrat ‘unggulan’ dalam dinas-dinas ‘strategis’ di Manggarai seperti Dispenda, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pekerjaan Umum/Kimpraswil dan Bappeda kabupaten. Tentu saja dinas dan kantor yang disebutkan di atas merupakan ujung tombak diskursus developmentalisme negara di daerah, yang secara langsung dan intesif mengeksekusi program-program pemerintah pusat dan pemda, berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat sebagai ‘sasaran/obyek’ pembangunan. Seperti mereka sendiri ungkapkan, maupun yang telah menjadi pengetahuan umum di kalangan birokrat, bahwa dinas dan badan tersebut adalah ‘lahan basah’ karena banyaknya program dan aliran dana belanja publik dari APBD sekaligus strategis sebagai wadah pemantapan atau konsolidasi diri dan kelompok untuk bertarung dalam pilkadal selama sepuluh tahun terakhir.[4]

Infrastruktur merupakan sektor kebijakan yang tidak hanya menghabiskan sebagian besar anggaran pembangunan daerah, tetapi menjadi isu  yang dipakai masyarakat untuk menilai apakah bupati dan jajarannya ‘berhasil’ atau ‘tidak berhasil’ membangun Manggarai. Biasanya bupati akan menempatkan ‘orang-orang’nya di dinas dan badan strategis ini.[5] Lobi-lobi proyek yang dilakukan kontraktor sudah dimulai dilakukan ketika Bappeda melakukan rekap usulan program baik yang datang dari Musrembang maupun SKPD.[6] Program-program ‘pesanan’ datang dari Bupati sendiri, dinas-dinas dan anggota DPRD  yang nantinya mengendalikan proyek-proyek tesebut secara langsung maupun yang dikerjakan oleh keluarga besar mereka. Program-program ‘siluman’ pun muncul dalam rapat penetapan anggaran di DPRD. Ini terjadi ketika sejumlah anggota DPRD tidak mendapat jatah proyek untuk konstituen mereka [proyek di desa atau dapil yang telah menentukan elektabilitasnya dalam pemilu]. Dana-dana dari tiap item proyek dipotong dan disatukan untuk menciptakan proyek-proyek baru, semuanya terkait infrastruktur.[7] Proyek infrastruktur di sini menjadi penting karena melalui proyek tersebut sang bupati, kadis, dan anggota DPRD menunjukkan rasa terima kasih dan membuktikan ‘janji-janji’ mereka selama pilkadal dan pemilu. Kelompok ‘sial’ yang tidak mendapatkan kesempatan dan keleluasaan untuk memanfaatkan uang negara ini adalah para birokrat teras yang dalam pilkadal sebelumnya tidak berada dalam barisan tim sukses sang bupati. Mereka ditempatkan sebagai staf ahli pada kantor bupati yang  hampir-hampir tidak diberi peran pembuatan kebijakan dan perumusan proyek. Yang mereka lakukan hanyalah menanti kemurahan hati sang bupati untuk kembali menempatkan mereka pada dinas atau kantor dengan jabatan yang lebih  otoritatif. Di kalangan pegawai negeri di Manggarai, mereka adalah birokrat yang di’ahlikan’, yang artinya dibungkam sebagai sanksi politik dan karier mereka sebagai patron dengan sengaja diinterupsi, meskipun dalam kasus Bupati Manggarai Timur justru posisi ini memberikan pengaruh yang luar biasa bagi kemenangannya dalam pilkadal 2009 pasca pemekaran kabupaten baru tersebut.[8]

Hubungan antara infrastruktur dan konsolidasi elit  terkait secara langsung dengan konsolidasi kelompol-kelompok klien dalam birokrasi maupun dalam masyarakat sebagai ‘sasaran’ pembangunan. Penempatan PNS yang lama maupun baru dalam instansi-instansi pemda [kantor, dinas, badan] tidak terlepas dari dukung-mendukung selama pilkada, kedekatan hubungan kekerabatan dan pertemanan. Bahkan penerimaan seseorang menjadi tenaga honor [biasanya anak-anak keluarga birokrasi yang belum atau tidak lolos tes PNS] sangat ditentukan oleh faktor-faktor tersebut seperti anaknya siapa, dan ada tidaknya hubungan kekerabatan dengan kepala, kabag, dan kasubid dalam instansi tersebut. Yang melobi bukanlah sang anak sendiri tetapi orang tuanya yang umumnya juga birokrat entah guru atau pegawai pada instansi lain termasuk anggota DPRD. Dengan memakai cara-cara setempat seperti membawa ayam untuk menunjukkan rasa hormat di rumah sang patron, orang tua sang anak mengerahkan seluruh potensi simbolik dalam hubungan kekerabatan dan politik dengan memperkenalkan atau menyebut nama anaknya dengan sebutan ‘hoo anak dite’,  sebuah pernyataan yang lasim untuk menggambarkan bahwa sang anak yang sedang mencari pekerjaan itu adalah juga tanggung jawab sang patron, entah karena sang patron telah menjadi bapa baptis [godfather] atau bapa-mama saksi pernikahan sang anak. Hampir jarang terdengar bahwa sang patron menganjurkan agar sang anak berwiraswasta atau bekerja di luar birokrasi.

Birokrasi di mata pegawai negara-patron birokrat sendiri adalah lapangan pekerjaan itu sendiri, menjadi perpanjangan dirinya dengan kerabat dan orang-orang lain dalam masyarakat, dan terdapat semacam kewajiban untuk menyediakan ‘lapangan pekerjaan’ bagi kerabat dan orang-orang dekat yang membutuhkan. Untuk pejabat teras yang hendak bertarung dalam pilkadal hal ini tidak lagi soal tantangan profesionalitasnya sebagai pegawai negara yang harus mengutamakan efisiensi dan kompetensi aparatur dalam instansinya, tetapi suatu keharusan ‘politik’ karena dia sangat tahu dengan pasti bahwa  penolakan berarti kehilangan dukungan dari keluarga inti dan kerabat terdekat dari sang anak dalam pilkadal dan berkurangnya respek mereka terhadap beliau dalam urusan lain seperti dalam urusan perkawinan dan acara kematian, Bersamaan dengan itu beliau akan kehilangan respek di kalangan teman-teman oang tua sang anak yang juga rekan-rekan kerja di instansi tertentu.

Pengakuan luas dalam masyarakat Manggarai akan supremasi birokrasi dalam urusan pembagunan daerah dan bagaimana birokrasi dipandang sebagai cerminan integrasi keluarga besar/klan dalam posisi kuasa ini menempatkan seorang pejabat dengan ambisi politik yang lebih besar untuk berpikir dan bertindak taktis baik dalam memanfaatkan perannya sebagai pembuat kebijakan maupun dalam kapasitasnya sebagai sebagai representasi simbolik. Alokasi proyek dan kunjungan kerja dinas ke kecamatan dan desa-desa berubah menjadi misi politik yang rapi yang disambut dengan rasa hormat yang berlebihan dan ucapan terima kasih dari kelompok sasaran proyek di mana beliau dan jajarannya yang tiba di lokasi dipandang sebagai orang baik, ‘ata dite’, yang ‘berjasa’ membangun jembatan, jalan raya atau gedung sekolah di tempat tersebut. WN, Wakil Ketua DPRD Manggarai Timur, misalnya, tanpa ragu sedikitpun mengakui bahwa baik dirinya maupun rekan-rekannya yang terbagi ke dalam komisi-komisi itu memanfaatkan betul kunjungan kerja komisi sebagai ajang pertemuan dengan kelompok masyarakat, terutama dalam dapil mereka, dan berusaha menemukan pelanggaran atau pengerjaaan yang ‘tidak beres’ dari proyek tertentu  yang sebetulnya sudah tidak beres sejak pentenderan di panitia anggaran instansi.[9]

Hal serupa diceritakan HN, staf muda Bappeda Manggarai, lulusan S2 studi pembangunan di salah satu universitas di Belanda, dan dari keluarga besar raja Manggarai Todo-Pongkor. Beliau membenarkan praktik semacam ini di kalangan birokrasi melalui pengalamannya sendiri.[10] Dalam usia 33 tahun nama beliau sudah santer terdengar dalam bursa cabup/cawabup pilkadal kab Manggarai 2010. Namun diakuinya dia belum cukup memiliki ’pengalaman birokrasi’, yang sama artinya belum cukup perjumpaan dan perkenalan dengan masyarakat luas melalui keterlibatan dan keikutsertaannya dalam program-program pembangunan termasuk terpenting di sini kunjungan ke kampung-kampung dengan paket-paket proyek tertentu. Termasuk juga konsolidasi dalam lingkaran birokrasi dan parlemen daerah yang masih sangat terbatas. Pengakuan akan latar belakang ‘ata mese’ atau orang besar karena bagian dari aristokrasi belumlah cukup untuk memastikan elektabilitasnya dalam pilkadal, dan harus ditunjang oleh pengakuan dari berbagai lapisan masyarakat bahwa cabup/cawabup telah membuktikan diri sebagai ‘pembangun’ masyarakat, sebagai birokrat yang dikenal luas dan itu berarti senior dalam karier birokrasinya.

Berdasarkan penjelasan di atas dan di luar konteks pentingnya pembangunan infrastruktur di 3 kabupaten Manggarai, konsentrasi pada infrastruktur itu sendiri bercerita tentang kuatnya politisasi pembangunan dalam bangunan patronase politik di daerah ini pasca desentralisasi awal tahun 2000-an. Dalam asumsi ‘resmi’ Pemda, infrastruktur menjadi hal terpenting dalam mendorong peningkatan kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Hal ini misalnya terungkap dalam pernyataan Kamelus Deno, Wakil Bupati kab Manggarai, dalam tanggapannya terhadap prestasi peringkat satu kabupaten Manggarai dalam hal struktur anggaran APBD di tingkat propinsi NTT.[11] Menurutnya, Kab Manggarai berprestasi karena mampu mengubah struktur/pola anggaran (Tahun Anggaran 2007). Belanja Publik (Belanja langsung) lebih besar atau 61 % dari belanja Aparatur (belanja tidak langsung) atau 39 % termasuk Gaji dan tunjangan. Yang tentu tidak tergambarkan dalam pernyataannya adalah betapa dinas-dinas teknis pengelola proyek fisik menjadi sarang usulan politisasi pembuatan kebijakan infrstruktur yang memakan sebagian besar belanja publik.

Sebagai unsur pelaksana otonomi daerah dan berlaku sebagai instansi teknis, sebagaimana diamanatkan PP 47 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dinas Kimpranswil/PU, dinas PK dan dinas Kesehatan menjadi panitia penyelenggara proyek-proyek fisik. Seperti diuraikan sebelumnya instansi-instansi ini menjadi arena tertutup di mana lobi-lobi belakang layar antara faksi-faksi politik pendukung bupati terpilih menagih janji dan balas jasa. Hal ini juga menjelaskan bahwa dalam belanja publik proyek-proyek infrastruktur harus ‘diprioritaskan’ ketimbang pemberdayaan ekonomi karena yang terakhir ini kerap tidak mendatangkan ‘laba’ atau tidak bisa diambil keuntungan/dipotong dari kuota anggaran proyek yang biasanya langsung diketahui masyarakat sasaran program tersebut. Lain halnya dengan proyek-proyek infrastruktur. Seperti yang dikatakan salah seorang kontraktor dari lingkaran tim sukses Bupati Manggarai Kris Rotok, jalan raya, jembatan, irigasi dan bangunan sekolah ‘tidak bisa berbicara sendiri kepada kejaksaan’ kalau pengerjaan proyek tersebut tidak beres. Fungsi tim pengawas dan penilai proyek sendiri tidak berjalan karena mereka sendiri terlibat dalam korupsi anggaran proyek bersama kepala dinas dan kontraktor.[12]

 Dalam cengkeraman Developmentalisme ini, muncul ambivalensi yang sengaja dipelihara melalui ‘politisasi’ pembuatan kebijakan dan ‘politisasi’ biroksasi dalam satu proses yang tak terpisahkan. Di satu sisi, sektor pertanian/agraris dibiarkan berkembang tanpa intervensi modernisasi pertanian dan peningkatan sumber daya petani dan regulasi untuk akses pasar terutama tanaman komoditas, sedangkan di sisi lain, alokasi anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaaan irigasi dan pembukaan/perbaikan jalan raya digalakkan dari tahun ke tahun tanpa membawa dampak akseleratif bagi modernisasi pertanian termasuk peningkatan produksi dan distribusi dalam pasar lokal yang hampir seluruhnya dimonopoli pengusaha Cina dan sekelompok kecil pengusaha pribumi. Kontras ini dapat terbaca jumlah angkatan kerja sektor pertanian sebesar 78,68% dari total 256.135 angkatan kerja di Kab Manggarai dan Manggarai Timur dan indeks pembangunan manusia [IPM] sebesar 65,66 yang menempati peringkat ke-400 di seluruh kabupaten di Indonesia dan peringkat ke-8 di NTT dibandingkan dengan penigkatan per tahun alokasi belanja publik untuk proyek-proyek infrastruktur yang diasumsikan mengakselerasi peningkatan produksi dan distribusi hasil-hasil pertanian dan komoditas.

Tentu saja ada faktor-faktor lain dibalik  ‘development of underdevelopment’ ini, tapi yang jelas hal ini tak terpisahkan dari cara-cara regime birokrasi lokal Manggarai menerjemahkan pembangunan dalam konteks birokrasi dan pembuatan kebijakan [RKPD dan RPJMD]  yang secara politis melayani kompleksitas kepentingan, kompensasi dan konsolidasi faksi-faksi politik dalam birokrasi, parlemen dan luar birokrasi yang merupakan jejaringan kelompok patron- kelompok klien dalam pilkadal sebelumnya dan yang akan datang.[13] Konstruksi tentang urgensi sektor pertanian dipastikan dalam rancangan program jangka pendek maupun jangka panjang dan didefinisikan sebagai problem teknis yang membutuhkan resolusi teknis-manajerial, sementara di sisi lain, prioritas proyek dan penetapan tender proyek, apakah tender terbuka atau penunjukan langsung, dibangun di atas kalkulasi untung-rugi yang menyeret sang birokrat plus anggota DPRD membuat kebijakan-kebijakan program yang mengamankan posisi mereka dalam pilkadal dan pemilu.[14]

Dalam tampilan teknisnya, atau menggunakan diksi Analisis Wacana disebut performativitas, proyek-proyek infrakstruktur dan partisipasi aktif aparatus negara lokal ini dalam implementasi proyek-proyek tersebut menjawab kriteria ‘techinical intelligibility’ dan ‘political intelligibility’ yang khas dalam masyarakat yang telah tergovernmentalisasi oleh Developmentalisme.[15]  Dengan inteligibilitas teknis berarti masyarakat yang apolitis dan rendah tingkat partisipasi politik dalam pembuatan kebijakan ‘berpartisipasi’ dengan ‘terlibatkan’ melalui proyek padat karya dan sebagai ‘target’ pembangunan infrastruktur tersebut. Masyarakat Manggarai mengukur keberhasilan proyek pembangunan dengan ‘melihat’ dan ‘menatap’ sebagai ‘ the object’s gaze’. Tatapan ini, mengukur dengan menatap sebagai konsekuensi dijadikan obyek/sasaran developmentalisme sebagai pengetahuan/kuasa sejak awal abad ke-20. Tatapan itu, respon apolitis yang hiperaktif itu, berlangsung dalam koridor inteligibilitas politik, yakni, suatu penilaian tentang seberapa jauh birokasi sebagai ‘development’s subject’ sungguh-sungguh membereskan pekerjaannya [proyek tersebut] demi kemakmuran dan kemajuan masyarakat. Di sini masyarakat, obyek yang dipasifkan dalam developmentalisme sebagai narasi teknis-manajerial, diberi ruang diskursif untuk menilai kinerja negara sebagai subyek yang hiperaktif.

Dalam sepuluh tahun terakhir, bersamaan dengan diperkenalkannya legitimasi politik untuk jabatan bupati dan DPRD, inteligibilitas politik birokrasi semakin tercermin melalui inteligibilitas teknis proyek-proyek pembangunan. Inilah cara pandang masyarakat—roeng/klien—yang telah mendelegasikan dukungan, dalam frase ‘dipercayakan rakyat’, kepada bupati dan anggota DPRD terpilih. Legitimasi politik yang diperoleh melalui Pilkadal dan Pemilu dalam kenyataannya semakin menebalkan rasa tanggung jawab para patron birokrasi-patron politisi bahwa mereka harus sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan roeng-klien politik mereka yang tersebar di kampung-kampung. Di lain pihak, roeng-klien semakin menjadikan ‘kejelataaan’nya sebagai basis penuntutan ‘hak’ untuk diperhatikan, didatangi dan diberi pertolongan lewat proyek-proyek infrastruktur dan program-program ‘pemberdayaan’ ekonomi masyarakat kecil. Pengaspalan jalan raya dan  pengadaan bak air minum bersih, misalnya, dilakukan rutin tiap tahun di lokasi yang sama. Begitu pula program-program lainnya, diulangi setiap tahun APBD, tidak hanya untuk menghabiskan anggaran, tetapi juga memastikan bahwa roeng-klien dapat melihat kasat mata, menatap dengan mata membelalak hasil-hasil proyek ‘pembangunan’.[16]            

Lebih lanjut, metafor ‘tatapan’ dalam studi governmentalitas  menjelaskan dengan cara lain bahwa Developmentalisme melalui birokrasi pemerintah kabupaten tidak dapat berlangsung tanpa bekerjanya satu jenis rasionalitas politik yang mengkarakterisasi mentalitas berkuasa-dikuasai, suatu pengakuan dan pengekalan identitas dan peranan yang diskriminatif.[17] Bangunan sekolah siap pakai, jalan raya hotmix antar kecamatan, bendungan-bendungan irigasi berlapis beton diresmikan pejabat daerah dan disaksikan masyarakat setempat dengan menggelar upacara adat ‘kepok manuk’ (ritus setempat untuk menyatakan terima kasih) menandai pengakuan akan ‘kesuksesan’ pembangunan bersamaan dengan derap langkah pasti sang pejabat menggunting pita sembari melepaskan senyuman ‘keberhasilan’ dirinya menjalankan misi pembangunan di lokasi proyek tersebut.

Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Musrembang, adalah mekanisme lain yang memperlihatkan operasi kuasa Developmentalisme.[18] Dikendalikan nalar politik memerintah, proses ini  tak lebih dari rangkaian peristiwa penundukan dan ketertundukan antara birokrasi-institusi para patron birokrat dan ‘masyarakat’ (yang merupakan nama lain dari kumpulan roeng-klien birokrasi). Kendati digembar-gemborkan dengan kata-kata partisipasi dan demokrasi, ritual ini tidak sekadar ‘invited space’ sebagai dibayangkan kalangan penganut demokrasi-deliberatif. Kenyatannya, dalam masyarakat yang telah tergovernmentalisasi Developmentalisme, Musrembang berlaku sebagai ‘governmentalized space’, yang pengertiannya tidak tersandingkan lagi dengan korporatisme negara. Dari pengamatan penulis mengikuti Musrembang tingkat kabupaten di kabupaten Manggarai Timur, tidak hanya kenyataaan bahwa ritual ‘demokratis’ developmentalisme lokal ini dihadiri para pegawai negeri-patron birokrasi plus pensiunan birokrat teras dan para patron politik-politisi (yang juga berlaku sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, sekaligus kontraktor proyek), tetapi penegasan yang relatif sama tentang pentingnya birokrasi menjalankan roda pembangunan, baik yang terbaca dari materi presentasi sang bupati terpilih maupun dari ‘aspirasi’ tomas dan toga yang berputar-putar pada isu infrakstruktur (pembukaan dan pengaspalan jalan raya, bendungan skala kecil, pengadaan air minum bersih tingkat desa, termasuk pengadaan got dan deker). Dengan suara yang mengebu-gebu, sang patron birokrasi, ‘orang nomor satu’ di kabupaten ini, berkata ‘..beri saya kepercayaan yang besar untuk membangun Manggarai Timur..Mari kita berhenti berpolitik dan bersatu membangun daerah ini’. Disambut tepuk tangan meriah para peserta ritual.

Sebagaimana disarikan dari wawancara dengan sejumlah staf Bappeda di tiga Pemkab Manggarai, usulan-usulan ‘masyarakat’ yang muncul dalam tahapan Musrembang mulai dari tingkat desa sampai kecamatan biasanya kurang ‘strategis’ dibandingkan usulan program-program SKPD yang masuk dalam rekapan Bappeda.[19] Selama proses perumusan dan perencanaan yang dikerjakan Bappeda, rantai-makanan terbentuk, di mana program-program ‘pesanan’ muncul dari tiga jurusan: SKPD strategis penyelenggara proyek fisik, bupati berserta para klien dekatnya dalam birokrasi dan tim sukses non-birokrasi, dan DPRD. Suatu kejahatan politik dan administratif sekaligus, yang kendatipun diketahui masyarakat luas, dianggap normal dan niscaya. ‘Roeng’, yang memandang hal tersebut bukan masalah, tinggal menunggu proyek-proyek di wilayahnya dilaksanakan sebagaimana janji bupati dan anggota dewan selama pilkadal dan pemilu. Proses dan manuver pembuatan kebijakan antara patron-birokrat teras dan anggota DPRD bukanlah urusan ‘roeng’ Di sini, sekali lagi, yang berkuasa dan dikuasai sama-sama menggunakan kriteria inteligibilitas teknis dan inteligibilitas politik. Patronase politik dalam internal birokrasi pemkab dan DPRD ataupun relasi patronase di antara aktor-aktor kedua lembaga ‘formal’ ini, tidak terpisahkan dari klien politik masing-masing dalam pelapisan hubungan yang bervariasi.  Praktik patronase menjadi modelpenghubungan negara dan masyarakat, menjadi pola tetap dan normal untuk menstrukturkan distribusi sumber daya finansial dan teknis-aparatus birokrasi melalui proyek-proyek pembangunan.

(3) Sakralisasi Kekuasaan: Tuang Gereja dan Roeng Pastoral

Tersituasikan dalam Kairos yang berubah, dari konsep/praktik gereja universal-misionaris (1912-1984) menjadi gereja lokal-mandiri di bawah pimpinan uskup pribumi (1985-sekarang), Keuskupan Ruteng telah menjelma menjadi sebuah lembaga pastoral yang ‘teknis-manajerial’. Dengan misi menghadirkan Kerajaan Allah di Dunia, digabungkannya lahan-lahan garapan beserta teknik-teknik pastoral lama [yang menekankan pewartaan injil /kerugma], ibadat/liturgia, pelayanan/diakonia] dengan teknik-teknik pastoral baru. Proyek ‘pendalaman’ iman ini berlangsung dalam satu sapuan dengan manggaraisasi keumatan, manggaraisasi keagenan pastoral, dan bersamaan dengan koordinasi dan kerja sama yang makin kompak dengan birokrasi pemerintah kabupaten Manggarai. Pergeseran orientasi dan teknik  pastoral Gereja Mandiri tak terpisahkan dari redefinisi hubungan antara gereja dan umat, penyelemat dan yang diselamatkan, singkatnya antara gembala dan kawanan domba. Baik hasil Sinode I (1994/1995) maupun hasil Sinode II (2006/2007) menegaskan pengorientasian kembali proyek gereja yang sebelumnya triumpalis dan ekspasionis menjadi proyek iman yang menggarap tubuh dan pikiran, konsentrasi pada pemeliharaan jiwa-jiwa. Gereja, dalam hal ini agen pastoral, dimobilisasi mengurus urusan-urusan duniawi, dalam memajukan harkat dan martabat manusia Manggarai yang kristiani. Dengan misi ini, membangun umat Manggarai yang makmur-sentosa, haluan misiologi keselamatan diputar balik ke dalam dunia-dalam.[20] 

Merumuskan keselamatan dengan jurus-jurus kemakmuran ekonomi tampak dengan jelas dalam Surat-Surat Gembala Uskup sejak pertengahan 1980-an sampai sekarang. [21] Iman kristiani terhubungkan secara langsung dengan kekaryaan dalam dunia, dan ‘ekspresi’ keberimanan umat adalah ‘karya dan prestasi’, dalam mana konsep kerja kristiani lokal, konsep menggarap dunia sebagai arena politik keselamatan, merujuk pada konsep besar kerja produksi dan sumber daya manusia yang telah menjadi tekanan utama dalam Developmentalisme. Begitu pula hampir tak terbedakan lagi antara lima isu pokok dan program kerja Keuskupan Ruteng pasca Sinode II (2006/2007)  dan Panca Program Pemkab Manggarai [2005-2010]. Dalam Sinode itu,  definisi dan perumusan masalah tentang Lingkungan Hidup, kemiskinan, Pendidikan dan Orang Muda, Keluarga dan Gender, dan Sosial-Politik, memudaratkan kebiasaaan dan praktik budaya ‘tradisional’, rendahnya kesadaran hukum, krisis jati diri individu dan krisis budaya karena pengaruh globalisasi, dan politik yang ‘tidak pro-rakyat’. Bertolak dari pendefinisian dan pemaknaan tentang kondisi ‘obyektif’ Umat Manggarai kontemporer dalam logik Kairos-Developmentalisme, Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng, di bawah komando Rm Manfred Habur Pr, merancang tahun kegitatan dan mengalang program-program kerja melalui komisi-komisi pastoral seperti Komisi Kerawam untuk Urusan Sosial-Politik, Komisi Kepemudaan, dan Komisi Ekonomi/PSE/DELSOS.[22]

Reorientasi kebijakan dan program keselamatan Kairos di atas bukanlah sebuah cara bersikap, menyambut dan membawa Developmentalisme ke dalam misiologi gereja Keuskupan Ruteng, melainkan sebagaimana dibahas dalam bab III, terhubungkan dengan etnisisasi gereja dan reproduksi para iman pribumi dari dalam lingakaran kelompok berkuasa-berpengetahuan dalam masyarakat Manggarai. Dengan jumlah total umat katolik 726.267 jiwa dari total penduduk 3 Kabupaten Manggarai yang hampir mencapai 750.000 jiwa, peranan kepemimpinan dan kontrol populasi dan wialayah oleh 140 imam pribumi sedemikian besarnya di wilayah yuridiksi keuskupan yang telah terbagi ke dalam 5 Dekenat, 75 Paroki, 554 Stasi dan 4491 Komunitas Basis Gerejani [Seri PUSPAS, 2008: 16]. Dengan menjalankan peran membentuk ‘manusia Manggarai’ pada bidang masing-masing seperti pendidik, pastor paroki, ketua/staf komisi, para imam pribumi ini bekerja lebih sebagai ‘peternak’ ketimbang ‘gembala’ sebagaimana orang-orang Manggarai membayangkan teknik-teknik kegembalaan pastoral para misionaris Barat sampai pertengahan tahun 1980-an yang memusatkann perhatian pada urusan infrastruktur dan sektor agraris dengan bantuan dana-dana luar negeri yang tak terkira jumlahnya.[23]

Kendati hampir seluruh imam pribumi yang berkarya di Manggarai saat ini bekerja di bidang konstruksi ‘pengetahuan’ dan birokratis, tidak berarti respek dan pengakuan umat akan soverenitas simbolis imam dalam hubungan dengan keselamatan kekal dan pembawa ‘terang’ di dunia ikut luntur. Legitimasi imam pribumi datang dari sejumlah arah. Pertama, pengakuan umat akan kehebatan mereka sebagai orang paling terdidik di Manggarai [semuanya SI dan semakin banyak menamatkan S2 teologi moral di Roma]. Kedua, mereka dipandang sebagai representasi dari keluarga besar ‘ata mese’ [sebagaimana ditunjukkan oleh ‘misa sulung’ pentabhisan sang imam yang melibatkan keluarganya sebagai panitia penyelenggara dan pendidikannya sampai seminari tinggi yang masih menjadi tanggungan orang tua]. Ketiga, para pastor pribumi ini bertindak sebagai sebagai pemangku kebijakan moral-administratif untuk urusan perkawinan, kematian, pembaptisan, dan pertobatan yang merupakan otoritas sakramental imam yang tak bisa diambil alih umat sendiri.

Yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa imam pribumi Manggarai memiliki otoritas resmi dan tidak resmi dalam mendistribusikan sumber daya simbolik, administratif dan ekonomi gereja kepada pihak-pihak yang dalam pandangannya (pandangan sebagai pastor ‘pribumi’, pastor ‘keluarga’ dan pastor ‘pendidik-administrator’) patut dan perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus.  Di sini pula kegembalaannya yang adalah perwujudan patronase teologis/simbolis dan sosial-ekonomi/institusional beroperasi dalam bingkai besar Kairos-Developmentalisme Gereja Mandiri Keuskupan Ruteng.

Sejak pertengahan tahun 1980-an upaya melibatkan umat dalam urusan kebijakan, administrasi dan keuangan kegerejaan ditandai oleh dibentuknya dewan-dewan paroki di setiap paroki. Posisinya sebagai pembantu utama pastor paroki terutama sebagai perpanjangan tangan dan penerjemah kehendak pastor paroki dan kebijakan keuskupan dalam hal mendorong umat untuk memiliki mental ‘memberi’ iuran dan sumbangan kepada Gereja Mandiri.[24] Kehadiran dewan paroki dalam semangat baru kemandirian finansial gereja mandiri ‘dari umat, oleh umat, untuk umat’ ini dalam praktiknya menunjukkan kontras yang dianggap normal baik oleh pastor paroki, anggota dewan paroki, dan umat sendiri. Anggota dewan paroki adalah kelompok umat terpilih karena dianggap ‘terhormat’ dalam masyarakat, ‘terpuji’ karena mata pencahariannya [birokrasi dan politisi] berkaitan dengan melayani masyarakat, dan ‘patut diteladani’ karena kesuksesan dalam rumah tangganya termasuk keberhasilan membesarkan anak-anaknya menjadi ‘orang sukses’. Sebagian besar dari mereka adalah birokrat senior di kota kabupaten, pegawai camat dan kepala sekokah SD, SMP dan SMA katolik dan negeri. Mereka pula adalah awam katolik yang ‘handal’ yang dalam acara-acara perkawinan dan pembaptisan diminta kerabat dan orang-orang lain sebagai ‘bapa-mama saksi’ dalam acara pemberkatan perkawinan katolik dan dalam resepsi pernikahan dan sebagai ‘bapa-mama baptis’ dalam acara pembaptisan anak menjadi katolik—yang di sana tersurat tanggung jawab dirinya terhadap pasutri baru dan sang anak yang dibaptis.

Tidak jauh beda dari studi-studi patronase dalam kehidupan masyarakat katolik di Itali Selatan-Sisilia dan Amerika Latin,[25] praktek-praktek sakramental yang menjadi arena ‘pengakuan dan pembuktian’ kehandalan awam katolik dapat berubah menjadi model pertukaran sumber daya di mana sang bapa baptis dan bapa saksi, yang sebagian besar politisi dan birokrat, membutuhkan dukungan dari mereka yang selama ini ‘dibimbing’nya layaknya anak kandung. Hal lain yang menonjol dari gambaran dewan paroki ini adalah bahwa mereka memilki hubungan kekerabatan dekat dengan pastor pribumi yang bertugas di paroki lain atau bidang lain dalam wilayah Keuskupan Ruteng.[26] Kekerabatan dekat dengan pastor pribumi dan status birokrat-politisi merupakan dua karakteristik yang melekat pada seorang anggota dewan paroki. Anak-anaknya juga mendapatkan perlakuan khusus dari pastor paroki-pendidik dalam urusan sekolah dan perkawinan. Dalam kondisi interpenetrasi kepentingan kelembagaan gereja dan individual ini, patronase simbolis selalu terbentuk dalam satu sapuan dengan patronase sosial, ekonomi dan politik. Dewan paroki menjadi ajang sedimentasi atau penegasan praktis tentang kepantasan dan kapasitas seseorang sebagai tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh politik. Karakteristik dewan paroki, sebagai mana dikaji penulis dari sejumlah wawancara dan cerita imam pribumi dan umat, bukanlah representasi elemen-elemen umat yang bervariasi dari segi ekonomi dan sosial. Dalam Kairos dan Developmentalisme, mereka sedang mewakili kepatronan dan tak ada hubungannya dengan mewakili ‘roeng-umat’ yang sebagian besar petani dan berserakan di kampung-kampung dan tidak mudah terjangkau dari pusat-pusat pelayanan pastoral di paroki-paroki yang umumnya berpusat di ibukota-ibukota kecamatan. 

Bertolak dari Analisis Wacana, cara-kerja menamai, mengatur, mengontrol dan menempatkan orang-orang dalam kategori dan ruang-ruang simbolis dan sosial sebagaimana dikerjakan Gereja Mandiri seperti dalam Sinode I/II serta karakteristik dan peranan Dewan Paroki menjelmakan suatu rasionalitas politik pastoral yang khas yang tak jauh beda dari analytics of power, berisikian aparatus, teknik dan prosedur untuk rutinisasi hubungan-kuasa antara tuang pastor-agen pastoral dan ‘roeng-umat’ yang juga adalah klien agen-agen pastoral yang terdiri dari pejabat teras pemkab, pegawai senior di kecamatan-kecamatan, politisi dan mantan pejabat/politisi. Teknik dan prosedur yang dipakai dalam karya pastoral menjadi teknik penjiwaan atau pembatinan yang intensif di mana umat, baik yang identik maupun tidak identik dengan kriteria Kairos-Developmentalisme, menyadari dan menghidupi eksistensi dirinya dalam ruang ko-eksistensial bersama orang lain. Umat terdistribusi dalam domain praktis-keagamaan yang juga adalah domain simbolis politik, sosial dan ekonomi. Antara yang simbolis dan praktis tak lagi terbedakan. Keduanya saling menegaskan dengan membuat nyata kehadiran dan peranan agen pastoral dan menempatkan umat dalam konfigurasi posisi dan peran. Pastor pribumi dan anggota dewan paroki adalah bagian dari keagenan pastoral, dan mereka dipersepsikan umat-roeng sebagai ‘tuang gereja’, sementara umat kebanyakan tak lain adalah domba-domba yang harus mendapat intervensi rutin tidak saja dengan register etis-moral tapi terpenting lagi intervensi praktis. Umat didorong dan dimobilisasi secara rutin ke dalam rangkaian aktivitas kegerejaan mulai dari tingkat ‘kelompok’, ‘lingkungan’, sampai ‘paroki’.[27] 

 Selain distribusi peran melalui spasialisasi umat ke dalam Kelompok dan Wilayah, roeng-umat kebanyakan mengakitifkan diri mereka melalui aktivitas-aktivitas kerohanian non-sakramen. Dengan berubahnya haluan misiologi Gereja menjadi Gereja Mandiri yang berusan dengan pemeliharaan jiwa-jiwa, semakin bertambah banyak umat Katolik Manggarai yang terlibat dalam asosiasi-asosiasi kegerejaan yang tugasnya hampir tak terbedakan lagi dengan peran para pastor dan rohaniwan/wati. Legio Maria dan Kelompok Karismatik, untuk menyebut dua contoh ekstrim, berisikan para pegawai, para guru, mantan pegawai dan terbanyak istri pegawai. Tidak lagi berdoa untuk dirinya sendiri, mereka menjadi pendoa bagi orang lain yang ditimpa sakit dan kesusahan. Meski tak mengubah apapun kondisi dari orang-orang yang didoakan, kehadiran mereka yang agresif ke rumah-rumah mempertebal keyakinan kristiani setempat bahwa selain budi baik patron politik-agen pastoral, melambungkan doa seakan membuka pintu surga dan kita, jiwa-jiwa ini, tinggal menantikan perbuatan-perbuatan besarNya yang misterius. Mengapa gejala ini berkembang di kalangan ‘ata mese’ (para pegawai dan agen pastoral)? Apakah ini sepenuhnya ‘persoalan iman’ atau sebaiknya dibaca sebagai gejala sosial? Dalam studi ini, fakta tersebut dilihat sebagai gejala sosial, sebagai efek sekaligus cara Kairos dan Developmentalisme beroperasi di wilayah kesadaran, tepatnya fantasi tentang kesejahteraan dan keselamatan. Berdoa untuk orang lain dan memiliki cukup waktu untuk itu bercerita tentang kepantasan untuk melakukannya dan adanya waktu luang.       

Gejala di atas memperlihatkan upaya-upaya konkrit mengidentikkan diri dengan kebenaran yang adalah tautologi kekaryaan dan prestasi yang kasat mata di hadapan kebenaran itu sendiri. Kondisi ini hanya mungkin terjadi dalam masyarakat dengan tingkat interpenetrasi diskursif yang berlapis-lapis dan telah melewati periode formatif penubuhan wacana dalam teknik dan prosedur yang beragam. Praktik-praktik pendisiplinan secara rutin melalui pengajaran di sekolah-sekolah Katolik, pola hubungan orang tua—anak, hubungan ketetanggaan, artikulasi-artikulasi politik formal, dan cara-kerja birokrasi pemkab Manggarai. Pendisiplinan setali tiga uang dengan konsensus mutlak dan terblokirnya kecenderungan resistensi dalam militansi yang sepenuh hati. Dimensi politis Gereja Mandiri, yang dalam Sinode II, dipertegas dengan ambil bagian dalam aktivitas kerasulan awam politik selama tahun 2009 sebagai ‘Tahun Sadar Politik’ [Program Tahunan Keuskupan] mendorong dirinya ke dalam proliferasi ‘kehandalan’ awam katolik dalam kontestasi politik lokal Pilkadal dan Pemilu.

Dengan latar belakang pendidikan seluruhnya sarjana filsafat moral dan teologi yang digembleng di Seminari Tinggi Filsafat Katolik [STFK] Ledalero-Ritapiret, para imam pribumi menemukan dan menegaskan kembali diri mereka dalam ruang-ruang yang telah terdiferensiasi oleh Kairos dan Developmentalisme. Bekerja di Keuskupan dan Pusat Pastoral menjadi identik dengan privelese tertentu di kalangan mereka. Sementara tidak sedikit di antara mereka menilai bekerja sebagai pastor di paroki terpencil sebagai ‘hukuman’ dan ‘cobaan’ karena di daerah itu kemiskinan dan ketiadaan fasilitas pelayanan dianggap menghambat aktivitas pelayanan itu sendiri. Sama seperti para birokrat pemkab yang memahami penempatan mereka di kecamatan terpencil sebagai hukuman, perjumpaan para imam pribumi dengan kondisi ini, kondisi umatnya sendiri, berubah menjadi pengalaman ‘berharga’ seakan-akan suatu yang baru sama sekali dalam hidupnya. Mengapa demikian?

Kurang lebih 15 tahun para pastor pribumi dididik dalam asrama dan ruang kelas, dari seminari menengah sampai seminari tinggi. Dipisah dari keluarga dan masyarakat sejak usia 12 tahun dan memulai kehidupan baru yang di dalamnya mereka dipersiapkan, dalam bentuk pengajaran dan pelatihan bertahun-tahun, untuk menjadi ‘tuang pastor’ dan ‘patron politik’ dalam kapasitas sebagai awam Katolik yang handal. Dalam proses yang relatif tertutup inilah mereka menemukan diri sebagai sungguh-sungguh berbeda dari masyarakat kebanyakan karena proses ini memastikan mereka mengambil peran pembangun dan penyelamat jiwa-jiwa. Dibekali retorika, penguasaan 3 bahasa asing, dan dibekali kepatuhan pada pimpinan, maka semakin mantap langkah mereka menuju dunia ‘para patron’ ketika tiba masanya setelah mereka menyelesaikan tuntas pendidikan di Seminari Tinggi.

Alasan lain dari lancarnya kaderisasi menjadi patron ini, adalah kenyataan bahwa Teologi Pembebasan tidaklah sepenuhnya dijadikan praxis ideologi gereja lokal dalam konteks kehadiran dan peran gereja dalam masyarakat yang tersandera kemiskinan ini. Kurikulum lokal di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi berorientasi pada dua kompentensi pokok: Pengetahuan-Keahlian Pedagogis dan Moral Kristiani. Dua kompentensi ini dengan sendirinya mencerminkan penubuhan Kairos dan Developmentalisme sekaligus mereproduksi dua wacana ini melalui jalur kesadaran, mereproduksi kesadaran berkuasa melalui kepemilikan dan akses kepada dua kompetensi tersebut. Kurikulum tidak memberi kesempatan kepada Teologi Pembebasan yang relevan dengan kemiskinan struktural dan de-politisasi pembangunan yang terus-menerus dilakukan melalui prakti-praktik patronase baik dalam hubungan ‘gereja-umat’ maupun birokrasi pemkab-warga negara’.[28] Seperti diungkapkan seorang mantan pastor pribumi,  bahwa pengalaman ‘imamat’ dalam praktiknya adalah pengalaman kekuasaan. Para pastor dan awam handal memainkan peran diskursif mereka dalam ruang-ruang ‘sosial’ dan ‘politik’ yang di dalamnya mereka adalah ‘garam’ dan ‘terang’ bagi dunia Manggarai.[29]

Maribeth Errb, dalam studinya dengan persepktif institusionalis, telah memproblematisasi ‘hegemoni’ Keuskupan Ruteng  dalam kaitannya dengan praktik-praktik Gereja Mandiri yang berkembang sejak tahun 1980-an.[30] Bertolak dari sejumlah kasus yang melibatkan birokrasi Keuskupan Ruteng, Errb menemukan kecenderungan umat Katolik Manggarai untuk mempertanyakan perilaku tak adil gereja dan penyalahgunaan otoritas moral gereja untuk menjustifikasi kebijakan birokrasi pemkab yang menindas. Kajiannya itu berakhir dengan sebuah optimisme bahwa dilema yang dihadapi gereja antara ‘power’ atau ‘empowerment’, antara berpihak pada penguasa politik atau kembali ke fitrah ‘option for the poor’, justru disebabkan meningkatnya sikap kritis umat. Baginya, birokrasi Keuskupan Ruteng tidak bisa lagi bekerja semaunya karena selalu diawasi dan dipertanyakan umat, terutama karena adanya rangkaian advokasi yang dilakukan orang-orang Manggarai yang tinggal di kota-kota besar di Jawa, khususnya di Jakarta. Kritik dan koreksi umat terhadap birokrat gereja dipandang sebagai penanda ketidakstabilan hegemoni gereja dalam kapasitasnya sebagai lembaga moral di Manggarai.

Studi ini memandang ‘sikap kritis’ umat terdidik itu secara berbeda. Cara Erbb membaca kasus-kasus konflik antara umat, birokrasi gereja, dan birokrasi pemkab, didasari asumsi bahwa ketiga aktor konflik ini memiliki domain ‘otoritas’ yang terpisah satu dari yang lain. Seakan-akan kasus-kasus yang terjadi mencerminkan krisis legitimasi gereja dan negara di mata roeng-umat. Yang luput dari pengamatan adalah kenyataan bahwa Kairos dan Developmentalisme tetap tak dipertanyakan dan dalam pengamatan studi ini, kasus-kasus konflik segitiga itu justru menjadi momen peneguhan kembali bahwa Keuskupan Ruteng dan Pemkab Manggarai harus ‘bekerja’ untuk roeng-umat. Hal tersebut dapat diperiksa dalam Kasus Yayasan STKIP Ruteng dan Kasus Petani Colol.[31] Dalam dua kasus ini, Uskup dan Bupati didorong menjadi ‘gembala’ yang baik sementara bupati didorong menjadi tuang pegawai yang melayani kepentingan ‘roeng’.  

Studi ini juga mencatat kelemahan mendasar dari tesis Errb dan proponennya di kalangan orang-orang Manggarai terdidik di Jakarta, yakni, kasus-kasus yang terjadi umumnya berupa kasus hukum. Judisialisasi  kasus, atau kasus dimunculkan sebagai perkara hukum, tentu berdaya jangkau terbatas untuk memulai sebuah proyek emansipasi, pembebasan dari imaji diri/kolektif  dan praktik-praktik ‘rohani’ yang melembagakan percampuran antara keinginan daging dan kebutuhan rohani di mana menjadi makmur dan bagian dari negara sekaligus berarti terpandang dan terpuji secara moral kristiani lokal. Melihat problem gereja mandiri sebagai bagian dari problem govermentalitas menuntun pada suatu sikap militan dalam mengoreksi paradigma kepemimpinan daerah dan kepemimpinan gereja yang berbasis patronase sebagai cara mengelola dan mendistribusikan sumber-sumber daya. Demikianlah kenyataannya, setelah resolusi hukum ditegakkan, praktik-praktik patronase berjalan seperti biasa dan menguntungkan mereka yang sebelumnya getol mengadili gereja dengan bahasa penegakan hukum dan HAM yang kiranya tidak perlu diceritakan panjang lebar dalam tesis ini.

Dari berbagai temuan lapangan dan pengalaman intensif penulis dalam kehidupan kegerejaan di Manggarai, ketidakpuasan dan kekecewaan umat kepada pastor dan tokoh-tokoh agama seperti anggota dewan paroki dan para guru sekolah katolik sebagian terbesarnya didorong oleh perasaan tidak diperlakukan secara ‘adil’ sebagai umat.  Tentu saja ini selalu terjadi karena pola patronase dalam distribusi sumber daya simbolis, sosial dan ekonomi yang terbatas itu tidak memungkinkan seluruh lapisan umat menikmati mobilitas simbolik dan mobilitas vertikal dalam struktur sosial-ekonomi masyarakat yang sangat timpang ini. Akses untuk mendapatkan pelayanan birokrasi gereja dan birokrasi pemkab tentu tidak dinikmati semua orang selain kelompok umat-roeng tertentu yang telah ‘teregistrasi’ melalui praktik-praktik patronase yang secara aktual menghubungkan gereja, negara dan manusia Manggarai. Barulah ketika menjadi bagian simbolik dari orde kekuasaan ini, ketika salah satu anggota keluarga menjadi imam dan berkarya dalam wilayah Keuskupan, muncul peluang dalam keluarga besar itu di mana anak-anak mereka disekolahkan dan mereka sendiri mendapat pekerjaan yang ‘layak. Sang pastor tidak saja menjadi model-terbaik  dan mengangkat profil keluarga besarnya, dia dapat pula berlaku sebagai ‘broker’, dalam arti langsung dan tak langsung, yang menghubungkan para anggota keluarganya kepada sejumlah patron-pejabat di birokrasi pemkab dan DPRD. Patron-pejabat berada dalam satu domain kuasa bersama sang pastor, dan pesanan sang pastor direspon dengan antusias terutama karena persahabatan dan jasa-jasa sang pastor terhadap keluarga sang patron dan terpenting lagi, kapasitas simbolik dan peran nyata sang pastor kelak diperlukan untuk urusan-urusan politik dan karier sang birokrat. 

Begitu juga mereka yang sebelumnya dirundung ketidakpuasaan menjadi terpuaskan ketika terbangun relasi baru dengan imam pribumi karena hubungan kawin mawin seperti ‘kesa’ atau ipar atau karena anak perempuan mereka menikah dengan adik atau sepupu dari imam pribumi. Pastor yang tidak ‘mengurus’ keluarga besar dan kerabatnya dianggap pastor abnormal. Dia dianggap tidak tahu berterima kasih kepada sanak-saudara yang telah menanggung biaya pendidikan pastoralnya selama kurang lebih 14 tahun. Berkarya untuk gereja yang telah termanggaraisasi hampir sama artinya dengan segera menjadi ‘tuang’, bukan pelayan atau gembala dalam makna etimologisnya. Menjadi ‘gembala’ dalam Kairos dan Developmentalisme lokal ini berarti serba benar, serba tahu dan serba bisa mengurus urusan-urusan ‘umat’. Memperhatikan keluarga besar menjadi indikator seberapa jauh dia dapat mengurusi urusan umat yang lebih besar. Hal ini hanya mungkin terjadi karena ‘yang rohani’ dan ‘yang daging’, jiwa dan badan, tersambungkan, menjadi satu dalam aktualitas tindakan yang bisa dirasakan dan dilihat kasat mata. Janji selibat yang luhur itu—kesetiaan, kemiskinan dan kesucian—diubah secara dramatis dalam Kairos-Developmentalisme, menjadi makna yang kental dengan komitmen sebagai tuang-patron mengurus badan dan batin manusia lain yang berada di luar domain Kebenaran-Pengetahuan.

(4) Transaksi Suara & Pekerjaan: Tuang Pelitik dan Roeng Pembangunan[32]

Praktik-praktik patronase yang terbentuk dan terpelihara dalam kondisi governmentalisasi juga menjadi suatu kelumrahan dalam cara kerja partai-partai politik di Manggarai. Pada bagian ini penulis mengangkat DPC PDIP Kabupaten Manggarai Timur sebagai ilustrasi tentang (1) bagaimana mesin politik partai beroperasi dengan model patronase, dan (2) bagaimana praktek tersebut mencerminkan proses govermentalisasi. Patut dicatat pula bahwa partai politik di sini bukanlah sebuah institusi otonom dengan kesibukan politik sepanjang tahun. Partai politik, dalam kasus ini PDIP Manggarai Timur, tak lebih dari semacam rumah singgah yang selalu tak dihuni kecuali dalam satu tahun menjelang pemilu dan pilkadal. Metafor rumah hendak membedakannya dari birokrasi 3 pemkab Manggarai dan Keuskupan Ruteng yang seluruhnya memenuhi imaji kita tentang lembaga yang ditandai berlangsunya sistem kerja, sumber daya dan aparatur.    

Selain itu, narasi praktik patronnase yang disampaikan dalam bagian ini tidak mengarah kepada pemeriksaan tentang perilaku aktor dan kepentingan dalam derajat otonomi tertentu. Tentu saja ‘kepentingan politik’ sebagai alasan patron-klien terlibat dalam praktik patronase tetap dipertimbangkan, hanya saja penjelasannya tidak berhenti pada perilaku dan kepentingan mereka. Cerita-cerita tersebut  semata-mata hendak memperlihatkan praktik patronase sebagai efek govermentalisasi Developmentalisme-Kairos sekaligus sebagai cara dengan apa dua wacana ini dikultivasi secara rutin. Sama seperti praktik-praktik patronase yang disampaikan dalam dua bagian terdahulu,  sifat instrumental dan oportunis yang muncul dari patronase memang tampak amat nyata bagi pengamat pemula. Akan tetapi, semakin lama terlibat mengikuti praktik ini semakin jelas pengaruh Developmentalisme dan Kairos.

Dari semua fungsionaris partai yang diwawancarai penulis, selalu muncul frase ‘pengalaman politik’ sebagai salah satu karakteristik yang menentukan apakah seorang politisi  akan tetap dipercayakan sebagai pengurus DPC dan PAC Kecamatan. WN, ketua DPC PDIP Manggarai Timur,[33] misalnya mendefiniskan pengalaman politiknya sebagai keaktifan terus menerus dalam lapangan politik. Dirinya tidak hanya melayani ambisi pribadi menjadi wakil rakyat di DPRD, tetapi sama pentingnya juga menjadi wakil konstituennya baik di dewan maupun di kepengurusan partai. Yang dia maksudkan dengan konstituen adalah para pendukung utama dalam kepengurusan partai dan pengurus PAC Kecamantan Lambaleda (dapil beliau)  serta pengurus ranting di desa-desa dalam kecamatan ini.  Mereka adalah bagian dari keluarga besarnya, teman-teman yang telah lama ‘jatuh-bangun’ bersama dirinya dalam berpolitik, dan sejumlah fungsionaris yang selalu dipeliharanya dengan uang agar mereka ‘tidak  pindah ke lain hati’, ‘kudut nganceng cau’—biar bisa dipegang dukungan mereka. Adik kandungnya, MA, menjadi ketua PAC Kecamatan Pocoranaka, sementara kakak kandungya kandungnya, KA, menjadi ketua PAC Lambaleda. Melalui keluarganya inilah beliau memperluas dan mengontrol pendukung-pendukung basis di kampung-kampung dalam 2 kecamatan tersebut yang membuatnya duduk di kursi dewan selama 15 tahun [1999-2014]. Beliau diangkat kembali sebagai anggota DPRD (2009-20140 karena terpilih lagi dalam Pemilu April 2009 dengan capaian suara jauh di atas rata-rata capaian suara caleg dari semua partai di kabupaten ini.

 Hal yang sama juga menjadi karakteristik elektabilitas VA, Ketua Bappilu DPC Kab Manggarai Timur, anggota DPRD [1999-2009].[34] Pengurus DPC paling senior ini mengartikan pengalaman politiknya sebagai bagian dari ‘membangun’ Manggarai dan memastikan para pendukungnya tetap setia. Adik kandungnya, SS, ‘ditunjuk’ sebagai Ketua PAC Kotakombadan mendukung ‘kesa’ [sepupu dari istrinya], GB, sebagai Sekretaris DPC, anggota DPRD [1999-2009]. Begitu pula GB sendiri adalah cawabup  [paket ABBA] yang gagal dalam putaran kedua Pilkadal 2009, menempatkan ipar kandungnya, AJ, sebagai ketua PAC Elar.

Dalam diskusi dan pantauan penulis yang lebih intensif dengan narasumber ini selama musim kampanye Maret 2009, semakin jelas bahwa frase ‘pengalaman politik’ sebetulnya menceritakan dua hal yang saling terkait, yakni, pengalaman patronase dan pengalaman kekuasaan yang lebih luas terkait Developmentalisme dan Kairos di Manggarai. Pengalaman patronase secara khusus menunjuk kepada cara-cara menjalin dan mempertahankan haubungan klientelistik di mana pengurus inti DPC kab Manggarai Timur secara aktif ‘merawat’ keluarga besar pendukung, pengurus partai di tingkat kecamatan dan ranting, termasuk segelintir orang dari desa-desa berbeda yang dalam musim kampanye pemilu menjadi tim-sukses mereka. Dalam sebuah diskusi yang dihadiri semua ketua PAC kecamatan,[35] beberapa di antara mereka mengakui bahwa alasan mereka mendukung WN dalam pemilihan ketua DPC tahun 2008 tidak lain adalah perhatian-perhatian yang sudah dia berikan kepada mereka dalam berbagai bentuk seperti melobi birokrasi setempat untuk menjadikan sejumlah pengurus partai sebagai guru honorer, staf tata usaha, dan melobi kontraktor supaya mereka [yang rata-rata berpendidikan SD/SMP] mendapatkan pekerjaan dalam pelaksanaan proyek infrastruktur di desa-desa di wilayah kecamatan mereka. ‘politik di manggarai tidak butuh orang pintar [maksudnya berpendidikan sarjana-red]. Kami butuh orang yang punya prinsip dan memegang janji’, demikian tegas MA, adik kandung ketua DPC, dan disetujui ketua-ketua PAC yang lain.

Yang dimaksudkan dengan ‘prinsip’ di sini adalah bahwa untuk menjadi politisi yang sukses di Manggarai seseorang harus sungguh-sungguh berlaku sebagai patron, yakni, seseorang yang modalitas politiknya menentukan karier politiknya. Tidak cukup mengandalkan kecerdasan dan keluasan pengetahuan modern. Yang justru amat menentukan adalah wawasan dan pengetahuan lokal tentang kondisi-kondisi obyektif yang membuat seseorang dapat diakui, disegani dan dipilih dalam pemilihan umum.  Kapasitas seorang ‘tuang pelitik’, demikianlah istilah setempat untuk patron politisi, diukur dari kemampuannya menangkap apa yang diinginkan ‘roeng’—percampuran keluarga besar dan tim sukses. Apa keinginan roeng-klien ini? Keinginan mereka terbagi dua. Pertama, sang ‘tuang politik’ selalu siap membantu kebutuhan ekonomi mereka, biasanya dalam bentuk uang untuk menggiatkan pekerjaan mereka yang kebanyakan petani dan pedagang eceran di desa-desa. Meski tidak dilakukan secara teratur, sang patron seperti WN, VA dan GB, mendatangi mereka di desa-desa dan selalu memberikan sejumlah uang yang besarnya bervariasi sesuai kebutuhan mereka. Kebutuhan ini lebih bersifat pragmatis.

Kedua, mereka, para klien politisi, menginginkan dengan penuh harapan kerja keras sang patron untuk memungkinkan mereka mendapatkan ‘pekerjaan’ yang menghubungkan mereka dengan birokrasi pemerintahan dan birokrasi gereja.[36] Berbekal pendidikan sekolah dasar, Sabinus Samin misalnya, menjadi anggota dewan Paroki Kisol berkat lobi yang dilakukan VA kepada Pastor Paroki setempat. Begitu pula halnya dengan Kasmir Andi menjadi anggota dewan Paroki Lambaleda berkat lobi WN. Beberapa pengurus PAC yang menamatkan pendidikan SMA menjadi staf honorer di bagian tata usaha di sejumlah SMP dan SMA. Patron   masing-masing melobi kepala sekolah, dan bahkan dalam kesaksian WN, beliau ‘memerintahkan’ kepala dinas PK kab Manggarai Timur untuk menekan kepala-kepala sekolah yang sebelumnya keberatan dengan lobi sang patron. Sementara di kalangan pengurus ranting, terlibat dalam pengerjaan proyek-proyek pembukaan dan pengaspalan jalan raya, pengadaan bak air minum bersih dan sejenisnya yang rutin diadakan tiap tahun karena cepat rusak dan menjadi alasan untuk selalu diperbaiki.[37]               

Dalam kasus DPC PDIP Manggarai Timur, modalitas politik terhubungkan secara  langsung dengan keberadaan dan posisi seseorang dalam ruang-ruang beroperasinya Developmentalisme dan Kairos. Dengan kata lain, modalitas politik terkait erat dengan pengalaman kekuasaan dalam domain yang lebih luas di Manggarai, tidak hanya dalam partai politik yang jadi rumah singgah itu, tapi juga birokrasi pemkab dan birokrasi gereja. Fungsionaris partai VA dan GB, misalnya, berasal dari keluarga besar anak rona dan anak wina yang ‘terpandang’ di dua kecamatan dengan populasi penduduk terbanyak, Kotakomba dan Elar. Pengakuan masyarakat akan ‘kepantasan’ VA sebagai wakil rakyat tidak semata-mata karena kapasitas dirinya sendiri tapi kapasitas diskursif yang dimilikinya, yang dimungkinkan tidak saja oleh pengalaman politiknya, tetapi posisi-subyek orang-orang di sekitarnya, dalam keluarga besar dan para sahabat yang menghuni ruang kuasa Developmentalisme dan Kairos.[38]. Beristrikan seorang penilik sekolah dasar dan sang istri memiliki 2 saudara kandung yang menjadi imam pribumi [satunya mantan Sekretaris Keuskupan dan satunya lagi mantan Ketua Yayasan Penerbit Nusa Indah-Flores). Adik kandung sang istri juga adalah kepala dinas PU/Pimraswil kabupaten. Hal ini tidak hanya bercerita tentang hubungan kawin-mawin, tetapi terpenting lagi,  suatu pengidentikan dirinya dengan ‘keterpandangan’ keluarga besar sang istri.

Beliau sendiri bersama istrinya sudah menjadi bapa-mama saksi  lebih dari  200 pasutri di ibukota kabupaten belum terhitung menjadi bapa baptis dari balita yang oleh orang tua mereka dianggap patut diteladani dan dimintai kerelaan untuk membimbing dan membantu pada saat diperlukan. Di Manggarai, pekerjaan sang istri sebagai pengawas SD bukanlah sebuah pekerjaan administratif biasa sebagai aparatur negara. Profesi ini diperoleh dalam koridor politik sang suami. Dalam menjalankan tugas pengawasan ke seluruh SD yang ada di kecamantan Borong, sang istri sedang mempertahankan dan memelihara  persepsi para kepala sekolah dan guru-guru SD tentang kapasitas dan kepantasan suaminya sebagai ‘tuang pelitik’. Kehadiran dirinya adalah ‘misi politik’ sang suami, bukan dalam arti dia bercerita atau membanggakan suaminya di hadapan para guru, melainkan karena cukup dengan mendengar kata-katanya dan menikmati kewibawaannya, mereka menemukan kapasitas dan kepantasan suaminya. Mereka tahu persis pekerjaan yang diperoleh sang istri, bertindak sebagai mandor para guru itu, adalah pantulan kuasa berlapis-lapis, yang datang dari berbagai arah. 

Sudah menjadi pengetahuan bersama di kalangan pendidik di Manggarai bahwa menduduki jabatan kepala sekolah dan penilik sekolah bukan semata-mata karena kepangkatan dan kualifikasi lainnya, melainkan juga, dan ini yang paling menentukan, oleh persyaratan ‘politik’ dari seseorang yang hendak diusulkan dan diangkat menduduki jabatan tersebut. Bermimpi menjadi kepala sekolah dan penilik sekolah berarti harus belajar melobi dan menjadi bagian dari kelompok-kelompok politik strategis dalam parlemen dan partai politik plus DPRD. Pilihan politik mereka harus jelas dalam dukung-mendukung paket-paket cabup/cawabup selama pilkadal dan caleg dalam pemilu legislatif kabupaten. Dalam pengakuannya tanpa ragu sedikitpun, VA bercerita bagaimana beliau dalam kapasitas sebagai anggota DPRD melobi penjabat Bupati Manggarai Timur, FPL, pada tahun 2008 agar istrinya yang mantan kepala sekolah 3 periode itu diangkat sebagai penilik sekolah. Dalam pengakuannya pula, ketika berbicara empat mata dengan sang bupati, yang adalah kawan satu gerbong   dalam kontestasi politik lokal, beliau menjawab dengan idiom khas Manggarai untuk menunjukkan ‘keharusan’ dirinya merestui permintaan tersebut, ‘ceing ite ceing aku’, ‘Weta daku hi enu’.[39]

Mulai dari perekrutan sampai penetapan pengurus DPC, PAC dan ranting beroperasi model klientelisme sebagai cara untuk saling mengintegrasikan diri, baik sang patron maupun klien, ke dalam suatu kebaikan bersama. Broker hampir-hampir tidak ada dalam model klientelistik Manggarai ini. Partai identik dengan koalisi keluarga, teman dan kelompok-kelompok loyalis yang sudah merasakan ‘perbuatan-perbuatan baik’ sejumlah elit partai. Dalam model ini, sifat transaksional dan sifat emosional, antara kalkulasi dan afeksi, saling mengikat dan mengunci.  Perasaan menjadi elemen pengikat solidaritas sekaligus basis bagi pertukaran kuasa dan setia. Relasi ini ini dengan sendirinya menghadirkan ketegangan yang konstan karena selalu diuji dari dua arah yang saling menuntut realisasi. Pindah partai, atau bekerja untuk caleg lain, misalnya, kemudian dianggap penghianatan yang paling dinistakan. Para pengkhianat tidak akan diterima kembali sebagai bagian dari ‘keluarga besar’ partai.[40]

 Dari cerita yang telah disampaikan menjadi jelas bahwa personalisasi hubungan patron-klien telah menggantikan institusionalisasi kepartaian yang profesional dalam suatu derajat yang nyaris serupa di mana personalisasi menjadi cara membangun dan mencitrakan keinstitusionalan partai itu sendiri. Hak dan kewajiban yang tertera dalam buku merah ADRT menjadi huruf-huruf mati yang tidak bisa dipaksa menjelaskan rumusan hak dan kewajiban yang secara aktual dijadikan pranata mobilisasi dan konsolidasi pengurus dan pendukung PDIP. Konstituen partai [party voters] dan pengurus  partai [party workers] dari tingkat DPC sampai Ranting di desa-desa tersambungkan oleh afiliasi keluarga, kekerabatan, kelompok klien non-keluarga. Mekanisme penghubungan dan perekatan di antara mereka bukanlah melalui sosialisasi program dan advokasi dalam spektrum hubungan partai politik modern dan warga negara, melainkan melalui ‘bantang cama reje lele’, duduk bersama di antara adik-kakak untuk sepakat dalam spektrum hubungan antar-keluarga besar, antar-klan dan antar-klien dalam upaya memenangkan caleg-caleg partai di masing-masing dapil.

Rapat-rapat internal partai tingkat DPC yang diikuti penulis selama musim kampanye Maret 2009 menggambarkan dengan jelas seremoni pengukuhan dukungan dan penegasan janji para caleg (semuanya pengurus DPC dan ketua PAC) kepada anggota pengurus bahwa pemilu adalah ‘pertaruhan’ kita semua. Baik pertaruhan dalam arti harga diri keluarga besar ‘ata mese’ maupun peluang mendapatkan distribusi-distribusi ‘tak resmi’ sumber daya simbolis, sosial dan ekonomis (representasi substansial ala patronase). semakin banyak caleg mereka terpilih, maka semakin banyak kesempatan para klien ini nantinya mendapatkan jatah, dalam bentuk bagi-bagi ‘rejeki’ dari kocek anggota DPRD maupun pengintegrasian mereka ke dalam proyek-proyek infrastruktur dan pekerjaan birokrasi lainnya.

Semua diam-diam mengakui bahwa poster dan stiker tidaklah efektif dan tidak diperlukan selain untuk caleg PDIP tingkat propinsi dan pusat dengan dapil yang luas dan tak terjangkau secara fisik.[41] Para caleg/pengurus DPC/PAC PDIP ‘telah hadir’ di kampung-kampung melalui keluarga besar dan pengurus ranting yang bekerja ekstra keras untuk memenangkan sang patron dan dengan demikian mereka bekerja untuk perbaikan nasib mereka sendiri. Sekali lagi, frase ‘telah hadir’ menunjukkan bahwa para patron-caleg secara fisik tidak perlu selalu  mendatangi kampung-kampung dan bertemu dengan bakal pemilihnya. Profil mereka dikabarkan oleh para klien di kampung kepada warga yang selama ini tidak secara langsung terhubungkan dengan para patron tersebut. Mereka, warga yang tak mengenal para caleg, menjadi percaya, dalam istilah setempat ‘jatuh hati’ pada caleg, justru karena dikatakan oleh mereka yang di kampung itu dianggap terpandang atau patut diteladani, yakni, klien para patron.

Klientelisme dalam politik elektoral tentu memiliki pola pertukaran sumber daya yang bervariasi tergantung setting struktural sosial-ekonomi suatu masyarakat politik. Jonathan Hopkin dalam ‘Clientelism and Party Politics’ [2006:406-411], misalnya, membedakan klientelisme baru dan klientelisme lama. Dalam klientelisme lama yang biasanya terbangun dalam setting masyarakat agraris dan ditandai disparitas spasial-ekonomi antar kota dan desa, para patron adalah fungsionaris partai itu sendiri yang relatif tidak membutuhkan broker; mereka menjadi penghubung negara dan masyarakat, atau bahkan sampai pada tingkat di mana negara bekerja melalui mereka.

Sementara dalam klientelisme baru yang terbangun dalam setting masyarakat yang relatif termordernisasi dan negara menjadi kekuatan distribusi tunggal sumber daya untuk kemakmuran masyarakat, patronase dalam partai politik lebih terbirokratisasi dan kurang personal terutama karena fungsionaris partai bergantung pada jenjang yang lebih tinggi dalam hierarki kepartaian yang juga terhubungkan secara horisontal dengan elemen-elemen birokratis lain dalam masyarakat dengan diskursus politik liberal yang dominan. Dalam kasus Manggarai, hubungan strategis dan taktis antara DPC PDIP Manggarai Timur dengan DPD PDIP di Kupang nyaris tidak ada sama sekali selain hubungan pribadi untuk kepentingan masing-masing [antar caleg PDIP kabupaten dan propinsi].[42] Rantai  komando sebatas urusan dan prosedur pengesahan ketua partai dan undangan menghadiri mubes dan rapat-rapat untuk pemenangan pilkadal gubernur. 

Lebih menampilkan karakteristik klientelisme lama dalam gambaran Hopkins, patronase dalam partai politik di Manggarai lebih banyak dikarakterisasi oleh hubungan-hubungan personal antara patron dan klien di mana sang patron adalah negara kesejahteraan itu sendiri yang dapat dengan caranya sendiri atau dalam koalisi para patron [sebagai anggota DPRD dan Pemkab], melalui pembuatan dan penetapan program  RKPD dan RPJMD, mendistribusikan uang negara ke kelompok-kelompok klien [masyarakat pemilih, kontraktor, segmen/dinas/badan tertentu dalam birokrasi] melalui pengadaan proyek-proyek infrastruktur tanpa ada satupun lembaga sipil atau kekuatan politik lain yang mengontrol ‘kolusi’ dalam pembuatan kebijakan dan ‘korupsi’ dalam pelaksaan proyek kolutif ini.

Patronase-klientelisme politik dalam PDIP Manggarai Timur sebagai cara mengintegrasikan masyarakat dan negara berlangsung dalam spektrum yang lebih besar dan dalam proses yang kompleks-saling terhubungkan  yang disebutkan dalam tesis ini sebagai Developmentalisme lokal. Pola ini hanya dapat beroperasi sepanjang dianggap normal oleh elemen-elemen masyarakat yang telah tergovermentalisasi. Dalam pengakuan seorang pengurus PAC Lambaleda, misalnya, WN tidak hanya mengandalkan latar belakang keluarga besar dari ‘panga’ (unit keluarga besarnya di Lambaleda)  atau mengandalkan koalisi politik dengan keluarga besar Yos Biron Aur (mantan Sekda Manggarai Timur 2007/2008, adik kandung Sipri Aur-Anggota DPR RI Franksi PDIP yang juga berasal dari kecamatan ini),  tetapi juga merawat roeng-klien dengan selalu siap memenuhi kebutuhan subsisten ekonomis dan kebutuhan simbolis-sosial yang diperlukan para klien. Dalam konteks klientelisme kepartaian inilah pernyataan WN dan para pengurus PAC dan Ranting bahwa politik harus praktis dan pragmatis memuat pengertian yang sama dengan ‘integritas’ seorang politisi, dalam mana politisi, yang adalah elit-elit partai dan anggota DPRD itu, harus berlaku layaknya bapak ‘sulung’ dari keluarga besar dan sekaligus bapak ‘pembangunan’ daerah dan manusia  dalam wilayah dapil mereka.

Ini menampilkan kembali pola pastoral dalam Gereja Mandiri yang telah termanggaraisasi di mana pola kegembalaan ‘spiritual’ Kairos dan pola kepemimpinan ‘politis’ Developmentalisme lokal mengungkapkan apa yang dinamakan Foucault ethics of care—suatu kombinasi paradoksal tapi praktis, antara tanggung jawab dan kepatuhan kristiani dan model tanggung jawab dan kepatuhan yang muncul dalam konstruk negara lokal tentang negara dan warga negara [Foucault, 1988: 1-20].[43] Sama seperti metafor ‘tatapan’  yang berlangsung antara tuang pegawai-patron birokrat dan roeng-klien pembangunan, para pengurus partai PAC dan Ranting ‘menatap’ sang patron sebagai gembala, yang dalam berbagai pertemuan pribadi dan rapat, harus dibalas diperhatikan. Sudah menjadi suatu kelumrahan bahwa dalam pertemuan dan perjumpaan tak terencana sang patron bertanya tentang kondisi kehidupan keluarga mereka, kesulitan yang dihadapi, dan menginformasikan sesuatu yang berharga bagi mereka seperti kesempatan terlibat dalam proyek-proyek tertentu yang sedang atau yang akan dikerjakan pemkab [dinas PU, Pertanian, PK/PKPO] di mana sang patron mendapatkan jatah ‘politik’nya. Sebagaimana diamati penulis, sang klien, yang adalah pengurus partai tingkat akar rumput ini, selalu saja, dalam kewajiban mempertukarkan informasi, memiliki bahan informasi terkini tentang desanya yang diceritakan kepada sang patron yang memang jarang turun ke kampung-kampung selain pada saat kunjungan kerja DPRD dan pada saat pemilu.

Rangkuman

Seluruh uraian dalam bab ini hendak menunjukkan bahwa praktik-praktik patronase atau relasi klientelisme merupakan fenomena diskursif, yang tak dapat terjelaskan secara terpisah dari Developmentalisme dan Kairos. Hal Ini membawa implikasi berbeda pada perlakuan teoretis terhadap patron dan klien dan pengkualifikasian terhadap patronase sebagai model pengintegrasian dan penegasan cara kerja rejim developmentalisme dan Kairos sebagai kuasa atas pengetahuan dan pengetahuan atas kuasa di Manggarai. Dalam arti itu, apa yang menjadi pokok perhatian kita bukanlah pola ‘spesifik’ patron-klien yang menjadikan keduanya sebagai unit analisis dalam setting yang sepenuhnya ‘ekonomi’, ‘budaya’  dan ‘politik’, melainkan membaca pola ini dalam konteks diskursif di mana dia beroperasi sebagai model pertukaran sumber daya simbolis, ekonomis dan politis. Dan apa yang disebut sebagai sumber daya di sini bukanlah sumber daya yang netral, yang dianggap akan tetap merupakan sumber daya jika diletakkan di luar konteks diskursifnya di Manggarai. Sumber daya itu pun adalah konstruksi diskursif sebagaimana seorang pengurus partai kecamatan menginginkan pekerjaan guru honorer, suatu jenis pekerjaan yang nilai ekonomisnya tidak sebanding tingginya modalitas politik dan sosial yang terkandung dalam pekerjaan ini. Begitu pula sumber daya dari sudut pandang atau posisi subyek seorang politisi, seperti pengakuan dan dukungan suara dalam pemilu, merefleksikan sesuatu yang lebih dari sekedar melayani ambisi menilep uang negara untuk kepentingan pribadi. Dia membutuhkan kemenangan dalam pemilu agar bisa dan tetap berada dalam posisi subyek yang khusus, sebagai pembangun dan pembaharu dalam Developmentalisme lokal sekaligus sebagai agen pastoral atau tokoh awan Katolik yang handal dalam Kairos.

Dalam cara baca ini pula ini kita dapat memahami apa sesungguhnya yang sedang disampaikan atau tak tersampaikan dari pernyataan bahwa ‘kami membutuhkan pekerjaan dan pekerjaan yang layak’ sebagaimana pengurus partai mengharapkan perhatian dari sang patron sebagai pelaku pembangunan. Di sini definisi tentang pekerjaan telah meninggalkan domain semantik konvensional tentang basic needs dan memasuki domain ‘kelayakan’, sebuah atribusi atau pengkualifikasian dalam medan gramatik identitas. Dengan rumusan berbeda dapat dikatakan bahwa dorong untuk berpolitik, baik patron maupun klien, tidaklah disebabkan kehendak bebas seorang liberalis, juga tidak disebabkan tekanan struktural seorang lumpen-proletariat. Baik kebebasan maupun kemiskinan patutlah diberi tanda kutip terutama karena selalu mendarat pada konteks diskursif di mana kedua kategori realitas ini dihayati sebagai kondisi ‘obyektif’.

Melalui konstruksi  Manggarai sebagai miskin, terkebelakang, minim infrastruktur, dan tidak berbudaya miskin ‘karya dan prestasi’, baik bupati maupun uskup dan seluruh aparatus kontrol dan pendisiplinan, yang juga telah terdisiplinkan, menggelontorkan program-program ‘pembangunan’ fisik dan mental. Melalui program-program ini pula garis batas antara dominasi, eksploitasi dan penundukan menjadi tersamarkan dalam teknik, mekanisme dan prosedur pastoral yang dioperasikan dalam praktik-praktik ‘pembangunan’ tersebut. Tidaklah mengherankan dalam masyarakat ini, menjadi pegawai negara dan politisi berarti menjadi manusia serba tahu dan serba bisa untuk bicara dan berbuat apa saja asalkan dalam koridor patronase sebagai jelmaan budi baik negara dan moral kristiani Gereja.

Dengan mempelajari patronase secara saksama, kita dapat memastikan bahwa keberlanjutan patronase di Manggarai kurang lebih ditentukan oleh derajat govermentalisasi dua wacana tersebut terhadap praktik-praktik pengintegrasian manusia Manggarai kepada negara dan gereja. Kairos dan Developmentalisme bukanlah ideologi atau ajaran semata, melainkan praxis ideologi. Dalam arti keduanya menjadi ideologi yang totaliter justru karena terus menerus dipraktikkan yang tentu menyebabkan pergeseran makna. Makna yang bergeser itu, bahwa pembangunan dan keselamatan adalah urusan para patron, tak lain adalah efek yang terhasilkan dalam praktik. Efek ini pula, yang menjadi cara berpikir tuang dan roeng, sekaligus mengendalikan dan senantiasa memastikan patronase sebagai bentuk relasi ko-eksistensial yang tepat dan benar secara moral.   

(Frans Djalong. Disarikan dari Bab 4, Tesis Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Flores, NTT, 2008-2011)


[1] Eisenstadt, op.cit., hal 46-47

[2] Foucault, op.cit., 1980, hal 131

[3] Tentang cara kerja govermentalitas mendistribusikan populasi ke dalam ruang-ruang pembedaan, posisi-posisi subyek dan identitas, lihat Michel Clifford, 2001, op.cit., hal 99.

[4] Dari dokumen pemerintah daerah yang dikumpul penulis, terlihat jelas bahwa meskipun jumlah belanja publik lebih besar dari jumlah belanja aparatur dari setiap tahun anggaran [Kab Manggarai dan kab Manggarai Barat], yang disebut belanja publik masih didominasi oleh program-program infrastruktruk dan pemeliharaan yang menjadi lahan rebutan dan bagi-bagi ‘rejeki’ politik antara birokrat pemangku kebijakan [Bappeda, Dinas PU, PK dan DPRD] dan lingkaran pengusaha/kontraktor yang selama pilkada menjadi tim sukses sang bupati terpilih. Ambil contoh berikut, total dana dari APBD I dan II dalam RKPD 2006 di Kabupaten Manggarai dikucurkan untuk program infrastruktur jalan, jaringan irigasi, bangunan perkantoran, pemukiman dan lain lain terkait infrastruktur. Dana APBD I sebesar Rp  18.576.764.000 seluruhnya untuk jalan, irigasi, dan  pemukiman, sementara  belanja publik dari APBD II Rp. 214.226.171.138 [belanja aparatur 177.944.342.027] dipakai untuk irigasi, jalan raya,  pemukiman, tata ruang dan perkantoran. Begitu pula Dana Dekonsentrasi (DEKON) sebesar Rp. 6.866.325.700 dan bantuan luar negeri sebesar Rp. 21.116.340.500, untuk alokasi kegiatan bidang Pemukiman dan Prasarana Wilayah [Sumber Infokom Pemda, 2/11/2006].  Begitu pula untuk RKPD tahun 2007 dan 2008, anggaran publik tetap sebagian terbesar dihabiskan untuk program-program tersebut yang melibatkan dan ‘menguntungkan’ mesin politik sang bupati dalam birokrasi dan di luar birokrasi.

[5] Otoritas politis-administratif Bupati tersurat dengan jelas dalam PP 41 Tahun 2007 bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah dikendalikan bupati dan dibantu dinas, badan dan kantor sebagai unsur pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Penyusunan dan pengendalian perangkat daerah merupakan wewenang bupati sebagai kepala daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini. Misalkan dalam pasal 14 tentang Dinas Tingkat Kabupaten sebagai unsur pelaksana teknis otonomi daerah, berkedudukan, berfungsi dan berperan di bawah kendali Bupati temasuk kalau dilihat ayat 6 sebagai ayat ‘taktis’ untuk memberi ruang pada bupati/wakil bupati mengontrol dan ‘mengendalikan’ langsung proyek-proyek teknis seperti infrastruktur. Ayat 6 berbunyi: ‘ Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan. 

[6] Wawancara dan diskusi dengan HN, staf Bappeda Kabupaten Manggarai, 28 April 2009 di Ruteng. Birokrat muda ini lulusan program master studi pembangunan di Belanda ini mengakui bahwa dirinya sering mendapat ‘jatah’ dari proyek-proyek dinas teknis. Menurutnya, Bappeda memainkan peran sangat strategis dalam meyeleksi usulan-usulan proyek tersebut dan menjadi sasaran dari lobi rutin yang dilakukan kepala dinas/kantor dan anggota DPRD. Sementara itu, pembajakan paket-paket proyek oleh tim sukses Bupati terpilih juga terjadi di Kabupaten Manggarai Barat, dalam bentuk dan cara yang relatif sama dengan yang terjadi di kabupaten Manggarai. Wawancara dan diskusi dengan RD, lulusan pasca sarjana Universitas Gadjah Mada, staf Bappeda Manggarai Barat, di Labuan Bajo, 17 Maret 2009.   

[7] Wawancara dan diskusi dengan VA, Anggota DPRD kab Manggarai 1999-2004, anggota DPRD kab Manggarai Timur 2004-2009, 19 Maret 2009 di Borong; Wawancara dan diskusi dengan AA, Anggota DPRD Kabupaten Manggarai 2004-2009, 27 April 2009.

[8] Wawancara dan diskusi dengan HG, Kadis Kependudukan/Nakentras Manggarai Timur, 28 Maret 2009; informasi ini muncul juga dalam wawancara dan diskusi dengan HN, 28 April 2009. Yos Tote,  Bupati Manggarai Timur 2009-2014, dijadikan staf ahli pada Kantor Bupati Manggarai  selama masih bekerja sebagai pejabat teras di kabupaten induk setelah ‘kegagalan’ patronnya, Anton Bagul Dagur, dalam Pilkadal 2005. Beliau ditempatkan dalam posisi ini, menurut sejumlah pejabat dalam lingkaran dalam birokrasi, karena mendukung Anton Bagul sebagai cabup incumbent pada pilkadal tersebut berhadapan dengan Kris Rotok, cabup yang kemudian memenangkan pilkadal. Yos Tote, yang selama masa pemerintahan Anton Bagul Dagur [1999-2005] ditunjuk sebagai Kadis Pendidikan dan Kebudayaan, di’ahlikan’ alias diganjar dengan peran birokrasi yang ‘sangat minimal’ untuk karier politiknya. Pada tahun 2008, setahun pasca pemekaran kabupaten Manggarai Timur, beliau diusung Golkar sebagai cabup dalam pilkadal kabupaten baru ini, berhadap-hadapan dengan Yos Biron Aur, Sekda Manggarai Timur, dan dianggap sebagai kubu ‘Kris Rotok’ dan berasal dari klan yang sama , Lambaleda. Selama Pilkadal 2008/2009 berkembang isu bahwa beliau, sebagai ‘representasi’ masyarakat wilayah timur di birokrasi kabupaten induk, telah dizolimi oleh rejm Kris Rotok yang terhubungkan dengan Yos Biron Aur. Alhasil, antagonisme identitas muncul membelah dukungan politik dengan sentimen wilayah yang kuat. Paket ABBA [Yos Biron] dinilai berpihak dan berkoalisi dengan elit-elit birokrasi dari klan Cibal di kabupaten induk  sementara Paket YOGA [Yos Tote] oleh para pendukungnya dianggap merepresentasikan Manggarai Timur bagian timur yang selama periode penjabat Bupati Frans Paju Leok [klan Cibal] telah meminggirkan birokrat ‘asli’ Manggarai Timur di kabupaten baru tersebut dengan menempatkan kepala dinas, kabid dan kasubag yang berasal dari Cibal [klan dari wilayah kab induk] dan dari Lambaleda [klan dari wilayah utara kab Manggarai Timur]. Paket YOGA keluar sebagai pemenang dalam pilkadal dan dilantik sebagai Bupati Februari 2009 dan memimpin masyarakat kabupaten baru yang telah tercabik-cabik oleh sentimen klan dan wilayah.                                

[9] Wawancara dan diskusi dengan WN, Anggota DPRD 3 periode [1999-2014]; anggota DPRD Kab Manggarai [1999-2004], Wakil Ketua DPRD Kab Manggarai Timur [2004-2009] dan terpilih kembali sebagai legislatif dalam pemilu April 2009, di Borong 24 Maret 2009.    

[10] Wawancara dan diskusi dengan HN,  28 April 2009.

[11] Infokom Pemkab Manggarai, ‘Kabupaten Manggarai Berprestasi dalam Struktur Anggaran APBD’, 11/3/2008  

[12] Dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan tajam dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi dalam penyelenggaraan proyek di Kabupaten Manggarai dan Mangarai Barat. Kasus-kasus ini menyeret kepala dinas penyelenggara proyek seperti Kasus Aldira yang menjebloskan Matius Janing, Kadis Pertanian Manggarai Barat ke penjara tahun 2009. Begitu juga kasus korupsi pembangunan gedung-gedung sekolah yang menjebloskan Tadeus Juit, Kadis PK Kabupaten Manggarai  ke penjara dalam tahun yang sama. Kendati demikian, informasi dari pihak-pihak yang terkait kasus ini, sebagai saksi dan terdakwa, menjadi jelas bahwa pengungkapan kasus dan pelaporan ke kejaksaan dilakukan oleh lingkaran orang-orang yang terkait pelaksaaan proyek tapi tidak mendapatkan ‘jatah’ sebagaimana disepakati bersama.  Dalam bahasa yang sarkas, seorang informan yang tak mau disebutkan nama mengatakan pengungkapan kasus tersebut lebih disebabkan oleh  ‘pelanggaran kesepakatan di antara koruptor’.      

[13] Kajian spesifik mengenai politisasi birokrasi dan birokratisasi politik di Manggarai dapat dibaca dalam hasil penelitian yang dilakukan Gregorius Sahdan. Tesis S2 berjudul “Korporatisasi Politik Negara di Aras Lokal: Studi Dominasi Birokrasi dalam Politik di Kabupaten Manggarai pasca Orde Baru” (Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, 2009). Meski tidak secara khusus membahas politik patronase, studi ini memperjelas dimensi politik dari cara kerja birokrasi di Manggarai, dalam mana birokrasi mengarahkan, mengatur dan mengendalikan  hampir seluruh urusan pembangunan di daerah ini. Negara, dalam hal ini birokrasi pemkab, mempengaruhi dan menguasai partai politik, masyarakat sipil/LSM, dan pasar/pengusaha lokal. Ketiga komponen ini menjadi terpolitisasi oleh birokrasi sampai pada tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada proyek-proyek pembangunan yang digelontorkan pemkab.     

[14] Wawancara dan diskusi dengan TN, Kadis PU/Pertambangan Kab Manggarai Timur, 28 Maret 2009 di Borong. Beliau juga menceritakan pengalamannya sendiri. Betapa ia sangat direpotkan pada masa pemilu dan pilkadal. Para politisi, terutama caleg-caleg incumbent, ‘memeras’ dirinya untuk disediakan sejumlah uang, biasanya 5-10 juta rupiah. Uang tersebut digunakan para politisi untuk mendanai kampanye mereka seperti membayar tim sukses, membeli babi dan anjing yang disembelih pada acara tatap muka dengan roeng-klien di rumah-rumah pengurus ranting partai dan di Mbaru Gendang (rumah adat). Mengapa uang itu harus diberikan? Jawaban beliau jelas dan singkat, “kudut nganceng jadi proyek usulan daku”—biar usulan proyek saya (dinas PU) jadi ditetapkan dalam APBD. Ditambahkannya juga bahwa uang yang diberikan juga menjadi semacam pelicin supaya penyelenggaraan proyek yang tidak becus tidak dipersoalkan para caleg incumbent nantinya ketika mereka terpilih kembali. Dari cerita TN dan cerita para kepala dinas lain yang diwawancarai dalam studi ini, menjadi jelas bahwa dalam cengkeraman Developmentalisme lokal ini, politisi dan birokrat sama-sama tersandera atau saling mengunci. Tak ada yang benar-benar berkuasa terhadap yang lain, dalam arti mengatur dan mengendalikan, jika kita membaca dari segi hubungan antar aktor di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.              

[15] Kita perlu menengok studi komprehensif yang dilakukan James Ferguson di Thaba-Tseka, sebuah distrik di Lesotho, Afrika. Menggunakan Analisis Wacana, Ferguson menemukan fakta bahwa program-program pembangunan yang diperkenalkan pemerintah maupun donor internasional menyembunyikan sifat politis dari ‘pembangunan’ yang diklaim semata-mata intervensi teknis terhadap kemiskinan. Baginya yang terjadi sebetulnya adalah developmentalisme menjadi semakin politis sementara negara dan warga negara semakin ter-depolitisasi. Negara tak lagi menjadi arena politik, melainkan saluran kelembagaan bagi rejim politik yang lain, yakni developmentalisme itu sendiri. Argumentasi pokok dalam studinya adalah bahwa aparatus pembangunan, baik pegawai negara maupun LSM dan konsultan-konsultan internasional, sedang bekerja melayani nalar politik Developmentalisme, dan bukan sebaliknya, pembangunan melayani kepentingan aparatur negara dan donor internasional. Lihat James Ferguson. The Anti-Politics Machine: ‘Development’, Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho. Minneapolis: University of Minnesota Press 1994, hal 17- 21.         

[16] Ini pula yang menjelaskan dalam sepuluh tahun terakhir, Manggarai tidak saja menjadi negeri para pegawai, tetapi juga menjadi surga para kontraktor proyek pemkab. Kehadiran dan peran kontraktor tak lagi semata-mata konsekuensi dari politik balas jasa bupati terhadap tim sukseknya, tetapi terpenting lagi, sebagai komponen penting yang diperlukan agar inteligibilitas politik sang bupati-patron birokrat konkruen dengan inteligibilitas teknis-kerja pembangunan di mata roeng-klien.  Sang patron dengan seluruh mesin birokrasinya mustahil menjalankan sendiri, atau mengambil porsi terbesar dalam pengerjaan proyek-proyek. Para kontraktor harus hadir dan bahkan lebih banyak CV dibentuk oleh para politisi dan birokrat teras dengan memakai bendera lain, yang tak lain mencatut nama dan menyertakan keluarga besar dan klien-klien terdekat mereka.  Tentang detil pembentukan CV dan cara kerja para kontraktor, lihat Gregorius Sahdan. “Korporatisasi Politik Negara di Aras Lokal” (Tesis S2, 2009, tidak dipublikasikan).            

[17] Untuk ulasan tentang metafor tatapan, lihat Morgan Briggs. “Post-Development, Foucault and the Colonisation Metaphor”, Third World Quarterly, Vol. 23, No. 3 (Juni, 2002), hal  421-436. 

[18] Penulis sendiri menghadiri Musrembang tingkat kabupaten Manggarai selama 3 hari pada bulan Maret 2009 di Borong. Yang mau disampaikan dalam catatan kaki ini adalah kenyataan bahwa ‘Musrembang’ tak lebih dari ritus birokrasi, ritus para pegawai negeri-patron birokrasi dan para patron politik-politisi (yang juga berlaku sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, sekaligus kontraktor proyek). Di luar acara ritual tahunan ini, penulis mencari tahu apakah kaum ibu rumah tangga, pedagang kecil, nelayan, pemuda-pemuda tanpa pekerjaan tetap, petani sawah dan petani berkebun, mengetahui dan memahami apa itu Musrembang, peristiwa yang sedang berlangsung dalam kota kecil Borong tempat mereka menetap dan bekerja pada hari acara sakral itu sedang berlangsung. Jawaban tak lebih dari dua: pertama, tidak tahu apa itu Musrembang dan kedua, Musrembang itu acaranya PNS, anggota dewan (DPRD) dan ‘ata mese’ (orang-orang besar, para tokoh masyarakat).  Dua jawaban ini pada dasarnya bercerita tentang tidak terintegrasinya ‘roeng’ dalam proses evaluasi, kanalisasi dan perumusan kebijakan dari bawah. Selain penjelasan yang diberikan dalam studi ini, kita perlu menengok cara baca lain yang diberikan Daniel Dhakidae. Dengan menggunakan Analis Wacana, Dhakidae berargumen bahwa kebiasaan menggunakan akronim mencerminkan politik yang terbirokratisasi. Musrembang, akronim ini, sama seperti akronim-akronim lain yang populer pada masa Orde Baru dan post-Orde Baru saat ini, tidak diciptakan untuk alasan penghematan kata dalam ucapan, tulisan dan ingatan, melainkan cara nalar governmental birokrasi mengeluarkan agensi manusia dari semantik politik. Tidak semata-mata bureaucratic slang, Musrembang segera menerbitkan kesan kelembangaan, sesuatu yang dibayangkan sebagai benda, acara, atau proyek yang sepenuhnya berasal dari dari lembaga, dimuncratkan ke luar, ke hadapan ‘roeng’ dalam jarak tampil yang tak mungkin tersambungkan antara yang menatap (roeng) dan yang ditatap (birokrasi pemkab). Tidak saja menyingkatkan jalan pikiran, akronim Musrembang memangkas tuntas makna musyawarah, baik karena tidak diucapkan maupun karena pada dasarnya ia merupakan perwujudan Developmentalisme dalam bahasa. Bandingkan Daniel Dhakidae, sub-topik “Akronim, Kekuasaan dan Resistensi Politik”, dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal 384-397.        

[19] Disarikan dari hasil wawancara dengan RT, staf Bappeda Manggarai Timur, tamatan FE-UGM, di Borong, 21 Maret 2009;  RD, Staf Bappeda Manggarai Barat, lulusan S2 UGM, di Labuan Bajo, 17 April 2009; HN, Staf Bappeda Manggarai, tamatan S2 Studi Pembangunan di Belanda, di Ruteng, 28 April 2009.   

[20] Lihat hasil-hasil Sinode I, Sekretaris Pastoral Keuskupan Ruteng,Garis-Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 1996-2005. Ruteng, Flores: Seri SEKPAS KR 15, 1996;  lihat hasil Sinode II dalam Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng, Garis-Garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012. Ruteng, Flores: Seri PUSPAS KR 2 2008. Sinode adalah musyawarah gereja lokal yang melibatkan  unsur hirarkis keuskupan [Uskup, Sekretaris Uskup, Direktur Puspas, ketua-ketua komisi Puspas, pastor Dekenat, pastor-pastor paroki, biarawan-biarawati) dan agen pastoral non-klerus yang terdiri dari tokoh-tokoh agama, tokoh politik, pejabat birokrasi—semua yang terkategori ke dalam ‘awam katolik yang handal’. Kegiatan yang mirip Musrembang ini dibuat periodik bergantung penilaian pihak keuskupan tentang perlu tidaknya dibuat Sinode Keuskupan.          

[21] Lihat SEKPAS Keuskupan Ruteng, Kumpulan Surat Gembala dan Edaran Khusus Uskup Ruteng. Ruteng, Flores: Seri SEKPAS KR 20, 1997. Surat Gembala merupakan pernyataan resmi Uskup  tentang tema-tema tertentu yang diedarkan ke paroki-paroki dan dibacakan pada hari Misa Minggu selama Masa Puasa dalam tiap-tiap tahun liturgi.     

[22] Wawancara dengan Rm Manfred Habur Pr, di Ruteng, 25 April 2009. Imam muda, jebolan pasca sarjana Teologi Moral di Universitas Kepausan Roma ini menangani 9 komisi utama Keuskupan. Banyak cerita dan materi-materi riset yang beliau sediakan untuk penulis termasuk kesempatan berdiskusi dengan ketua-ketua komisi dan sejumlah pejabat teras Keuskupan yang menempati gedung Puspas Keuskupan Ruteng.     

[23] Dalam sejumlah wawancara dan diskusi terbatas penilaian ini tampaknya menguat sejak diterapkannya misi dan program gereja mandiri. Kemandirian gereja secara finansial diterjemahkan dengan menjadikan umat sebagai pengumpul dana bagi kehidupan paroki dan keuskupan. Pola umum yang berlaku sampai sekarang sebagaimana dicatat penulis dari sumber Seri SEKPAS KR [Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 1988, 1992] adalah sebagai berikut.  Dana kegiatan paroki termasuk untuk kehidupan harian pastor sepenuhnya berasal dari umat [total dana kolekte  misa, iuran hari raya liturgis dan sumbangan-sumbangan yang ditetapkan Keuskupan]. Dari jumlah total yang terkumpul di setiap paroki, 60% dipakai untuk paroki tersebut dan 40% untuk keuskupan yang nantinya oleh pihak keuskupan akan diambil 20% dari total ‘40%’ itu untuk disetor ke KWI di Jakarta. Wawancara Dr Frans Salesman-Asisten I Pembangunan Pemkab Manggarai, di Ruteng, 29 April  2009; Adi Mbalur-Koordinator FORMAHI/LSM bergiat di bidang pendidikan, di Ruteng, 27 April 2009; dan Frans Aci-Ketua KPUD Manggarai, mantan pastor, di Ruteng, 26 April 2009.                 

[24] Lihat Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 1988, hal 29-30. Buku yang memuat notulensi sidang pastoral Tahun 1988 ini berisikan fragmen-fragmen penting menyangkut proses pembuatan kebijakan pastoral pada masa awal gereja mandiri. Diceritakan sengitnya perdebatan antara sejumlah kecil misionaris Eropa yang menentang kebijakan ‘kemandirian finansial’ dengan alasan kemampuan ekonomi umat katolik Manggarai [mayoritas petani subsisten] yang belum mampu menyisihkan bahkan bagian terkecil dari pendapatannnya untuk donasi gereja mandiri [APP, Aksi Natal, Administrasi Paroki, Pelayanan Sakramen, dll]  dan  para imam pribumi [semuanya sudah memegang posisi kunci di Keuskupan]  yang sepakat dengan anggapan Uskup Eduardus Sangsung SVD bahwa sumbangan-sumbangan itu tidaklah membuat umat bertambah miskin, dalam kata -katanya sendiri ‘Kita tidak boleh membesar-besarkan apa yang kecil dalam dioses ini. Latihlah umat untuk bermental memberi…Saya yakin umat kita bisa memberi asal kita mengarahkan mereka’ [hal 30]. Kata kunci yang dipakai para imam pribumi dalam sidang menentukan arah kebijakan finansial gereja lokal ini  adalah ‘kemanjaan’, umat katolik Manggarai sudah lama [sebelum penetapan gereja mandiri dipimpin misionaris Eropa, yang juga hadir dalam sidang ini] hidup dalam kebaikan donatur asing. Dalam sidang ini juga pelaksanaan proyek-proyek misi oleh misionaris Eropa dikritik karena tidak akuntabel dan tidak terdengar dalam laporan ini pembelaan diri mereka yang memang tahun 1988 sudah tidak memiliki otoritas dalam Gereja ‘lokal’ baru ini.  Rupanya keputusan Sidang Pastoral ini pula lah yang  terefleksi dalam kesaksian langsung penulis sendiri tahun 2005 ketika sepasang suami istri yang hendak mempermandikan/baptis anak perempuan mereka [balita 2 tahun] tidak diperbolehkan masuk ke dalam gedung gereja dan anak mereka ditolak dibaptis menjadi ‘katolik’ karena keluarga petani muda ini  tercatat belum membayar iuran APP sebesar Rp 50.000,- dalam lingkungan gereja basis mereka. Dan kasus semacam ini seringkali terjadi dan dianggap normal baik oleh imam maupun pengurus paroki.               

[25] Dalam studinya tentang praktik patronase di Sisilia tiga dekade silam, Boissevain melihat tiga komponen yang menopang sistem patronase dalam masyarakat Katolik ini, yakni, keluarga besar/klan, pertemanan, dan para patron-profesional. Seorang klien bisa terhubungkan denan lebih dari satu patron. Kendati pengaruh klan sangat besar, seseorang tidak bisa menjadi patron hanya karena dia menjadi bagian dari keluarga besar tersebut. Dia perlu memiliki pekerjaan sebagai pegawai negara atau politisi setempat yang dengan itu dapat memberikan proteksi dan bantuan kepada keluarga besar sebagai kliennya. Apabila dalam keluarga besarnya itu ada yang membutuhkan proteksi dan rekomendasi yang tidak bisa dia sediakan, maka sang patron bertindak sebagai broker untuk menghubungkan kliennya dengan rekannya, amicia, atau dia menyediakan raccomandazioni, semacam rekomendasi, yang dipergunakan sang klien untuk berhubungan dengan orang yang dibutuhkannya itu. Yang mau disampaikan Boissevain adalah bahwa proses terbentuknya hubungan patronase lebih sering berlangsung dengan cara tersebut. Kendati demikian, sang klien dituntut lebih rasional dan penuh kalkulasi memilih patron terutama biasanya para patron menempati lembaga atau organisasi politik yang sama  dan kerap bertarung satu sama lain memperebutkan dukungan sang klien. Dalam studinya ini, Boissevain melihat peran penting dari bapa-baptis dalam tradisi Katolik. Sang patron biasanya menjadi bapa-baptis, compare, untuk anak sang klien, atau menjadi bapa-baptis untuk anak sahabatnya yang juga adalah patron, sebagai pengikat persahabatan. Ini membuat hubungan patron-klien mereka tidak semata-mata instrumental, tetapi juga afektif-emosional. Patronase di Sisilia mendapatkan pembenaran gereja melalui penokohan bapa-baptis. Diperlakukan seperti orang kudus (santo, dalam tradisi Katolik), sang patron memiliki tanggung jawab etis moral untuk memproteksi dan memenuhi kebutuhan anak baptisnya sampai mati, termasuk memproteksi dan memperhatikan keluarga besar sang anak. Bertolak dari perbandingan praktik patronase di berbagai masyarakat yang beragama Katolik di Eropa Selatan dan Amerika Latin, Boissevain melihat ada hubunagn saling pengaruh antara patronase model Katolik dan patronase politik. Dalam praktiknya keduanya saling mempengaruhi, sebagaimana, menurut penstudi ini, praktik-praktik patronase yang relatif sistematis umumnya bersarang dalam masyarakat-masyarakat yang mayoritas beragama Katolik. Lihat  Jeremy Boiissevain. Patronage in Sicily, New Series, Vol. 1, No. 1, (Maret,  1966), hal 18-33. Karya lain Boissevein tentang saling pengaruh politik dan agama Katolik, Saints and Fireworks: Religion and Politics in Rural Malta. London: Athlone Press, 1965. Kajian sejenis bisa ditemukan dalam Wilson, Thomas M. “From Patronage to Brokerage in the Local Politics of Eastern Ireland”.  Ethnohistory, Vol. 37, No. 2, (Spring, 1990), hal 158-187.

[26] Disarikan dari wawancara dengan V A, ketua penasihat Dewan Paroki Borong, Anggota DPRD kab Manggarai 1999-2004, Anggota DPRD Manggarai Timur 2004-2009, di Borong, 23 Maret 2009. Beliau sendiri mengakui bahwa menikahi seorang guru SD/pengawas SD yang memiliki 2 saudara imam pribumi telah banyak membantu karier politiknya di PDIP maupun DPRD dan membawa dirinya ke dalam relasi yang lebih luas dalam birokrasi dan gereja lokal. 

[27] ‘kelompok’ mencakup sejumlah kecil kepala keluarga, seukuran RT/RW. Ini menjadi komunitas terkecil yang intensif menyelenggarakan doa-doa bersama seperti pada Bulan Maria, diberi peran bergilir mempersiapkan misa Minggu di Kapela (bangunan gereja dengan daya tampung terbatas) di mana kelompok ini berlokasi. Keluarga-keluarga dalam kelompok berperan aktif dalam urusan-urusan lain seperti menyukseskan acara pernikahan dan acara Sambut Baru (merayakan penerimaan Sakramen Ekaristi). Dalam doktrin resmi Keuskupan Ruteng Kelompok adalah komunitas basis, ruang di mana ‘gereja’ dan ‘umat’ bertemu secara intens dan rutin. Studi ini menemukan fakta bahwa melalui kelompok inilah gereja mengendalikan, mengontrol dan mengevaluasi ‘keimanan’ umat melalui teknik dan prosedur tertentu. Mengapa demikian? Gereja tidak memungut dana umat secara langsung, melalinkan melalui pengurus kelompok. Iuran Gereja Berdikari dan iuran-iuran lain dalam satu tahun Liturgi dipungut dan dijalankan oleh pengurus kelompok. Meski mereka sendiri tak dibayar, aktivitas pengumpulan dana tidak semata-mata urusan keuangan tetapi terpenting lagi, memastikan bahwa keluarga-keluarga dalam kelompok itu selalu taat pada ‘kewajiban’ kristiani. Mengumpulkan iuran wajib dan tak wajib mencerminkan keimanan umat dalam arti barang siapa tidak memenuhi kewajibannya maka akan dikenakan sanksi ‘sakramental’. Pastor Paroki dan Pastor Pembantu selalu memastikan bahwa pemberian Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, dan Sakramen Krisma hanya akan dilakukan apabila orang tua dari anak yang akan dibaptis atau mendapatkan krisma telah melunaskan iuran-iuran. Begitu pula pasangan yang akan menikah telah melunaskan iuran-iuran dan mengikuti kursus perkawinan dengan besaran biaya yang bervariasi dalam setiap paroki—bergantung pada perhitungan rata-rata ‘kondisi ekonomi’ umat dalam masing-masing paroki.

Selain Kelompok, Wilayah adalah kategori ruang yang lebih besar, berisikan kelompok-kelompok. Wilayah bertanggung jawab mengurus acara-acara kegerejaan yang bersifat massal. Misalnya, mensukseskan pentahbisan imam baru, mengurus rangkaian acara berkaitan dengan Natal dan Paskah, dan juga acara-acara lain yang tak bisa ditangani Kelompok. Antar-Wilayah dibentuk tim koordinasi terutama untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan Paroki yang mencerminkan keterlibatan seluruh umat dari kelompok basis melalui jalur Wilayah masing-masing.                  

[28] Dalam khasanah Teologi Sosial Katolik, Teologi Pembebasan masih menjadi bahan perdebatan di kalangan pakar maupun praktisi teologi katolik. Muncul di Amerika Latin sejak tahun 1960an, teologi ini mendorong misiologi gereja agar terjun langsung dalam kehidupan umat yang papa dan ditindas rejim-rejim kapitalis dan komprador lokal. Gereja didorong membuka front perlawanan terhadap birokrasi pembangunan dan birokrasi keamanan yang membuat umat hidup dalam ketakutan permanen dan sulit mendapatkan otonomi dalam bekerja dan pengembangan dirinya. Gagasan pokoknya adalah bahwa ajaran-ajaran Yesus berbicara tentang keadilan dan kesetaraan. Bahkan kehidupan Yesus sendiri, sebagaimana dikisahkan dalam empat Injil Perjanjian Baru, adalah sebuah pengalaman politik pembebasan. Yesus lahir dalam incaran Herodes, Kaisar Romawi, ketika dewasa, seluruh ajarannya berisikan perumpamaan dan perjumpaan dengan kekuasaan yang dilawannya dengan cinta dan pengampunan, dan kematiannya pun ditentukan di tangan politisi ketika Pilatus, sang Gubernur Roma, menyerahkan diriNya ke tangan orang-orang Yahudi yang marah dan kecewa dengan mesianisme Yesus yang tidak terkesan sangat berkuasa. Teologi ini pun mengambil inspirasi praktis dari pemikiran Marxisme yang membuat berang pejabat-pejabat Vatikan. Sejak masa itu konfrontasi dan polemik antara Vatikan dan proponen Teologi Pembebasan terus berlangsung sampai sekarang. Studi ini menemukan betapa teologi progresif ini tidak menjadi bagian terpenting dalam kurikulum pendiidikan Imam sejak seminari menengah sampai seminari tinggi. Dalam diskusi dengan sejumlah pastor yang juga adalah teman-teman penulis selama menempuh pendidikan 6 tahun di seminari menengah, ajaran-ajaran teologi ini dianggap tidak relevan untuk konteks Gereja Manggarai. Menurut para pastor ini, kemiskinan di Manggarai bukan disebabkan rejim penindasan, tak ada dominasi dan eksploitasi yang massif yang membutuhkan dipergunakannya Teologi Pembebasan. Bagi mereka, kemiskinan di Manggarai lebih disebabkan oleh praktik-praktik budaya setempat yang boros, tidak terbiasa menabung, atau singkatnya ekonomi masyarakat tidak berkembang karena tingginya biaya-biaya sosial dan budaya setempat. Terkait Teologi Pembebasan, pemahaman penulis tentang Teologi Pembebasan diperoleh dari sejumlah karya proponennya. Lihat, Gustavo Guiterres Theology of Liberation.  New York: Orbis Books, 1973; Bastian Wielenga. “Liberation Theology in Asia”, dalam  Christopher Rowland (ed) The Cambridge Companion to Liberation Theology.New York: Cambridge University Press, 1999, hal 39-60; Gerald West. The Bible and the Poor: a New Way of Doing Theology, hal 129-152; Peter Hebblethweite. “Liberation theology and the Roman Catholic Church”, hal 179-198.

[29] Wawancara dengan FA, ketua KPUD Kab Manggarai, mantan pastor dan pendidik di Seminari Pius XII Kisol- Manggarai. Dalam sarkasmenya yang khas, mantan pastor ini mengatakan bahwa siswa-siswa seminari menengah Pius XII dididik selama 6 menjadi patuh dan toleran terhadap diskriminasi dan kemiskinan, dan begitu pula selama 7 tahun  di Seminari Tinggi Ledalero/Ritapiret. Mereka membayangkan diri mereka sebagai empunya ‘kerajaan’ Allah di Manggarai’’. Seminari Pius XII Kisol adalah penyumbang terbesar patron politik-patron birokrat di Manggarai, baik pejabat teras keuskupan, birokrat teras maupun anggota DPRD.     

[30] Lihat Maribeth Errb, ‘Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-supporting Church in Western Flores, Eastern Indonesia’,  Journal of Social Issues in Southeast Asia Vol. 21, No. 2 (2006), pp. 204–29.

[31] Kasus tertembak mati 6 petani kopi pada tahun 2004 membuka mata banyak pihak di kalangan orang Manggarai terdidik dan bermukim di luar Manggarai. Mereka kecewa atas sikap Uskup Ruteng , Mgr. Edu Samsung yang dalam pernyataannya di berbagai kesempatan mendukung kebijakan Bupati Manggarai, Anton Bagul Dagur. Cerita kasus dan advokasi terhadap petani Colol, lihat  Alexander Aur. “Dari Babat Kopi ke Babat Nyawa: Narasi Tragedi Petani Kopi Colol demi Hak-Hak dan Martabat Kemanusiaan Para Petani”, dalam Eman J Embu dan Robert Mirsel (editor) Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004, hal 102-19; Nobert Jegalus. “Hak Perlawanan Rakyat”, hal 224-47; Paul B Kleden dan Kirchberger. “Karya Pastoral, Kesaksian Iman dan Perjuangan Sosial”, hal 303-344. Lihat juga pernyataan sikap kelompok muda terpelajar di Jakarta dalam Forum Florete Flores. “Surat Domba: Untuk YM Uskup Ruteng Mgr Eduardus Sangsun SVD. Menantikan Kembalinya Gembala yang Hilang!”, Forum Mahasiswa dan Pemuda Flores, Jakarta, 2004.  Sementara untuk kasus STKIP Ruteng dan advokasinya, lihat  Boni Hargens. Kebangkrutan Agama dan Politik: Kasus STKIP St. Paulus Ruteng. Jakarta: Gendis Desain & Printing, 2005.

[32] Fokus kajian pada PDIP Manggarai Timur berangkat dari pertimbangan praktis. Selain karena seluruh pengurus DPC bermukim di Borong, ibukota Manggarai Timur, wawancara dan pertemuan dengan para pengurus PAC kecamatan dan ranting sekabupaten dapat dilakukan penulis secara intensif karena selama 2 bulan lebih penelitian, berlangsung ‘musim’ pemilu di mana pertemuan mereka di Kantor DPC dan rumah-rumah Pengurus DPC [seluruhnya caleg kabupaten] dilakukan setiap hari sekaligus momen pertemuan rutin dengan penulis yang menginap selama 2 bulan di rumah Bapak VA, Wakil Ketua DPC. Sekali lagi,  pilihan fokus ini semata-mata karena demi menggali cerita dan mengamati proses ‘politik’ secara langsung selama pemilu 2009.             

[33] Wawancara dengan WN, di Borong, 24 Maret 2009. Beliau juga bercerita tentang karier politiknya. Drop-out pendidikan tinggi di Kupang ini mengawali karier politiknya akhir tahun 1990-an. Bermodalkan pengalaman sebagai salesman, beliau terjun ke dunia politik partai di Manggarai. Seperti salesman yang mempromosikan barang dari rumah ke rumah, seorang politisi, katanya dengan pasti, harus mampu membuat masyarakat memahami dan sepakat dengan pikirannya. Politisi yang sukses, sebagaimana ia membandingkan dengan dirinya, adalah politisi yang mampu memadukan ambisinya dan keinginan masyarakat di mana dia berkarya. ‘Orang Manggarai itu suka contoh, masyarakat yang suka meniru. Kalau seseorang bisa jadi teladan untuk orang lain, berpolitik bukanlah percobaan tanpa persiapan’. Ketika ditanya bagaimana cara-cara dia membangun kekuatan politiknya dalam partai dan di dapilnya, beliau menjawab dengan satu idiom ‘poli bae le nana ta’ [adik sudah tahu persis!], suatu  pernyataan tentang ‘rahasia bersama’ cara politisi Manggarai berpolitik. Perlu dicatat di sini, anggapannya tentang penulis mengerti cara berpolitik di Manggarai terkait latar belakang keluarga penulis yang juga bagian dari pengurus DPC PDIP, yang dalam riset ini juga dijadikan narasumber utama dan cara mereka berpolitik diikuti dengan saksama. Cara berpolitik itulah yang dalam riset ini disebut patronase.         

[34] Wawancara dengan VA, di Borong,  29 Maret 2009

[35] Diskusi 23 Maret dengan seluruh Pengurus DPC dan ketua-ketua PAC PDIP Mangarai Timur di rumah VA, Ketua Bappilu, di Borong. Adapun pertemuan-pertemuan terbatas atas inisiatif perorangan dalam rangka konsolidasi dan mobilisasi pengurus ranting dan tim sukses keluarga yang diselenggarakan di kantor DPC, kediaman VA, EM [Ketua PAC Borong] dan WN, diikuti penulis selama bulan Maret 2009. Rumah mereka dan kantor berada dalam kompleks RT yang sama dan memudahkan penulis mengikuti sejumlah pertemuan berbeda dalam hari yang sama.      

[36] Bagi mereka pekerjaan sebagai staf honorer, misalnya, bukanlah pekerjaan dengan bayaran yang memuaskan. ‘kalaua uang jadi ukuran kami pasti sangat kecewa. Bukan hanya karena dibayar seadanya, tetapi karena lebih sering tidak dibayar’. Dari pengakuan mereka sendiri, yang mereka butuhkan bukan gaji, tetapi ‘bekerja’ seperti layaknya pegawai negeri. Berpakaian seragam, meski lebih buram atau tak sekilap busana harian PNS, duduk di atas kursi kayu yang lurus dan tegap, dan tentu saja, di hadapan meja segiempat dengan tumpukan kertas dan map warna-warni, semua tampilan ini seakan melempar diri mereka ke dalam dunia lain, ke dalam domain kebenaran dan pengetahuan Developmentalisme.              

[37] Pengadaan proyek infrastruktur yang rutin termasuk perbaikan tiap tahun tidak terlepas dari apa yang dalam bagian pertama bab ini disebut inteligibilitas teknis dan inteligibilitas politik. Tersandera dalam kebutuhan untuk selalu menunjukkan balas jasa yang kasat mata, bupati dan anggota DPRD yang terpilih selalu memastikan bahwa proyek-proyek infrastruktur harus selalu diadakan yang tentu menghabis porsi terbesar dari total 60% belanja publik APBD. Hal ini meniscayakan makin banyaknya kontraktor siluman yang sebagian terbesar datang lingkaran keluarga pejabat dan politisi. Pengerjaan proyek asal jadi menyebabkan kerusakan lebih awal dari tutup tahun anggaran dan bisanya ini menjadi alasan untuk diajukan kembali proyek-proyek perbaikan dan pemeliharaan. Dalam konteks inilah, pekerjaan para pengurus ranting dalam proyek padat itu dianggap sebagai ‘pekerjaan tetap’ karena selalu ada pekerjaan semacam itu setiap tahun.   

[38] Terdapat banyak sekali eksemplar semacam ini di 3 Kabupaten Manggarai. Bahkan kalau dibandingkan, VA dan profil-profil lain yang disebutkan dalam studi ini bukanlah profil patronase pada peringkat teratas. Kendati demikian, studi ini tidak bertujuan mencari tahu siapa atau profil semacam apa yang berada di puncak dalam kasta ‘ata mese’ di Manggarai. Yang dicari adalah bagaimana praktik-praktik itu berlangsung dan apa saja teknik dan prosedurnya.      

[39] Disarikan dari diom ‘ceing ite ceing aku’ [memangnya kita ini orang lain!] lasim dipakai untuk menunjukkan suatu kesatuan, pernyataan bahwa kita tidak datang dari kelompok yang berbeda, sekaligus menunjukkan kesetaraan posisi kuasa dalam konteks pembuatan keputusan publik dan kesamaan derajat status sosial-politis. Sementara ‘weta daku hi enu’ [Dia itu juga saudari saya!] dalam kasus di atas menunjukkan suatu pengakuan bahwa istri VA sudah dianggap saudarinya sendiri bahkan kendati belum pernah bertemu sebelumnya dan tidak ada pertalian darah dan hubungan kawin-mawin. Mengetahui bahwa yang diusulkan adalah istri kawan politiknya dan saudari dari pejabat teras keuskupan, mantan kepala sekolah yang diusulkan ini berubah statusnya sebagai  pegawai negeri menjadi bagian dari kekerabatannya dalam relasi kuasa patronase yang telah tergovernmentalisasi.      

[40] ‘Pengkhianatan’ dalam tubuh PDIP sendiri terjadi tahun 2008. Dua anggota DPRD kabupaten dari Fraksi PDIP, SN dan DB, mendaftarkan diri sebagai caleg Partai Bulan Bintang  pada bulan September 2008. Keputusan pasangan ‘brutus’ ini disebabkan konfigurasi kekuatan kepengurusan DPC yang yang memusat pada WN dan VA, dan tahu pasti mereka tidak akan mendapatkan nomor urut muda [pra-keputusan MK tentang suara terbanyak]. Keduanya juga akhirnya memutuskan mendukung  Paket Cabup/Cawabup YOGA [diusung Golkar] dalam Pilkadal 2 putaran di Manggrai Timur Desember 2008/Januari 2009. Keduanya akhirnya di-PAW-kan pada bulan April 2009 setelah melalui proses yang alot di mana surat rekomendasi bupati baru untuk PAW  ‘tertahan’ di bagian Tatapem PemKab selama 3 bulan. Kendati Bupati ‘Golkar’ telah menandatangani surat tersebut, Kabag Tatapem, RR [pendukung militan sang bupati selama Pilkadal bersama 2 ‘brutus’ PDIP yang akan diganti], tidak mengirimkan surat tersebut kepada Gubernur. Alasannya jelas SN dan DB adalah pendukung Bupati selama pilkadal sementara yang akan menggantikan mereka dalam surat tersebut adalah GB [Sekretaris DPC PDIP, Cawabup dalam paket ABBA yang diusung PDIP] dan VA [Ketua Bappilu PDIP dan Ketua Tim Partai untuk Pemenangan paket ABBA].  Setelah mendapatkan ancaman kekerasan dan diberitakannya ‘skandal politik’ pilkadal  ini di Harian Flores Pos pada bulan April 2009, RR akhirnya menghantarkan langsung surat tersebut ke Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, di Kupang. VA dan G B dilantik sebagai anggota DPRD Manggarai Timur sebulan kemudian, akhir Mei 2009.               

[41] Menarik bahwa terlepas dari pengakuan mereka tentang poster dan stiker yang dianggap tidak membawa pengaruh pada pilihan pemilih [keluarga besar dan klan], sebagian besar dari mereka [caleg] tetap mencetak dan meyebarkan poster dan stiker. Tidak beda dari stiker dan poster caleg-caleg partai lain di 2 Kabupaten Manggarai,  potret wajah dan separuh badan mereka terlihat tipikal: wajah yang bersih, lebih segar, dahi yang mengkilap dan mengenakan kemeja ‘resmi’ yang tipikal dipakai untuk acara resmi seperti acara perkawinan dan  perayaan liturgis gereja, dan pundak yang diatur tampak tegap dan gagah.  Selain citra fisik yang menimbulkan kesan ‘berkuasa’ alias memiliki properti kualitatif yang diidealkan masyarakat Manggarai yang telah terdisiplinkan Developmentalisme dan Kairos, gambaran itu dipertegas dengan slogan-slogan yang lebih kuat konotosi memuji diri sendiri daripada menggambarkan dirinya bagian dari ‘roeng’ [mayoritas pemilih] dengan gambaran sehari-hari cangkul di tangan, dahi yang berkerut dibakar panas matahari, dan pundak yang melorot tersebabkan berat pikulan hasil bumi yang dijual di pasar-pasar desa.  Mereka memilih instrumen ini karena sadar akan efek menjerat persepsi pemilih tentang kepantasan mereka sebagai bagian dari dan untuk kekuasaan lokal yang  sudah mereka kendalikan dalam ‘ruang-ruang’ relasi kuasa yang lain. Mereka sangat tahu masyarakat pemilih [keluarga besar dan keluarga tim sukses mereka] menghendaki pencitraan tersebut.           

[42] Disarikan dari cerita WN dan VA. Rantai komando kepartaian dari DPP, DPD, sampai DPC dalam praktiknya hanya formalitas. Mereka bekerja sendiri untuk menghidupkan partai, baik dari segi finansial maupun platform partai. Dana pilpres dan Pilkadal Propinsi tidak ada untuk DPC yang hanya mendapatkan instruksi untuk bekerja memenangkan paket capres dan gubernur yang diusung elit pusat dan propinsi. Kalaupun mereka diundang ke Kupang dan Jakarta, itu lebih sebagai formalitas dan kesempatan ke luar daerah karena dalam mubes tersebut disain agenda dan rekomedasi sudah sebelumnya ditentukan elit-elit pusat/propinsi. Dalam kasus Pemilu legislatif 2009, dana kampanye partai sepenuhnya ditanggung caleg-caleg PDIP kabupaten dan sepenuhnya bekerja untuk diri mereka masing-masing, apalagi dengan adanya persaigan internal para caleg PDIP dalam satu dapil. Dana 69 juta sempat dikucurkan dari pusat sehari sebelum pemilu 9 April 2009 untuk membayar saksi partai di 668 TPS di seluruh Manggarai Timur. Kendati demikian dana tersebut, dalam pandangan mereka, tidak ada artinya karena tiap-tiap saksi’hanya’ mendapat 50 ribu rupiah, lebih kecil dibanding bayaran saksi dari partai lain, rata-rata 100 ribu rupiah. Lagi pula mereka sangat mengerti bahwa dana tersebut hanya untuk memastikan satu suara dari tiap saksi untuk caleg pusat yang selama kampanye tidak menampakkan wajahnya di desa-desa. Berbeda dari caleg pusat PDIP, caleg-caleg propinsi PDIP turun langsung ke desa-desa, bertatap muka, dan membentuk tim sukses sendiri karena mereka sangat paham semua pengurus DPC dan ketua PAC menjadi caleg dan berkerja untuk diri masing-masing. Caleg-caleg PDIP tingkat kabupaten mengandalkan mesin partai dan pengurus sampai ranting yang telah mereka kontrol, sementara caleg propinsi PDIP membentuk barisan tim sukses yang sebagian terbesarnya tidak berasal dari pengurus ranting dan simpatisan PDIP, tapi kelompok keluarga besar dan kerabat jauh mereka. Alasannya mereka tak punya basis di kabupaten, apalagi kecamatan dan desa.      

[43] Salah satu temuan penting sekaligus karakteristik utama dalam kajian governmentalitas yang digarap Foucault adalah kenyataan diskursif di mana negara modern merupakan bagian integral dari evolusi pola, teknik, strategi dan prosedur yang khas dalam managemen umat [flocks] dalam model kegembalaan kristiani [pastoral model of government]. Untuk uraian lengkap lihat sejumlah karya monumental berikut, Michel Foucault, Religion and Culture, khusus Part II  ‘Religion, Politics, and The East’ dan sesi 12, ‘on the Government of the Living’. New York: Routledge, 1999; Foucault, Michel 1982a: The Subject and the Power, in: Hubert Dreyfus and Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, Brighton: Harvester, pp. 208-26; Foucault, Michel 1988b: The ethic of care for the self as a practice of freedom, in: J. Bernauer and D. Rasmussen (eds.), The Final Foucault, Boston, Mass.: MIT-Press, pp. 1-20; Lihat juga, Thomas Lemke,  Foucault, Governmentality, and Critique, Paper presented at the Rethinking Marxism Conference, University of Amherst (MA), September 21-24, 2000.