Tulisan ini membahas fenomena terkini yang menarik sekaligus belum banyak dibahas yaitu konstruksi nasionalisme yang mulai mengemuka dari hubungan tubuh, politik dan kesehatan. Dengan mengangkat pengalaman Indonesia selama dua tahun terakhir, pembahasan akan memeriksa seberapa jauh dalam diskusi publik dan debat kebijakan khususnya polemik Vaksin Nusantara terbangun hubungan saling membentuk antara krisis kesehatan global yang berlangsung dalam negeri dan kebutuhan politik nasional untuk memiliki suatu imajinasi politik bersama mengenai bangsa dan kebangsaan.
Pertanyaan tersebut menjadi panduan untuk membuka medan baru dalam kajian pandemi COVID-19 dengan membaca kemungkinan matriks nasionalisme baru melalui narasi tubuh, virus dan vaksin. Kemungkinan itu bisa dilacak melalui kontestasi kekuatan ekonomi-politik dalam negeri yang membajak tiga pilar biopolitik kedaruratan permanen tersebut.
Argumen utama dari tulisan ini adalah bahwa dalam konteks pandemi yang berlarut-larut sekarang ini krisis kesehatan mengalami proses nasionalisasi sebagai wacana politik yang strategis di Indonesia. Nasionalisasi memuat pengertian yang lebih dari sekadar tanggap darurat yang mengerahkan seluruh perhatian bangsa dan sumber daya publik tetapi lebih jauh lagi membuka ruang percakapan baru mengenai identitas warga negara, masyarakat dan negara, ke dalam dan ke luar negeri.
Dalam percakapan tersebut, nasionalisme pandemi menyertakan diskusi yang semakin serius mengenai kedaulatan bangsa dari segi sosial-budaya, ekonomi dan diplomasi politik dalam konstelasi baru hubungan antar bangsa, kawasan dan tata dunia baru. Sifat strategis dari nasionalisasi pandemi hadir terang benderang dalam debat kebijakan tata kelola krisis kesehatan yang bergerak lebih jauh dari sekadar debat teknis bergeser menuju pengaturan dua hal penting yaitu pertama pengaturan hubungan antara negara dan warga negara dan kedua, hubungan Indonesia dengan negara lain dalam konteks eksperimentasi Great Reset.
Karena itu tulisan ini hendak memperlihatkan tiga hal penting yang saling berkaitan yaitu nasionalisme Indonesia dalam Polemik Vaksin Nusantara, konstruksi tubuh biologis sebagai tubuh politik dari refleksi polemik tersebut dan kemungkinan peralihan matriks nasionalisme Indonesia masa pandemi dari tubuh ideologis terorisme-radikalisme menuju konstruksi tubuh biologis sebagai tubuh politik bagi santapan oligarki parasit di dalam negeri dan muslihat rezim biomedis global.
Pada bagian pertama, Nasionalisme Indonesia dalam Polemik Vaksin Nusantara membahas kasus paradigmatik yang memperlihatkan dinamika ekonomi-politik pandemi dalam negeri sekaligus konteks tubuh biologis menjadi penanda baru wacana politik nasional. Dalam pembahasan ini konteks global-internasional juga diperlihatkan sebagai faktor kunci yang selalu saja mempengaruhi dinamika wacana politik tubuh di dalam negeri dua tahun terakhir.
Di dalamnya berlangsung debat keilmuan yang dengan cara tersendiri ikut mengondisikan masuknya tubuh biologis sebagai penanda penting dalam percakapan politik penanganan pandemi. Dengan dibukanya tabir hubungan pengetahuan dan kekuasaan maka tubuh biologis dalam kerangka pikir virus dan vaksin beralih menjadi tubuh politis dalam wacana kedaulatan negara, hak warga negara dan karakter kebangsaan.
Pada bagian kedua, Konstruksi Tubuh Politik: Virus dan Vaksin, dibahas secara lebih spesifik bagaimana tubuh biologis itu berproses menjadi tubuh politik kebangsaan, kewarganegaraan dan kemasyarakat bernama Indonesia. Di dalamnya diperiksa proses wacana atau ideologisasi atas tubuh melalui debat mengenai ketidakamanan permanen, ancaman eksistensial bangsa, keselamatan jiwa manusia yang adalah warga negara dan solidaritas sosial sebagai cerminan resiliensi atau daya tahan kebangsaan dari dalam dirinya sendiri.
Dari cara berwacana seperti ini mulai terbangun suatu kesadaran dan tindakan kolektif, disepakati atau dipaksakan, tentang menjadi Indonesia dari tiga pintu masuk tersebut: menjadi warga negara, masyarakat Indonesia baru, menjadi bangsa berdaya tahan dan berdikari. Proses ini terus berlangsung, semakin intensif dengan dinamika pandemi yang tak pasti kapan akan berakhir dan konstelasi tata kelola pandemi global yang sarat konflik dan tak terarah.
Bagian ketiga, Nasionalisme Indonesia: dari Tubuh Ideologis menuju Tubuh Biologis, menambahkan satu analisis penting mengenai peralihan matriks wacana nasionalisme Indonesia. Yaitu peralihan dari matriks tubuh ideologis berupa terorisme dan radikalisme menuju matriks tubuh biologis berupa krisis kesehatan permanen dan ancaman nasional. Tentu hal ini tidak berarti isu terorisme dan radikalisme akan hilang dari peredaran wacana global-nasional. Bertolak dari pengalaman Indonesia, ditemukan pola pewacanaan yang hampir serupa antara konstruksi nasionalisme Indonesia dengan tubuh ideologis selama dua dekade terakhir (2001-2019) dan konstruksi nasionalisme dengan tubuh biologis selama dua tahun terakhir (2020-sekarang).
Bab ini kemudian ditutup dengan penegasan intisari tulisan dan ajakan melihat hal-hal penting, khususnya akar-akar masalah kebangsaan, yang hilang dalam konstruksi politik nasionalisme Indonesia baik berbasis tubuh biologis maupun tubuh ideologis.
Nasionalisme Indonesia dalam Polemik Vaksin Nusantara
Belakangan ini, ketika tulisan ini digarap, penanganan pandemi di Indonesia memasuki sebuah fase penting yaitu masuknya topik nasionalisme dalam percakapan kebijakan dan diskusi publik. Urgensinya boleh jadi berangkat dari terindikasi jumlah kasus COVID-19 sebanyak 1.599.763 orang dan angka kematian akibat penularan virus corona sebanyal 43.328 orang (Kompas, 17 April 2020).
Akan tetapi pemicu terbesar dan terkini dari munculnya wacana nasionalisme adalah debat publik mengenai Vaksin Nusantara. Pengembangan vaksin dedintrik ini, berbasis darah manusia yang disuntik kembali ke dalam tubuh, dikembangkan tim peneliti di RSAD Gatot Subroto, di bawah koordinasi Terawan Putranto, Mantan Menteri Kesehatan RI.
Pengembangan vaksin menyeruak menjadi isu nasional ketika Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di bawah kendali Penny Lukito, mempersoalkan proses teknis-medis atau uji klinik dalam pengembangan tahap pertama. Dari segi ini perbedaan pendapat di antara dua kelompok masih bersifat teknis-medis dan regulasi. Berita terkini, Presiden Joko Widodo, mengambil langkah diplomatis yaitu mendukung pengembangan vaksin dedintrik itu seraya menyarankan prosesnya tetap sesuai kaidah ilmiah (Keterangan Jokowi, Kompas 20 April 2021).
Kendati demikian debat teknis itu segera berubah menjadi diskusi publik meluas dan sengit melibatkan pakar biomedis, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), partai-partai politik, para anggota DPR khususnya Komisi IX urusan kesehatan dan organisasi kemasyarakatan seperti Nadhatul Ulama.
Lebih jauh lagi, partisipasi TNI dalam debat Vaksin Nusantara memberi bobot tersendiri kepada percakapan tentang kepentingan dan kedaulatan bangsa. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan KASAD TNI Jenderal Andika Perkasa menegaskan dukungannya terhadap pengembangan vaksin. Demikian juga mantan panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo dengan rumusan yang lebih jelas bahwa vaksin nusantara adalah kebutuhan eksistensial bangsa untuk menegakkan kedaulatan tubuh, tanah dan air Indonesia. Termasuk di dalamnya dukungan Jenderal (purn) Hendropriyono mantan Kepala Badan Intelijen Nasional.
Perdebatatan ini mengandung dua pokok soal yang memainkan peran sangat penting bagi terbentuknya formasi wacana nasionalisme vaksin di Indonesia.
Pertama, polemik yang sengit ini menegaskan kembali debat mengenai virus dan vaksin sebagai bagian tak terpisahkan dari diskusi ilmu-pengetahuan. Kedua, menciptakan ruang yang semakin terbuka kepada rumusan masalah tata kelola krisis kesehatan sebagai masalah kedaulatan negara dan martabat bangsa yang dikaitkan dengan integrasi kebijakan tanggap krisis Indonesia ke dalam kerangka tata-kelola pandemi global.
Dua hal penting tersebut saling menegaskan dalam ruang publik sampai ke tingkat menjadi pendulum diskusi hubungan pengetahuan dan kekuasaan dalam konstruksi awal nasionalisme Indonesia pada masa pandemi ini sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Virus dan Vaksin: Masalah Keilmuan
Pertama, debat virus dan vaksin sebagai masalah ilmu pengetahuan, sudah menjadi isu global sejak pandemi global dideklarasikan pada Maret 2020. Bahkan jika diperiksa lebih jauh ke belakang, virus dan vaksin merupakan dua obyek perkara kesehatan global yang membuat WHO selalu dipersoalkan terutama berkaitan dengan ketidakterbukaan publik dan defisit akuntabilitas.
Isu-isu yang selalu menjerat badan kesehatan dunia ini mencakup soal penentuan apakah suatu penyakit menular harus ditetapkan sebagai epidemi sampai pada isu produksi dan distribusi vaksin atau obat-obatan untuk mengatasi pandemi (Ferhani dan Rushton, 2020; Kamradt-Scott, 2016; Roemer-Mahler, 2016). Tidak kalah problematisnya adalah produksi vaksin yang bermasalah dan vaksinasi hasil rekomendasi WHO yang menimbulkan efek samping yang mematikan, cacat fisik seumur hidup dan kerentanan tubuh terhadap patogen penyebab penyakit kronis lainnya.
Selama dua tahun pandemi perdebatan itu tidak kunjung berakhir, malah semakin terbuka, di kalangan pakar biomedis seperti pakar virologi, imunologi, epidemologi, biologi molekular, epigenetika dan fisika-biologi kuantum.
Ilustrasi terbaik bisa dicermati dalam kasus konflik antara Siti Fadhilah, pada saat menjabat Menteri Kesehatan dan para pejabat WHO, pada tahun 2006. Konflik yang berujung pengusiran pejabat atau pekerja badan internasional bersumber dari ketidakjelasan penentuan pandemi flu burung di Indonesia. Siti Fadhilah menolak tegas rencana penetapan pandemi itu dan setelah itu terbukti sikap tegasnya benar secara biomedis dan tepat secara politik.
Dengan itu Indonesia terbebas ancaman resesi ekonomi karena kemungkinan pandemi buatan dan juga negara tidak perlu membuang uang rakyat untuk mendatangkan vaksin yang sama sekali tidak dibutuhkan. Meski dalam cara berbeda, sikap sang menteri bisa dibandingkan dengan sikap sejumlah para politisi merangkap dokter di Amerika Serikat seperti Ron Paul atau sikap Robert Kennedy Jr, aktivis anti-vaksin dan anti-monopoli industri kesehatan farmasi.
Termasuk yang patut disebutkan Vandana Shiva dalam kampanye tiada henti menolak vaksin dan rekayasa genetika yang merusak keragaman hayati (lihat Shiva, 2016, 2005). Pasalnya, penggunaan vaksin yang diproduksi tentakel bisnis Bill Gates dan aliansi globalnya terbukti telah mengakibatkan cacat seumur hidup dan membunuh jutaan anak dan remaja di India, Afrika dan juga Filipina (Global Research Report, 2020, 2021).
Dalam konteks global mengemuka istilah vaccine nationalism, sebuah konsep ambigu diperkenalkan WHO untuk mengeritisi kecenderungan negara-negara produsen vaksin yang melakukan embargo vaksin demi antisipasi kebutuhan di negara sendiri (Tedros, 5 September 2020). Konsep yang dipropagandakan Tedros Adhanom, yang selalu didukung pernyataan Dr Fauci, Direktur CDC Amerika Serikat, sebetulnya bertentangan dengan pernyataan sendiri dengan klaim ‘ilmiah’ lainnya bahwa virus mengalami mutasi secara cepat di berbagai negara.
Di sini, Siti Fadhilah dan Terawan, dua mantan menteri kesehatan yang terbuang itu, tidak sendirian, sebagian besar pakar biomedis kritis di dunia khususnya di Amerika Serikat sendiri, mempertanyakan paradoks keilmiahan WHO dan konsekuensi kebijakan yang sangat merugikan dunia. Yaitu, jika virus bermutasi dengan cepat di berbagai kawasan lantas mengapa produksi vaksin yang makan waktu itu diteruskan atau bukankah suntikan vaksin itu tidak berguna lagi karena jenis virus yang akan dihadapi sudah mengalami mutasi.
Dari situ pula mengemuka kebenaran dari tawaran herd immunity yang setahun lebih diusulkan komunitas pakar epidemologi kritis khusus yang paling terkemuka Dr. Knut Wittkowski tetapi diabaikan WHO dan tentakel think tank industri farmasi yang beraliansi dengan Bill Gates di berbagai negara. Sekaligus perlahan-lahan menyingkap strategi dan taktik penciptaan narasi dunia dalam darurat kesehatan permanen yang menguntungkan bisnis farmasi di negara-negara produsen.
Virus dan Vaksin: Masalah Kebijakan
Kedua, perdebatan tiada akhir di kalangan pakar biomedis akhirnya membuka ruang yang semakin terbuka bagi debat kebijakan tata-kelola pandemi yang berpusat pada rumusan kepentingan bangsa-negara dan kepentingan solidaritas global-internasional.
Polemik Vaksin Nusantara bukanlah isu yang mendadak hadir di ruang publik kebijakan tetapi memperlihatkan suatu trayek nasionalisasi pandemi sejak presiden Jokowi menyatakan tanggap darurat kesehatan awal tahun 2020. Selama setahun perhatian diberikan pada aspek pencegahan epidemik dengan lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar dan social distancing dengan sejumlah konsekuensi serius di sektor ekonomi, perdagangan, transportasi dan sektor pendidikan.
Keseluruhan kebijakan tanggap darurat ini semakin memperjelas pertimbangan kepentingan bangsa dan keselamatan warga negara dalam jangka waktu tak terbatas. Pemerintah Indonesia tidak mengambil opsi kekebalan alamiah komunitas yang disarankan pendekatan herd immunity tetapi jalan pintas pembatasan mobilitas dan pengaturan interaksi perjumpaan dengan panduan protokol kesehatan sesuai arahan WHO yang kerap berubah-ubah.
Dalam polemik ini, setidaknya sejak pengajuan uji klinik fase I 30 November 2020, terbentuk formasi dua kubu yang mewacanakan kepentingan bangsa dari dua perspektif, posisi kelembagaan dan kepentingan ekonomi-politik yang berbeda.
Kelompok pertama adalah kubu pengembang vaksin atau tim peneliti RSAD Gatot Subroto, pendukung Terawan Putranto, pakar biomedis Universitas Airlangga dan Universitas Diponegoro, termasuk terpenting dukungan TNI dan para jenderal aktif dan para pensiunan jenderal yang menjadi politisi dan tokoh masyarakat. Kubu ini didukung komisi IX DPR RI, dan Siti Fadhilah dan pendukungnya.
Di lain pihak, terbentuk kubu yang dianggap menentang atau menghambat pengembangan vaksin atas nama prosedur klinis dan etik keilmuan. Kubu ini mencakup Kementerian Kesehatan di bawah pimpinan Menteri Budi Gunadi, Badan POM, Ikatan Dokter Indonesia, perusahaan BUMN Bio Farma bersama anak perusahaan Kimia Farma dan Indofarma. Kubu kedua ini juga memiliki barisan pendukung yang luas yang sudah terbentuk dengan cara berpikir kedaruratan kesehatan tiada akhir dan ketidakberdayaan tubuh manusia selain diselamatkan vaksin dan obat-obatan antiviral.
Formasi pertarungan seperti ini terjadi hampir di semua negara, tetapi di Indonesia berlangsung dalam nasionalisasi krisis kesehatan yang khas sejarah politik Indonesia dan dinamika konsolidasi dan fragmentasi oportunis oligarki nasional.
Dari kedua hal penting di atas, pemeriksaan dapat diteruskan mengenai pertarungan ekonomi-politik oligarki melalui bisnis vaksin dan obat-obatan antiviral seperti chlorouine, hydroxyclorouine dan azithromychin.
Kepentingan bisnis pengadaaan vaksin impor dan produksinya di dalam negeri sangat terganggu dengan pengembangan Vaksin Nusantara, selain pengembangan Vaksin Merah-Putih yang sudah lolos sejumlah tahapan dan siap diproduksi masal awal 2022 (Keterangan Penny Lupito, Kompas TV, 16 April 2021).
Pengadaan vaksin Sinovac dari China sebanyak 3 juta dosis untuk kementerian kesehatan dan komitmen pengadaan sebanyak 260 juta dosis sampai akhir tahun 2021 tentu lahan bisnis besar oligarki nasional di balik kolaborasi dengan kementerian kesehatan, BPOM, dan Bio Farma.
Belum terhitung para pakar biomedis yang sudah dijadikan kekuatan ‘keilmuan’ di balik retorika prosedur keilmiahan dan kecanggihan vaksin impor yang sebetulnya juga sedang dipersoalkan komunitas pemerhati kesehatan global tentang kemujaraban dan efek sampingnya, termasuk kejanggalan produksi vaksin dan vaksinasi di tengah virus yang diklaim bermutasi serba cepat di berbagai negara (lihat, Laporan Global Research, 2020. 2021).
Dengan rencana kebutuhan 426 juta dosis untuk 181 juta penduduk Indonesia yang akan divaksinasi terbaca dengan jelas kepentingan impor farmasi yang bekerja dalam koordinasi bisnis-politik selama pandemi yang berkepanjangan ini. Kementerian Kesehatan sendiri mencatat 5.322.501 orang sudah mendapat dua dosis vaksin Covid-19, yang berarti baru 2,93 persen dari target sasaran vaksinasi yang mendapat dosis lengkap, sementara itu sebanyak 10.280.073 orang lainnya telah menerima suntikan dosis pertama vaksin (CNN Indonesia, 13 April 2021).
Dari sana juga terlihat semakin gamblang kepentingan ekonomi-politik di balik formulasi program vaksinasi pemerintah yang dilabelkan gratis dan program vaksinasi Gotong-Royong dengan biaya dibebankan kepada perusahaan atau tempat seseorang bekerja. Penamaan kedua program ini tentu tidak bisa menyembunyikan hak warga negara untuk divaksinasi karena pengadaan vaksin untuk kedua program tersebut menggunakan uang negara.
Hal itu berlaku untuk komitmen bilateral pengadaaan vaksin Sinovac dan Sinopharm dengan China maupun pengadaan vaksin Moderna, Pfizer, Novavax, dan Astrazaneca baik melalui skema bilateral maupun skema global melalui GAVI untuk program vaksinisasi Gotong Royong (Honesty Basyir, Direktur Bio Farma, wawancara dengan Rosianna Silalahi Kompas TV, 18 April 2021).
Di lain pihak, kubu yang dilabelkan atau melabelkan diri nasionalis memuat dua orientasi politik kesehatan yang berbeda.
Pertama, narasi dari kubu Terawan Putranto dan kubu Siti Fadhilah lebih menargetkan WHO sebagai organisasi kartel industri farmasi transnasional. Organisasi ini menjadi lembaga proksi Bill Gates dan aliansinya dengan resiko geopolitik serius berupa kesulitan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mengembangkan vaksin sendiri. Teringat pada pertanyaan mantan menteri anti-kolonialisme ini dalam tata kelola kesehatan dunia, ‘lebih baik jadi harimau sehari daripada jadi kambing seumur hidup’ (Siti Fadhilah, wawancara dengan Deddy Corbuizer 27 Mei 2020, wawancara dengan Karni Ilyas 18 April 2021).
Kedua, narasi Marsekal Hadi Tjahjanto panglima TNI dan Jenderal (purn) Gatot mantan panglima TNI (2015-2017), relatif berbeda dari dua pakar kesehatan di atas dengan memberi tekanan pada kedaulatan negara dan kesiapan bangsa dalam perang teknologi khususnya perang biologi dalam dinamika geopolitik yang tak pasti ke depan. Bahwa Indonesia harus segera memiliki teknologi kesehatan sesegera mungkin sebelum akhirnya kalah bersaing dan harus mengimpor dari China ‘Komunis’ yang adalah ‘musuh’ Indonesia yang pancasilais.
Setidaknya tersurat dalam kata-kata Gatot sendiri, yang diparafrasekan berikut, kita makan dan minum dari tanah air sendiri dan karena itu tubuh kita harus mandiri (Gatot Nurmantio, 17 April 2021, Wawancara TV One). Dalam arti itu, vaksin model dedintrik lebih percaya kepada darah anak bangsa untuk berperang melawan patogen alam atau virus kiriman kekuatan asing.
Menengok kembali sejarah dan dinamika nasionalisme Indonesia bisa dipastikan bahwa narasi Siti Fadhilah mewakili nasionalisme Sukarno sementara narasi Gatot lebih banyak menghidupkan kembali nasionalisme Suharto. Kritik mantan menteri kesehatan ini diarah kedua arah yaitu kolaborasi tentakel bisnis farmasi Indonesia dan kartel industri vaksin Bill Gates yang membajak kerangka kebijakan kesehatan melalui WHO dan jejaring komunitas think tank biomedis global yang didanai Bill & Melinda Gates Foundation. Sebaliknya, dukungan Gatot terhadap inisiatif Terawan melayani cara berpikirnya tentang perang biologi antar negara khususnya sikapnya yang tetap bersikeras menyamakan pemerintahan China dengan Partai Komunis Indonesia.
Ditinjau dari dua kesadaran nasionalisme itu, dapat dibayangkan narasi mendukung Vaksin Nusantara memuat dalam dirinya dua antagonisme pengetahuan tentang geopolitik virus dan vaksinasi. Dua jenis nasionalisme yang saling menegasikan dalam sejarah politik Indonesia bertemu dalam ke-nusantara-an vaksin Terawan Putranto.
Meringkas diskusi pada bagian ini, Vaksin Nusantara, sebagai wacana, membuka kotak pandora dari dua kekuatan ekonomi-politik kesehatan dalam negeri yang selama setahun ini bergerak membangun kubu masing-masing dan menanti momentum perseteruan dimulai. Dua kubu sama-sama sedang merumuskan nasionalisme Indonesia dalam krisis kesehatan.
Hanya saja garis batas di antara keduanya sangat jelas. Kekuatan pertama percaya pada panduan korporasi farmasi global melalui WHO dan rezim pengetahuan-teknologi biomedis yang berlabel ‘internasional’. Sementara kekuatan kedua merupakan kombinasi narasi yang membayangkan kebangkitan Indonesia, melalui manusia, kecakapan dan alamnya, untuk tidak terjerumus lebih jauh lagi ke dalam teknokrasi kedaruratan global yang dianggap meloloskan monopoli kekuatan global atas kehidupan dan kematian manusia, kerentanan masyarakat dan distopia kebangsaan.
Konstruksi Tubuh Politik: Virus dan Vaksin
Konteks pertarungan ekonomi-politik pandemi Indonesia di atas menghadirkan analisis lebih lanjut mengenai bagaimana virus dan vaksin bisa membangun pembayangan yang makin berbentuk dan terang benderang tentang tubuh politik bangsa.
Konstruksi imajiner tapi produktif ini hanya bisa dimulai jika dikembalikan kepada status dan peran tubuh biologis yang terbentuk dalam wacana biomedis global mengenai tubuh yang rentan terpapar virus dan kecanggihan teknologi kesehatan khususnya vaksin dan vaksinasi (Kumbamu, 2020; Wahlberg, 2015; Villadsen, 2015). Konstruksi tubuh politik bangsa ini akan sulit terbayangkan jika tubuh biologis anak bangsa dipersepsikan memiliki kekebalan tertentu, semacam imunitas rasial atau pun imunitas karena kesamaan iklim dan teritorial.
Dalam wacana dominan pandemi COVID-19, tubuh biologis dibaca dalam kacamata kerentanan permanen yang harus selalu diperiksa dan diuji berkali-kali, dalam prosedur abnormal yang dinormalisasi dengan tiga taktik perang 3T yaitu tracing, testing dan treating. Dalam perlakuan sebetulnya batas antara virus dan pembawa virus menjadi samar yang dari waktu ke waktu tak terbedakan lagi di antara keduanya.
Dari penggunaan taktik perburuan tersebut tubuh biologis tidak saja rentan terhadap patogen tetapi juga mengalami patogenisasi dalam perlakuan teknologi epidemi. Tubuh dianggap tak berdaya tahan dan resiliensinya hanya datang dari intervensi teknologi pencegahan dan pengamanan termasuk terpenting pengebalan daya tahan tubuh melalui vaksinasi. Dengan ini pula tubuh biologis dalam pandemi adalah juga ‘tubuh biologis’ yang dikonstruksi dengan parameter ketidakberdayaan sistem imun tubuh dan kedigdayaan teknologi epidemi.
Dengan cara lain dikatakan bahwa tubuh biologis itu terbentuk dan tersandera di antara kecepatan mutasi virus dan kecepatan produksi vaksin. Hal ini terbaca dalam kecenderungan terkini dalam narasi pandemi global yaitu kemunculan yang selalu tak terduga dari varian-varian virus per negara, bahkan dalam satu negara, dan perlombaan produksi dan distribusi vaksin sebagai satu-satunya resep paling mujarab melawan patogen yang semakin ganas dan mematikan (lihat Tedros, 2021; Bill Gates, 2021, dalam WHO News; WEF Report, 2021).
Narasi ‘saintifik’ yang disebarluaskan WHO dan diteruskan kementerian kesehatan Indonesia memperlihatkan kesamaan cara pandang memperlakukan tubuh biologis dalam pandemi. Di dalamnya anjuran dan instruksi epidemi terhadap tubuh bekerja melalui justifikasi keilmuan yang tidak saja tidak konsisten tetapi terpenting lagi selalu datang terlambat dalam arti narasi itu dibangun dan disebarkan setelah virus dinyatakan lebih cerdik dan ganas dari ‘prediksi keilmuan’.
Politik kedaruratan ini melakukan lompatan akrobatik, dari penghindaran terhadap kegagalan ilmu pengetahuan biomedis, menuju pengakuan terhadap kecerdasan patogen, yang tentu membuat tubuh biologis harus dihindarkan dari keterpaparan dan segera divaksinasi dengan efek-efek samping yang bisa ditoleransi, termasuk kematian sekalipun.
Kondisi tubuh biologis anak bangsa yang tak berdaya di atas, setidaknya dalam konstruk pandemi terkini, menghadirkan kemungkinan pembajakan tubuh itu tidak lagi dilakukan oleh patogen tetapi intrusi berlapis-lapis dari kekuatan-kekuatan politik nasional. Pertarungan antar dua kubu yang dijelaskan sebelumnya hanya dimungkinkan oleh penerimaan kedua kubu terhadap tubuh biologis dalam wacana pandemi global. Hal itu tidak berarti keduanya bergerak dari kepentingan ekonomi-politik yang sama atas tubuh biologis.
Sebaliknya, hanya dengan kondisi ketakberdayaan tubuh anak bangsa maka upaya politisasi atas tubuh bisa berlangsung baik atas nama ilmu pengetahuan yang terus berdebat di dalam dirinya maupun atas nama martabat bangsa dan keselamatan jiwa warga negara. Dengan kata lain, hanya di atas paradoks itu barulah berbiak politik supremasi biomedis global dan keutamaan kedaulatan bangsa.
Kondisi paradoksal tubuh biologis, yaitu tidak berdaya sekaligus basis politik atas tubuh, memberi pendasaran yang lebih meyakinkan mengenai nasionalisme tubuh biologis sebagai tubuh politik.
Berbeda dari rasialisme tubuh biologis yang berbiak di atas supremasi genetika, nasionalisme tubuh biologis dalam pandemi global berangkat dari pengakuan tentang tubuh seluruh umat manusia rentan terhadap infeksi virus. Tidak pandang umur, golongan darah, jenis kelamin, kelas ekonomi, golongan sosial atau kasta politik, patogen COVID-19 adalah figurasi dari perilaku alam yang tak terkendali atau inkarnasi dari biodiversitas yang semakin rusak akibat ulah manusia yang serakah.
Dalam konstruksi kerentanan luar-dalam semacam ini, tidak ada pilihan lain bagi kekuatan politik nasional selain merebut otoritas simbolis untuk memulihkan tubuh anak bangsa dengan intervensi vaksin yang berorientasi kepentingan negara dan martabat bangsa. Eksperimentasi otoritas tersebut tersurat dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, soal sanksi tertuang di pasal 13a ayat 4.
Dalam pengertian serupa, politisasi terhadap vaksin merupakan pilihan dari dua jenis nasionalisme yang berkembang dalam tata kelola pandemi di Indonesia.
Yaitu pertama, nasionalisme melalui jalan ‘mengikuti standar keilmuan’ biomedis global sebagai dipertahankan Badan POM, IDI dan Bio Farma atau kedua, nasionalisme menentang pemulihan tubuh biologis melalui ketertundukan pada instruksi bisnis farmasi global dan standarisasi biomedis yang diabaikan atau dipersoalkan Tim Peneliti Vaksin Nusantara dan khususnya kubu Siti Fadhilah, dengan alasan terbukti melemahkan upaya negara berdiri di atas kaki sendiri. Keduanya merupakan upaya mentransformasi tubuh biologis menjadi tubuh politik atas nama kepentingan bangsa.
Mengacu kepada kecenderungan nasionalisme kontemporer, kubu pertama membayangkan menyelamatkan tubuh biologis anak bangsa dengan koordinasi dan integrasi yang makin rapat dengan rezim tata kelola kesehatan global. Sedangkan kubu kedua, dalam kombinasi yang tak tersambungkan antara narasi kritik ilmu pengetahuan Siti Fadhilah dan narasi perang biologi Gatot, berusaha memulihkan tubuh serupa dengan makanan, minuman dan kepandaian anak bangsa menciptakan vaksin mandiri yang lebih mengandalkan darah dan daging manusia Indonesia.
Kecenderungan penting lainnya yang patut dicermati adalah bahwa tidak hanya vaksin yang diatributkan dengan nasionalisme atau sentimen nasional sebagaimana diperkenalkan WHO tetapi juga virus dengan mutasi dan varian per negara bakal mendapatkan label virus nationalism dengan konotasi negatif serupa.
Jika nasionalisme vaksin mengandung pengertian negara produsen vaksin tidak solider dengan negara lain yang membutuhkan dengan resiko epidemi akan terus bergelombang di tingkat global maka nasionalisme virus kemungkinan berarti suatu negara dengan epidemi varian-varian baru disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap arahan kebijakan badan kesehatan dunia atau tidak melakukan vaksinasi sama sekali atau melakukan vaksinasi tidak sesuai dengan rekomendasi vaksin dan panduan global.
Bisa dibayangkan ketika virus ter-nasionalisasi dalam wacana pandemi, segera terbit kemungkinan tubuh biologis semakin strategis, sebagai arena perang proksi di kalangan kekuatan ekonomi-politik dalam negeri. Resiko politik bisa sangat dramatis, seperti dramaturgi pandemi yang tak berkesudahan, kekuatan oligarki nasional akan bertarung satu sama lain berpusat pada perebutan otoritas atas tubuh biologis yang tak berdaya, patuh dan diaktivasi sebagai santapan politik oligarki parasit di dalam negeri.
Demikianlah tubuh biologis anak bangsa kian diberdayakan oleh kekuatan politik justru karena diwacanakan sebagai ‘tak berdaya’ dalam pandemi yang berlarut-larut.
Ketika infeksi virus dianggap tak terbendung sistem imun tubuh manusia dan vaksin dianggap lebih diperlukan daripada makanan bergizi dan pola hidup, maka akan segera terbentuk suatu nasionalisme yang semakin gagah dan perkasa, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Nasionalisme ini berbiak di atas tubuh biologis warga negara yang kian melemah serta pikiran yang terus terpapar muslihat pengetahuan biomedis global dan kuasa oligarki domestik berebutan menguras sumber daya publik.
Sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut, konstruksi tubuh biologis sebagai titik berangkat menata ulang tubuh politik memberi informasi sekaligus sinyal kuat ke arah mana nasionalisme Indonesia sedang bergerak di dalam dan melalui pandemi COVID-19.
Nasionalisme Indonesia: Dari Tubuh Ideologis menuju Tubuh Biologis
Analisis berlapis-lapis terhadap Polemik Vaksin Nusantara segera mendorong pemeriksaan lebih lanjut yang tak kalah penting.
Yaitu kemungkinan peralihan matriks wacana nasionalisme Indonesia dari tubuh ideologis-nya terorisme dan radikalisme menuju tubuh biologis-nya anak bangsa yang mengalami kerentanan yang diperlakukan permanen tanpa kepastian berakhir.
Analisis ini bergerak dari pembacaan terhadap pola formasi wacana nasionalisme tubuh biologis dari krisis kesehatan bangsa dua tahun terakhir yang dicarikan hubungan formatifnya dengan wacana nasionalisme tubuh ideologis dari krisis identitas bangsa dua dekade terakhir di Indonesia. Nasionalisme Indonesia menemukan dirinya dalam dua penanda krisis yang berbeda sekaligus memperlihatkan pola penubuhan yang nyaris tak terbedakan.
Secara konseptual, penubuhan krisis itu mencakup rasionalisasi, strategi dan taktik pewacanaan krisis permanen sebagai fundasi bangunan nasionalisme (lihat Foucault, 2003, 2008; Said, 2013; Sayyid, 1997).
Dalam analisis ini, argumen dibuat seringkas mungkin bahwasanya selama dua tahun terakhir bukan lagi identitas yang sepenuhnya membentuk tubuh nasionalisme tetapi sebalik semakin terbaca konstruksi tubuh anak bangsa dalam ketakberdayaan biologisnya memberi nasionalisme semacam tenaga dan semangat baru untuk terus bergerak ke luar dan ke dalam negeri.
Tubuh biologis dan tubuh ideologis, sebagai konstruksi politik, di satu sisi, bisa menunjukan peralihan tetapi di sisi lain, juga memberi informasi tersendiri bahwa boleh jadi kedua jenis tubuh ini sedang digunakan secara bergantian bilamana diperlukan sesuai kebutuhan identifikasi diri sebagai warga, masyarakat dan negara. Identifikasi sebagai (1) warga yang patuh sekaligus tak berdaya, (2) masyarakat yang toleran sekaligus harus dituntun dan (3) negara yang perkasa sekaligus selalu terancam dari dalam dan dari luar dirinya.
Argumen ini harus dibiarkan terbuka karena wacana krisis tubuh nasional tengah berlangsung dan banyak kemungkinan bisa terjadi termasuk percampuran yang membingungkan antara tubuh ideologis dan tubuh biologis dalam nasionalisme Indonesia yang belum selesai dengan isu toleransi dan keberagaman.
Tubuh ideologis dan tubuh biologis, keduanya terbangun dalam wacana global tentang krisis atau kedaruratan pasca Perang Dingin, yang tidak dipastikan kapan berakhir dan dalam transformasi beragam rupa di berbagai negara dan kawasan. Deklarasi dunia dalam kedaruratan, sebagaimana deklarasi Global War on Terror tahun 2001 dan deklarasi Global War on Pathogen Maret 2020, selalu dibuka dengan proses globalisasi ancaman, cerita besar tentang sumber dan pelaku yang menyebabkan krisis, baik yang datang dari ideologi atau cara berpikir maupun yang berasal dari alam dan tubuh.
Dalam globalisasi atau internasionalisasi ancaman, berlangsung pula proses nasionalisasi ancaman tersebut yang akhirnya menghadirkan keunikan pada masing-masing negara. Salah satu sebab utama di balik keunikan itu adalah setiap negara memiliki dinamika dan kontestasi antar kekuatan ekonomi-politik yang berpusat pada konstruksi nasionalisme yang harus terus-menerus digarap dan diperbaharui agar bangunan negara bangsa itu tidak runtuh, bubar dan tercerai-berai.
Berangkat dari pengalaman Indonesia dalam dua konstruksi tubuh nasionalisme, rasanya sulit dibantah bahwa konstruksi nasionalisme pasca Orde Baru selalu membutuhkan berbagai jenis ancaman yang dikirim oleh kekuatan global-internasional, entitas yang lebih besar dan perkasa dari dirinya. Ketergantugan sampai pada ketagihan itu tidak seluruhnya datang dari ketidakmampuan generasi politik terkini merumuskan musuh bersama, yang relatif berbeda dari kecakapan membangun antagonisme besar yang diperlihatkan Sukarno dan generasi revolusionernya (lihat, Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 2016; Anderson, 1999; Dhakidae, 2001, 2014).
Tetapi kepatuhan itu juga bercerita tentang Indonesia yang telah terintegrasi ke dalam governmentalitas neoliberal yang tak terbayangkan para pendiri negara. Indonesia adalah bancaan atau proksi ideologis dari pertarungan geopolitik internasional. Terutama telah menyerahkan kedaulatan ekonominya ke dalam kendali sistem kapitalisme finansial yang tanpa keduanya Indonesia tak bisa bernafas dan ber-metabolisme sebagai bangsa yang hidup dan bergerak maju.
Baik dalam pemberantasan terorisme serta pencegahan penyebaran radikalisme maupun pemberantasan dan pencegahan penularan COVID-19, memperlihatkan pola kelola krisis atau governmentalitas yang sama, yaitu menerima arahan global-internasional dan menggunakannya sesuai dengan kepentingan kekuatan ekonomi-politik di dalam negeri seperti diuraikan berikut ini.
Terorisme: Konstruksi Tubuh Ideologis
Konstruksi tubuh ideologis dalam cegah dan berantas terorisme-radikalisme berlangsung melalui konstruksi dua jenis ancaman yang saling membentuk yaitu teroris sebagai pelaku penebar teror dan ideologi atau sistem gagasan yang mendorong dan membenarkan perbuatan teror.
Dari sana diperiksa pelaku, organisasi dan jaringan yang dianggap semakin sulit dideteksi, selalu berubah nama dan pilihan tindak kekerasan serta model eksperimentasi teror yang kian menakutkan dengan senjata biologi atau kimiawi. Termasuk yang paling sulit diprediksi dan dikenali adalah teroris lone wolf dengan taktik bom bunuh diri bersama tujuan tindakan yang tercapai dalam penghancuran tubuhnya dan tubuh orang lain, sejumlah orang atau sebanyak mungkin manusia, yang menjadi musuh simbolisnya.
Berlaku suatu cara pandang yang kuat bahwa pelaku dan ideologi adalah satu, tak terpisahkan, dan karena itu, membunuh mereka seketika, di tempat kejadian atau di lokasi persembunyian, selalu terbenarkan dan dinilai sebagai taktik berantas yang paling tepat. Melalui diri teroris, tindakan dan ideologi menubuh, dimatikan secepatnya sebelum korban berjatuhan dan banyak lagi manusia tertular gagasan radikal yang tidak bisa hidup dalam perbedaan.
Dalam wacana GWOT, konstruksi tubuh ideologis sebagai ancaman eksistensial manusia bergerak menjadi ancaman mati-hidup terhadap kebangsaan yang dibayangkan utuh, harmonis dan aman sentosa. Persis dalam elevasi simbolis ini, terorisme dan radikalisme terhadirkan sebagai matriks krisis kebangsaan dan pelaku teror atau kelompok radikal sebagai penanda krisis kewarganegaraan dan komunitas keindonesiaan yang seharusnya toleran dan merayakan keragaman identitas (bdk. Hakim, 2020; Djalong, 2010, 2010).
Terhadap dua aspek ketidakamanan, ancaman eksistensial warga negara dan ancaman kolektif ke-nusantara-an, pendekatan penanganan terbagi menjadi dua yaitu pertama, pemberantasan terorisme sampai ke akar-akarnya dan kedua, pencegahan penyebarluasan ideologi radikal ke dalam alam pikiran anak-anak, remaja dan manusia dewasa dari Sabang sampai Merauke.
Maka dari sana nasionalisme Indonesia dalam wacana Perang Global terhadap Terorisme dijaga dan diamankan dengan keahlian teknis dan inteligensi, khusus untuk perang non-konvensional, sebagaimana diperagakan Densus 88. Sekaligus juga nasionalisme itu terus-menerus dirawat dengan ajaran yang ‘pancasilais’ sesuai kaidah hidup masyarakat tenggang rasa sebagaimana BNPT mensosialisasikan kurikulum de-radikalisasi di sekolah-sekolah khususnya pesantren dan perguruan tinggi.
Replikasi Metode, Mutasi Ideologis
Rasionalitas, strategi dan taktik penanganan terorisme-radikalisme selama dua dekade GWOT itu rupanya diteruskan dalam penanganan pandemi COVID-19 selama dua tahun terakhir dan kemungkinan modifikasi taktis di tahun-tahun yang akan datang.
Dengan membandingkan secara cepat, virus adalah patogen yang mematikan. Pertanyaan biomedis apakah sistem kekebalan tubuh dapat melumatkannya dianggap kedaluwarsa dan tidak boleh diajukan lagi. Patogen ini harus dianggap yang paling berbahaya, tidak saja karena daya infeksinya yang sulit terbendung tetapi terpenting karena kecerdasannya melebihi kejeniusan sistem biologi tubuh manusia termasuk lebih cerdik dari kapasitas otak memerintahkan pembaharuan triliunan sel tubuh setiap hari.
Dengan ‘saintifikasi’ terhadap patogen sebagai tak terberantasi oleh tubuh dan alam, laiknya merajai kehidupan dan kematian manusia, pertolongan berupa penyembuhan dan pencegahan penularan hanya bisa diatasi oleh obat-obatan antiviral dan vaksin. Dengan kata lain, tubuh biologis menjadi lokasi persembunyian dan perkembangbiakan virus yang penanganannya membutuhkan kecakapan tersendiri, kelengkapan teknologi penopang kehidupan dan tentu saja mengamankan para penyelamat dari keterpaparan.
Dalam konstruksi tubuh biologis yang sama sekali tak berdaya itu, sebetulnya sedang terbentuk tubuh yang paradoksal. Di satu sisi, tubuh itu harus diselamatkan dengan segala cara yang tersedia dan di sisi lain, tubuh yang sama menjadi virus itu sendiri dengan tingkat infeksi viral serba cepat dan tak terbendung. Tubuh biologis menjadi keberumahan patogen, terpatogenisasi sedemikian rupa, sampai ke tingkat perlakuan terhadap pasien meninggal dunia harus memperlihatkan dengan jelas de-human-isasi terhadap tubuh yang tak lagi milik manusia tetapi kediaman patogen selamanya.
Taktik yang tegas, cermat dan cekatan memberi gambaran tentang pendekatan penyembuhan, curative approach, sebagaimana pendekatan pemberatasan terorisme, hard approach, yang kapan saja bisa tertembak dan terbunuh. Dengan konstruksi tubuh biologis yang paradoksal itu, pelampauan dan pangabaian terhadap etika kemanusiaan bisa selalu dibenarkan atas nama menyelematkan lebih banyak orang, yang berarti atas nama kemanusiaan itu sendiri.
Dalam situasi krisis yang permanen, ilmu pengetahuan dan politik selalu bersekutu membangun kesepakatan tentang bagaimana memperlakukan kehidupan dan kematian warga negara dalam semangat kedaulatan tubuh politik negara dan masa depan kebangsaan yang sehat dan berdaya saing.
Dalam pandemi COVID-19 mulai terbaca dengan jelas bahwa selain virus, isu vaksin menjadi niscaya dalam rangka mencegah infeksi viral ke tubuh anak bangsa lainnya. Menguatnya histeria publik akan tubuh biologis tak berdaya, memberi ruang yang terbuka bagi otorisasi negara mengatur dan mengontrol perilaku tubuh dan interaksi antar tubuh.
Muncul suatu jenis nasionalisme baru melalui protokol tetap dan protokol kesehatan, yang di dalamnya tiap-tiap orang membawa harapan hidup yang segar-bugar, laiknya anak-anak bangsa, dengan saling mengawasi, menegur dan mengingatkan. Semuanya tentang perlunya menjaga jaga jarak, mengikuti vaksinasi berkali-kali dan membangun ketegaran mental. Termasuk sikap baru siap berkurban seperti ikhlas menunda perjumpaan, bahkan diminta pasrah melepas kepergian sanak famili korban infeksi virus tanpa dekapan dan bisikan selamat jalan terakhir kalinya.
Di sana, dalam konstruksi tubuh biologis sebagai tubuh politik kebangsaan, vaksin adalah kabar gembira dan vaksinasi menjadi suntikan yang diperlukan bagi nasionalisme yang menyambut kerentanan biologis sebagai kenormalan baru di dalam dirinya sekaligus belum sepenuhnya bebas dari ikatan tubuh ideologis selama dua dekade terakhir.
Catatan Penutup
Keseluruhan uraian mengenai tubuh biologis sebagai tubuh politik berusaha menjawab pertanyaan mengenai nasionalisme Indonesia dalam pandemi COVID-19. Untuk itu polemik Vaksin Nusantara sejak pengembangannya November 2020 dibahas sebagai kasus paradigmatik atau peristiwa penting bagi formasi wacana nasionalisme terkini.
Pandemi bukanlah sekadar konteks atau rentang masa dalam mana nasionalisme berubah bentuk dan orientasi. Tetapi lebih dari itu, pandemi berlaku sebagai momentum strategis yang melaluinya formasi wacana nasionalisme mulai beralih dari kontruksi tubuh ideologis menuju tubuh biologis. Percakapan tentang virus dan vaksin belum berakhir dan kemungkinan akan terus berlanjut dengan konstruksi krisis kesehatan global tentang mutasi virus dan vaksinasi yang sarat kontroversi.
Atas dasar itu pula arus dinamika nasionalisme Indonesia akan terus bergelombang, penuh intrik dan pertarungan kepentingan ekonomi-politik dari kekuatan yang diuntungkan oleh bisnis pandemi dan kekuatan lain berserakan, terabaikan, terdampak dan mengalami nasionalisme Indonesia dengan cara berbeda dan tak harus seragam.
Akan tetapi pasal 13a ayat 4 dalam Pepres Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, membuat pengaturan yang sangat kontroversial. Di situ tertulis, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dapat dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda.
Peraturan semacam ini tidak saja mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara tetapi secara benderang mempertontonkan kekerasan ganda yang bisa dihasilkan sebuah kebijakan berbasis tubuh biologis. Yaitu, meniadakan hak warga negara atas kesehatan tubuhnya sendiri sekaligus mencabut hak ekonominya secara sewenang-wenang atas nama darurat tubuh politik bangsa.
Tentang narasi nasionalisme yang tak seragam itu setidaknya terbaca dari hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan sebanyak 41 % masyarakat responden menolak vaksinasi sementara sebanyak 54,9 % bersedia divaksin asalkan tidak harus membayar (Koran Merdeka, 22 Februari 2021). Data ini saja sudah cukup memberi informasi mengenai tidak hanya kurang sosialisasi sebagaimana dijelaskan pemerintah tetapi sebetulnya terdapat banyak alasan lain termasuk karena memiliki pengetahuan dasar tentang kesehatan dan dampak jangka pendek dan jangka panjang dari vaksinasi yang mulai mencemaskan masyarakat dunia sejak awal tahun ini.
Dari sini juga terlihat kesadaran kritis dan kebebasan berpendapat tidak sepenuhnya tergerus dan terbungkam yang sebaiknya membuka ruang percakapan yang semakin luas bagi publik warga negara dengan ragam aspirasi dan sudut pandang mengenai virus, vaksin, dan vaksinasi. Dengan separuh responden tidak bersedia divaksin jika berbayar dan separuh lagi tidak bersedia divaksin maka hal itu memberi sinyal kuat bahwa ekonomi tetap menjadi pertimbangan yang lebih prioritas bagi kelangsungan hidup.
Dari analisis terhadap dinamika dan kontestasi antar kekuatan dalam polemik Vaksin Nusantara, menjadi jelas bahwa formasi wacana nasionalisme sedang terbentuk dalam cara khas sejarah ekonomi-politik Indonesia yang terus bergerak mencari titik temu dan titik pisah, melalui konstruksi tubuh biologis sebagai tubuh politik kebangsaan. Hal ini pun harus selalu dibaca dalam kaitannya dengan dinamika tata kelola pandemi global yang sarat kontradiksi geopolitik, ekonomi-politik kapitalisme dan kontroversi biomedis itu sendiri.
Karena itu peralihan matriks nasionalisme Indonesia, dari penanda tubuh ideologis menuju tubuh biologis, akan ditentukan sebagian terbesarnya oleh narasi global tentang mutasi virus dan produksi vaksin selain dipengaruhi secara langsung kontestasi antar kekuatan politik oligarki dalam negeri dan gerakan demokrasi yang berserakan.
Sejatinya ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk virus dan vaksin, tidak pernah netral dari pertarungan politik. Menerima begitu saja konstruksi tubuh biologis sebagai penanda kebangsaan menyingkap sebuah cerita panjang sekaligus kesaksian bersama betapa sudah begitu jauh Indonesia hari ini dari Indonesia yang merdeka dan berdikari. Dengan cara baca nasionalisme Sukarno dan generasinya, tubuh biologis yang dibuat selalu rentan dan tak berdaya, tak lain adalah tubuh kolonial, yang telah dirampas martabat dirinya, berpikir dan bertindak dalam keterkejutan, kecemasan dan ketakutan tak berdasar.
Di situ pula, bisa ditarik sebuah kesimpulan, yaitu kegagalan membaca ilmu pengetahuan dan teknologi kehidupan-kematian sebagai bagian dari cara kerja biopolitik neo-kolonialisme adalah isyarat terbaik tentang gagal paham bagaimana nasionalisme terbentuk dan berkembang, melalui konstruksi tubuh sendiri, masyarakat dan negara-bangsa.
(Pandemi, Konflik dan Transformasi, 2021, hal 234-255)
Bahan Rujukan
Philpott, Simon. 2000. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. London: Macmillan Press
Anderson, Benedict. 2006. Imagined Community. New York: Verso
Anderson, Benedict. “Indonesian Nationalism Today and in the Future”, dalam Jurnal Indonesia, Vol. 67, April 1999, hal. 1-11
Dhakidae, Daniel. “Membulatkan Lingkaran Kekuasaan: Perjalanan dari Negara Kuat ke Masyarakat Kuat, Godaan dan Konsekuensi Kembali ke Negara Kuat”, Pidato Kebudayaan, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2014
Dhakidae, Daniel. “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang”, Pengantar untuk buku terjemahan Ben Anderson, Komunitas-Komunitas Terbayang, 2001
Hakim, Nul Lukman. “Politisasi Islam, Depolitisasi Demokrasi: Islam Politik dan Multikulturalisme Pasca-Orde Baru”, dalam Jurnal Prisma, Meredam Ketegangan Agama dan Negara, Vol. 39, No. 1, 2020, hal. 3-14
Djalong, Frans. “Pluralisme dan Demokrasi: Menuju Politik Kenegaraan”, dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik Depkoinfo, Vol. 4, 2010, hal. 1-13
Djalong, Frans. “Reorientalising Islam: Terrorism and Discourse on Evil”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Membedah Radikalisme di Indonesia, Vol. 14, No. 2, November 2010, hal. 247-273
Sukarno. 2016. Di BawahBendera Revolusi. Jilid 1. Jakarta: Banana Books
Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended. Lectures at the College de France. New York: Picador
Foucault, Michel. 2008. The Birth of Biopolitics. New York: Palgrave MacMillan
Sayyid, Bobby. 1997. Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism. London: Zed Book
Adam Ferhani dan Simon Rushton, ‘The International Health Regulations, COVID-19, and Bordering Practices: Who Gets In, What Gets Out, and Who Gets Rescued?’, dalam Jurnal Contemporary Security Policy, 2020, https://doi.org/10.1080/13523260.2020.1771955
Adam Kamradt-Scott, ‘WHO’s to blame? The World Health Organization and the 2014 Ebola outbreak in West Africa’, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2016, 37:3, 401-418
Anne Roemer-Mahler dan Stefan Elbe, ‘The Race for Ebola Drugs: Pharmaceuticals, Security and Global Health Governance, dalam Jurnal Third World Quarterly, 2016, 37:3, 487-506
Ashok Kumbamu, ‘The Philanthropic-Corporate-State Complex: Imperial Strategies of Dispossession from the ‘Green Revolution’ to the ‘Gene Revolution’, dalam Jurnal Globalizations, 2020, https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1727132
Ayo Wahlberg dan Nikolas Rose, ‘The Governmentalization of Living: Calculating Global Health’, dalam Jurnal Economy and Society, 2015, 44:1, 60-90,
Barry Gills dan Jamie Morgan, ‘Global Climate Emergency: after COP24, Climate Science, Urgency, and the Threat to Humanity’, dalam Jurnal Globalizations, 2019, https://doi.org/10.1080/14747731.2019.1669915
David Roberts. 2010. Global Governance and Biopolitics: Regulating Human Security. London: Zed Books
Edward Said. 2003. Orientalism. London: Penguin Books
Kaspar Villadsen dan Ayo Wahlberg, ‘The Government of Life: Managing Populations, Health and Scarcity, dalam Jurnal Economy and Society, 2015 http://dx.doi.org/10.1080/03085147.2014.983831
Rebecca J. Hester & Owain David Williams, ‘The Somatic-Security Industrial Complex: Theorizing the Political Economy of Informationalized Biology, dalam Jurnal Review of International Political Economy, 2019, https://doi.org/10.1080/09692290.2019.1625801
Ritu Vij, ‘The Global Subject of Precarity’, dalam Jurnal Globalizations, 2019, https://doi.org/10.1080/14747731.2019.1600287
Rob Kitchin, ‘Civil Liberties or Public Health, or Civil Liberties and Public Health? Using Surveillance Technologies to Tackle the Spread of COVID-19’, dalam Juarnal Space and Polity, 2020, https://doi.org/10.1080/13562576.2020.1770587
Simon Rusthton dan David Williams, ‘Frames, Paradigms and Power: Global Health Policy-Making under Neoliberalism’, dalam Jurnal Global Society, Vol. 26, No. 2, April, 2012
Vandana Shiva. 2016. Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge. North Atlantic Books
Vandana Shiva. 2005. Earth Democracy: Justice, Sustainability and Peace. London: Zed Book
World Economic Forum. 2021. The Global Risks Report 2021. WEF Publication
Sumber Internet
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56115147
https://mediaindonesia.com/humaniora/388630/kebijakan-terkait-vaksinasi-covid-19-dinilai-sudah-tepat
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/01/08384821/polemik-vaksinasi-gotong-royong?page=all
https://fokus.tempo.co/read/1453893/nasionalisme-kebablasan-vaksin-nusantara-besutan-terawan
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56061572
https://nasional.tempo.co/read/1422884/ribka-tjiptaning-tolak-vaksin-covid-19-pdip-beri-penjelasan
https://nasional.tempo.co/read/1422884/ribka-tjiptaning-tolak-vaksin-covid-19-pdip-beri-penjelasan
https://www.tribunnews.com/nasional/2021/01/20/deretan-tokoh-hingga-publik-figur-yang-tolak-vaksin-covid-19-politikus-hingga-adik-supermodel?page=2
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/18/18561161/tolak-vaksinasi-lansia-di-tanah-abang-dibujuk-dan-dijemput-petugas
https://www.globalresearch.ca/will-vaccinated-people-more-vulnerable-variants/5743035?utm_campaign=magnet&utm_source=article_page&utm_medium=related_articles
https://www.globalresearch.ca/big-pharma-conglomerate-with-a-criminal-record-pfizer-takes-over-the-eu-vaccine-market-1-8-billion-doses/5742812?utm_campaign=magnet&utm_source=article_page&utm_medium=related_articles
https://www.globalresearch.ca/microsoft-big-tech-coalition-developing-rockefeller-funded-covid-vaccine- passports/5734658?utm_campaign=magnet&utm_source=article_page&utm_medium=related_articles