Paradoks Toleransi: Ahok ‘Kristen’, Trump ‘Rasis’ & Migran ‘Muslim Eropa’ (2017)

Tulisan ringkas ini berusaha menjawab pertanyaan fundamental hari ini: Mengapa dan Bagaimana cara kerja representasi multikulturalisme menemui jalan buntu? Sebagai sebuah proyek global, multikulturalisme belakangan ini ditandai oleh sejumlah masalah dan dilema. Ketika dunia didorong menjadikan multikulturalisme sebagai paradigma budaya, konflik dan kekerasan antar komunitas justru berlangsung secara masif pada tingkat lokal, national, regional dan global.

Menggunakan kerangka pikir Bell Hooks, tulisan ini melakukan refleksi terhadap situasi kontemporer tersebut dengan perhatian khusus pada toleransi sebagai wacana dominasi. Dibahas tiga narasi ‘Ahok Kristen’, ‘Trump Rasis’ dan ‘Migran Muslim Eropa’ sebagai ilustrasi paradigmatik. Melalui wacana ini beroperasi politik representasi yang mengawetkan identitas, melanggengkan kuasa ekonomi dan politik kelas dan budaya, berlaku sebagai teknologi  politik untuk menundukkan resistensi dan model budaya alternatif dalam spektrum besar budaya konsumsi neoliberal.

Argumen utama dalam tulisan ini adalah bahwa alih-alih mengatasi ketegangan antara budaya, wajah ganda toleransi selalu melahirkan konflik dan kekerasan antar kelompok identitas, mengarusutamakan politik identitas sebagai strategi budaya untuk mengalihkan perhatian publik terhadap akar-akar sistemik dari ketidakadilan ekonomi dan diskriminasi politik. 

Pendahuluan

Konflik dan kekerasan antar kelompok identitas merupakan isu sentral yang mengkarakterisasi ekonomi dan politik global hari ini. Awalnya dibayangkan bahwa keluar dari Perang Dingin dunia akan menjadi lebih damai di mana negara dan masyarakat dunia diyakini semakin rasional dan humanis. Antusiasme pasca Perang Dingin bahkan mendorong kalangan pemikir liberal menteorisasi dunia baru di bahwa kendali liberalisme sebagai satu-satunya paradima sejarah dunia yang sahih. Konfrontasi ideologis berbasis kelas dibayangkan sebagai anomali sosial karena dalam narasi liberal ini konflik dan kekerasan dipandang semata-mata sebagai pertarungan antar budaya dan peradaban.

Ilustrasi gambaran dunia tanpa ideologi itu terbaca dalam narasi sejarah dunia baru yang dibayangkan Fukuyama sementara narasi sumber konflik berpusat pada budaya dan agama disebarluaskan Huntington (bdk, Fukuyama, 1992; Huntington, 1996). Sebagaimana dibahas dalam tulisan ini, dua narasi ini bertanggung jawab di balik munculnya proyek multikulturalisme global dan wacana toleransi sebagai teknologi apropriasi dan penundukan terhadap budaya atau identitas tak dominan—‘the other’. 

Kendati demikian, konflik dan kekerasan yang terjadi hari ini tidak sepenuhnya bercerita tentang tabrakan nilai dan cara hidup. Konflik identitas rupanya menyembunyikan dimensi ekonomi politik, pertarungan kelas yang diarahkan dan dikanalisasi melalui artikulasi identitas atas nama agama, suku/ras dan wilayah. Terjadi komplikasi jenis konflik di balik konflik identitas dan dari waktu ke waktu diproduksi semacam kebenaran bahwa sebab utama dari krisis global tersebut adalah ketidaksesuaian nilai dan inkompatibilitas norma. Alih-alih melakukan kritik dan koreksi terhadap terhadap dominasi budaya tertentu, yang kita saksikan adalah penegasan budaya khususnya agama sebagai ancaman terhadap demokrasi liberal jika dibiarkan bergerak bebas dalam orde politik liberal.

Bertolak dari paranoia tersebut, tatanan liberal pasca Perang Dingin, atau disebut neoliberalisme, memandang perlunya kebudayaan diatur dalam tatanan politik sekuler di mana sekularisme tetap berlaku sebagai matriks dan register etis, estetis dan moral. Konsekuensinya tak lain adalah sifat ekonomi politik di balik konflik identitas semakin tersamarkan dan proyek penyeragaman persepsi publik dunia terhadap konflik berlangsung intensif, dalam ruang diskursif yang berlapis-lapis. Proyek global ini beroperasi dalam arena masyarakat politik, masyarakat sipil, dan arena masyarakat akademik melalui produksi dan reproduksi pengetahuan berpusat pada epistemologi budaya neoliberal tersebut. 

Menggunakan cara baca kritis di atas, kita diberi konteks diskursif untuk memahami multikulturalisme sebagai proyek pengakuan dan pengaturan terhadap budaya dan keberagamanan budaya. Budaya perlu diawasi, diatur dan dikendalikan sedemikian rupa sampai pada tingkat menghadirkan ilusi bahwa kebudayaan mendapatkan tempat istimewa dan perlakuan khusus dalam tatanan demokrasi liberal. Proyek ini pun beroperasi dalam ambivalensi yang nyaris permanen, antara pretensi memberi pengakuan kepada keberagaman dan tujuan terselebungnya melanggengkan sekularisme yang dominan.

Keberagaman merupakan terminologi generik yang di dalamnya berisikan budaya-budaya lain, identitas-identitas lain, atau the Other dalam dalam ragam manifestasinya. Atau dalam bahasa lain keberagaman menjadi domain simbolik bagi yang tak dominan, yang perlu diberi kesempatan untuk terlihat, berbicara dan bertindak dalam koridor tertentu. Koridor tetap diatur oleh budaya atau identitas dominan tetapi pengaturan ini dikelola dengan sejumlah strategi simbolik agar tidak memperlihatkan orientasi governmentalitasnya. Dalam ambivalensi ini pun resistensi dimungkinkan untuk memberi suasana dinamis dan demokratis tetapi senantiasa dikawal dan diarahkan untuk tidak mempertanyakan relasi-kuasa representasi di dalamnya.

Situasi nasional dan internasional hari ini memperlihatkan secara lebih gamblang cara kerja multikulturalisme neoliberal. Ambivalensinya melahirkan konflik dan kekerasan di berbagai front isu dan wilayah. Kita diajak memahami cara beroperasi dan resiko-resiko sosial yang ditimbulkannya tanpa terbatasi oleh spesifikasi isu dan wilayah. Peristiwa penistaan agama terkait kasus Ahok memiliki problematik representasi yang serupa dengan rasisme yang ditudingkan kepada Donald Trump dalam konteks sejarah rasisme di Amerika Serikat. Demikian pula halnya dengan krisis migran terkini di Eropa memperlihatkan masalah dan dilema keberagaman budaya dalam spektrum geopolitik Timur Tengah pasca 9/11.

Ketiga fenomena global ini mendorong kita mencermati konflik tersebut sebagai problematik representasi yang berbiak di dalam wacana multikulturalisme global. Melalui ketiga fenomena tersebut wacana toleransi yang ambivalen menemui jalan buntu, yang ditandai oleh ketidaksanggupan proyek global ini mengelola resiko-resiko sosial dari menguatnya fundamentalisme ‘kanan’ (ultranasionalist, radikalisme Islam) dan fundamentalisme ‘kiri’ (liberal-progresif). Selain itu, kita mengamati ironi publik yang muncul dari fenomena tersebut di mana alih-alih melakukan kritik terhadap cara kerja representasinya yang melahirkan konflik identitas, propaganda toleransi, atau tata kelola neoliberal terhadap keberagamanan, didorong sebagai solusi mujarab untuk gejala sosial yang dikondisikannya sejak awal. 

Sebagaimana dipaparkan pada bagian ini, tulisan ini diawali dengan menghadirkan problematisasi terhadap cara kerja dan dampak politik representasi yang berlangsung dalam proyek global multikulturalisme dan toleransi. Bagian kedua akan membahas signifikansi pendekatan yang dikembangkan Bell Hooks untuk memahami cara kerja politik representasi terhadap the Other. Teorisasinya terhadap problematik rasisme dalam budaya konsumsi memuat potensi kritik yang bersifat fundamental terhadap proyek multikulturalisme neoliberal dan wacana toleransi terkini.

Bagian ketiga membahas tiga fenomena terkini sebagai ilustrasi paradigmatik mengenai kegagalan proyek global multikulturalisme dan toleransi. Narasi ‘Ahok Kristen’, narasi ‘Trump Rasis’ dan narasi ‘Migran Muslim Eropa’ dijadikan ilustrasi paradigmatik tentang bagaimana governmentalitas neolibaral bekerja. Dengan menggunakan strategi analisis Bell Hooks terhadap cara kerja representasi dominan dapat dikemukan argumen-argumen penting mengenai hubungan multikulturalisme dan esensialisme, dilema pengakuan dan pengaturan keberagaman, serta dilema resistensi dan penundukan. Tulisan ini diakhiri dengan meringkaskan kembali poin-poin utama yang muncul dalam pembahasan ini.

Multikulturalisme, Toleransi dan Kritik Representasi

Proyek multikulturalisme dan wacana toleransi yang berbiak di atasnya berkaitan secara langsung dengan politik representasi. Politik representasi mengandung pengertian sejumlah mekanisme, strategi dan taktik dalam menghadirkan diri dan orang lain, nilai dan praktek simbolik baik yang dianut individu maupun kelompok tertentu. Dalam setiap praktek representasi berlangsung penghadiran diri dan orang lain secara bersamaan dengan strategi dan taktik simbolisasi yang khas. Terkait multikulturalisme sebagai praktek representasi, Studi Postkolonial dan Analisis Wacana telah sampai pada suatu kesimpulan bersama bahwa menghadirkan the other dalam representasi selalu memiliki orientasi penundukan melalui penamaan dan pengalokasian the other dalam formasi posisi diskursif tertentu.

Multikulturalisme bersama toleransi sebagai wacana dominannya merupakan manifestasi global, skala makro, bersifat transnasional, dalam spektrum geopolitik dari hegemoni neoliberalisme terkini (bdk, Brown, 2006). Budaya dominan, dalam hal ini budaya yang diproduksi oleh rejim neoliberal (military-corporate-media-complex) menjadi pihak utama memproduksi dan mengendalikan wacana toleransi. Berlaku sebagai manifestasi lanjut dari politik orientalisme (bdk, Said, 2003; Fanon, 2008), orientalisme terbaharui melalui proyek multikulturalisme menjadikan agama (Islam), wilayah dan adat istiadat (Timur Tengah), dan Ras (black and brown) sebagai penanda multikultural yang perlu diatur dan dikontrol.

Kaum muslim dibagi menjadi good moslem dan bad moslem sebagai bagian integral dari strategi memecah belah dan menguasai (bdk, Mamdani, 2002). Strategi “divide & rule’ pada masa kolonial diubah secara total menjadi strategi ‘define & rule’, menamai, menciptakan identifikasi bipolar. Bipolaritas ini dimaterialisasikan dalam pertarungan internal umat muslim sampai ke titik di mana radikalisme Islam politik dan gerakan terorisme diterima oleh umat Muslim itu sendiri sebagai masalah ideologis dan aliran di dalam teologi politik Islam itu sendiri.

Demikian halnya dengan kritik terhadap identifikasi Islam yang bermasalah dengan kultur masyarakat Timur Tengah yang mendukung rejim anti-demokrasi. Timur Tengah harus diperkenalkan dengan demokrasi dan sekularisme terutama dalam konteks menguatnya peran Turki dalam kancah geopolitik Timur Tengah dan Eropa (integrasi ke Uni Eropa). ‘White men save brown women’ menjadi narasi populer dalam literatur, film termasuk film dokumenter dan pemberitaan rutin media massa dalam rubrik krisis humanitarian.

Untuk mensukseskan agenda ini, intelektual Muslim dan kelas menengah Muslim baik di Eropa, US dan Timur Tengah menjadi pelopor dan pengawal imperium multikultural ini (bdk, Dabashi, 2011). Hal serupa mengemuka dalam rangkaian peristiwa terkini di Eropa merespon hadirnya jutaan imigran Muslim dari Timur Tengah yang bergejolak. Bahaya radikalisme dan terorisme lagi-lagi digunakan sebagai teknologi kontrol terhadap ‘the Other’. Disambut di Eropa untuk menunjukkan keutamaan humanisme Eropa lalu dibaikan dan dibiarkan tersiksa berhadapan dengan gerakan ultranasionalis dari ‘Eropa Sekular-Kristiani’ yang juga berbiak dalam wacana multikulturalisme di pusat imperium neoliberalisme.  

Lantas di mana letak kontribusi teoretis Bell Hooks dalam peta kritik kontemporer terhadap proyek multikulturaisme di atas? Kontribusi Hooks terletak pada ajakannya untuk memeriksa cara kerja politik representasi dominan. Dalam kritiknya terhadap regim representasi ras kulit hitam di AS, diperlihatkan adanya pergeseran signifikan dari rasisme lama atau supremasi kulit putih terdahulu menuju rasisme pola baru dalam konteks masyarakat konsumsi terkini.

Dalam ‘Eating the Other’ (Hooks 1991; 2001), dikemukan bahwa ras dan etnisitas, sebagai kategori atau penanda identitas, menjadi komoditas, sumber kenikmatan, untuk memastikan kuasa budaya dominan atas budaya atau identitas lain. Hal terpenting dalam argumen Hooks adalah bahwa komodifikasi terhadap ras tertentu tidak lagi dengan cara mengisolasikannya dalam layar fantasi tetapi dengan cara baru yaitu melakukan interaksi langsung, membawanya masuk ke dalam representasi simbolik, memberi rekognisi kepada identitas tersebut dan bahkan mengakui bahwa ‘kekuatan tersembunyi’ dari identitas tersebut diperlukan untuk mengatasi krisis manusia modern atau krisis budaya neoliberal.

Di balik kanibalisme konsumsi ini, representasi ras atau identitas tertentu tetap saja melakukan esensialisasi terhadap dua hal. Pertama, esensialiasi terhadap budaya dominan atau manusia modern, dan kedua, esensialisasi terhadap the other atau identitas yang direpresentasikan tersebut. Ditampikan ke dalam layar fantasi, dramaturgi tentang kapasitas magis, spiritual dan seksual dari ras tertentu diperlukan untuk mengatasi krisis eksistensial, semacam jalan keluar untuk memadukan kembali badan dan jiwa, tubuh dan pikiran yang selama ini merupakan mimpi buruk manusia modern.

Ras kulit hitam dibawa masuk ke dalam literatur dan film bukan sebagai the other yang tak berdaya tetapi sebagai yang liyan dengan dengan seluruh kerahasiaan dan keliarannya yang diperlukan untuk dua tujuan ganda, pertama memastikan identifikasi rasis terhadap kulit hitam tidak berubah tetapi kali ini berguna sebagai resep mujarab untuk sakit jiwa manusia modern, dan kedua, penghadiran kembali identifikasi rasial ini untuk pada akhirnya menegaskan supremasi kulit putih, bahwa kulit putih sebagai inkarnasi modernitas bisa menjadi lebih unggul dan istimewa. Krisis dalam relasi manusia modern-kulit putih-dengan alam (Nature) dan tubuh (Body) berusaha dipulihkan melalui politik representasi dalam konsumsi kanibalistik terhadap the other dan seluruh penghakikat nilai rasial yang sekian lama telah diinvestasikan pada tubuh laki-laki dan perempuan kulit hitam.

Meletakkan analisis Hooks terhadap rasisme pola baru dalam proyek multikulturaisme yang lebih luas, bisa disingkap gerak-gerik terselubung dalam strategi budaya dominan. Salah satu manifestasinya terbaca melalui propaganda kaum liberal-progresif yang tampaknya mengarusutamakan kampanye anti-rasisme, anti-Islamofobia, anti-sexism/misogynism. Di balik metanarasi merayakan perbedaan, propaganda ini mereproduksi diskriminasi dalam politik representasi mereka melalui kajian ilmiah, peliputan media, film dan iklan barang dan jasa turisme.

Di dalam representasi tersebut, the other mengalami dekontekstualisasi dan dehistorisasi sehingga menampilkan kesan keaslian, keluguan, dan keluhuran. Tak ada lagi pertanyaan mengapa tubuh perempuan luhur sekaligus tak berdaya, tak ada pertanyaan mengapa laki-laki kulit hitam memiliki kekuatan atletis dan magis, juga tak ada lagi keraguan mengapa Islam bisa menjadi sarang kekerasan dan bunuh diri. Sifat diskursif dari identifikasi rasial, relijius dan seksual tersebut menjadi sulit terdeteksi dan resiko-resikonya tak mudah ditebak. Apropriasi tanpa konteks, atau penghakikatan tanpa riwayat ini, berlangsung tanpa koreksi kendatipun selalu menghadirkan parodi diri dan budaya bagi the other yang menikmati visibilitas dirinya sekaligus menertawai representasi gagal menghadirkan dirinya yang penuh dan dinamis di luar representasi tersebut.

Menggunakan Hooks sebagai kritik terhadap proyek multikulturalisme persis terletak pada cara bagaimana wacana toleransi membicarakan dan menghadirkan the other. Keberagaman budaya yang dirayakan merupakan kumpulan budaya tak dominan yang berserakan dalam domain budaya dominan. Pengakuan dengan retorika keberagaman itu indah berlangsung dalam rejim representasi budaya dominan. Budaya dominan tidak selalu berarti budaya konsumsi tetapi budaya kelompok tertentu yang mengembangkan narasi historis-politis sebagai yang paling berhak atau menjadi fundasi kultural dari sebuah bangunan simbolik bernama negara-bangsa.

Kapitalisme pasar neoliberal membajak kondisi dominasi budaya dan melakukan investasi simbolik terhadap struktruk dominasi tersebut melalui komodifikasi ras, agama, wilayah dan tubuh. Persekutuan tak tertulis antara budaya dominan dan kapitalisme tercermin dalam representasi kajian ilmiah, iklan, film, pemberitaan media yang senantiasa mengukuhkan budaya dominan dan menghadirkan budaya-budaya lain tak lebih dari dekorasi pertunjukan budaya nasional yang kaya suara seperti ragam bahasa dan kaya warna seperti pakaian adat dan warna kulit.

Dalam koridor budaya dominan yang diregulasi proyek multikulturalisme global ini, ragam budaya tak dominan harus menampilkan perbedaan asalkan tidak melanggar garis batas normatif yang ditarik dari prinsip-prinsip demokrasi liberal dan sekularisme. Transgresi dimungkinkan asalkan tak meringsuk masuk ke dalam urusan publik atau ikut mengatur kepublikan. Pada titik ini, konflik antar budaya dominan dan budaya tak dominan selalu mengenai garis batas tersebut, garis mengenai apa yang bisa dan tak bisa ditoleransi. Ketika terjadi konflik kekerasan hukum lalu menjadi panglima dan proyek toleransi diminta untuk lebih giat lagi bekerja memberi penyuluhan dan pendisplinan ideologis kepada kelompok identitas yang transgresif.

Manifestasi terkini terlihat pada bagaimana proyek multikulturalisme mengorientasikan teologi politik Islam agar selaras dengan norma sekularisme di Eropa, AS dan negara-negara post-kolonial. Islam bermuka-dua dalam representasi neoliberal, di satu sisi sebagai ancaman stabilitas tatatan liberal dan di sisi sebagai agama perdamaian yang bertugas membereskan radikalisme dan terorisme di dalam teologi politiknya sendiri. Pada titik ini pula, mengikuti implikasi teoretis Hooks, neoliberalisme menjadi bebas-nilai, bebas dari kritik, mengalami naturalisasi sebagai norma paripurna sementara konflik antar kelompok identitas dicarikan penyebabnya dalam budaya, ras dan agama itu sendiri.

Tiga Narasi Krisis Multikulturalisme: Ahok Kristen, Migran Muslim dan Donald Trump

Menempatkan tiga profil di atas dalam satu sapuan analisis tentu menuntut klarifikasi konseptual: dalam konteks diskursif apakah ketiganya sahih untuk diperbandingkan?

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian kedua dari tulisan ini, ketiga profil atau ilustrasi ini menjadi penting sebagai rujukan dalam memperlihatkan politik representasi multikulturalisme global dan ekses-ekses sosial politik yang berbiak di atasnya. Ketiga kasus ini dibaca sebagai gejala atau simptom dari krisis atau jalan buntu politik representasi dalam proyek Multikulturalisme global. Berikut dipresentasikan secara ringkas kasus dan analisisnya. 

Habib Rizieq dan Ahok, Source Democrazy News

Kasus Ahok dan Fundamentalisme di Indonesia

Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bercerita sesuatu yang lebih besar dari sekadar konflik antar kekuatan politik ataupun soal pelanggaran hukum pidana yang memberi kesan negara (Kapolri), MUI dan FPI/GNPF-MUI sangat berpengaruh. Kasus ini bercerita mengenai pertarungan dua jenis esensialisme yang bertumbuh dan berkembang melalui proyek multikulturalisme di Indonesia pasca reformasi. Dua jenis esensialisme adalah pertama fundamentalisme agama, dalam hal ini Islam ‘radikal’ dan kedua, fundamentalisme liberal-progresif.

Fundamentalisme agama merupakan manifestasi dari dislokasi identitas keislaman dalam politik nasional yang disebabkan oleh proyek multikulturalisme yang sejak reformasi menghadirkan Islam dalam kaitannya dengan bahaya radikalisme dan terorisme. Kendati terdapat sejumlah partai politik berlabel Islam dalam arena negara, partai-partai tersebut tak kunjung membentuk hegemoni dan semuanya tersandera dalam percaturan oligarki politik pusat yang sarat transaksi untuk koalisi dalam pemerintahan, saling sandera khususnya melalui kampanye anti-korupsi, dan ditandai konflik internal yang tak terselesaikan secara tuntas.

Krisis partai politik Islam memberi keleluasaan kepada gerakan liberal-progresif untuk mengatur dan mendisiplinkan gerakan Islam yang dicap radikal melalui narasi penegakan hukum dan penegakan hak asasi manusia. Representasi Islam sebagai intoleran di ruang publik dan ancaman bagi konstitusi dalam format NKRI menuai kritik dan pembelaan dari kelomppok non-parpol Islam yang dikawal oleh FPI dan ormas-ormas sejenisnya di kota-kota besar di Indonesia. Mereka menolak representasi dan narasi tentang Islam yang direproduksi oleh kelas menengah Muslim yang dicap liberal-progresif, aktivist pro-demokrasi dan aktivis HAM serta dunia akademik dan media massa mainstream.

Sementara itu, fundamentalisme liberal-progresif lahir dan berkembang biak melalui proyek multikulturalisme sejak reformasi. Kendati keduanya sama-sama dikondisikan secara historis pada masa akhir kekuasaan Orde Baru, fundamentalisme liberal-progresif mengarusutamakan kampanye perlindungan terhadap kelompok ‘minoritas’, penegakan HAM di masa lalu khususnya kasus kekerasan politik terhadap PKI dan dan pendisiplinan ajaran Islam agar lebih ‘kompatibel’ dengan demokrasi. Tentu saja dalam melalui ketiga front isu tersebut, Islam terimplikasi di dalamnya sebagai aktor dan ideologi yang anti-demokrasi. Konsolidasi dan artikulasi liberal-progresif berlangsung dalam multi-front, baik di arena negara melalui lobi pembuatan regulasi terkait multikulturalisme dan toleransi maupun di arena masyarakat sipil melalui kontrol atas produksi pengetahuan dalam dunia akademik dan pembentukan persepsi publik melalui media massa mainstream dan program-program advokasi dan penyuluhan mengenai pentinganya toleransi.

Kasus Ahok hari ini merupakan kulminasi dari pertarungan dua jenis fundamentalisme tersebut. Kaum liberal-progresif berada di belakang Ahok dengan narasi keberagaman dan anti-diskriminasi agama dan ras. Tuduhan penistaan agama dijadikan menu representasi mengenai bahaya agenda islamisasi politik dan pembajakan negara oleh kekuatan Islam anti-demokrasi. Selain pemberitaan media massa nasional, narasi islamofobia ini terbaca dalam pemberitaan media massa internasional BBC, CNN dan lainya yang secara global menjadi corong ‘political correctness’ proyek multikulturalisme. Di lain pihak, kelompok penentang Ahok memainkan kartu penistaan agama sebagai resistensi terhadap politik representasi dominan. Menggunakan strategi mobilisasi massa dan media sosial serta dukungan pemberitaan internasional oleh Al Jazeera, narasi tandingan diluncurkan, tidak saja soal penistaan agama terkait penyebutan ayat Al Maidah 51, tetapi berkembang menjadi penolakan terhadap pemimpin ‘kafir’ atau non-muslim di pentas politik nasional dan di wilayah mayoritas muslim. 

Menggunakan analisis Bell Hooks, resistensi kelompok penentang Ahok tidak semata-mata resistensi terhadap Ahok ad hominem melainkan resistensi terhadap politik representasi Islam dalam proyek multikulturalisme dan wacana toleransi pasca reformasi di Indonesia. Kendati kita dapat mengembangkan sejumlah skenario tentang akhir dari drama politik ini,  kasus Ahok merupakan ilustrasi terbaik mengenai konflik antar dua jenis fundamentalisme yang lahir dalam wacana toleransi sekaligus bercerita tentang resistensi terhadap narasi dan representasi Islam yang harus tunduk pada register norma yang dicap sekularisme. Lebih lanjut kendati menggelar demonstrasi tanpa kerusuhan, orasi dan retorika anti Ahok secara gamblang menunjukkan ‘Islam yang sejati’, dengan penekanan pada Muslim siap mati untuk membela Al-Quran, melakukan perlawanan terhadap dominasi asing dan aseng demi kedaulatan umat dan keadilan ekonomi. 

Hillary Clinton dan Donald Trump, Source The Atlantic

Donald Trump dan Multikulturalisme Amerika yang Rasis

Mengikuti dengan saksama drama politik pemilihan dan pasca pemilihan presiden di Amerika Serikat, kita serentak dibikin terperangah. Negeri yang mengklaim diri sebagai episentrum multikulturalisme global, sebagai teladan demokrasi, menyajikan menu rasisme, islamofobia, dan sexisme dalam jumlah dan dosis yang merusak akal sehat. Kali ini media massa mainstream yang menjadi mesin propaganda Hillary Clinton menggambarkan Donald Trump sebagai kandidat yang tak layak memimpin Amerika yang multikultural.

CNN, MNBC, dan hampir seluruh media massa korporat di Eropa termasuk BBC di Inggris bergerak dalam satu komando menistakan presiden terpilih ini sebagai langkah mundur demokrasi AS, mimpi buruk bagi ‘American Dream’. Demikian juga surat kabar oligarki global seperti Washington Post dan New York Times serta lembaga survey dan polling memprediksi kekalahan Trump karena beban simbolik anti-toleransi yang disematkan padanya.

 Kendati demikian, tak pernah terucap dari mulut sang kandidat bahwa dirinya anti Islam dan pendukung supremasi kulit putih. Yang jelas janji politiknya adalah orientasi kebijakan nasional yang tegas terhadap imigran ilegal dari Meksiko dan pembatasan jumlah imigran dari Timur Tengah. Hal ini pun merupakan isu populer bagi publik Amerika mengingat banyak masalah kriminalitas yang timbul dari tidak beresnya kontrol perbatasan dengan Meksiko dan ancaman nyata radikalisme yang dibawa imigran Timur Tengah yang datang dengan tujuan pembalasan dendam atau jihad terhadap AS sebagai ‘mother of all evils”.   

Drama politik tersebut memperlihatkan strategi korporasi dan media massa mengarusutamakan political correctness, yaitu menggantikan percakapan politik tentang urusan publik dengan isu-isu banal sekitar kelamin, warna kulit dan toleransi keagamaan. Hal ini tidak berarti isu-isu tersebut tak penting bagi Amerika. Yang menarik justru adalah penghilangan secara sengaja diskusi publik mengenai mengapa sampai terjadi radikalisme Islam dan islamofobia; mengapa rasisme terhadap kulit hitam dalam ekonomi dan politik masih terus berlangsung dan melahirkan gerakan ‘black lives matter’, dan mengapa tubuh perempuan terus saja menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan seksual di negeri yang paling banyak politisi, birokrat, dan korporat perempuan di muka bumi.

Alih-alih membicarakan persoalan krusial tersebut, political correctness yang merupakan teknologi multikulturalisme global mereproduksi rasisme, islamofobia dan sexisme. Donald Trump dihadirkan dalam representasi multikultural sebagai aktor utama, katalisator, sebagai tokoh antagonis sekaligus protagonisnya bagi reproduksi rasisme dan anti-rasisme dalam matriks neoliberalisme itu sendiri . 

Menarik bahwa tak seluruhnya warga Amerika termakan oleh seduksi multikulturalisme tersebut. Kemenangan Donald Trump pada Electoral College menunjukan resistensi sebagian besar warga Amerika terhadap banalitas rasisme, islamofobia dan sexisme yang digembar-gemborkan mesin propaganda multikulturalisme global yang berpusat di Washington dan New York. Pasca pemilihan baru diketahui besarnya dukungan masyarakat miskin afro-amerika, hispanik dan kelas pekerja kulit putih terhadap kandidat yang selama setahun sebelum Electoral College dianggap sebagai badut politik dalam sejarah politik Amerika Serikat. Kendati demikian, proyek multikulturalisme global tetap saja merongrong legitimasi kemenangan sang kandidat dengan memobilisasi generasi milenial produk neoliberalisasi pendidikan tinggi Amerika ke jalan-jalan membawa slogan-slogan banal yang tak berubah.

Terlepas dari faktor-faktor penting lain di balik drama politik tersebut, peristiwa ini bercerita tentang proyek multikultural yang menggunakan misrepresentasi sebagai strategi meloloskan Hillary Clinton. Misrepresentasi terjadi karena Hillary Clinton yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap krisis Timur Tengah dari Iraq, Libya, Syria dan Yemen. Krisis tersebut mengkondisikan radikalisasi dan resistensi terhadap AS yang menjalankan kebijakan ‘war abroad peace at home’. Demikian pula strategi representasi anti-rasis yang dikemas untuk Hillary yang melibatkan selebriti kulit hitam dari dunia industri hiburan dan dukungan presiden berkulit hitam.

Strategi ini pun rupanya tak efektif karena mayoritas warga kulit hitam hidup dalam ‘inner cities’, daerah kumuh di kota-kota besar. Menampilkan Obama dan Beyonce dalam rangkaian kampanye politiknya justru menjadi parodi bagi rasisme karena kedua figur ini hanyalah segelintir warga kulit hitam yang beruntung dalam rejim ekonomi politik yang dikuasai kulit putih. Analogi terbaik dapat kita ambil dari figur Solomon dalam film Twelve Years a Slave, yang mendapatkan kebebasan dan otonomi dirinya berkat pengakuan mantan tuan kulit putihnya dan karena memiliki sejumlah kompetensi yang diperlukan dalam representasi ‘kebebasan universal bagi semua orang’ lagi-lagi dalam supremasi kulit putih.

Marine Le Pen dan Theresa von der Leyen, Source GB News

Migran Muslim dan Krisis Humanisme Eropa

Representasi Migran Muslim dua tahun terakhir membangun narasi baru tidak saja tentang krisis politik Timur Tengah tetapi lebih dari itu tantangan bagi tata kelola keberagaman di negara-negara tujuan yang berada di bawah kendali birokrat Uni Eropa yang bermarkas di Brussel. Sekian lama merepresentasikan dirinya sebagai pengusung humanisme universal dan promotor utama multikulturalisme global, Eropa memasuki periode krisis representasi diri yang akut sejak Perang Dunia Kedua. Tersituasikan dalam ketegangan antara nasionalisme dan pan Eropanisme, kehadiran migran Muslim direspon dengan menguatnya gerakan yang menuntut pembatasan dan pengaturan imigrasi yang lebih ketat. Oleh akademisi neoliberal, gerakan masyaraka Eropa menentang kebijakan imigrasi ini dilabeli dengan istilah ‘populisme kanan’.

Apa yang dilakukan proyek multikulturalisme dalam situasi tersebut? Salah satu strategi representasi adalah melokasir problematik tersebut ke dalam isu diametral antara Islam dan Barat. Strategi ini, kulturalisasi konflik, menghadirkan wacana toleransi sebagai parameter untuk kesaktian modernitas, daya tahan humanisme terhadap tantangan kemanusian yang dihadirkan melalui penggambaran migran muslim sebagai korban krisis humanitarian. Di sisi lain, proyek multikulturalisme merepresentasikan Islam sebagai agama damai sekaligus agama kekerasan. Karena itu, migran muslim diharuskan menyesuaikan diri dengan  budaya nasional di negeri tujuan. Islam di Eropa pun ditampilkan dalam posisi ambivalen, diperlukan sebagai penanda humanisme Eropa yang sekuler sekaligus dikontrol dan didisiplinkan karena potensi radikalisme dan Islamisasi dalam teologi politiknya.

Dengan kata lain, sekularisme Eropa dan Islam dihadirkan dalam satu narasi representasi (bdk, Sayyid, 2003). Dalam representasi tersebut Eropa memiliki wajah Islam dan Sekuler pada saat bersamaan. Kendati demikian, mengikuti Bell Hooks, kehadiran Islam dalam layar fantasi budaya sekuler dominan berfungsi untuk melayani supremasi humanisme sekuler. Islam diperlukan dalam ritual kanibalisme konsumsi Multikultural sembari tetap mereproduksi narasi Islam yang punya agenda politik imperium —khilafah— dan   tak terduga dalam jihad pelaku bom bunuh diri (bdk. Talal Asad, 2007). Islam sebagai orde politik dan tubuh transgresi diletakkan dalam representasi Eropa yang mewakili Aufklarung dan Reformasi.

Apa yang sebetulnya sedang berlangsung dalam representasi tersebut adalah penghakikat terhadap Eropa dan penghakikatan terhadap Islam. Eropa dan Islam menjadi identitas yang sudah selesai dan dinamika di dalam diri keduanya semata-mata dinamika historis yang tak mengguncang keutuhan identitas dasarnya. Ditinjau lebih lanjut, esensialiasi dua arah ini berlangsung dengan melakukan dekontekstualiasasi dan dehistorisasi. Konteks dan sejarah kolonialisme dan neokolonialisme Eropa dan AS dihilangkan dalam representasi tersebut (bdk. Douglas Little, 2002; Samir Amin, 2009).

Konteks geopolitik di mana negara-negara Eropa bergabung dalam NATO mendestabilisasi kawasan Timur Tengah melalui kampanye ‘regime change’ dan  ‘democracy promotion’ tidak lagi menjadi menu representasi. Justru yang mengemuka adalah narasi mengenai konflik Sunni dan Shiah sebagai konflik abadi, dijadikan taktik representasi untuk menghilangkan dampak nyata dari intervensi tersebut yang memicu konflik antara dua aliran sejak dimulainya Global War on Terrorism  pasca 9/11. Krisis kemanusiaan karena perang di Timur Tengah disampaikan sebagai resiko dari pertarungan kekuatan politik Sunni dan Shiah dan bukannya dampak ‘proxy war’ antara kekuatan global-regional seperti NATO (AS, Eropa), Rusia, Iran, Arab Saudi (Qatar, Aman), dan Israel.

Selain melokalisir sebab krisis humanitarian pada konflik internal Islam, proyek multikulturalisme global menampilkan dalam representasinya Eropa yang baik hati, yang bersedia menerima migran muslim karena imperatif humanisme Barat. Kebijakan EU dan sejumlah negara utama seperti German, Prancis dan Inggris (sebelum Brexit) membuka pintu bagi para migran pada awalnya mendapat apreasiasi dan simpati internasional dan wacana toleransi menjadikan Eropa sebagai model ideal kendatipun sudah diterpa kritik dan krisis internal pada masing-masing negara.

Eropa dalam representasi ini lebih humanis dan toleran, membuktikan keunggulannya sebagai pengusung humanisme universal dan sekularisme. Krisis internal dan kritik kaum nasionalis-populis terhadap kebijakan NATO dan kebijakan imigrasi Uni Eropa tak sepenuhnya dihadirkan dalam representasi media massa yang menjadi mesin propaganda multikulturalisme. Belakangan ini protes nasionalist populis diberi ruang dalam representasi karena menguatnya dukungan politik arus bawah yang mengguncang stabilitas rejim birokrat-korporat multikultural di EU dan sejumlah negara-negara utama.

Hanya saja penghadiran wajah Eropa yang lain ini, yang beringas dan ‘tak toleran’ dicap sebagai islamofobia. Label islamofobia dikenakan pada gerakan arus bawah ini sembari menegaskan bahwa gerakan tersebut merupakan anomali sejarah linear Eropa, bagian dari agenda ultra nasionalist untuk membawa kembali Eropa ke periode Perang Dunia Kedua yang ditandai anti-semitisme. Proyek Multikulturalisme pun bersikukuh dengan narasi tanpa dasar ini bahkan sampai saat ini ketika Brexit sudah terjadi dan berpotensi menyusul Gerxit dan Frexit di masa datang.

Budaya dominan, sekularisme di Eropa, bukanlah suatu kesatuan nilai dan praktek hidup yang padu. Multikulturalisme Eropa dalam tinjauan ini merupakan bagian integral dari pan-Eropa yang diusung kelas ekonomi-politik yang berkuasa dan elit-elit korporat dan birokrat dalam EU. Dalam representasi multikultural Eropa tersebut, Islam diperlukan untuk mengalihkan perhatian dari krisis neoliberalisme ekonomi dan politik menyusul kegagalan sejumlah kebijakan EU di Timur Tengah, Eropa Timur khususnya Ukraina, ketidakpastian Turki sebagai anggota EU, kegagalan TTIP serta menguatnya kekuatan regional lain dalam percaturan ekonomi politik global khususnya yang tergabung dalam BRICS.

Sebagaimana diingatkan Bell Hooks (2000), kelas yang mengontrol ekonomi dan politik tetap berlaku sebagai pengendali dalam politik representasi. Proyek multikulturalisme global dan Eropa dikendalikan oleh kasta niaga dan pecandu perang dalam EU dan NATO. Dari dalam markas besar di Brussel, proyek representasi multikulturalisme dan wacana toleransi dimobilisasi tidak saja untuk Eropa tetapi juga ke negara-negara ‘Dunia Ketiga’.

 Catatan Penutup

Keseluruhan pembahasan dalam kajian ini hendak memperlihatkan politik representasi multikulturalisme global dan wacana toleransi yang menjadi teknologi perakit kesepakatan, atau menggunakan terminologi Noam Chomsky ‘manufacturing consent’. Dengan menggunakan strategi analisis Bell Hooks dalam ‘Eating The Other’, dibangun 3 argumen penting sebagai berikut.

Pertama, terdapat pola umum representasi dalam proyek multikulturalisme. Kedua, taktik esensialisasi identitas antara budaya/identitas dominan (colonizer)  dan budaya/identitas tak dominan (colonized) yang diperlakukan sebagai the other dalam representasi. Ketiga, the Other dihadirkan dalam representasi untuk menegaskan keistimewaan budaya dominan sekaligus pentingnya the Other untuk merespon krisis eksistensial dari budaya atau identitas dominan tersebut. Ketiga argumen tersebut didasarkan pada pembongkaran terhadap cara kerja representasi yang menghilangkan konteks dan sejarah.

Hal tersebut dilakukan untuk menghadirkan identitas dominan dan the other dalam tampilan tubuh identitas tanpa sejarah dan konteks, sebagai mekanisme naturalisasi terhadap kuasa identitas dominan dan apropiasi simbolik terhadap the other ke dalam tatanan nilai. Dengan demikian, pelaku dominasi menjadi kebal terhadap kritik nilai, berlaku sebagai sumber kebaikan dan kebenaran sementara yang didominasi, the other, sebagai sumber kenikmatan, fasilitator transgresi, yang memungkin pemulihan diri atau penyempurnaan diri dari krisis identitas sang pelaku dominasi. Sisi gelap, sifat liar dan destruksi diandaikan menubuh pada the Other yang harus didekati, didekap dan dialami pelaku dominasi agar identitasnya menjadi penuh dan utuh. Dengan kata lain, agar tak ada lagi kecemasan dan ketakutan akan instabilitas identitas.

Kendati demikian proyek multikulturalisme ini mengalami krisis karena akhirnya menemui jalan buntu dalam mengelola konflik antara budaya yang dikekalkan identitasnya melalui pengakuan dalam keberagaman. Hari ini wacana toleransi yang tampak bulat dan kompak seakan menyimpan api dalam sekam. Ketiga ilustrasi kasus yang telah dipaparkan menyampaikan pesan penting bahwa wacana toleransi menyembunyikan intoleransi (kasus Ahok), melakukan misrepresentasi terhadap the Other (kasus Donald Trump) dan mempromosikan esensi the Other yang ambivalen (kasus Migran Muslim).

Kekuasaan yang mengendalikan wacana global ini tampak tak punya resep mujarab untuk penyakit sosial esensialisme yang diciptakannya sendiri. Lebih dari itu, di balik krisis proyek multikulturalisme global ini semakin tersingkap kelas ekonomi politik neoliberal yang menjadi pengendali wacana toleransi dan semakin jelas cerita konspirasi bukanlah khalayan tetapi fakta yang selama ini dianggap tak pernah ada. 

(Frans Djalong. Center for Peace and Security Studies. November 2017)

Referensi

Amin, Samir. Eurocentrism. New York: Montly Review Press, 2009

Asad, Talal. On Suicide Bombing. New York: Columbia University Press, 2007

Brown, Wendy. Regulating Aversion: Tolerance in the Age of Identity and Empire. Princenton: Princenton University Press, 2006  

Dabashi, Hamid. Brown Skin, White Masks. London: Pluto Press, 2011 

Fanon, Frantz. Black Skin, White Masks. London: Pluto Press, 2008

Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man. New York: The Free Press, 1992

Hooks, Bell. ‘Eating The Other: Desire and Resistance ‘, dalam Meenakski Durham dan Douglas Kellner, Media and Cultural Studies. Oxford: Blackwell Publishing, 2001 

————– Black Looks: Race and Representation. Boston: South End Press, 1992 

—————Where We Stand: Class Matters. New York: Routledge, 2000

Huntington, Samuel. The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order. New York: Simon and Schuster, 1996

Little, Douglas. American Orientalism: The United States and The Middle East since 1945. London: University of North Carolina Press, 2002

Mamdani, Mahmood.’Good Moslems, Bad Moslems: A Political Perspective on Terrorism’, dalam American Anthropologist, Vol 104, No 3, September (2002)

Said, Edward. Orientalism. London: Penguin Books, 2003

Sayyid, S., A Fundamental Fear. Eurocentrism and the Emergence of Islamism. London: Zed Books, 2003.